Pemekaran Negeri Kata-Kata | Jan Van der Putten .edu

November 3, 2017 | Author: Anonymous | Category: Documents
Share Embed


Short Description

Dalam Republik Indonesia, pembentukan identitas nasional jelas dikuasai oleh puak Jawa, yang jumlah penduduknya jauh mel...

Description

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

Pemekaran Negeri Kata-Kata: Konfigurasi Kebudayaan Melayu di Riau JAN VAN DER PUTTEN

Inilah riau indonesiaku Yang tak banyak pinta, kami hanya minta Propinsi, sehingga satu hari nanti Kami bisa pahatkan kerja keras kami Dengan sebilah angan, dan kiranya kalian lebih tahu dari riau kami Indonesia Inilah riau kami yang apa adanya Tak berlebihan, dan tak banyak ingin, yang kami inginkan Hanyalah kemerdekaan yang harus kami campakkan di laut cina selatan Sehingga kami jadi serdadu merdeka di negara kata-kata kami. “Riau Indonesiaku” karya Junewal Muchtar (2003: 13)

MELAYU dan kemelayuan, seperti telah umum diketahui, merupakan istilah yang sangat ambigu serta digunakan dalam berbagai konteks untuk meraih aneka-target. Dunia Melayu pun telah dibagi ke dalam empat negara bangsa, yang masing-masing mengeksploitasi istilah itu dalam rancangan serta tujuan politiknya. Secara ringkas boleh dikatakan, di Kerajaan Malaysia, kemelayuan dipandang sebagai identitas ideal yang hampir wajib dirasuki oleh warga negaranya jika memang ingin ikut main dalam hidup modern bernegara.

25

26

JAN VAN DER PUTTEN

Dengan resmi, ketiga sifat kemelayuan—agama Islam, adat, dan bahasa Melayu—diangkat menjadi syarat dasar yang harus dipenuhi oleh orang Melayu Malaysia jika ingin dianggap “manusia”. Di negara jirannya, Republik Singapura, puak Melayu dianggap minoritas yang bermasalah dalam kehidupan bernegara multikultural. Sebaiknya dimaklumi bahwa pemerintah berfalsafah bahwa anggotaanggota masyarakatnya dapat diatur, dibentuk, dan diubah dalam segala bidang kehidupannya. Jadi, orang-orang Singapura “dinasihati” dan didorong agar tidak merokok, meludah di jalan, membuang sampah sembarangan, santap makanan berlemak, banyak olahraga, bekerja keras dan bikin anak, dan sebagainya. Puak yang dilihat menimbulkan masalah dalam hal mengatur masyarakat ini adalah kelompok etnis Melayu— yang kebanyakan keturunan Jawa, Bugis, Bawean, dan Minang. Pasalnya, kelompok etnis ini dianggap agak terkebelakang dalam kehidupan modern. Minoritas Melayu melalui media massa yang dikuasai pemerintah, yang boleh dikatakan merupakan corong pemerintah yang informal, bertubi-tubi mendengar pernyataan bahwa kelompoknya mencatat persentase tertinggi di antara kelompok-kelompok lain dalam hal ketagihan dadah/narkoba, drop-out dari sekolah, wanita perokok, remaja yang hamil dan mengugurkan anak, kena penyakit kotor, tingkat perceraian, yang makan lemak terlalu banyak, dan sebagainya. Islam diatur secara ketat oleh pemerintah melalui Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) atau dalam istilah pemerintah diberi kebebasan untuk mengatur sendiri melalui MUIS itu. Terasa ada kecemasan terhadap Islam karena mungkin dapat mengajak orang yang tak puas dengan kebijakan pemerintahnya untuk ikut dalam jaringan teroris Jamaah Islamiyah seperti terjadi pada tahun 1970-an atau dapat mengaitkan orang Melayu Singapura dengan Dunia Melayu atau Dunia Islam. Maka, ada kemungkinan melalui Islam, orang Melayu dapat mengidentifikasikan dirinya bukan dengan negara, tetapi dengan kelompok etnisnya di Asia Tenggara, sehingga dapat mengguncang stabilitas negara. Pemerintah Singapura menekankan bahwa segala macam program yang ditujukan kepada masyarakatnya dirancang agar masyarakat itu lebih makmur, berbahagia, dan sehat. Dan, memang, pemerintah Singapura telah membuktikan dalam dasawarsa semenjak

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

kemerdekaannya bahwa tingkat kemakmuran, pendidikan, dan kemajuan warga Singapura jauh lebih tinggi dibanding penduduk negara jirannya. Namun, dengan program yang diberlakukan melalui batas-batas etnis, batas antarkaum diperkukuh, apalagi jika ada satu kelompok yang dilihat sebagai anak tiri dalam negara itu. Pengaturan kehidupan warga dalam segala bidang pun mulai ditinggalkan sedikit demi sedikit, karena menghambat pemikiran kreatif yang sekarang sedang digembargemborkan di sekolah dan kancah lainnya. Orang Melayu Singapura telah sudah (di)sadar(kan) bahwa mereka harus bekerja keras untuk memperkecil jurang dengan kelompok lain.1 Sebagian orang Melayu merancang identitas melalui kategori yang sudah ada: agama, adat, dan bahasa. Dengan sendirinya generasi tua atau lansia sering menyatakan kecemasannya terhadap semakin terkikisnya identitas kemelayuan orang-orang Melayu Singapura, khususnya yang muda-mudi. Anak-anak Melayu di Singapura semakin sekuler, kian mengikuti rancak irama kehidupan modern di kota dan telah banyak meninggalkan bahasanya, diganti dengan bahasa kacukan campur Inggris. Banyak program dijalankan oleh tokoh-tokoh kelompok ini dan pemerintah agar para remaja ini tak sampai kehilangan kemelayuan ala Singapuranya: Singapura ingin menunjukkan diri sebagai negara multikultural dengan bagian Melayunya, maka bagian Melayu itu tetap harus dipelihara, betapapun susahnya. Negara kecil yang dapat dibandingkan dengan Singapura dari segi keluasan tanahnya adalah Kesultanan Berunai, yang sepertinya mengiblatkan kemelayuannya pada adat-istiadat di istananya. Kita mengenal Sultan Bolkiah bersama keluarganya sebagai orang kaya yang alim beribadah, dengan rakyatnya serba-makmur karena minyak yang didapatkan di alam sekitarnya. Setidak-tidaknya, citra yang dipresentasikan oleh negara itu ialah sebagai kemelayuan yang taat beragama Islam, berpegang teguh pada adat Melayu, dan berbahasa Melayu tanpa dicampuri bahasa Inggris. Bagaimana keadaannya di Indonesia? Apakah kemelayuan merupakan sebuah label yang digunakan orang untuk berikatan dalam sebuah kelompok, yang menyediakan lambang, sejarah, kebudayaan, dan cara hidup yang lain daripada yang lain, sehingga dapat digunakan sebagai

