PENENTUAN ZONA PENANGKAPAN POTENSIAL DAN POLA ...

May 20, 2016 | Author: Anonymous | Category: Documents
Share Embed


Short Description

PENENTUAN ZONA PENANGKAPAN POTENSIAL DAN POLA MIGRASI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI PERAIRAN KECAMATAN LIUKANG TUPA...

Description

PENENTUAN ZONA PENANGKAPAN POTENSIAL DAN POLA MIGRASI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI PERAIRAN KECAMATAN LIUKANG TUPABBIRING KABUPATEN PANGKEP

SUHARTONO NURDIN

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2009

TESIS

PENENTUAN ZONA PENANGKAPAN POTENSIAL DAN POLA MIGRASI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI PERAIRAN KECAMATAN LIUKANG TUPABBIRING KABUPATEN PANGKEP

Disusun dan diajukan oleh

SUHARTONO NURDIN Nomor Pokok P0104206002

Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis pada tanggal 20 November 2009 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui Komisi Penasihat,

Prof. Dr. Ir. H. Achmar Mallawa, DEA Ketua

Dr. Mukti Zainuddin, S.Pi., M.Sc Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Perikanan,

Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Prof. Dr. Ir. H. Achmar Mallawa, DEA

Prof. Dr. dr. Razak Thaha, M.Sc

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Yang bertanda tangan di bawah ini Nama Nomor mahasiswa Program studi

: : :

Suhartono Nurdin P0104206002 Ilmu Perikanan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan Tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 20 November 2009 Yang menyatakan

Suhartono Nurdin

ABSTRAK SUHARTONO NURDIN. Penentuan Zona Penangkapan Potensial dan Pola Migrasi Ikan Kembung (Rastrelliger spp) Di Perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep (dibimbing oleh Achmar Mallawa dan Mukti Zainuddin). Penelitian ini bertujuan (1) Mengidentifikasi hubungan antara jumlah hasil tangkapan ikan Kembung (Rastrelliger spp) dengan kondisi oseanografi meliputi klorofil-a, suhu permukaan laut, kedalaman, salinitas, dan kecepatan arus (2) Menentukan zona penangkapan potensial dan pola migrasi ikan ikan Kembung (Rastrelliger spp) di Perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep. Penelitian ini menggunakan metode survey dengan data sampling sebanyak 92 titik. Data di analisis menggunakan model regresi (non linear) cobb douglass dengan metode backward. Hasil model kemudian dipetakan menggunakan analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk memperoleh zona penangkapan potensial dan pola migrasi ikan Kembung (Rastrelliger spp). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, Faktor oseanografi yang berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan adalah klorofil-a, suhu permukaan laut, dan kedalaman. Kedua, zona potensi penangkapan ikan Kembung (Rastrelliger spp) yang paling potensial yaitu pada bulan April 2009 dengan posisi 119o22’01,2” - 119o24’28,8” BT dan 4o43’24,3” - 4o45’50,8” LS, dengan luas areal 16,66 km2 (0,0468%) dan jarak ke fishing ground 12,33 mil laut. Ketiga, Pergerakan ikan Kembung (Rastrelliger spp) cenderung mengabaikan kelimpahan klorofil-a yang tinggi disebabkan karena pengaruh faktor suhu yang lebih dominan, dimana pergerakannya berada di sekitar perairan dengan kondisi suhu yang hangat karena daerah tersebut merupakan daerah terjadinya front.

ABSTRACT SUHARTONO NURDIN. The Determining of Potential Fishing Zone and Migration Pattern of Indian Mackerel (Rastrelliger spp) in the Coastal Water of Liukang Tupabbiring District of Pangkep Regency (Supervised by Achmar Mallawa and Mukti Zainuddin). The objectives of the study are to (1) identify the relationship between Indian Mackerel (Rastrelliger spp) and the oceanographic conditions including chlorophyll-a, sea surface temperature, the depth, salinity, and current velocity; (2) predict potential fishing zone and migration pattern of the fish in the coastal waters of Liukang Tupabbiring District of Pangkep Regency. The study was a survey involving a sample of 92 spots. The data were analyzed using Cobb Douglass (non-linear) Regression model with backward method. The Outcome was then mapped out by means of Geographical Information Systems (GIS) to describe the potential fishing zone and migration pattern of Indian Mackerel (Rastrelliger spp).

The study indicates that (1) the oceanographic factors (chlorophyll-a, sea surface temperature, and the depth) influence the catch; (2) the most potential fishing zone of Indian Mackerel is in April 2009, at the longitudes of 119o22’01,2” - 119o24’28,8” E and the latitudes of 4o43’24,3” 4o45’50,8” S with an area size of 16,66 km2 (0,0468%) and the distance to the fishing ground is 12,33 nautical miles, and (3) the movement of the fish tends to ignore high abundance of chlorophyll-a due to the influence of temperature factor is more dominant. Their movement centre in the area with warm temperature because such an area is the front area.

CURRICULUM VITAE

Nama Lengkap

: H. Suhartono Nurdin, S.Pi

Nomor Pokok

: P 0104206002

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Tempat/Tgl. Lahir : Pinrang, 7 Juli 1982 Agama

: Islam

Suku/Bangsa

: Bugis/Indonesia

Alamat Rumah

: Bumi Tamalanrea Permai (BTP) Blok K/458 Tamalanrea, Makassar

Pekerjaan

: Pegawai Negeri Sipil

Instansi

: Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. Sul-Sel

Alamat Instansi

: Jl. Baji minasa No. 12 Makassar

Program Studi

: Ilmu Perikanan

Tanggal Lulus

: 20 November 2009

Nomor Alumni

: 10626

IPK

: 3,86

Predikat Kelulusan : Sangat Memuaskan Judul Tesis

: Penentuan Zona Penangkapan Potensial dan Pola Migrasi Ikan Kembung (Rastrelliger spp) Di Perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep.

Pembimbing

: 1. Prof. Dr.Ir. H. Acmar Mallawa, DEA 2. Dr. Mukti Zainuddin, S.Pi, M.Sc

(Ketua) (Anggota)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan atau yang lebih dikenal dengan nama Kabupaten Pangkep, secara geografis berada diantara 110º 113º BT dan 4º40’ - 8º00’ LS, terletak di wilayah pantai barat Sulawesi Selatan, memiliki luas wilayah keseluruhan sebesar 12.362,73 Km2 dengan luas wilayah laut sebesar 11.464,44 Km2 (www.Pangkep.go.id, 2007). Potensi wilayah laut yang luasnya kurang lebih 92.7% dari total luas wilayahnya, merupakan salah satu modal besar, sebagai penyedia sumberdaya alam hayati yang berlimpah dan beraneka ragam di Kabupaten Pangkep.

Salah satunya adalah sumberdaya perikanan

tangkap, khususnya jenis ikan pelagis kecil yang bernilai ekonomis penting bagi masyarakat setempat. Ikan Kembung (Rastrelliger spp) adalah salah satu jenis ikan pelagis kecil yang paling banyak tertangkap oleh nelayan di Kabupaten Pangkep.

Berdasarkan data lima tahun terakhir, produksinya berkisar

antara 854,9 - 1.823 ton per tahun, jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan jenis lainnya seperti Tembang, Layang, Selar, Lemuru, dll. Akan tetapi dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir produksinya mengalami

penurunan

yang

cukup

signifikan

disebabkan

karena

penurunan jumlah trip/upaya penangkapan (DKP Prov. Sul-Sel, 2009).

Perbandingan total produksi ikan Kembung dengan jenis ikan pelagis kecil ekonomis penting lainnya selama lima tahun terakhir, dari tahun 2004 hingga 2008 dapat dilhat pada Gambar 1 berikut:

Produksi Ikan Pelagi Kecil Ekonomis Penting Kab. (2003-2007) Produksi Ikan Pelagi Kecil Ekonomis Penting Kab. Pangkep Pangkep (2003-2007) Produksi Ikan Pelagis Kecil Ekonomis Penting Kabupaten Pangkep (2004-2008) 2000 2000 1800 1800

Produksi(Ton) (Ton) Produksi

1600 1600 1400 1400

Layang Series1 Series1 Selar Series2 Series2

1200 1200

Tembang Series3 Series3 Lemuru Series4 Series4

1000 1000 800 800

Kembung Series5 Series5

600 600 400 400 200 200 00 2004 2004

2005 2005

2006 2006

2007 2007

2008 2008

Tahun Tahun

Gambar 1.

