Mempertahankan Nilai-Nilai Islam dalam Fotografi

January 23, 2017 | Author: Anonymous | Category: Documents
Share Embed


Short Description

Sekitar tahun 1800, Thomas Wedgwood, seorang warga negara Inggris, bereksperimen untuk merekam gambar positif dari citra...

Description

MEMPERTAHANKAN NILAI-NILAI ISLAMI DALAM FOTOGRAFI1 Oleh: Mujtahid2

A. Pendahuluan Saat ini semua orang sudah mengenal dunia fotografi, akan tetapi kebanyakan dari kita tidak pernah mempedulikan siapa sebenarnya pencetus fotografi tersebut. Masyarakat muslim tidak selayaknya lebih mengenal istilah kamera sebagai media fotografi dari pada qumrah.3 Sedikit dari kaum muslim yang masih mengingat istilah qumrah yang pernah dipopulerkan oleh seorang ilmuwan muslim bernama Hasan bin Haitsam.4 Dalam perjalanan sejarah, banyak karya ilmuwan muslim yang terlupakan oleh kaum muslim sendiri. Sehingga banyak yang beranggapan perkembangan teknologi yang kita temukan sekarang merupakan hasil karya orang-orang barat nonislam. Ketidaktahuan kita terhadap sejarah memudahkan kaum barat menggiring opini publik yang mengatakan islam sebagai agama terbelakang. Sehingga kita tidak sadar bahwa islam telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan luar biasa di segala bidang termasuk dalam bidang sains. Karena pada awalnya fotografi dicetuskan oleh ilmuan muslim, tentu pemanfaatannya kelak yang diharapkannya sesuai dengan nilai-nilai Islam. Fungsi fotografi diarahkan dalam rangka pengembangan dan penyiaran Islam. Fotografi yang sesuai dengan nilai-nilai di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, fotografi yang dipopulerkan oleh orang mengalami perkembangnnya di barat, sedikit banyaknya terpengaruh dengan kebudayaan daerah tersebut, seperti kebebasan tanpa batas dan erotisme yang jauh dari kesan islami. Sehingga para penggila fotografi dari kalangan muslim terkadang mengkonsumsinya secara mentah tanpa menfilter terlebih dahulu. Sehingga Nilai-nilai fotografi yang mereka konsumsi tidak sesuai dengan syariat Islam.

1

Makalah ini disampaikan dalam acara kajian Zawiyah KMA. Mahasiswa tingkat akhir fakultas Syariah Wal Qanun jurusan Syariah Islamiah, Al Azhar Kairo. 3 Di dunia barat lebih dikenal dengan camera obscura, yang berarti ruang gelap. 4 Hasan bin Haitsam adalah seorang ilmuan Islam asal Bashrah, Irak lahir tahun 354 H atau 965 M. 2

B. Sekilas Tentang Fotografi I. Pengertian Fotografi Fotografi diambil dari bahasa Inggris: photography, yang berasal dari kata Yunani yaitu "photos": Cahaya dan "grafo": Melukis/menulis.Yang berarti proses melukis/menulis dengan menggunakan media cahaya.5 Sebagai istilah umum, fotografi adalah proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya.6 Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera. Tanpa cahaya, tidak ada foto yang bisa dibuat. Prinsip fotografi adalah memokuskan cahaya dengan bantuan pembiasan sehingga mampu membakar medium penangkap cahaya. Medium yang telah dibakar dengan ukuran luminitas cahaya yang tepat akan menghasilkan bayangan identik dengan cahaya yang memasuki medium pembiasan (selanjutnya disebut lensa). Untuk menghasilkan intensitas cahaya yang tepat untuk menghasilkan gambar, digunakan bantuan alat ukur berupa lightmeter. Setelah mendapat ukuran pencahayaan yang tepat, seorang fotografer bisa mengatur intensitas cahaya tersebut dengan mengubah kombinasi ISO/ASA (ISO Speed), diafragma (Aperture), dan kecepatan rana (speed). Kombinasi antara ISO, Diafragma dan Speed disebut sebagai pajanan (exposure). Di era fotografi digital dimana film tidak digunakan, maka kecepatan film yang semula digunakan berkembang menjadi Digital ISO.