27

28

JAN VAN DER PUTTEN

hal yang dinamakan identitas? Di Indonesia, orang beretnis Melayu dapat dilacak di beberapa kantong geografis, seperti daerah-daerah pantai Kalimantan, Larantuka di Pulau Flores, Makassar, Palembang, Deli-Sumatra Utara, serta di Riau (Daratan dan Kepulauan). Pelacakan ini berdasarkan pembatasan kelompok-kelompok etnis yang diwarisi dari aparat kolonial Belanda, yang merancangnya pada abad ke-19 dalam upaya mengategorikan semua penduduk di jajahannya menurut semangat taksonomi zamannya, yang juga berefek pada diperkuatnya penguasaan pihak kolonial. Kelompok Melayu menjadi salah satu kelompok etnis minoritas di samping berpuluh-puluh atau malah beratus-ratus, bergantung pada definisinya, kelompok etnis lainnya. Dalam Republik Indonesia, pembentukan identitas nasional jelas dikuasai oleh puak Jawa, yang jumlah penduduknya jauh melebihi masing-masing kelompok lain; dan Melayu boleh dikatakan penyumbang berukuran sedang pada pembentukan identitas nasional pada zaman Orde Baru. Sumbangan yang paling kentara ialah bahasa, suatu kompleks kata, bunyi, dan ungkapan yang merujuk pada sebuah falsafah hidup dan mengatur hidup itu sendiri. Kerajaan Riau-Linggalah yang ditunjuk sebagai daerah yang, konon, bahasa Melayu dapat ditemukan dalam bentuk paling murni oleh para pembesar kolonial. Maka, bahasa Melayu yang digunakan dalam bentuk tertulis di Riau, yang bersebelahan dengan Johor di bawah Inggris, dianggap dasar yang pantas untuk dijadikan bahasa Melayu baku yang diberlakukan di sistem pendidikan di seluruh jajahan. Peneliti kolonial (seperti Von de Wall, Klinkert, Van Ophuijsen) dikirim ke Riau untuk mencatat bahasa itu ke dalam kamus dan tata bahasa, dengan bantuan narasumber cendekiawan pribumi (seperti Raja Ali Haji, Haji Ibrahim, dan Raja Bih). Bahasa Melayu disumbangkan dan hasil pencatatan dibawa ke Betawi, tempat ragam bahasa itu diolah, ditokok tambah, dicampur bahasa-bahasa lain, diintelektualisasi agar cocok menerima serta menyalurkan ilmu modern dari pihak kolonial. Kegiatan nasionalis bahasa yang dikonstruksi atas dasar bahasa Melayu itu kemudian diberi semangat baru agar sesuai dengan upaya membangun negara baru dan mengikat dan menyalurkan semangat para pemuda dalam perang melawan tuan kolonial. Namun, setelah perjuangan kemerdekaan berhasil, bahasa Indonesia itu dibuat semakin abstrak

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

dan makna sebenarnya dikikis agar sifat jelek keadaan sezaman dapat disembunyikan dan hanya para penguasa dapat memahami dan menggunakannya untuk menerapkan sistem penguasaan yang tidak mengikutkan rakyatnya. Begitulah secara ringkas perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia serta kelanjutannya menjadi bahasa pemersatu republik. Walaupun sejarahnya dan kenyataan sosial, budaya, serta politiknya memang unik untuk kasus Indonesia, perjalanan dari bahasa “daerah” menjadi bahasa nasional cukup umum: dalam hal standardisasi atau pencarian bahasa pemersatu lazimnya dasar sebuah bahasa baku itu ialah sebuah bahasa daerah yang berstatus tinggi, yang dicatat, diatur, dimodernisasi, dan disebarkan melalui sekolah-sekolah serta media massa. Uniknya, dalam hal Indonesia, bahasa itu adalah bahasa ibunda sekelompok etnis yang relatif kecil tapi sejak awal zaman telah dipakai dalam perdagangan, penyebaran agama, dan komunikasi lain antar-etnis di Nusantara. Maka, bahasa Melayu itu sebuah bahasa daerah yang beberapa ragamnya telah disebarluaskan di dalam dan di luar Nusantara, jauh sebelum diangkat menjadi bahasa nasional. Akibat proses pembakuan ragam formal bahasa Melayu ini, anakanak sekolah di Pekanbaru, Tanjungpinang, Tanjungbalai, Daik, atau Tembelan belajar bahwa bahasa Riau menjadi dasar bahasa Indonesia, yang memang sedikit-sebanyaknya mirip dengan bahasa ibundanya yang dituturkan di rumah, namun pada saat yang sama disadarkan juga bahwa bahasa itu bukan yang baik dan benar. Pasalnya, bahasa baku jauh lebih pesat perkembangannya daripada bahasa “asli”-nya. Maka, bahasa Riau diturunkan derajatnya menjadi bahasa daerah, sebanding dengan bahasa Jawa, Batak, dan sebagainya. Para penutur asli pun tak pernah dilibatkan ke dalam proses modernisasi dan intelektualisasi bahasanya: orang Belanda, Minang, dan Jawa punya pekerjaan di situ. Walhasil, dalam zaman Orde Baru, waktu proyek pembangunan semakin menyingkirkan kepentingan daerah, para budayawan tergugah dan menggeliat menyuarakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan yang diambil di pusat dan diterapkan di daerah. Protes itu sebagian besar menggunakan bahasa untuk mencuatkan rasa kesal ke permukaan, melalui teriakan dan tulisan di spanduk dalam arak-arakan demonstrasi, juga melalui sajak, cerpen,