Perbandingan total produksi ikan Kembung (Rastrelliger spp) dengan jenis ikan pelagis kecil ekonomis penting lainnya dari tahun 2004 hingga 2008 di Kabupaten Pangkep (Sumber: DKP Prov. Sul-Sel, 2009).

Salah satu alat tangkap yang paling efektif digunakan oleh nelayan di Kabupaten Pangkep untuk menangkap ikan Kembung adalah alat tangkap purse seine atau pukat cincin (DKP Kab. Pangkep, 2008). Kegiatan operasi penangkapan ikan oleh nelayan pada umumnya hanya berdasarkan pada pengalaman yang berulang-ulang dan informasi yang berasal dari sesama nelayan. Sementara ketersediaan ikan pada suatu wilayah selalu berubah seiring dengan perubahan lingkungan, dalam hal ini salah satu faktor yang paling besar pengaruhnya adalah faktor oseanografi, baik dalam jangka waktu yang pendek maupun jangka waktu panjang, yang menyebabkan ikan akan memilih tempat yang sesuai

dengan kondisi fisiologinya, dan akan mempengaruhi pola perilaku ikan, berupa

gerak

pindah

untuk

penyesuaian

terhadap

kondisi

yang

menguntungkan bagi eksistensinya. Kondisi tersebut tentu saja berdampak buruk bagi nelayan, karena nelayan tidak mengetahui secara pasti tentang keberadaan ikan yang menjadi target tangkapannya.

Umumnya nelayan berangkat dari

pangkalan bukan langsung menangkap ikan akan tetapi terlebih dahulu mencari lokasi penangkapan sehingga nelayan selalu berada dalam ketidak pastian tentang lokasi yang potensial untuk penangkapan ikan. Hal ini

tentu saja akan menyebabkan pemborosan dalam hal waktu,

tenaga dan biaya operasional penangkapan. Selain itu, hasil tangkapan menjadi kurang optimal dan tidak pasti, sehingga akhirnya akan berimbas pada penghasilan nelayan. Mencermati masalah tersebut di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian tentang dinamika sumberdaya ikan, khususnya ikan kembung di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep dengan menganalisis pola migrasi serta mengidentifikasi dan memetakan daerah penangkapan potensial melalui survey berbagai parameter oseanografi secara langsung serta dipadukan dengan penggunaan teknologi untuk memperoleh data dan informasi tentang karakteristik oseanografi di perairan tersebut.

Dalam hal ini, sebagai alternatif yang sangat tepat

adalah penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang merupakan suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengumpulkan,

menyimpan, menggabungkan, mengatur, mentransformasi, memanipulasi, dan menganalisis data-data geografis. Sehingga output yang dihasilkan nantinya, diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan kembung yang lebih optimal.

B. Rumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan faktor oseanografi terhadap jumlah hasil tangkapan ikan Kembung (Rastrelliger spp)? 2. Dimana zona penangkapan potensial ikan Kembung (Rastrelliger spp) di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep? 3. Bagaimana pola migrasi ikan Kembung (Rastrelliger spp) di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep, serta faktorfaktor yang mempengaruhinya?

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi hubungan antara jumlah hasil tangkapan ikan Kembung (Rastrelliger spp) dengan faktor oseanografi. 2. Menentukan zona penangkapan potensial ikan Kembung (Rastrelliger spp) di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep.

3. Menentukan pola migrasi ikan Kembung (Rastrelliger spp) di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep serta faktorfaktor yang mempengaruhinya.

D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan informasi geografis bagi nelayan, pelaku industri penangkapan ikan serta pemerintah daerah setempat mengenai kondisi daerah penangkapan ikan Kembung (Rastrelliger spp) di perairan Kecamatan

Liukang Tupabbiring

Kabupaten

Pangkep,

sehingga

potensinya dapat di manfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. 2. Sebagai bahan rujukan dan perbandingan pengetahuan untuk penelitian lebih lajut pada waktu, musim, serta lokasi yang berbeda.

E. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah: 1. Terdapat hubungan yang nyata antara kondisi oseanografi dengan jumlah hasil tangkapan ikan Kembung (Rastrelliger spp). 2. Ikan Kembung (Rastrelliger spp) cenderung akan berkumpul pada daerah

yang

memliki

kehidupannya.

kodisi

Fenomena

osenaografi tersebut

yang

dapat

optimum

digunakan

bagi untuk

memprediksi zona penangakapan potensial. 3. Kondisi oseanografi akan menentukan pola migrasi ikan Kembung (Rastrelliger spp).

F. Ruang Lingkup Penelitian

1. Batasan waktu studi Pengambilan sampel dilakukan pada musim Timur yaitu pada bulan April hingga Juni tahun 2009.

2. Batasan wilayah studi Stasiun untuk pengambilan sampel data lapangan pada penelitian ini berada di wilayah perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep, dengan fishing base di pulau Sanane.

Pengambilan data

menggunakan alat tangkap purse seine.

3. Batasan materi studi Batasan materi studi sebagai berikut: 1. Zona penangkapan potensial yang dimaksud adalah pembagian zona penangkapan dengan luas dan posisi lintang-bujur pada wilayah fishing ground penelitian.

Zona tersebut diperoleh

berdasarkan gabungan jumlah hasil tangkapan antara peta zona hasil tangkapan lapangan dengan peta zona hasil tangkapan model prediksi (Y Model). 2. Pola migrasi yang dimaksud adalah pola pergerakan ikan yang didapatkan dari analisis pergerakan daerah penangkapan ikan berdasarkan nilai CPUE prediksi di setiap titik fishing ground yang kemudian dengan teknik SIG dibuatkan model sebagai arah

pergerakan

ikan.

Setiap

titik

penangkapan

dipetakan

menggunakan program ArcView 3.3 yang diplotkan dengan time series per dua hari dan dari model tersebut akan diperoleh pola pergerakan ikan Kembung (Rastrelliger spp) di lokasi penelitian.

G. Landasan Teori

1.

Ikan pelagis adalah kelompok ikan yang berada pada lapisan permukaan hingga kolom air dan mempunyai ciri khas utama, yaitu dalam beraktivitas selalu membentuk gerombolan (schooling) dan melakukan migrasi untuk berbagai kebutuhan hidupnya (Nelwan, 2004).

2.

Ikan pelagis tersebar secara horisontal dan vertikal pada sebagian wilayah.

Daerah penangkapan akan selalu berbeda pada setiap

lintang dan bujur, hal sama juga berdasarkan kedalaman renang ikan (Nomura dan Yamasaki, 1975). 3.

Migrasi yang berhubungan dengan “habitat selection” dikontrol oleh faktor lingkungan (faktor oseanografi) seperti suhu, salinitas dan klorofil-a (kelimpahan makanan ikan) (Mallawa, 2009).

4.

Keadaan suhu lingkungan perairan akan menentukan keberadaan suatu organisme di dalam lingkungan tersebut, dimana setiap kelompok organisme mempunyai kesenangan/toleransi yang berbedabeda (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional,2007).

5.

Perubahan suhu jangka panjang dapat mempengaruhi perpindahan tempat pemijahan (spawning ground) dan fishing ground secara periodik (Reddy, 1993).

6.

Salinitas air berpengaruh pada produksi, distribusi dan lamanya hidup ikan serta orientasi migrasi. Ikan cenderung untuk memilih medium dengan kadar salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya (Gunarso, 1985).

7.

Arus dan perubahannya sangat penting dalam operasi penangkapan, perubahan dalam kelimpahan dan keberadaan ikan

(Laevastu dan

Hela,1970). 8.

Ikan pelagis akan bermigrasi mengikuti pola arus tertentu untuk mendapatkan suhu optimalnya serta mendapatkan daerah yang cocok untuk memijah dan mencari makan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, 2007).