II. Sejarah Fotografi Sejarah fotografi saat ini, berhutang banyak pada beberapa nama yang memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi perkembangan fotografi sampai era digital sekarang. kita mencatat nama Al Hazen7, seorang ilmuwan berkebangsaan Arab, menuliskan bahwa citra dapat dibentuk dari cahaya yang melewati sebuah lubang kecil pada tahun 1000 M. Sangat disayangkan, Al Hazen dengan penemuannya yang luar biasa itu sempat terlupakan oleh sejarah, 5

http://id.wikipedia.org/wiki/Fotografi. http://id.wikipedia.org/wiki/Fotografi. 7 Beliau lebih dikenal sebagai "Ibnul Haitsam" di dunia Arab. 6

sehingga banyak dari kaum muslim yang tidak mengenalnya. Akhirnya seorang ilmuwan berkebangsaan Mesir Mustafa Nadhif menulis sebuah buku tentang Ibnu Haitsam. Buku tersebut ditulis dalam dua jilid dan diterbitkan oleh Universitas Kairo.8 Kurang lebih 400 tahun kemudian, Leonardo da Vinci, juga menulis mengenai fenomena yang sama. Namun, Battista Delta Porta, juga menulis hal tersebut, sehingga dia yang dianggap sebagai penemu prinsip kerja kamera melalui bukunya, Camera Obscura.9 Awal abad ke 17, Ilmuan Italia, Angeloa Sala, menemukan bahwa bila serbuk perak nitrat dikenai cahaya, warnanya akan berubah menjadi hitam. Bahkan saat itu, dengan komponen kimia tersebut, ia berhasil merekam gambar gambar yang tak bertahan lama. Hanya saja masalah yang dihadapinya adalah menyelesaikan proses kimia setelah gambar-gambar itu terekam sehingga permanen. Pada tahun 1727, Johan Heinrich Schuize, profesor farmasi dari universitas di Jerman, Juga menemukan hal yang sama pada percobaan yang yang tidak berhubungan dengan Fotografi. Ia memastikan bahwa komponen perak nitrat menjadi hitam karena cahaya dan bukan oleh panas. Sekitar tahun 1800, Thomas Wedgwood, seorang warga negara Inggris, bereksperimen untuk merekam gambar positif dari citra yang telah melalui lensa pada kamera obscura yang sekarang disebut kamera, tapi hasilnya sangat mengecewakan. Akhirnya ia berkonsentrasi sebagaimana juga Schuize, membuat gambar-gambar negatif pada kuliat atau kertas putih yang telah disaputi komponen perak dan menggunakan cahaya matahari sebagai penyinaran. Tahun 1824, setelah melalui berbagai proses penyempurnaan oleh berbagai orang dengan berbagai jenis pekerjaan dari berbagai negara. Akhirnya Joseph Nieephore Niepee, seorang Lithograf berhasil membuat gambar permanen pertama yang disebut ''FOTO'' dengan tidak menggunakan kamera, melalui proses yang disebutnya Heliogravure atau proses kerjanya mirip lithograf dengan menggunakan sejenis aspal yang disebutnya Bitumen of Judea, sebagai bahan kimia dasarnya. Kemudian dicobanya menggunakan kamera, namun ada sumber yang menyebutkan Niepee sebagai orang pertama yang menggunakan lensa pada kamera obscura. Pada masa itu lazimnya camera obscura hanya berlubang kecil, juga bahan kimia lainnya, tapi hasilnya tidak memuaskan. 8 9

Ragib Sarjani, '' Maza Qaddamal Muslimuuna Lil Alam '', hal.275. Ragib Sarjani, '' Maza Qaddamal Muslimuuna Lil Alam '', hal.274.