29

30

JAN VAN DER PUTTEN

dan novel. Tidaklah terlalu mengherankan jika, dalam menyuarakan protes itu, bahasa daerah dimajukan sebagai corong untuk meluapkan rasa kesalnya, yang pada saat yang sama menampakkan dan memperkukuh identitas daerah. Riau pun tak terkecuali, seperti dinyatakan oleh Will Derks dalam beberapa artikelnya. Dalam artkel tahun 1994, Derks merujuk khususnya pada tanggapan jaringan penyair dan ilmuwan Pekanbaru yang menentang perkembangan bahasa di pusat. Sutardji Calzoum Bahri, yang dijuluki Presiden Penyair, memilih membungkam diri melalui sajak mantranya. Dan penyair lain yang sangat dibanggakan di Riau, Ibrahim Sattah, menampakkan nihilisme linguistiknya melalui sajak nyanyian anak-anak. Penulis lainnya mencoba memengaruhi pusat melalui penulisan karya dalam ragam bahasa yang khas Melayu Riau, dengan kadang-kadang menyediakan daftar kata dengan padanannya dalam bahasa Indonesia, sehingga orang di luar Riau boleh juga memahaminya dan sekaligus menyadarkannya bahwa bahasa Melayu Riau menjadi dasar bahasa baku dan boleh memperkaya bahasa pemersatu itu. Pengarang seperti B.M. Syamsuddin, Hasan Junus, dan Taufik Ikram Jamil tampaknya membalikkan hubungan pusat-pinggiran: dari segi bahasa, Riaulah yang menjadi pusat karena otoritasnya yang diperoleh dari sejarah dan kemurnian bahasanya sebab bahasa ibundanya (lihat: Maier, 2004: 32). Selain menyuarakan protes terhadap bahasa yang disebarkan dari pusat pemerintahan, jelas juga para budayawan menyalurkan protes sosialnya mengenai bagaimana kekayaan alam terkuras oleh tangan-tangan gratil dan loba orang Jakarta tanpa ada manfaat bagi orang Riau yang miskin papa. Dalam artikel yang terbit tahun 1997, Derks mengaitkan protes sosial para penyair itu dengan perkukuhan identitas daerah yang dilakukan dengan suatu himpunan sarana atau unsur yang ia namakan identikit, istilah yang dipinjam dari Hannerz, yang sepertinya dapat juga dikaitkan dengan performative, hal-hal keseharian yang mewakili bangsanya, seperti digunakan Bhabha (lihat: Jones 2002). Contohcontoh yang dikemukakan Derks sederhana: lagu “Hang Tuah” yang digubah pemusik lokal, kartu nama yang bercorak Melayu, lampu merah yang mengeluarkan bunyi lagu “Lancang Kuning” waktu memberitahukan saatnya menyeberang salah satu jalan utama di Pekanbaru. Semuanya menunjukkan bahwa orang sedang berada di

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

suatu negeri Melayu, walaupun tetap di negara Indonesia. Berbagai sumber telah menunjukkan bahwa, selama Orde Baru, suatu regionalisme ditoleransi dan malah juga didorong (sampai batas tertentu), karena adanya anggapan bahwa budaya lokal merupakan local genus dari kebudayaan nasional, walaupun yang diajukan oleh pusat (Bhabha’s pedagogical) adalah kebudayaan priyayi Jawa (lihat: Jones, 2002: 66—67). Maka, di tingkat lokal diperbolehkan bermain budaya karena dengan sendirinya membangun kebudayaan nasional, walau jarang dimasukkan ke dalam konfigurasi kebudayaan tingkat nasional itu. Yang diperbolehkan dan didukung dengan program pemerintah ialah pemugaran situs bersejarah, penubuhan pusat-pusat kebudayaan, penelitian terhadap bahasa dan budaya daerah, dan penyelenggaraan festival budaya dan konferensi ilmiah (Wee, 2002: 13). Derks mengadakan penelitiannya pada awal tahun 1990an, saat garisgaris retak antara pusat dan daerah memang telah tampak dengan nyata, tetapi belum terlalu merenggang menjadi jurang atau melepaskan energi terpendamnya sehingga mengguncangkan Tanah Air. Setelah Soeharto dilengserkan dan Habibie menyediakan kesempatan bagi media massa serta membuka kemungkinan otonomi daerah muncul kembali gejala pemekaran daerah melalui undang-undang otonomi daerah. Semenjak waktu itu timbul berbagai diskusi di kalangan intelektual Jakarta, bagaimana masa depan Indonesia sebagai negara bangsa yang bersatu. Jones (2002) melihat tiga tema dalam diskusi itu: bersatunya berbagai daerah geografis ke dalam suatu negara bukan keadaan yang boleh disebut “kesatuan” namun lebih baik dianggap sebagai proses berkelanjutan yang dapat dinamai “persatuan”; otonomi daerah merangsang persaingan dan daerah-daerah otonom akan lebih mampu mempersiapkan diri untuk bersaing, bukan hanya di tingkat nasional tapi, yang sangat dipentingkan ahli ekonomi, di tingkat dunia (global localism); demokratisasi pejabat di tingkat lokal dan integrasi adat setempat dalam sistem tata negara.