9.

Kedalaman berhubungan erat dengan stratifikasi suhu vertikal, penetrasi cahaya, densitas dan kandungan zat-zat hara. Ikan-ikan pelagis

berkembang habitatnya

atau

berasosiasi

pada

jarak

kedalaman tertentu (Hutabarat dan Evans,1984). 10. Indeks klorofil-a dapat dihubungkan dengan produksi ikan atau menggambarkan tingkat produktivitas dearah penangkapan ikan karena digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplankton pada suatu perairan tertentu (Gower dalam Zainuddin, Dkk., 2007).

11. Produktivitas

primer

suatu

perairan

dapat

membantu

dalam

penentuan lokasi yang potensial untuk penangkapan ikan, karena daerah tersebut akan menjadi tempat sangat di sukai oleh berbagai spesies laut, karena terjadi proses rantai makanan (Nontji, 1993). 12. Pemanfaatan SIG dalam perikanan tangkap dapat mempermudah dalam operasi penangkapan ikan dan penghematan waktu dalam pencarian fishing ground yang sesuai (Dahuri, 2001). 13. Salah satu alternatif yang menawarkan solusi terbaik adalah mengkombinasikan kelautan.

kemampuan

SIG

dan

penginderaan

jauh

Dengan teknologi inderaja faktor-faktor lingkungan laut

yang mempengaruhi distribusi, migrasi dan kelimpahan ikan dapat diperoleh secara berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas (Zainuddin, 2006).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik Ikan Kembung (Rastrelliger spp) Klasifikasi ikan Kembung (Rastrelliger spp) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Kingdom

: Animalia

Phylum

: Chordata

Sub Phylum

: Vertebrata

Class

: Pisces

Sub Class

: Teleostei

Ordo

: Percomorphi

Sub Ordo

: Scombroidea

Family

: Scombridae

Genus

: Rastrelliger

Species

: 1. Rastrelliger kanagurta (Cuvier, 1816) 2. Rastrelliger brachysoma (Bleeker, 1851)

Ciri dari ikan ini umumnya badan relatif memanjang, 2 sirip punggung terpisah, 2 baris bintik hitam dipunggung, perut kekuningan, sebuah bercak hitam di belakang dasar sirip dada.

Sirip ekor sangat

cagak. Ukuran maksimal 34,5 cm – 35 cm (FL). Termasuk ikan bernilai komersial tinggi (Kimura et al., 2007).

Gambar 2. Gambar ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) (Sumber: http://www.fishbase.org/).

Gambar 3. Gambar ikan Kembung Perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Sumber: http://www.fishbase.org/). Ciri lain dari ikan Kembung yakni bersisik cycloid. Bersisik dua, yang pertama berjari-jari keras dan yang kedua sebagian berjari-jari lemah. Badan sebagian bersisik ataupun sama sekali tidak ada. Bentuk badan seperti torpedo/fusiform (Alamsjah, 1974). Ikan Kembung Perempuan dan Kembung Lelaki dapat dibedakan dengan jelas menurut warna dan tinggi badannya. Ikan Kembung Lelaki mempunyai warna biru kehijauan pada bagian punggungnya dan putih kekuningan pada bagian perutnya dan terdapat dua garis bintik-bintik hitam pada sirip dada.

Selain itu mempunyai satu garis warna gelap

memanjang pada bagian atas rusuk dan dua garis keemasan di bawah

garis rusuk. Ikan Kembung Perempuan memiliki sirip punggung berwarna kuning keabuan dengan pinggiran gelap sedangkan sirip dada, perut kuning maya (sedikit gelap) dan tidak sepadat Kembung Lelaki.

Ikan

Kembung Lelaki mempunyai bentuk tubuh yang lebih langsing sedangkan Kembung Perempuan bentuk tubuhnya lebih besar dan pendek. Tapis insang pada ikan Kembung Perempuan lebih halus karena plankton makanannya terdiri atas plankton yang berukuran kecil seperti diatom dan larva-larva kopepod. Ikan Kembung Lelaki tapis insangnya lebih kasar karena makanannya pun merupakan plankton yang berukuran besar (Nontji, 2002). Panjang tubuh ikan Kembung Lelaki dapat mencapai 35 cm tetapi pada umumnya 20 – 25 cm dan Kembung Perempuan memiliki panjang 15 -20 cm dan untuk ukuran besar dapat mencapai 30 cm. Panjang tubuh ikan Kembung Lelaki adalah 3,4 – 3,8 kali tinggi tubuhnya. kepala lebih dari tingginya.

Panjang

Panjang tubuh ikan Kembung Perempuan

adalah 3,1 – 3,4 kali tinggi tubuh. Panjang kepala sama dengan tinggi tubuhnya (Saanin, 1984).

B. Habitat dan Distribusi Ikan Kembung (Rastrelliger spp) Ikan kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial

dan

tertangkap

(Burhanuddin, Dkk., 1984).

hampir

diseluruh

perairan

Indonesia

Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) hidup pada kisaran kedalaman 20 – 90 meter,

daerah penyebarannya di daerah beriklim

tropis, sekitar 34° LU – 24° LS dan 30° BT - 180° BT tepatnya di daerah Indo-West Pacific yaitu di sekitar Laut Merah, sebelah Timur Afrika hingga ke daerah Indonesia, sebelah Utara hingga ke daerah Kepulauan Ryukyu dan China, sebelah Selatan hingga ke daerah Australia, Melanesia dan Samoa. Masuk ke wilayah sebelah Timur Laut Tengah hingga Terusan Suez. Sedangkan ikan Kembung Perempuan (Rastrelliger brachysoma) hidup pada kisaran kedalaman 15 – 200 meter, dengan suhu berkisar antara 20 – 30°C, daerah penyebarannya di daerah beriklim tropis, sekitar 18° LU - 18° LS dan 93° BT - 180° BT, tepatnya di daerah Samudera yaitu di sekitar daerah Laut Andaman hingga ke Thailand, Indonesia, Papua New

Guinea,

Filipina,

(http://www.fishbase.org/).

Kepulauan

Solomon

dan

Fiji

Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4

dan Gambar 5 berikut:

Gambar 4. Daerah penyebaran ikan Kembung Lelaki kanagurta) (Sumber: http://www.fishbase.org/)

(Rastrelliger

Gambar 5. Daerah penyebaran ikan Kembung Perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Sumber: http://www.fishbase.org/)

C. Pola Migrasi Ikan Pelagis Kecil Migrasi populasi adalah sebuah pergerakan terarah yang terus menerus sesuai dengan kemampuannya sendiri dari satu habitat ke habitat lain (Digle, 1996) Ikan pelagis adalah kelompok ikan yang berada pada lapisan permukaan hingga kolom air dan mempunyai ciri khas utama, yaitu dalam beraktivitas selalu membentuk gerombolan (schooling) dan melakukan migrasi untuk berbagai kebutuhan hidupnya (Nelwan, 2004). Ikan pelagis kecil hidup pada daerah pantai yang relatif kondisi lingkungannya tidak stabil menjadikan kepadatan ikan juga berfluktuasi dan cenderung mudah mendapat tekanan akibat kegiatan pemanfaatan, karena daerah pantai mudah dijangkau oleh aktivitas manusia. Menurut Widodo et al. (1998), ikan pelagis kecil mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu:

a) Membentuk gerombolan yang terpencar-pencar. b) Variasi rekruitmen cukup tinggi yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan yang labil. c) Selalu melakukan ruaya baik temporal maupun spasial. d) Aktivitas gerak cukup tinggi yang ditunjukkan oleh bentuk badan menyerupai torpedo. e) Kulit dan tekstur yang mudah rusak, daging berkadar lemak relatif tinggi, mengakibatkan mudah mengalami kerusakan mutu. Sumberdaya ikan pelagis kecil merupakan suatu sumberdaya yang poorly behaved, karena makanan utamanya adalah plankton, sehingga kelimpahannya sangat tergantung kepada faktor-faktor lingkungan. Hal tersebut menyebabkan kelimpahan sumberdaya ini akan berbeda kelimpahannya pada setiap wilayah perairan (Nelwan, 2004). Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, karena terutama penyebaranya adalah di perairan dekat pantai, di daerah-daerah dimana terjadi proses penaikan air (upwelling) dan sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar (Csirke dalam Nelwan, 2004). Ikan tersebar secara horisontal dan vertikal pada sebagian wilayah. Daerah penangkapan akan selalu berbeda pada setiap lintang dan bujur, hal sama juga berdasarkan kedalaman renang ikan. dijelaskan bahwa alasan utama sebagian spesies

Selanjutnya

berkumpul pada

sebagian area disebabkan beberapa hal sebagai berikut: • Ikan akan memilih lingkungan hidupnya sesuai dengan kondisi tubuh.