Agustus 1827, setelah saling menyurati beberapa waktu sebelumnya, Niepee berjumpa dengan louis Daguerre, pria Perancis dengan berbagai keterampilan tapi dikenal sebagai pelukis. Mereka merencanakan kerjasama untuk menghasilkan foto melalui penggunaan kamera. Tanggal 25 Januari 1839, William Henry Fox Talbot, seorang ilmuwan inggris, memaparkan hasil penemuannya berupa proses fotografi modern kepada Institut kerajaan Inggris. Berbeda dengan Daguerre, ia menemukan sistem negatif-positif (bahan dasar : perak Nitrat di atas kertas). Walau telah menggunakan kamera, sistem itu masih sederhana seperti apa yang sekarang kita istilahkan: Contactprint (print yang dibuat tanpa pembesaran atau pengecilan). Juni 1840, Talbot memperkenalkan calotype, perbaikan dari sistem sebelumnya, juga menghasilkan negatif di atas kertas. Dan pada Oktober 1847 Abel Niepee de St Victor, keponakan niepee, memperkenalkan penggunaan kaca sebagai base negatif menggantikan kertas. Pada Januari 1850, seorang ahli kimia Inggris, Robert Bingham, memperkenalkan penggunaan collodion sebagai emulsi foto, yang saat itu cukup populer dengan sebutan WET-PLATE fotografi. Setelah berbagai perkembangan dan penyempurnaan, penggunaan roll film mulai dikenal. Juni 1888, George Eastman, seorang warga negara Amerika, menciptakan revolusi fotografi dunia hasil penelitiannya sejak 1877. Ia menjual produk baru dengan merek KODAK berupa sebuah kamera box kecil dan ringan, yang telah berisi roll film (dengan bahan kimia perak Bromida) untuk 100 exposure. Bila seluruh film digunakan, kamera ini yang diisi film dikirim ke perusahaan Eastman untuk diproses. Setelah itu kamera dkirimkan kembali dan telah berisi roll film yang baru. berbeda dengan kamera masa itu yang besar dan kurang praktis, produk baru tersebut memungkinkan siapa saja dapat memotret dengan leluasa. Hingga kini perkembangan fotografi terus mengalami perkembangan dan berevolusi menjadi film-film digital yang mutakhir tanpa menggunakan roll film. Selanjutnya, secara bertahap fotografi berkembang ke arah penyempurnaan teknik dan kualitas gambarnya sampai pada akhir abad ke -19, fotografi telah mencapai kualitas hasil yang mendekati seperti yang dikenal sekarang. Namun, sebenarnya perkembangan foto seni di indonesia sendiri telah berkembang di akhir abad ke-18, ada orang indonesia yang telah membuat foto-foto indah menawan di dalam studio maupun di alam bebas, foto-foto itu jelas sekali bernafaskan seni seperti yang dikenal sekarang.

Objek, Lighting, dan komposisinya jelas sekali diperhitungkan dengan matang saat pemotretan. percetakan fotonya pun sangat brilian, sehingga hasil fotonya menjadi indah menawan bagaikan lukisan foto piktorial. Perbedaan yang dapat dilihat dengan jelas adalah sebagian besar besar foto terekam beku. Jika memotret manusia, maka si model diwajibkan diam beberapa saat. Hal ini dapat dimaklumi karena teknologi fotografi saat itu masih sederhana, body kamera berukuran besar sedangkan filmnya masih dalam bentuk lembaran (bukan roll), bahkan bahan dasarnya kaca atau seluloid, dengan kepekaan (ASA) yang masih rendah, bahkan banyak lensa yang mempunyai satu bukaan diafragma dan tidak disertai lembaran daun diafragma, sehingga pemotretan dilakukan dengan cara membuka dan menutup lensa. C. Fotografi Dalam Pandangan Islam Permasalahan fotografi erat kaitannya dengan masalah tashwir, sebagian ulama mengharamkan fotografi berdasarkan hadits-hadits yang pelarangan tashwir, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas ( ‫ ﯾﺟﻌل ﻟﮫ ﺑﻛ ّل ﺻورة ﺻوّ رھﺎ ﻧﻔس ﻓﯾﻌذﺑﮫ ﻓﻲ ﺟﮭﻧم‬،‫) ﻛ ّل ﻣﺻوّ ر ﻓﻲ اﻟﻧﺎر‬ Artinya : " setiap mushawwir akan masuk neraka, setiap gambar yang dihasilkannya akan dihidupkan, dan dengannya ia akan diazab"10 dan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah 11