Daratan Melawan Kepulauan Salah satu daerah yang kena pemekaran adalah Provinsi Riau, menjadi Provinsi Riau (Daratan) dan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

31

32

JAN VAN DER PUTTEN

Perceraian kedua daerah itu tak terlalu mengherankan jika melihat keadaan geofisiknya (daratan—kepulauan), hasil daerahnya (hutan/ minyak—hasil laut/pasir/gas), dan susunan penduduknya (Minang/ Melayu/Batak—Melayu/Cina).2 Namun, seperti dipaparkan oleh Andaya (1997), kesatuan di antara kedua daerah itu telah lama berdiri, walau sering juga muncul ketegangan. Daratan dan Kepulauan telah disatukan sejak abad ke-15 dalam sebuah kerajaan yang berpusat di Melaka, walaupun perbatasannya tidak sama dengan perbatasan provinsi yang bertahan sampai awal abad ini dan hubungannya tidak seformal seperti dalam konfigurasi Republik Indonesia. Kesatuan daerah itu bertahan sampai “pihak luar” bercampur tangan, seperti Raja Kecik yang memperoleh dukungan dari Minang dalam perlawanan terhadap Johor yang dibeking oleh Bugis pada abad ke-18 dan Belanda yang mengacaukan lagi konflik yang sudah ada. Dalam zaman kolonial pada akhir abad ke-19, kedua bagian dipisahkan ke dalam dua daerah administrasi di bawah pimpinan masing-masing sampai tahun 1949, lalu disatukan kembali ke dalam Provinsi Sumatra Tengah, beribu kota Bukittinggi. Setelah pemberontakan PRRI tahun 1958, provinsi itu dimekarkan dan Provinsi Riau diwujudkan, mencakup Kabupaten Bengkalis, Kampar, Indragiri, dan Kepulauan Riau, serta Kotapraja Pekanbaru. Fokus Jakarta yang awalnya ada pada kepulauan berdasarkan sejarah Kerajaan Riau-Lingga dialihkan pada daratan karena banyaknya penduduk Cina di kepulauan yang kurang dipercayai dan industri minyak di daratan yang mulai dieksploitasi dengan lebih gencar dan menjadi sumber daya alam yang menggiurkan. Maka, beralihlah ibu kota Provinsi Riau dari Tanjungpinang ke Pekanbaru pada tahun 1959. Seperti digambarkan Will Derks (1994, 1997), Pekanbaru dengan semangat menyuarakan perlawanan terhadap pusat pemerintahan di Jawa sambil memperkukuh identitas lokal yang diartikan sebagai identitas Melayu murni. Di sini timbullah suatu ketegangan karena di daratan itu, khususnya di pusatnya, Pekanbaru, sebagian besar penduduknya adalah orang Minang, yang sudah merantau sejak dahulu kala, dan arus pendatang semakin membengkak saat-saat ekonomi menguat. Bakat orang Minang antara lain dalam bidang bisnis dan pada zaman kolonial awal abad ke-20 juga banyak dipekerjakan oleh Belanda

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

dalam sistem kepemerintahan. Maka, tak mengherankanlah jika orang Melayu tempatan merasa dibanjiri dan lambat laun terpinggirkan oleh pendatang Minang yang cenderung mempertahankan bahasa dan budayanya. Bila kita ketahui bahwa, pada tahun 1971, sekitar 65% dari penduduk Pekanbaru berasal atau keturunan orang Minang (Andaya, 1997:503), boleh dipahami sentimen orang Melayu tempatan dalam merancang dan memperkukuh identitasnya bukan hanya berlawanan dengan “budaya priyayi”, seperti digalakkan di panggung nasional, tapi juga menentang puak Minang yang berada di sekitarnya. Jika dalam perancangan dan perkukuhan identitas itu kita libatkan pencarian sejarah dan budaya yang dibagi bersama atau ditunjukkan sebagai warisan bersama para anggota puak itu, jelas dalam hal identitas Melayu Riau bukanlah “Kaba Cendur Mata” yang dianggap sebagai bagian warisan sastranya atau tarian piring dimasukkan ke dalam tarian khas Melayu, karena keduanya sudah “dikapling” oleh perancangan budaya Minang.3 Untuk identikit Melayu lebih aman dicari lambang khas Melayu, seperti “Lancang Kuning” dan ukiran corak Melayu dan diajukan calon-calon pahlawan nasional yang boleh mewakili semua daerah4 serta digali warisan sastra yang khas Melayu. Dalam hal sastra ini, yang dipromosikan oleh budayawan lokal dan luar ialah buah tangan sekelompok pengarang yang berkumpul di sekitar tokoh pusat Raja Ali Haji pada pertengahan abad ke-19. Cerita sejarah pun dipusatkan pada sejarah kepulauan yang datanya banyak terdapat dalam sumber Melayu dan di luar negeri, yang akhirnya juga menghasilkan dua tokoh dari kepulauan menjadi pahlawan nasional: Raja Haji Fisabillah dan Raja Ali Haji.5 Akhirnya, ketegangan antara Daratan dan Kepulauan terlalu kuat sehingga putus hubungan menjadi dua provinsi, yang dapat dilihat sebagai hasil perkembangan ekonomi di kepulauan yang semakin gencar, dengan Batam yang dikembangkan sebagai pesaing Singapura sejak dibukanya pada tahun 1970-an, pengerukan pasir yang digunakan untuk memperluas Pulau Singapura, dan penemuan gas di Kepulauan Natuna. Kalaupun Daratan barangkali tidak menunjukkan kemunduran dalam hal ekonomi, setidak-tidaknya Kepulauan Riau berhasil mengejar saudara kandungnya. Maka, pecahlah sebuah daerah, dimekarkan menjadi dua, dan