• Ikan akan mencari sumber makanan yang banyak. • Ikan

akan

mencari

tempat

yang

cocok

untuk

pemijahan

dan

perkembangbiakan (Nomura dan Yamasaki, 1975). Studi mengenai ruaya ikan merupakan hal yang fundamental untuk perikanan, karena dengan mengetahui lingkaran ruaya ikan akan diketahui batas-batas daerah dimana stok atau sub populasi itu hidup. Sama seperti pada binatang lain, ruaya pada ikan biasanya aktif, tetapi kadang-kadang pergerakannya pasif dari satu tempat ke tempat lain. Berdasarkan hal ini terdapat bermacam-macam ruaya pada ikan (Cushing dalam Effendi, 2002). Hamston et. al. (2000) menjelaskan dua tipe pergerakan migrasi ikan: (1) Migrasi karena pengaruh faktor internal (migrasi aktif) yakni pergerakan terarah dari ikan sebagai respon terhadap perubahan ontogenetic dalam kebutuhan biologis.

(2) Migrasi karena

faktor

eksternal (migrasi pasif) yakni pergerakan dalam suatu habitat sebagai sebuah respon terhadap kondisi biotik dan abiotik setempat. Tingkah laku ikan dalam migrasi aktif lebih sering dipicu oleh kebutuhan mencari makan dan reproduksi, seperti pergerakannya menuju daerah pemijahan. Pergerakan ruaya ke daerah pemijahan mengandung tujuan penyesuaian dan peyakinan tempat yang paling menguntungkan untuk perkembangan telur dan larva. Sedangkan migrasi pasif dikontrol faktor lingkungan (faktor oseanografi) seperti suhu, salinitas dan klorofil-a (kelimpahan makanan ikan) (Effendie, 2002).

Dalam beberapa literatur ilmiah juga dikatakan ruaya pengungsian yaitu, ruaya untuk menghindarkan diri dari tempat yang kondisinya tidak baik, atau meninggalkan tempat daerah makanan untuk beruaya ke tempat yang buruk tetapi diperlukan untuk melengkapi daur hidupnya sebagai awal ruaya pemijahan. Hal ini terjadi di daerah yang bermusim empat ada ikan yang melakukan ruaya ”overwintering” yaitu pada musim dingin pergi meninggalkan tempat daerah makanannya menuju ke daerah tempat lain selama musim dingin (Effendie, 2002). Ikan akan mengadakan ruaya, baik itu ruaya pemijahan, ruaya ke daerah makanan dan pembesaran ataupun ruaya pengungsian tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya.

Dalam garis

besarnya faktor-faktor tersebut dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar ialah faktor lingkungan yang secara langsung atau tidak langsung memegang peranan di dalam aktivitas ruaya ikan. Faktor dalam adalah faktor yang terdapat di dalam tubuh

misalnya

sekresi

kelenjar

hormon

dan

lain-lainnya

yang

berhubungan dengan faktor luar tadi (Effendie, 2002). Taksis adalah pergerakan pada ikan disebabkan karena pengaruh faktor luar yang menjadi perangsang. berhubungan dengan ruaya.

Pada ikan taksis ini erat sekali

Sebab-sebab yang menjadi sumber

pengaruh dalam pergerakan ini banyak, namun kesemuanya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu alimetal taksis (trophotaksis), sensori taksis, dan reproduktif taksis.

Klasifikasi taksis yang lebih terperinci adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Klasifikasi taksis dan perangsangnya (Effendie, 2002) Kelompok Gerakan

Alimetal taksis (Trophotaksis)

Sensor Taksis

Nama Gerakan 1. Bromotaksis

- Nurisi

2. Branchiotaksis

- Pernafasan

3. Thermotaksis

- Suhu

1. Phototaksis

- Cahaya

2. Chimiotaksis

- Garam-garam terlarut

- Halotaksis

- Bau dari obyek yang

- Osmotaksis

Reproduksi Taksis

Perangsang

terendam (makanan)

3. Rheotaksis

- Arus

1. Gamotaksis

- Lawan jenis

D. Alat Tangkap Purse Seine Purse seine adalah jaring yang umumnya berbentuk empat persegi panjang tanpa kantong dengan banyak cincin di bagian bawahnya dan digunakan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan dan berada dekat dengan permukaan air (sea surface). Seperti juga pada alat penangkapan ikan lainnya, maka satu unit purse seine terdiri dari jaring, kapal, dan alat bantu (roller, lampu, dan sebagainya).

Cara operasinya adalah dengan

melingkarkan jaring ini mengurung gerombolan ikan. Setelah ikan terkurung

bagian bawah jaring ditutup dengan menarik tali yang dilewatkan pada cincin-cincin di bagian bawah jaring (Martasuganda, 2004).

Sedangkan

menurut Burhanuddin, Dkk. (1984), purse Seine digolongkan jenis jaring lingkar yang cara operasinya dengan melingkarkan jaring pada suatu kelompok ikan pada suatu perairan. Selanjutnya dikatakan bahwa alat ini merupakan perkembangan jaring pantai (beach seine) dan jaring lingkar (ring net). Disebut pukat cincin karena alat tangkap ini dilengkapi dengan cincin dimana terdapat “tali cincin” (purse line) atau tali “kerut” di dalamnya. Fungsi cincin dan tali kerut tersebut agar jaring yang semula tidak berkantong akan terbentuk kantong pada tiap akhir penangkapan (Subani dan Barus, 1989). Prinsip penangkapan ikan dengan purse seine ialah melingkari gerombolan ikan dengan jaring, sehingga jaring tersebut membentuk dinding vertikal, dengan demikian gerakan ikan ke arah horisontal dapat dihalangi. Setelah itu, bagian bawah jaring dikerucutkan untuk mencegah ikan lari ke arah bawah jaring (Sudirman dan Mallawa, 2004). Sumberdaya ikan yang menjadi tujuan penangkapan purse seine adalah ikan-ikan “pelagic shoaling species” yang berarti ikan-ikan tersebut haruslah membentuk shoal (gerombolan), berada dekat degan permukaan air (sea surface) dan sangatlah diharapkan densitas shoal tersebut tinggi yang berarti jarak ikan dengan ikan lainnya haruslah sedekat mungkin (Ayodhyoa, 1981). Jenis-jenis tersebut pada umumnya disebut sebagai

ikan pelagis yang hidupnya senang berkelompok (shoaling) seperti ikan Layang (Decapterus sp), ikan Kembung (Sardinella

spp),

Cakalang

(Rastrelliger sp), Lemuru

(Katsuwonus

pelamis)

dan

lain-lain

(Renjaan,1981). Purse seine termasuk salah satu alat tangkap utama yang menangkap Ikan Kembung. Alat tangkap ini paling efisien menangkap Ikan Kembung dengan bantuan cahaya dilihat dari rasio jumlah total ikan berukuran komersil yang tertarik oleh cahaya dan jumlah total ikan yang tertangkap (Ben-Yami, 1987).

E. Daerah Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan adalah suatu daerah perairan tempat ikan

berkumpul

dimana

dapat

dilakukan

penangkapan.

Daerah

penangkapan ikan dibedakan menurut sifat daerah perairan, jenis ikan yang tertangkap dan alat tangkap yang digunakan. Tidak dapat dikatakan bahwa semua bagian laut didiami oleh ikan.

Ikan tersebar secara

horisontal dan vertikal pada sebagian wilayah.