( ‫) أﺷ ّد اﻟﻧﺎس ﻋذاﺑﺎ ﯾوم اﻟﻘﯾﺎﻣﺔ اﻟذﯾن ﯾﺿﺎھﺋون ﺑﺧﻠق ﷲ‬

Artinya : '' Orang yang paling kuat siksaanya di hari kiamat adalah para pelukis yang meniru-niru penciptaan Allah '' terdapat beberapa hadits lainnya yang menjelaskan tentang pengharaman tashwir. Namun, dua hadits tersebut sudah mewakili dalil para ulama yang mengharamkan tashwir dengan illah Al mudhahah atau Tasyabuh bikhalqillah dan setiap mushawwir akan diazab di dalam neraka Jahannam. Adapun mengenai fotografi terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, sebagian ulama berpendapat bahwasanya fotografi sama hukumnya dengan tashwir. Namun, diantara para ulama yang menyamakan hukum fotografi dengan tashwir ada yang mengharamkannya secara mutlaq dan ada juga yang membolehkannya hanya untuk keperluan darurat, seperti untuk foto paspor ataupun kartu tanda pengenal. 10 11

Shahih Muslim, hadits 5662, bab la tadkhulul malaaikata fihi kalb. Shahih Bukhari, hadits 5954,bab ma wuthia minattashwir.

Diantara ulama yang mengharamkan fotografi secara mutlaq adalah syekh Bin Baz, beliau mengatakan dalil-dalil yang mengaramkan tashwir juga berlaku dalam fotografi.12 Karena fotografi dapat menimbulkan sifat al ghuluw dari seorang fotografer yang merupakan sifat tidak terpuji dan juga awal dari sebuah kemusyrikan dan fotografi menyerupai perbuatan orang musyrik. Sebab pengharaman lainnya adalah, fotografi merupakan sebuah perbuatan yang siasia dan menghabur-hamburkan uang. Sedangkan syekh Ali al-Shabuny dalam kitabnya Tafsir Ayatul Ahkam mengatakan, walaupun secara sharih dalil-dalil yang mengharamkan tashwir tidak mengandung pengharaman fotografi, akan tetapi secara adat dan bahasa fotografi masih dalam ruang lingkup tashwir, seorang fotografer juga disebut mushawwir dan foto yang dihasilkan disebut shurah. Oleh karena itu fotografi hanya dibolehkan dalam kepentingan darurat dan untuk kemaslahatan saja, mengingat ada efek negatif yang sangat besar yang ditimbulkan oleh fotografi sebagaimana yang kita lihat selama ini foto-foto yang tidak layak terpampang di berbagai majalah.13 Adapun jumhur ulama muaakhirin seperti syekh Bakhit Muthi'i, syekh Jadul Haq Ali Jadul haq, syekh Ali Al-Sais, syekh Yusuf Al-qardhawi, syekh Mutawalli sya'rawi, syekh Ramadhan al-Bouty dan syekh Ali Jumah menghalalkan fotografi selama tidak menyimpang dari syariat islam.14 Para ulama yang berpendapat bahwasanya fotografi tidak haram mengatakan, dalil-dalil pengharaman tashwir tidak mencakup kepada pengharaman tashwir. Sebagaimana kita ketahui bahwasanya foto yang dihasilkan oleh proses fotografi merupakan rekaman bayangan, dan lebih menyerupai dengan video. Oleh karena itu illah mudhahah dan attasyabuh bikhalqillah tidak terdapat dalam fotografi. Syekh Ali Al-sais mengibaratkan foto yang dihasilkan oleh media fotografi, ibarat seorang yang berdiri di depan cermin lalu cermin tersebut memantulkan sebuah gambar. Apakah gambar yang dipantulkan oleh cermin tersebut bisa dikatakan sebuah gambar yang dilukiskan oleh seseorang?, tentunya tidak. Demikianlah gambaran cara kerja sebuah kamera yang menyerupai cara kerja cermin dalam memantulkan gambar.15

12

http : www.binbaz.org.sa/mat/4206. Al-Shabuni, tafsir ayatul Ahkam, penerbit dar el shabuni, hal 300. 14 http://www.saidaforum.com/forums/showthread.php?t=11603. 15 Al-shabuni, tafsir ayatul Ahkam, penerbit dar el shabuni, hal 300. 13