33

34

JAN VAN DER PUTTEN

provinsi baru giat mencari identitas, kelainan, sifat tersendirinya, lalu sepertinya Daratan ibarat bini yang diceraikan lakinya: kesal, kecewa, sakit.6 Betapa tidak, perlawanan terhadap pusat dimulai dan dilakukan sebagian besar di dan dari Pekanbaru dan sebelum otonomi daerah diberlakukan, yakni sebuah gerakan yang dinamai Riau Merdeka ditubuhkan dan mengancam pusat bukan hanya dengan kata-kata. Setelah otonomi berwujud dan sebelum pemekaran Negeri Kata-Kata itu dilangsungkan, para budayawan dan intelektual lainnya menyusun sebuah masterplan yang diberi judul “Visi Riau 2020” yang berisi: “Mewujudkan Provinsi Riau sebagai Pusat Perekonomian dan Kebudayaan Melayu dalam Lingkungan Masyarakat yang Agamis, Sejahtera Lahir dan Batin di Asia Tenggara Tahun 2020”. Menyimak isi Visi Riau 2020 itu terlihat jelas dan tegas: ada dua cita-cita penting untuk Riau ke depan, yakni menjadikan Provinsi Riau sebagai Pusat Ekonomi sekaligus menjadikannya sebagai Pusat Kebudayaan Melayu pada tahun 2020. (Zulmansyah, 2002: 76)

Misi yang berjumlah sembilan butir itu menyatukan ekonomi dan kebudayaan dan di dalam tulisan yang dikutip di atas ini terlihat betapa digembar-gemborkan luasnya jangkauan serta efeknya, sampai-sampai Singapura akan ditaklukkannya dan kesenian tradisional yang “mustahak dilestarikan juga memiliki nilai jual tinggi untuk membentuk imej Riau identik dengan Melayu.” (Ibid., 2002: 82). Kegiatan seni seharusnya dikembangkan terus sehingga dapat mengembalikan Melayu ke peta dunia: Tentu kegiatan tersebut tak hanya sebatas Riau, tetapi dapat juga berkeliling Asia Tenggara, bahkan bila memungkinkan keliling Asia, Eropa, dan bahkan dunia. Bila adat dan tradisi Melayu Riau sudah dibenah dan ditata sedemikian rupa, ditambah pula dengan gencarnya promosi seni dan Budaya Melayu Riau ke pentas Asia Tenggara dan pentas dunia, bukan tidak mungkin dalam tujuh ribu hari ke depan Riau memang dapat menjadi pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara. (Ibid., 2002: 82)

Tidak semua terbitan begitu yakin dan berapi-api melihat masa depan Riau dan kemelayuannya. Saukani al Karim, misalnya, menyerukan agar berhati-hati dengan rencana yang terlalu jauh dan muluk. Yang harus

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

diutamakan dulu adalah pembinaan kebudayaan dan kesenian tradisional. Masalahnya, keadaannya telah mencemaskan, malah ada yang “mati suri”. Maka, dikemukakanlah empat butir usualan untuk memperbaiki keadaannya pada masa kini (Al Karim, 2003). Dalam terbitan yang sama, Muchtar Ahmad juga lebih berhati-hati menyuarakan pendapatnya tentang rancangan yang terlalu jauh jangkauannya itu dan menguraikan dengan argumen logis di mana saja terdapat ranjau di sepanjang jalan menuju ke panggung global. Ia bentangkan apa saja syarat yang harus dipenuhi sebelum masyarakat dapat meraih target seperti itu, dengan titik tolak uraiannya mengenai kebudayaan yang didefinisikan bukan hanya sebagai kesenian, tetapi sebuah konsep termasuk falsafah, agama, ekonomi, serta masalah sumber daya alam dan sumber daya manusianya, yang seharus memadai untuk mendukung perkembangan. Baru kalau kebudayaan seperti itu dapat berdiri denga kukuh, Melayu boleh bersaing dengan peradaban lain bertingkat dunia. Dalam uraian itu juga tercermin tema diskusi seperti dilihat Jones di Jakarta: proyek kebudayaan itu tak pernah selesai karena merupakan sebuah proses dengan wajah yang dihadapkan ke depan, tidak selalu ke belakang; keperluan mengembangkan kreativitas untuk dapat bersaing di tingkat global; pengembangan pemimpin-pemimpin yang tangguh agar berhasil (Muchtar Ahmad, 2003). Dalam wacana yang muncul pada akhir-akhir ini di Pekanbaru dan lain-lain tempat, bukan lagi Indonesia yang menjadi wadah yang menampung ambisi para tokoh di daerah tersebut, tapi sudah mendunia, khususnya terlihat dalam masterplan “Visi Riau 2020” seperti tergambarkan dalam kartun (lihat ilustrasi). Hal ini juga sudah lebih lama berkembang dalam usaha mengumpulkan orang Melayu di seluruh dunia dan mengadakan perhelatan besar-besaran. Festival Budaya Melayu diadakan tahun 1992, Hari Raja Ali Haji diselenggarakan selama bulan Oktober 1996 berpusat di Kepulauan, dan tahun 2003 dikumpulkan orang Melayu sejagat dalam Festival Melayu Sedunia. Ini bersambutan dengan aktivitas yang pada dekade 1990-an digelar di Malaysia dengan Dewan Bahasa dan Pustaka serta pemerintah Kota Melaka yang ingin “menyediakan tempat perjumpaan” untuk orang Melayu dari seluruh pelosok dunia (lihat Maniko Sakai, 2004) dan frasa seperti itu juga

35

36

JAN VAN DER PUTTEN

Ilustrasi 1: Kartun yang memperlihatkan (mantan) Gubernur Saleh Djasit yang membidik dunia dengan bazokanya dalah masterplan “Visi Riau 2020” (sumber: Menuju Riau 2020)

bergema dalam rencana Riau yang muluk tersebut. Tidak begitu jelas apa yang terjadi dengan masterplan ini setelah pemekaran daerah dilakukan dan Provinsi Riau Kepulauan berdiri dengan resmi pada tahun 2004. Namun, saya rasa masih terus diperbincangkan dan dikembangkan, walau sekarang tanpa dana yang dihasilkan Kepri.