Daerah penangkapan

akan selalu berbeda pada setiap lintang dan bujur, hal sama juga berdasarkan kedalaman renang ikan (Nomura dan Yamasaki, 1975). Gunarso (1985) menyatakan bahwa ada beberapa daerah penangkapan ikan, yakni pada perbatasan atau pertemuan arus panas dan arus dingin yang disebut dengan front, pada daerah terjadi pembalikan lapisan air (upwelling), terjadinya arus pengisian (divergensi) dan lain sebagainya.

Lebih lanjut dikatakan bahwa faktor musim dan

perubahan

suhu

mempengaruhi

tahunan

penyebaran

serta ikan

berbagai serta

keadaan

kelimpahan

lain

suatu

akan daerah

penagkapan ikan (fishing ground). Daerah penangkapan yang harus dicari adalah perairan yang kaya dengan jenis ikan pelagis yang senang hidup berkelompok (shoaling) di permukaan dalam jumlah yang cukup besar, arus perairan tidak terlalu deras dan terarah, kedalaman perairan harus lebih dalam daripada lebar jaring dan perairan tersebut tidak berbatu, agar tidak merusak jaring (Renjaan, 1981).

F. Faktor Oseanografi

1. Klorofil-a Klorofil-a menentukan

merupakan

produktivitas

salah primer

satu di

parameter laut

yang

sangat

(Presetiahadi,

1994).

Produktivitas primer suatu perairan dapat membantu dalam penentuan lokasi yang potensial untuk penangkapan ikan, karena daerah tersebut akan menjadi tempat sangat di sukai oleh berbagai spesies laut, karena terjadi proses rantai makanan (Nontji, 1993). Konsentrasi klorofil-a biasa disebut dengan pigmen photosintetik dari phytoplankton. Pigmen ini dianggap sebagai indeks terhadap tingkat produktivitas biologis.

Di perairan laut, indeks klorofil ini dapat

dihubungkan dengan produksi ikan

atau

menggambarkan tingkat

produktivitas dearah penangkapan ikan karena digunakan sebagai ukuran

banyaknya fitoplankton pada suatu perairan tertentu. Keberadaan konsentrasi klorofil-a diatas 0.2 mgm-3 mengindikasikan keberadaan plankton yang cukup untuk menjaga kelangsungan hidup ikan-ikan ekonomis penting (Gower dalam Zainuddin, Dkk., 2007). Brown (1989) menyatakan bahwa nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara 500 – 1500 m. Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplaknton pada suatu

perairan

tertentu

dan

dapat

digunakan

sebagai

petunjuk

produktivitas perairan. Menurut Nontji (2002) nilai rata-rata kandungan klorofil di perairan Indonesia sebesar 0,19 mgm-3, nilai rata-rata pada saat berlangsung musim

timur (0,24

mgm-3) menunjukkan

dibandingkan musim barat (0,16 mgm-3).

nilai yang lebih besar

Daerah-daerah dengan nilai

klorofil tinggi mempunyai hubungan erat dengan adanya proses penaikan massa air/upwelling. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografi fisika suatu perairan. Sebaran klorofil-a dilaut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan

pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai.

Tingginya sebaran

konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrient dalam jumlah besar melalui runn-of dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrient dari daratan secara langsung (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, 2007).

2. Suhu Laevastu dan Hela (1970) menyatakan bahwa suhu di laut sangat mempengaruhi

aktivitas

metabolisme

maupun

pengembangbiakan

organisme. Disamping itu suhu berperan terhadap jumlah oksigen (O2) terlarut dalam air.

Semakin tinggi suhu maka semakin kecil kelarutan

oksigen dalam air, sedangkan kebutuhan oksigen bagi ikan dan organisme lain semakin besar karena tingkat metabolisme semakin tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi suhu permukaan laut adalah penguapan, arus permukaan, keadaan awan, radiasi matahari, gelombang, pergerakan konveksi, upwelling, divergensi, muara sungai pada daerah estuaria dan garis pantai.

Kemudian

ditambahkan oleh (Nontji, 2002) bahwa suhu permukaan air dipengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan cahaya matahari.

Walaupun fluktuasi suhu air kurang bervariasi, tetapi tetap merupakan faktor pembatas karena organisme air mempunyai kisaran toleransi suhu yang sempit (stenoterm). Perubahan suhu air juga akan mempengaruhi kehidupan dalam air.

Selain itu suhu berpengaruh

terhadap keberadaan organisme di perairan, banyak organisme termasuk ikan melakukan migrasi karena terdapat ketidaksesuaian lingkungan dengan suhu optimal untuk metabolisme (Nybakken, 1992). Keadaan suhu lingkungan perairan akan menentukan keberadaan suatu organisme di dalam lingkungan tersebut, dimana setiap kelompok organisme

mempunyai

kesenangan/toleransi

yang

berbeda-beda.

Perubahan suhu 0,5 oC sudah merupakan perubahan yang cukup signifikan bagi ikan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional,2007). Fluktuasi suhu dan perubahan geografis ternyata bertindak sebagai faktor penting yang merangsang dan menentukan pengkonsentrasian serta pengelompokan ikan. Tiap spesies ikan menghendaki suhu yang optimum, dan perubahan temperatur musiman juga mempengaruhi perilaku kelompok ikan sama jenis, berarti berbeda kelompok spesies ikan berbeda pula pengaruhnya. Temperatur merupakan indikator ekologi untuk mencari lingkungan dengan temperatur optimum, sehingga menyebabkan ikan melakukan migrasi secara vertikal, dan horizontal yang berhubungan dengan musim (mendekati atau menjauhi pantai) (Hasyim dan Chandra, 1996).

Reddy (1993) menyatakan bahwa lapisan permukaan laut yang hangat terpisah dari lapisan dalam yang dingin oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat yang disebut thermoklin atau lapisan diskontinuitas suhu.

Suhu pada lapisan permukaan adalah seragam

karena percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan ini dikenal sebagai lapisan percampuran (mixed layer).

Mixed layer

mendukung kehidupan ikan-ikan pelagis, secara pasif mengapungkan plankton, telur ikan, dan larva, sementara lapisan air dingin di bawah thermoklin mendukung kehidupan hewan-hewan bentik dan hewan laut dalam.

Perubahan

suhu

jangka

panjang

dapat

mempengaruhi

perpindahan tempat pemijahan (spawning ground) dan fishing ground secara periodik. Nontji (2002) menyatakan bahwa pada saat terjadi penaikan massa air (upwelling), lapisan thermoklin ini bergerak ke atas dan gradiennya menjadi tidak terlalu tajam sehingga massa air yang kaya zat hara dari lapisan dalam naik ke lapisan atas.

Fluktuasi jangka pendek dari

kedalaman thermoklin dipengaruhi oleh pergerakan permukaan, pasang surut, dan arus.

Di bawah lapisan thermoklin suhu menurun secara

perlahan-lahan dengan bertambahnya kedalaman.

Fluktuasi dan

perubahan geografis merupakan faktor penting yang dapat merangsang dan menentukan pengkonsentrasian serta pengelompokan ikan.

Suhu

beserta perubahannya juga merupakan faktor penting dalam penentuan dan penilaian daerah penangkapan ikan.

Reddy (1993) menyatakan bahwa ikan adalah hewan berdarah dingin, yang suhu tubuhnya selalu menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan mempunyai kemampuan untuk mengenali

dan

memilih

range

suhu

tertentu

yang

memberikan

kesempatan untuk melakukan aktivitas secara maksimum dan pada akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya. Suhu air laut adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme

maupun

perkembangbiakan

(Hutabarat dan Evans, 1984).

dari

organisme

tersebut

Ditambahkan oleh Laevastu dan Hela

(1970) bahwa keadaan suhu lingkungan perairan akan menentukan keberadaan suatu organisme di dalam lingkungan tersebut, dimana setiap kelompok organisme mempunyai kesenangan/toleransi yang berbedabeda. Perubahan suhu 0,10C sudah merupakan perubahan yang cukup signifikan bagi ikan. Suhu permukaan laut merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat dominan bagi keberadaan dan fenomena sumberdaya hayati laut dan dinamikanya.