Dari pendapat ulama di atas kita bisa menyimpulkan bahwasanya pendapat ulama yang menghalalkan fotografi lebih dekat dengan realita fotografi yang berbeda dengan tashwir. Oleh karena itu, hukum dasar fotografi itu adalah mubah selama tidak melanggar nilai-nilai yang ada di dalam syariat islam. D. Etika Dalam Fotografi Apakah ada kode etik dalam dunia fotografi? Jawabnya, tentu saja ada. Sekalipun bagi para fotografer di Indonesia, kode etik itu belum tertulis secara formal, tapi baru dalam tahapan sekadar ‘sesuatu yang dipahami’. Artinya, sampai hari ini kode etik tersebut masih sampai pada tataran ‘sekadar pegangan’ yang tidak memiliki kekuatan mengikat. Tapi tidak demikian halnya dengan fotografer yang terlibat di dalam kerja jurnalistik. Para wartawan atau jurnalis foto dalam melaksanakan kerja profesinya sebagai wartawan telah terikat dengan suatu kode etik jurnalistik (kewartawanan) yang tidak hanya ‘harus dipahami’, tetapi juga harus dipatuhi. Dengan kata lain, setiap wartawan foto dalam kerja profesinya senantiasa harus berpegang dan tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam kode etik tersebut. Misalnya, wartawan atau jurnalis foto yang tergabung di dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), maka ia harus tunduk dengan Kode Etik Jurnalistik PWI, disamping tentunya tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI) yang diberlakukan kepada segenap insan wartawan atau jurnalis di Indonesia. Selain tergabung di dalam wadah organisasi wartawan seperti PWI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) atau organisasi wartawan lainnya, wartawan atau jurnalis foto di Indonesia kini juga sudah memiliki organisasi sendiri yang diberi nama Pewarta Foto Indonesia (PFI). Dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai wartawan atau jurnalis foto, anggota Pewarta terikat dengan Kode Etik PFI. Kode etik tersebut disahkan pada Kongres II PFI 1 Desember 2007.

I.Kode Etik Pewarta Indonesia Tegaknya kebebasan pers, masyarakat foto jurnalistik yang profesional, mandiri dan independen, serta terpenuhinya hak masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi visual yang interaktif dan benar, disertai kenyataan adanya pluralisme dalam masyarakat yang kritis, maka Pewarta Foto Indonesia

senantiasa aktif untuk mengambil peran pemberitaan visual sebagai tanggung jawab sosial dan berfungsi menyuarakan kebenaran visual yang punya integritas dan bisa dipercaya. Atas dasar itu Pewarta Foto Indonesia menetapkan kode etik sebagai berikut:16 1. Pewarta foto menjunjung tinggi hak masyarakat untuk memperoleh informasi visual dalam karya foto jurnalistik yang jujur dan bertanggung jawab. 2. Pewarta foto dalam menjalankan tugasnya harus mendahulukan kepentingan umum untuk mendapatkan informasi visual. 3. Pewarta foto adalah insan profesional yang mandiri dan independen. 4. Pewarta foto tidak memanfaatkan profesinya di luar kepentingan jurnalistik. 5. Pewarta foto menghargai hak cipta setiap karya foto jurnalistik dengan mencantumkan akreditasi yang sesungguhnya. 6. Pewarta foto menjunjung tinggi kepentingan umum dengan tidak mengabaikan kehidupan pribadi sumber berita. 7. Pewarta foto menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. 8. Pewarta foto tidak menerima suap dalam segala perwujudannya. 9. Pewarta foto menempuh cara yang etis untuk memperoleh bahan pemberitaan. 10. Pewarta foto menghindari visualisasi yang menggambarkan atau mengesankan sikap kebencian, merendahkan, diskriminasi terhadap ras, suku bangsa, agama dan golongan. 11. Pewarta foto melindungi kehormatan pihak korban kejahatan susila dan pelaku kriminal di bawah umur. 12. Pewarta foto menghindari fitnah dan pencemaran nama baik dan berita foto yang menyesatkan. 13. Pewarta foto tidak memanipulasi sehingga mengaburkan fakta. 14. Hal lain yang berkaitan dengan kasus-kasus tertentu menyangkut kode etik Pewarta Foto Indonesia akan dikonsultasikan dengan Dewan Penasehat dan Komisi Etika.