Kepulauan Lalu apa yang sedang terjadi di Kepri dengan kebudayaan Melayunya? Sepertinya, selama dua tahun ini, para budayawan sedang giat melobi pemerintah daerah dalam usaha mencari dana untuk membiayai kegiatan kebudayaan. Memang, ini sudah juga dilakukan waktu Orde Baru dan ketika masih menjadi bagian dari Provinsi Riau. Namun, rasanya sekarang lebih gencar dengan hasil yang tampak. Langsung setelah pemekaran, Dewan Kesenian Kepulauan Riau pun diberi status yang setingkat provinsi, dengan Hoesnizar Hood diangkat menjadi ketuanya. Di setiap kabupaten ada pula cabang dewan kesenian itu dan boleh diperkirakan bahwa setiap kabupaten akan menampakkan dan menekankan perbedaan dalam hal seni dan kebudayaan dengan kabupaten lainnya, sehingga wajah budaya akan beragam.

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

Pembentukan identitas khas bagi Kepulauan ialah kegiatan yang khusus ditangani dan didanai oleh pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten atau kota. Telah beberapa dasawarsa, pemerintah daerah itu giat mencari bentuk-bentuk seni yang bisa dijadikan lambang identitas Kepulauan yang dapat dijual kepada wisatawan dan tamu-tamu lain yang datang bertandang ke daerah itu ataupun yang layak dipertunjukkan di acara-acara kebudayaan di dalam negeri atau mancanegara. Kegiatan ini berpusat di Tanjungpinang, yang sekarang telah menjadi pusat administratif untuk tiga bagian pemerintah daerah: Provinsi, Kota Tanjunpinang, dan Kabupaten Kepulauan Riau (walaupun kabupaten sedang dalam proses pemindahan kota kabupatennya ke Kijang, sebelah timur Pulau Bintan). Dalam proses penggenjotan bentuk-bentuk kesenian ini, Pemda Kota Tanjungpinang, khususnya Wali Kota Suryatati A. Manan, yang juga tampil sebagai seniwati dan penyair, mengambil inisiatif untuk menjadikan kotanya sebuah “kota budaya dan pariwisata yang bercitrakan Melayu” (lihat: Kleden-Probonegoro dkk., 2003: 165). Dalam beberapa tahun terakhir ini, jumlah kelompok yang bergiat dalam bidang seni membengkak menjadi paling sedikit 24 yang tercatat di kantor Dinas Pariwisata dan Budaya Kepri di Tanjungpinang itu (Ibid., 2003: 147). Kebanyakan kelompok ini menjadi sanggar tari, yang juga mengajar tari-tarian di sekolah menengah di seluruh kota itu. Pemilahan bentuk seni di antara masing-masing daerah di kepulauan itu pun telah dilakukan, sehingga bentuk teater yang paling layak ditayangkan sebagai “maskot” Kepulauan adalah Mendu yang berasal dari Natuna, tarian yang paling pantas adalah Zapin dari Tambelan, musik yang khas Melayu adalah Gazal yang berpusat di Pulau Penyengat. Sebagian pemilahan ini berdasarkan seleksi alami: grup teater Mendu yang masih ada memang dari Natuna, pemimpin kelompok tari Zapin adalah orang Tembelan, dan sebagainya. Namun, dari segi lainnya, pemilahan ini juga akibat berhasilnya bentuk seni itu mempresentasikan diri sebagai tradisi Melayu yang lain daripada yang lain atau sangat tradisional di pusat, yaitu Kota Tanjungpinang. Walau bagaimanapun, kesenian mulai tampak sebagai suatu bidang yang bisa dilakukan secara profesional dan munculnya banyak sanggar menjamin persaingan sengit untuk mendapatkan proyek dari pemerintah kota (yang juga membuka

37

38

JAN VAN DER PUTTEN

keperluan melobi, dengan hasil orang yang dekat dengan pihak pemerintah kota-lah yang akan mendapat proyek seni itu; lihat: KledenProbonegoro dkk., 2003). Kegiatan di Tanjungpinang tidak hanya terbatas pada penyelenggaraan seni pertunjukan, namun tradisi itu juga dicatat oleh anggota sanggar, seperti Peppy Chandra, seorang koreografer yang memimpin sanggar tari (Ibid., 2003: 186) atau oleh orang seperti Aswandi Syahri, yang sangat giat dalam melacak latar belakang berbagai bentuk seni serta sejarah. Dalam pendahuluan buku tentang Mak Yong, sebuah bentuk teater dengan repertoar tertentu, dia merujuk pada pemilahan bentukbentuk yang telah saya singgung di atas: […] setelah pemekaran wilayah, mau tidak mau dan suka atau tidak suka, persoalan geo-politik dan batas-batas wilayah administrasi pemerintahan akan turut “membagi-bagi” pula “kepemilikan” warisan kesenian tradisional tersebut sebagai identitas yang akan dianjung dibanggakan. Maka Mendu telah lepas menjadi “milik” Kabupaten Natuna; Gurindam 12 lekatlah pada Pulau Penyengat di kota Tanjungpinang; Joget Dangkong terus dikembangkan oleh Kabupaten Karimun; Tari Jogi menjadi identitas Kota Batam; Bangsawan merupakan teater tradisional orang-orang di Kabupaten Lingga. (Aswandi Syahri, 2005a: 1)