Citra suhu permukaan laut

(SPL) dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui pola distribusi SPL, arus di suatu perairan, dan interaksinya dengan perairan lain serta fenomena upwelling dan thermal front di perairan tersebut

yang

(Priyanti,1999).

merupakan

daerah

potensi

penangkapan

ikan

Suhu di permukaan perairan nusantara kita umumnya berkisar antara 28 – 31ºC. Perairan ini terdiri atas laut Jawa, Flores, Selat Malaka, Laut Sulawesi, Laut Cina Selatan, Selat Makassar, Selat Sunda di lokasi dimana penarikan air (Up Welling) terjadi, misalnya di laut Banda, suhu air permukaan bisa turun sampai berkisar sekitar 25ºC, ini disebabkan karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke atas (Nontji, 1993). Menurut Lursinap et al. dalam Burhanuddin, S. dkk (1984) bahwa faktor lingkungan dan dasar perairan serta biota dasar perairan sangat berpengaruh pada proses pemijahan, untuk ikan Kembung yang akan melakukan pemijahan mencari daerah yang mempunyai kisaran suhu antara 28,0 0C – 29,34 0C.

3. Kedalaman Perairan Indonesia pada umumnya dapat dibagi dua yakni perairan dangkal yang berupa paparan dan perairan laut dalam. Paparan atau perairan laut dangkal adalah zona laut terhitung mulai garis surut terendah hingga pada kedalaman sekitar 120 – 200 m, yang kemudian biasanya disusul dengan lereng yang lebih curam ke arah laut (Nontji,1993). Kondisi

bathymetri

memberikan

informasi

mengenai

tingkat

kedalaman suatu perairan dan tofografi lautnya. Kondisi ini mempunyai hubungan dengan keadaan sirkulasi air misalnya peristiwa pusaran eddy, daerah frontal dan area upwelling yang sangat penting untuk menemukan daerah yang potensial untuk menangkap ikan. Faktor kedalaman sangat berpengaruh dalam pengamatan dinamika oseanografi dan morfologi

pantai seperti kondisi arus, ombak, dan transpor sedimen. Selanjutnya dikatakan bahwa kedalaman berhubungan erat dengan stratifikasi suhu vertikal, penetrasi cahaya, densitas dan kandungan zat-zat hara. Dengan hubungan yang erat tersebut memungkinkan suatu kondisi yang membentuk ciri khas tersendiri dimana ikan-ikan pelagis berkembang habitatnya atau berasosiasi pada jarak kedalaman tertentu (Hutabarat dan Evans,1984). Adanya layer atau lapisan yang berbeda pada kedalaman berbeda berdasarkan lintang dan bujur pada bagian perairan. Fokus pada bidang equator dimana jarak antara permukaan dan lapisan thermoklin tidak terlalu jauh dibandingkan daerah/bagian yang lain dimana suhu permukaan dan lapisan thermoklin dicapai pada lapisan yang sangat jauh (Brown, 1989).

4. Salinitas Menurut Nontji (1993), salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat garam yang terlarut dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan 0

/00 (per mil, gram perliter). Tidak semua organisme laut dapat hidup di air dengan konsentrasi

garam yang berbeda. Secara mendasar, ada 2 kelompok organisme laut, yaitu organisme euryhaline, yang toleran terhadap perubahan salinitas, dan organisme stenohaline yang memerlukan konsentrasi garam yang konstan dan tidak berubah.

Kelompok pertama misalnya adalah ikan

yang bermigrasi seperti salmon, belut, lain-lain yang beradaptasi sekaligus

terhadap air laut dan air tawar.

Sedangkan kelompok kedua, seperti

udang laut yang tidak dapat bertahan hidup pada perubahan salinitas yang ekstrim (Reddy, 1993). Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses penguapan dimana garam-garam akan mengendap atau terkonsentrasi. Daerah-daerah yang mengalami penguapan yang cukup tinggi akan mengakibatkan salinitas tinggi.

Berbeda dengan keadaan suhu yang

relatif kecil variasinya, salinitas air laut dapat berbeda secara geografis akibat pengaruh hujan lokal, banyaknya air sungai yang masuk ke laut, penguapan dan edaran massa air (King dalam Presetiahadi, 1994). Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai.

Di

perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kedalaman 50-70 meter atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Di lapisan dengan salinitas homogen suhu juga biasanya homogen, kemudian di bawahnya terdapat lapisan pegat dengan degradasi densitas yang besar yang menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah (Nontji, 1993). Menurut Nybakken (1988), nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar, air laut, curah hujan, musim, topografi, estuaria, pasang surut dan laju evaporasi.

Salinitas air berpengaruh pada produksi, distribusi dan lamanya hidup ikan serta orientasi migrasi. Salinitas berkaitan erat dengan gejala tekanan osmotik antara sitoplasma dari sel-sel dalam tubuh ikan dengan keadaan salinitas di sekitarnya. Ikan cenderung untuk memilih medium dengan kadar salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya (Gunarso, 1985). Faktor lingkungan dan dasar perairan serta biota dasar di tempat pemijahan telah diamati oleh Lursinap et al. dalam Burhanuddin, S. dkk (1984), yang menyatakan bahwa kisaran salinitas yang sesuai dengan daerah pemijahan ikan Kembung yakni 32 – 32,5 %o.

5. Arus Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan dalam densitas air laut, maupun oleh gerakan bergelombang panjang, misalnya pasang surut. Di laut terbuka, arah dan kekuatan arus di lapisan permukaan sangat banyak ditentukan oleh angin (Nontji, 2002). Ditambahkan oleh Nybakken (1988) bahwa

angin

mendorong

bergeraknya

air

permukaan

sehingga

menghasilkan suatu gerakan arus horizontal yang lamban, tetapi mampu mengangkat volume air yang sangat besar melintasi jarak dilautan. Keadaaan arus ini mempengaruhi pola penyebaran organisme. Pada peralihan musim Barat – Timur (Februari – April) arah arus bergerak ke Timur dengan massa air dari laut Jawa mendorong masuk ke Laut Timur, sebagaian arus mengarah ke Utara memasuki Selat Makassar kemudian berbelok mendekati perairan pantai Sulawesi dan bergerak

kembali menuju ke arah Timur. Pada musim Timur (Mei – Juli) arah arus dari Timur ke Barat memasuki Laut Jawa dan arah arus dari Laut Sulawesi bergerak dari Utara ke Selatan melalui Selat Makassar. Pada peralihan musim Timur – Barat (Agustus – Oktober) arah arus melemah ke Barat memasuki Laut Jawa dan arah arus ke Selatan melewati Selat Makassar. Dan sebagian arus bergerak ke arah Barat Laut sebagai pertanda akhir musim peralihan (Yahya. Dkk., 2000). Fishing ground yang paling baik biasanya terletak pada daerah batas antara dua arus atau di daerah upwelling dan divergensi. Batas arus (konvergensi dan divergensi) dan kondisi oseanografi dinamis yang lain (seperti eddies), berfungsi tidak hanya sebagai perbatasan distribusi lingkungan bagi ikan, tetapi juga menyebabkan pengumpulan ikan pada kondisi ini.

Pengumpulan ikan-ikan yang penting secara komersil

biasanya berada pada tengah-tengah arus eddies. Akumulasi plankton, telur ikan juga berada di tengah-tengah antisiklon eddies. Pengumpulan ini bisa berkaitan dengan pengumpulan ikan dewasa dalam arus eddy (melalui rantai makanan) (Reddy, 1993). Arus

dan

perubahannya

sangat

penting

dalam

operasi

penangkapan, perubahan dalam kelimpahan dan keberadaan ikan (Laevastu dan Hela,1970).

Ikan bereaksi secara langsung terhadap

perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh arus dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada arus.

Arus tampak jelas dalam organ

mechanoreceptor yang terletak garis mendatar pada tubuh ikan.