16

http://pewartafoto.org/about/ethics

II. Jangan Melanggar Hak Pribadi Persoalan etika di dalam dunia fotografi, hingga hari ini memang selalu menjadi bahan perdebatan dan pergunjingan yang menarik. Di luar negeri misalnya, cara kerja para paparazi (fotografer bebas) yang sering mengabaikan etika dan melanggar hak pribadi orang lain, banyak mendapat protes dan kecaman. Sekalipun belum ada kode etik yang tertulis secara formal bagi para fotografer, kecuali fotografer yang bekerja di dalam kerja jurnalistik, tapi setiap fotografer dalam kerjanya dituntut untuk senantiasa menjunjung tinggi atau menghormati norma-norma dan nilai-nilai etika yang ada di masyarakat. Hal utama yang harus diperhatikan ketika melakukan kerja profesinya adalah menghindari perbuatan-perbuatan yang melanggar hak pribadi orang lain. Hak pribadi orang lain itu dilindungi oleh hukum. Seseorang yang hak pribadinya merasa telah dilanggar oleh seorang fotografer melalui karya fotonya, berhak memperkarakan fotografer itu secara hukum. Hak pribadi itu misalnya, hak untuk berbuat apapun di dalam rumahnya sendiri, sejauh hak itu tidak bertentangan dengan hukum.

Jadi, apabila seorang fotografer dengan cara menyelinap telah memotret sepasang suami-isteri yang sedang bermesraan di rumahnya sendiri, maka perbuatan itu dikategorikan sebagai pelanggaran etika yang berat. Bahkan, tindakan itu juga merupakan perbuatan melawan hukum yang bisa dipidanakan. Persoalannya tentu akan berbeda jika pasangan suami-isteri itu ‘bermesraan’ di area publik yang terbuka, misalnya di taman-taman kota yang ramai pengunjungnya, di pusat-pusat keramaian,di pinggir-pinggir jalan, dan di tempat-tempat yang bisa disaksikan orang-orang lain. Dengan bermesraan di area terbuka atau area publik, maka si pelaku, apakah mereka pasangan suamiisteri yang sah atau pasangan cinta lainnya telah kehilangan ‘hak pribadi’ atau ‘hak-hak hukum’nya. Mereka telah melepaskan hak-hak itu untuk diketahui atau ditonton oleh masyarakat luas. Jika peristiwa semacam itu ditemukan oleh seorang fotografer, maka perbuatan fotografer (memotret) tersebut tidak dapat dikatakan telah melanggar hak pribadi orang lain. Terlebih lagi bila si fotografer itu adalah seorang wartawan foto, sehingga peristiwa yang terekam di dalam kameranya

itu kemudian muncul di media surat kabar, majalah dan semacamnya, maka si ‘objek’ tidak bisa menuntutnya secara hukum. Meskipun kemudian foto yang dimuat itu telah dilihat ribuan pembaca, wartawan foto dan medianya tidak bisa dituntut telah melakukan perbuatan pencemaran nama baik atau perbuatan yang tidak menyenangkan. Akan tetapi media pers bersangkutan harus berhati-hati dalam menentukan pilihan terhadap foto-foto yang akan dimuat. Sebab, apabila tidak berhati-hati dalam memuat fotonya, media pers tersebut bisa terjerat ke perangkap hukum. Kalau pilihan foto yang dimuat adalah foto yang menampilkan adegan penuh birahi atau sarat dengan kesan pornografi, maka media pers dan si wartawan foto bisa dijerat dengan pasal melanggar kesusilaan serta menyebarluaskan fornografi. Larangan wartawan dan media pers menyebarluaskan hal-hal yang melanggar kesusilaan dan pornografi itu tidak saja tertera di dalam kode etik jurnalistik, tetapi juga di dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