Yang tinggal untuk Kabupaten Kepulauan Riau adalah Mak Yong yang berpusat di Pulau Mantang Arang dan Kampung Keke di Bintan. Selain melacak latar belakang Mak Yong, Aswandi juga telah menerbitkan buku kumpulan cerita rakyat (2005b) dan sebuah buku mengenai tokoh sejarah Raja Ali Kelana (2006). Dia sangat giat dalam penulisan dan perekaman budaya dan sejarah, yang merupakan salah satu bidang penting dalam pelestarian budaya dan konfigurasi identitas Provinsi Kepri. Maka, dengan lancar pula buku yang ia tulis diterbitkan oleh pemerintah daerah. Aswandi juga telah memberi catatan tentang perkembangan sastra tertulis di Kepulauan dari zaman “gemilang” di pertengahan abad ke19 sampai kini (Aswandi 2003). Dalam sistem bersastra pun pemerintak daerah, khususnya Pemerintah Kota Tanjungpinang, berupaya mengedepankan sastra tradisional untuk menampakkan Kepri sebagai daerah Melayu murni. Dalam usaha itu, bentuk pantun coba dikembangkan menjadi “maskot dari suku Melayu/ sastra asli Melayu/

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

sastra khas Melayu” (Kleden-Probonegoro, 2003:166). Penggunaan pantun itu—yang sudah lama terbatas pada acara resmi dan pernikahan— ingin diperluas ke lebih banyak bidang dalam kehidupan sehari-hari di Kepulauan, sehingga dipakai dalam permainan anak-anak atau dalam penjalinan hubungan di antara dua sejoli. Bahkan, ada usul untuk mencantumkan pantun ke dalam bilboard di Kota Tanjungpinang, agar lambang budaya Melayu ini memang besar dan dengan jelas akan menguasai street-scape (‘pemandangan jalan’) di kota itu. Pengalihperanan salah satu bentuk puisi Melayu menjadi lambang Kepulauan yang dipamerkan kepada setiap pengunjung Tanjungpinang juga terjadi dengan Gurindam 12 karya Raja Ali Haji pada pertengahan abad ke-19. Saat mendekati Pelabuhan Sri Bintan Pura di kota itu, kita akan melihat ucapan selamat datang ke Tanjungpinang - Kota Gurindam yang terpampang dengan jelas di lereng bukit yang dimahkotai oleh Hotel Top View (dulunya benteng Kroonprins bertengger di situ). Sejak awal tahun 1990-an, Raja Abdulrahman, seorang budayawan yang berasal dari Penyengat, sangat gigih berupaya melestarikan berbagai bentuk seni yang berhubungan dengan sastra warisan Raja Ali Haji dan sanak keluarganya. Salah satu di antaranya adalah Gurindam 12, yang didendangkan dengan berbagai lagu. Berdasarkan kegigihan Raja Abdulrahman inilah Gurindam 12 diangkat menjadi lambang Kota Tanjungpinang, dicetak ulang beberapa kali dalam berbagai bentuk dan akhirnya juga didirikan sebuah Gurindam Center (Februari 2007), yang antara lain telah merekam pendendangan Gurindam oleh Raja Abdulrahman ini ke dalam CD yang dijual di pasar. Pulau Penyengat memang berperan cukup besar dalam rekonfigurasi seni dan identitas daerah ini, yang bermuara pada pendirian sebuah Badan Pengelola Kawasan Budaya Pulau Penyengat pada pertengahan tahun 2006. Badan pengelola ini berencana mendata kembali dan merawat warisan fisik serta mengembangkan kebudayaan non-fisik yang berada di pulau bersejarah itu. Seperti telah dipaparkan Carole Faucher (2005), rekonfigurasi identitas yang terfokus pada penguasa diraja menimbulkan pertentangan dan ketegangan bukan hanya dengan kelompok etnis lain di daerah, tetapi juga dengan anggota kelompok etnis Melayu yang tidak dapat “membuktikan” bahwa mereka ada hubungan dengan silsilah diraja.

39

40

JAN VAN DER PUTTEN

Di samping itu, retradisionalisasi seni dan sastra yang dilakukan pihak pemerintah daerah membawa bahaya “folklorisasi”, yaitu pelestarian bentuk seni hanya agar dapat dipertunjukkan kepada wisatawan serta anak-anak sekolah. Pembekuan seni yang dilakukan atas dasar kebijakan pemerintah daerah bertentangan dengan pengembangan seni yang diusahakan para seniman yang kreatif. Jelas ada hubungan yang serbaambigu antara pihak penguasa yang mengembangkan seni dengan tujuan tertentu dan seniman yang sedikit-sebanyak bergantung pada dana yang dikucurkan oleh pihak pemerintah. Seperti di banyak daerah lain di Indonesia, di Kepulauan pun ada kelompok penyair yang berusaha menjaga keseimbangan di antara menjamin kelanjutan hidup bersama keluarganya dan menyimak kehidupan sosial-budaya di sekitarnya dengan kritis. Penyair-penyair seperti Hoesnizar Hood, Junewal Mukhtar, Mahzumi Dawood, dan Hasan Aspahani bekerja sama dalam berbagai proyek, seperti penerbitan majalah budaya Bahtera (penerbit: Dewan Kesenian Kepulauan Riau, mulai 2003) dan Dua Belas (juga diterbitkan Dewan Kesenian Kepulauan Riau, mulai 2006), yang bermaksud memberi saluran bagi pekerja sastra modern. Di dalam usaha ini, mereka menggabungkan “tradisi” lama yang menjadi latar belakangnya dengan kehidupan modern dan juga mencari kawan penyair di dalam dan luar negeri, yang juga berakibat pada penyebaran suatu citra Kepulauan ke pihak-pihak lain. Usaha ini juga terdapat di dalam beberapa sanggar tari dan teater dan mengandung potensi untuk lebih mengikutsertakan kelompok muda dan mudi dalam pelestarian dan pengembangan budaya Melayu.