Mechanoreceptor adalah reseptor yang ada pada organisme yang mampu memberikan informasi perubahan mekanis dalam lingkungan seperti gerakan, tegangan atau tekanan. Biasanya gerakan ikan selalu mengarah menuju arus (Reddy, 1993). Menurut Gunarso (1985), Ikan juga ternyata memanfaatkan arus laut untuk melakukan pemijahan, mencari makan ataupun sehubungan dengan proses-proses pengembangannya. Hal ini dapat dilihat pada larva ikan yang hanyut dari areal pemijahan (spawning ground) menuju areal pembesaran (nursery ground) yang berdekatan dengan areal makan (feeding area) mereka. Ditambahkan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (2007) bahwa Ikan pelagis akan bermigrasi mengikuti pola

arus

tertentu

untuk

mendapatkan

suhu

optimalnya

serta

mendapatkan daerah yang cocok untuk memijah dan mencari makan. Faktor-faktor lain yang menentukan keberadaan suatu sediaan (stock) adalah salinitas, kandungan oksigen, kecerahan dan lain-lain. Dalam pengoperasian alat tangkap khususnya yang menggunakan jaring seperti purse seine, trawl, cantrang, bagan rambo dan gillnet, faktor arus

sangat

mempengaruhi

keberhasilan

operasi

penangkapan.

Umumnya alat tangkap jaring hanya dapat memberikan toleransi terhadap kecepatan arus sampai kecepatan 3 knot. Misalnya pada purse seine, ketika kecepatan lebih dari 3 knot maka kegiatan pelingkaran akan sangat susah untuk dilaksanakan bahkan umumnya terjadi kegagalan (Sudirman dan Mallawa, 2004).

G. Sistem Informasi Geografis (SIG)

1. Konsep dasar sistem informasi geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) atau singkatan bahasa Inggrisnya GIS (Geographic Information System) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi bereferensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah data base. Para praktisi juga memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian dari sistem ini (Anonim,2007). Menurut Burrough dalam Dahuri, dkk (2001) bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan himpunan alat (tool) yang digunakan

untuk

pengumpulan,

penyimpanan,

pengaktifan,

sesuai

kehendak, pentransformasian, serta penyajian data spasial dari suatu fenomena nyata permukaan bumi untuk maksud-maksud tertentu. Lebih lanjut Paryono dalam Hanafi (2004) menjelaskan bahwa teknologi ini berkembang pesat sejalan dengan perkembangan teknologi informatika atau teknologi komputer. Teknologi komputer mampu menangani basis data (data base), menampilkan suatu gambar (grafik) dan merupakan salah satu alternatif yang dipilih untuk menyajikan suatu peta. Dimana dapat menghasilkan informasi berharga yang diperoleh dari hasil analisis yang diprogramkan padanya.

SIG merupakan sistem informasi yang bersifat terpadu, karena data yang dikelola adalah data spasial. Dalam SIG data grafis diatas peta dapat disajikan dalam dua model data yaitu model data raster dan model data vektor (Spasial). Model data raster merupakan data yang dinyatakan dengan grid atau cell (baris, Kolom), sedangkan model data vektor menyajikan data grafis (titik, garis, polygon) dalam struktur format vektor atau dalam koordinat (x,y). Struktur data vektor merupakan suatu cara untuk membandingkan informasi garis dan areal ke dalam bentuk satuansatuan data yang mempunyai besaran, arah, dan keterkaitan (Burrogh, 1986 dalam Dahuri, dkk., 2001). SIG merupakan alat yang dapat digunakan untuk menunjang pengelolan sumberdaya yang berwawasan lingkungan.

Pemanfaatan

teknologi dalam perikanan tangkap dapat mempermudah dalam operasi penangkapan ikan dan penghematan waktu dalam pencarian fishing ground yang sesuai. Dengan pengaplikasian sistem informasi georafis dalam perikanan tangkap diharapkan

dapat mengurangi biaya operasi

dari kapal ikan, merencanakan manajemen penangkapan yang efektif bagi sumberdaya perikanan laut, evaluasi potensi sumberdaya perikanan laut (Dahuri, 2001).

2. Komponen-komponen sistem informasi geografis SIG merupakan sistem yang kompleks dan terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem yang lain, baik ditingkat fungsional maupun jaringan (Yousman, 2003).

Komponen penting dalam SIG terbagi atas 5

komponen yakni pelaksana, perangkat keras, perangkat lunak, prosedur dan data. Secara global kelima komponen tersebut dapat disederhanakan menjadi tiga komponen yakni: sistem komputer (perangkat keras, perangkat

lunak, dan

prosedur);

data dan organisasi pelaksana

(Prahasta,2004). Berdasarkan

komponen

tersebut

diatas

maka

SIG

pada

penerapannya, harus mempunyai kapasitas berfungsi sebagai: 

Pengumpulan dan pemasukan data yaitu SIG sebagai sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan dan mengintegrasikan data-data yang berhubungan dengan posisiposisi di permukaan bumi.



Pembentukan data base yaitu SIG sebagai kombinasi perangkat keras dan perangkat lunak untuk mengelola dan memetakan informasi spasial berikut dengan data atributnya dan akurasi data kartografi.



Analisis yaitu SIG sebagai teknologi informasi yang dapat menganalisis dan menampilkan, baik data spasial maupun non spasial.



Penerapan aplikasi dan produk yaitu SIG sebagai perangkat lunak yang langsung dapat mempresentasikan real world di atas monitor dan dapat menghasilkan out put data geografi dalam bentukbentuk: peta tematik, tabel, grafik, laporan dan lainnya.

Menurut Prahasta, (2001) bahwa SIG terdiri dari beberapa komponen antara lain: 

Perangkat Keras.



Perangkat lunak.



Data dan informasi.



Manajemen.

3. Keunggulan sistem informasi geografis Beberapa keuntungan pengolahan data berbasis komputer yang erat kaitannya dengan SIG (Salamun, 2001) antara lain: 

Penyimpanan

data (digital) lebih terjamin dan mudah diatur

dibanding penyimpanan data konvensional. 

Penggunaan data yang sama (dari sekumpulan peta) dapat dikurangi sebab data digital punya basis data sehingga data yang tersimpan dalam basis data dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan dalam aspek yang berbeda.

Kualitas data digital

grafis jauh lebih konsisten. 

Pekerjaan revisi menjadi lebih mudah (karena dapat dilakukan secara terpisah) serta cepat (karena basis data digital mampu menangani data dalam jumlah banyak). Produktivitas para pelaksana yang bekerja dalam proses pengumpulan, pengelolaan analisis dan distribusi data akan bertambah.



Analisis, pencarian dan penyajian data menjadi lebih mudah sebab SIG data mempunyai klasifikasi yang jelas (bukan berdasarkan skala dan tema saja). Dengan demikian akan mudah mencari jawaban untuk hal-hal seperti keterdekatan, ada apa (daerah pertanian, permukiman), informasi tentang potensi lahan dan daerah mana yang potensial dijadikan areal pengembangan kota dan sebagainya.

4. Hubungan aplikasi SIG dengan zona potensial penangkapan ikan Masalah

yang

umum

dihadapi

adalah

keberadaan

daerah

penangkapan ikan yang bersifat dinamis, selalu berubah/berpindah mengikuti pergerakan ikan. Secara alami ikan akan memilih habitat yang lebih sesuai, sedangkan habitat tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografi perairan.

Dengan demikian daerah potensi penangkapan

ikan sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi perairan.

Kegiatan

penangkapan ikan akan menjadi lebih efisien dan efektif apabila daerah penangkapan ikan dapat diduga terlebih dahulu, sebelum armada penangkapan ikan berangkat dari pangkalan.