III. Menolong atau Memotret? Menolong atau memotret? Ini adalah pertanyaan manusiawi yang muncul di benak setiap fotografer, terutama wartawan foto, ketika menjumpai suatu peristiwa yang berhubungan dengan keselamatan jiwa orang lain. Bahkan, tidak sedikit pihak yang mencela bahwa wartawan foto tidak memiliki rasa kemanusiaan, karena lebih mementingkan bidikan kameranya dibanding jiwa atau nyawa korban yang tergeletak di depannya. Dalam banyak kasus yang berhubungan dengan keselamatan jiwa orang lain itu, wartawan foto (forografer) memang sering dihadapkan pada persoalan batin yang sulit. Tugas utama wartawan foto adalah memotret. Kewajiban profesinya sebagai wartawan foto yang bertugas memotret telah membuatnya terpaksa harus mengenyampingkan naluri kemanusiaannya untuk menolong. Sekalipun mungkin, langkahnya itu telah mengakibatkan jiwa orang lain menjadi tidak bisa tertolong lagi. Dalam persoalan batin yang sulit seperti itu, ada beberapa contoh kasus yang menarik untuk disimak. Salah satu di antaranya kisah yang dialami Kevin Carter, seorang wartawan foto lepas dari Kantor Berita Reuters dan Sygma Photos New York di Afrika Selatan. Tahun1993 ia mendapat tugas dari Reuters untuk meliput kasus kelaparan yang terjadi di Sudan.

Salah satu foto hasil liputannya di Sudan itu telah mendapatkan Hadiah Pulitzer tahun 1994. Hadiah Pulitzer merupakan penghargaan paling bergengsi bagi insan pers di Amerika Serikat. Foto Kevin Carter yang meraih Hadiah Pulitzer itu menampilkan gambar seorang anak kecil yang kurus kering karena kelaparan tertunduk tak berdaya di jalanan sunyi. Sedang hanya beberapa langkah di belakang anak kecil itu terdapat seekor burung pemakan bangkai. Burung itu seperti sedang menunggu kesempatan untuk melahapnya. Anak kecil yang tak berdaya itu sebelumnya terjatuh dari atas kendaraan yang membawa rombongan penduduk yang menuju ke posko pembagian makanan. Entah mengapa tidak seorang pun dalam rombongan penduduk tersebut yang mengetahui jika anak kecil itu terjatuh dan tertinggal. Kevin Carter yang melihat si anak terjatuh dan tertinggal, kemudian ditunggui seekor burung pemakan bangkai, tidak mensia-siakan moment yang menarik itu. Ia langsung memotretnya. Sehabis memotret beberapa kali, ia pun segera bergegas meninggalkan anak kecil itu, karena ingin secepatnya sampai di lokasi posko pembagian makanan, agar tidak tertinggal peristiwa-peristiwa menarik lainnya. Tapi beberapa hari kemudian, Kevin Carter dilanda kegelisahan dan penyesalan yang dalam. Ia gelisah memikirkan nasib anak kecil kurus tak berdaya yang tertunduk di jalanan kering dan ditunggui seekor burung pemakan bangkai itu. Dalam pikirannya, anak kecil itu kemudian meninggal dan disantap burung pemakan bangkai. Ia dilanda perasaan bersalah yang sangat besar. Perasaan bersalah karena tidak menyelamatkan anak kecil itu terus dibawanya sampai pada saat menerima Hadiah Pulitzer tersebut di New York pada tanggal 23 Mei 1994. Hadiah penghargaan bergengsi itu tidak mampu menghapus perasaan bersalah yang menyesak-nyesak di dadanya. Kevin Carter benar-benar mengalami penderitaan batin yang dahsyat, Klimaksnya, dua bulan kemudian, tepatnya di bulan Juli 1994, ia ditemukan tewas di rumahnya, di Johannesburg, Afrika Selatan. Ia tewas bunuh diri dengan meninggalkan selembar surat. Di dalam surat terakhirnya itu, Kevin Carter menyatakan dirinya tidak kuat mengalami penderitaan batin karena telah mengutamakan profesinya dibandingkan kewajiban kemanusiaannya. Tragisnya, anak kecil yang terabadikan di dalam fotonya, yang semula diperkirakan telah meninggal dan dimakan burung pemakan bangkai itu, ternyata masih hidup. Beberapa hari setelah kematian Kevin Carter, mediamedia di Amerika Serikat pun gencar memberitakan bahwa anak kecil di fotonya itu masih hidup, karena kemudian ada orang lain yang menolongnya.