Penutup Orang Melayu sedang giat mempersiapkan puaknya untuk menghadapi tantangan yang dibawa perputaran zaman. Daerah yang dari dulu dianggap menjadi pusat Melayu, yaitu Riau, sampai akhir abad lalu memperkuat identitasnya untuk menghadapi budaya priyayi yang terpancarkan dari pusat pemerintah, yang dinamai kebudayaan nasional Indonesia. Setelah otonomi daerah diberlakukan dan juga sebelumnya sudah tampak dalam berbagai kegiatan, perancangan dan pemikiran identitas menerima bahan bakar baru dan, yang tak kurang

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

penting, adalah juga dana. Dalam zaman ketika globalisasi menjadi istilah yang menggiurkan, para budayawan dan cendekiawan Melayu semakin mengarahkan pandangannya melintas perbatasan negaranya dan mencari saudaranya di Malaysia, Singapura, dan bagian lain di dunia. Pemekaran daerah yang menghasilkan Provinsi Kepri menyakitkan berbagai kalangan di Daratan yang sedang merancang masterplan “Visi Riau 2020”-nya. Salah satu sebab rasa perih itu ialah bagian besar dari khazanah sastra dan sejarah terdapat di Kepri, akan tetapi tidak tertutup bagi orang lain untuk menimbanya dan membuahkan hasil dalam karya sastra atau terbitan lainnya. Apalagi, dalam usaha yang sedang dikembangkan oleh para gubernur se-Sumatra, yaitu yang dinamai “Agenda Sumatra” (Sakai dan Morrell, 2006) boleh diperkirakan eksklusivisme daerah tak dapat dipertahankan. Walaupun demikian, Kepulauan tidak akan rela melepaskan citra bahwa daerah itu merupakan suatu daerah penting untuk menata identitas Melayu yang berakar pada sejarah. Provinsi Kepri baru berdiri dan masih menata pemerintahan dan coba mengibas kebingungan dan kekacauan yang muncul akibat pendirian provinsi itu. Namun, inventarisasi kegiatan yang telah digelar sebelum pemekaran diteruskan dan mereka juga semakin giat menata dapur sendiri untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan, misalnya melalui penulisan sejarah sendiri yang diseminarkan tahun 2005 atau rencana agar orang-orang di Kepulauan berbusana Melayu pada hari-hari tertentu, seperti telah dilakukan oleh guru serta murid sekolah setiap hari Sabtu (Hendry Juliardian, 2002). Sekarang, pandangan Kepri masih terarah ke dalam, seperti penyair yang cenderung membahas persoalan di Kepulauan daripada yang lebih umum. Tetapi, barangkali, dalam waktu dekat akan diarahkan ke luar dan akan bergabung tenaganya dengan Daratan serta pihak dalam dan luar negeri lagi untuk merancang strategi menghadapi zaman baru. 2006 di Singapura.

Catatan: 1

Jelas anggapan kolonial bahwa Melayu itu malas dan bodoh masih tetap didaur ulang dan diperkukuh melalui wacana tentang Melayu di media massa. Namun, dalam masa serba-modern ini juga sudah tersedia angka-angka statistik untuk membuktikannya. Dan jelas, angka-angka dapat dipermainkan: yang jelek disulap

41

42

JAN VAN DER PUTTEN

menjadi hebat, yang hebat didiamkan. 2

Perbandingan ini menunjukkan keadaan yang umum dan Batam tidak disertakan: Daratan memiliki jumlah penduduk besar yang berasal atau berketurunan Minang; Kepri Melayu dan Cina, sedangkan Batam dari waktu dibuka dibanjiri pendatang dari daerah lain di Indonesia. Namun, pulau-pulau Kepri yang lain juga semakin didatangi orang luar yang mencari nafkah di provinsi yang sedang berkembang pesat ini (lihat: Andaya, 1997, dan Aris Ananta, 2006). 3

Walaupun begitu ada juga bentuk seni yang jelas berbau Minang yang dianggap sebagai khazanah budaya daerah, seperti “Randai Kuantan” yang dimasukkan ke dalam daftar khazanah itu, di samping Mak Yong, Mendu, dan Bangsawan (Al Karim, 2003: 282). Maka, ada lambang yang mengalami proses lokalisasi, seperti juga Raja Kecik, yang oleh sebagian orang Siak dianggap pejuang Melayu, namun juga pasti menimbulkan pertentangan di kalangan Melayu lain (lihat: mis. Barnard, 1997: 522). 4

Seperti dijelaskan dalam Barnard (1997: 514) tahun 1988 Gubernur Soeripto mencanangkan pencalonan tujuh tokoh yang mau diangkat menjadi pahlawan nasional. Ketujuh tokoh itu dipilih agar mewakili semua daerah di Provinsi Riau, tapi tidak mencakup Raja Kecik. 5

Untuk proses pencalonan Raja Haji, lihat Barnard (1997: 518—522). Raja Ali Haji diberi statusnya pada November 2004 dan menimbulkan pertikaian antara ahli waris dan pemerintah daerah, sampai-sampai situs bersejarah di Penyengat ditutup. Walau bagaimanapun, kesediaan daerah untuk mengajukan tokoh daerah ke panggung nasional memperlihatkan bagaimana orang di daerah “bermain politik” di kedua gelanggang: daerah dan nasional (lihat: Wee, 2002). Jika hanya ingin menentang pusat, untuk apa mencalonkan tokoh dan bersusah payah menjadikannya pahlawan nasional? 6

Lihat misalnya buku yang diterbitkan Tabrani Rab (2002: 90): “[Diadakannya Kongres Rakyat Kepulauan Riau tahun 1954] Bukannya untuk mendirikan Propinsi Riau daratan dan Riau lautan, akan tetapi untuk mendirikan propinsi Riau dengan ibu kota Tanjungpinang. Maka terkutuklah oleh raja-raja Melayu bagi orang yang akan memecah Riau menjadi propinsi daratan dan lautan.”

View more...

Comments

Copyright © 2017 DATENPDF Inc.