Pertanyaannya, apakah Kevin Carter telah melanggar etika dalam fotografi? Jawabannya tentu bisa diperdebatkan. Tapi, dari sudut pandang fotografi, apa yang dilakukan Kevin Carter bukanlah perbuatan yang bisa dikategorikan melanggar etika fotografi. Karena tugas seorang wartawan foto atau fotografer di lapangan adalah memotret.

E. Penutup Setelah kita mengetahui sejarah lahirnya kamera beserta perkembangannya, pandangan islam terhadap fotografi dan etika fotografi, nampak jelas bahwasanya nilai-nilai dasar yang terdapat dalam fotografi tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai islami itu sendiri. Selaku muslim kita harus sadar akan kemajuan yang pernah dicapai oleh ilmuwan kita di masa lalu. kita melihat bagaimana orang-orang barat dulu berkiblat ke timur sampai-sampai pakaian yang mereka gunakan juga meniru ala timur, namun yang disayangkan di zaman sekarang kaum muslim berbalik berkiblat ke barat. Dengan alasan kemajuan, kaum muslim dengan mudah mengikuti budaya fotografi yang berkembang di barat, tanpa menfilternya terlebih dahulu. Sebagai seorang muslim kita harus menjaga jati diri ketika dihadapkan dengan perkembangan yang mengusung kebebasan, erotisme dan lain sebagainya yang jauh dari kesan islami. Selayaknya media fotografi kita manfaatkan dalam hal kebaikan dan juga kemaslahatan. Islam bukanlah agama yang mengekang pemeluknya dengan perkembangan zaman, islam tidaklah demikian. Islam memberikan kebebasan bagi pemeluknya dalam mengikuti zaman akan tetapi dengan syarat tidak bertentangan dengan nilai-nilai dalam syariat islam itu sendiri. Apakah dengan mempertahankan nilai-nilai islam dalam fotografi dapat menghambat kreatifitas seorang fotografer? tidak. Justru dengan nilai-nilai islami tersebutlah kreatifitas kita tersalurkan dengan baik dan diridhai Allah, sehingga setiap kreatifitas muslim berjalan di atas ridha Allah. Seorang fotografer yang bergerak di bidang modeling, jika ia mengikuti modeling ala barat yang mengagungkan kebebasan dan tidak menghiraukan batasan aurat yang boleh dieksploitasi oleh fotografer tersebut dari seorang model. Dan seorang fotografer yang juga bergerak dibidang modeling akan tetapi dalam menjalankan tugasnya ia tetap menjaga nilai-nilai islam seperti

tidak mengeksploitasi aurat seorang model dan lain sebagainya, sehingga pekerjaannya tidaklah bertentangan dengan syariat. Demikian islam menjaga pemeluknya tanpa harus menjual nilai-nilai agama dalam meningkatkan kreatifitas. Oleh karena itu wajarlah para ulama islam berbeda pendapat dalam memandang hukum fotografi itu sendiri. Walaupun mereka berbeda akan tetapi tujuan mereka sama, yaitu menjaga kaum muslim dari nilai-nilai islam itu sendiri. Namun diantara mereka ada yang mutasyaddid dan aja juga yang tasamuh. Sebagai kaum muslim kita patutlah berbangga telah memeluk agama yang mengajarkan kita sebuah jati diri yang harus kita jaga di manapun kita berada.

DAFTAR PUSTAKA 1. Imam Al Bukhari, '' Shahih Bukhari '', cetakan ke VII, Beirut, Darul Kutub Ilmiah, 2013. 2. Imam Muslim, '' Shahih Muslim '', jilid I, Sttuttgarrt, Theasaurus Islamicus Foundation, 2000. 3. Al-Shabuni, '' Tafsir Ayatul Ahkam '', jilid I,cetakan I, Dar al-shabuni, 2007. 4. Ragib Sarjani, '' Maza Qaddamal Muslimuuna Lil Alam '', jilid I, cetakan ke IV, Kairo, Muassasah Iqra, 2010. 5. http://id.wikipedia.org/wiki/Fotografi 6. http : www.binbaz.org.sa/mat/4206 7. http://pewartafoto.org/about/ethics 8. http://www.saidaforum.com/forums/showthread.php?t=11603

View more...

Comments

Copyright © 2017 DATENPDF Inc.