Salah satu cara untuk

mengetahui daerah potensial penangkapan ikan adalah melalui studi daerah

penangkapan

ikan

dan

hubungannya

oseanografi secara berkelanjutan (Priyanti, 1999).

dengan

fenomena

Salah satu alternatif yang menawarkan solusi terbaik adalah mengkombinasikan kemampuan SIG dan penginderaan jauh kelautan. Dengan

teknologi

inderaja

faktor-faktor

lingkungan

laut

yang

mempengaruhi distribusi, migrasi dan kelimpahan ikan dapat diperoleh secara

berkala,

cepat

dan

dengan

cakupan

area

yang

luas

(Zainuddin,2006). Penentuan daerah penangkapan ikan menggunakan metode analisis data inderaja dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit yang dihasilkan terhadap beberapa parameter fisika, kimia dan biologi perairan. Hal yang dilakukan diantaranya adalah pengamatan suhu permukaan laut (SPL), pengangkatan massa air (up-welling) ataupun pertemuan dua massa air yang berbeda (sea front) dan perkiraan kandungan klorofil di suatu perairan (Zainuddin, 2006). Hasil pengamatan tersebut dituangkan dalam bentuk peta kontur, sehingga dapat diperkirakan tingkat kesuburan suatu lokasi perairan atau kesesuaian kondisi perairan dengan habitat yang disenangi suatu gerombolan (schooling) ikan berdasarkan koordinat lintang dan bujur. Selanjutnya armada penangkap ikan dapat bergerak ke lokasi tersebut untuk

melakukan

(Zainuddin,2006).

penangkapan

ikan

dengan

cepat

dan

tepat

Menurut Priyanti (1999), pengamatan suhu permukaan laut dilakukan dengan menggunakan data satelit AQUA yang berkaitan dengan fenomena oseanografi khususnya monitoring fenomena upwelling, thermal front dan fenomena laut lainnya yang harus dilakukan dengan menggunakan data MODIS, karena tidak memerlukan data dengan resolusi spasial yang tinggi mengingat wilayah perairan laut yang sangat luas, tetapi memerlukan resolusi temporal (repetitive time) yang cukup tinggi misalnya setiap 4 jam. MODIS

(Moderate-resolution

Imaging

Spectroradiometer)

merupakan salah satu sensor yang dimiliki EOS (Earth Observing System) dan dibawa oleh dua wahana yang diproduksi oleh NASA yaitu Terra dan Aqua. Sensor Modis merupakan turunan dari sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer), SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field of view sensor) dan HIRS (High Resoution Imaging Spectrometer) yang dimiliki

EOS

yang

sebelumnya

telah

mengorbit

(http://modis.gsfc.nasa.gov/). Kelebihan sensor Modis dibandingkan dengan sensor global lainnya adalah dalam hal resolusi spasial 250 m, 500 m dan 1 km. Adapun kelebihan lainnya berupa kalibrasi radiometrik, spasial dan spektral

dilakukan

waktu

mengorbit,

peningkatan

akurasi/presisi

radiometrik, peningkatan akurasi posisi geografis. Sensor MODIS terdiri dari 36 band yang mencakup kanal-kanal dari satelit NOAA (National Oceanic Atmosphire Administration), SeaWiFS, HIRS dan satelit global lainnya, sehingga dapat digunakan untuk mengukur parameter dari

permukaan laut hingga ke atmosfer seperti mengukur suhu permukaan air laut, konsentrasi klorofil-a, kandungan uap air dan fenomena-fenamena laut

seperti

terjadinya

(http://modis.gsfc.nasa.gov/).

upwelling,

thermal

front

dan

lain-lain

H. Kerangka Pikir Penelitian Nelayan Aktifitas Penangkapan Tidak Efektif dan Efisien

Zona Penangkapan Potensial dan Pola Migrasi Ikan Kembung (Rastrelliger spp)

Purse Seine

Data Base

Data Lapangan

Faktor Oseanografi      

Data Sekunder: Bakosurtanal DKP

Data Citera Satelit (AQUA/MODIS)

Hasil Tangkapan

Faktor Oseanografi  Klorofil-a  Suhu 

Klorofil-a Suhu Kedalaman Salinitas Arus

Analisis Data    

Uji Normalitas Uji-F Uji-t Analisis Cobb Douglas

Analisis S.I.G

User:  Nelayan  Industri Penangkapan  Akademisi  Pemerintah Daerah

 Peta Zona Potensi Penangakapan Ikan Kembung (Rastrelliger spp)  Peta Pola Migrasi Ikan Kembung (Rastrelliger spp)

Gambar 6. Kerangka pikir penelitian

Penentuan zona potensial penangkapan dan pola migrasi ikan Kembung sangat penting dilakukan karena melihat fenomena yang terjadi di nelayan, dimana dalam operasi penangkapan ikan sering terjadi aktifitas penangkapan yang tidak efektif dan efisien sehingga dampaknya akan merugikan nelayan. Studi ini dimulai dengan terlebih dahulu melakukan penyusunan data base melalui pengumpulan data lapangan yang terdiri dari: data faktor oseanografi (klorofil-a, suhu, kedalaman, salinitas dan arus); dan data hasil tangkapan. Pengumpulan data lapangan ini dilakukan dengan cara ikut serta dalam operasi penangkapan pada alat tangkap purse seine. Berikutnya adalah data faktor oseanografi (klorofil-a dan suhu permukaan laut) yang diperoleh dari data citra satelit AQUA/MODIS; yang terakhir adalah data sekunder berupa data potensi ikan Kembung di Kabupaten Pangkep yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi-Selatan dan peta digital Sulawesi-Selatan dari Bakosurtanal. Data lapangan dan data citra satelit AQUA/MODIS kemudian dianalisa secara statistik melalui uji: normalitas, uji-F, uji-t dan analisis cobbdouglass.

Setelah semua data memenuhi syarat, dilanjutkan dengan

analisis sistem informasi geografis (SIG) menggunakan software utama yaitu ArcView 3.3. Hasil analisis inilah yang kemudian menghasilkan output berupa peta zona potensi penangkapan dan peta pola migrasi ikan Kembung, sehingga dapat dimanfaatkan oleh user (nelayan, pelaku industri penangkapan, akademisi, dan pemerintah setempat).

BAB III

METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Juni 2009, di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep (Gambar. 7) dan Laboratorium Kualitas Air Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.

Gambar 7. Peta lokasi penelitian

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian diuraikan pada tabel 2 dan 3 berikut: Tabel 2. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian Nama Alat

Kegunaan

Alat Tangkap Purse Seine

Menangkap ikan

Global Position System (GPS)

Menentukan titik sampling

Tali

Mengukur Kedalaman

Handrefraktometer

Mengukur salinitas

Thermometer

Mengukur suhu

Layangan Arus

Mengukur kecepatan arus

Stop Watch

Mengukur kecepatan arus

Timbangan

Menimbang hasil tangkapan

Cool Box

Menampung sampel klorofil-a

Botol Sampel

Menyimpan sampel klorofil-a

Kamera digital

Merekam kegiatan

Alat Tulis Menulis

Mencatat data

Komputer

Mengolah data

Tabel 3. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian. Nama Bahan

Kegunaan

Ikan Kembung (Rastrelliger spp)

Identifikasi jumlah hasil tangkapan

Data Potensi Perikanan Kabupaten Pangkep

Deskripsi potensi perikanan

MgCO3

Mengawetkan air sampel

Peta digital Sulawesi Selatan dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal)

Pembuatan peta ZPPI dan Pola Migrasi

Data Citra Satelit (suhu dan klorofil-a) dari satelit AQUA/MODIS

Pembuatan peta ZPPI dan Pola Migrasi

Peta Rupa Bumi

Pembuatan peta ZPPI dan pola migrasi

ArcView 3.3, ENVI 4.3, SPSS 12, MS. Office

Mengolah dan menganalisis data penelitian

Kuisioner

Pengambilan data lapangan

C. Metode Penelitian

1. Parameter Pengamatan Parameter utama yang diamati adalah jumlah hasil tangkapan ikan kembung (kg) dan faktor oseanografi yang terdiri dari klorofil-a (mgm-3), suhu (oC), kedalaman (m), salinitas (0/00), dan kecepatan arus (ms-1). 2. Pengumpulan Data Berdasarkan sasaran yang ingin di capai, maka penelitian ini menggunakan dua kelompok data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data hasil pengamatan langsung dilapangan pada operasi penangkapan ikan meliputi jumlah hasil tangkapan, pengukuran parameter oseanografi serta data kuisioner (ukuran kapal, jaring, alat bantu penangkapan, proses penangkapan, serta daerah dan musim penangkapan). Data sekunder berupa data potensi perikanan Kabupaten Pangkep yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan, peta digital Sulawesi Selatan

dari

Badan

Koordinasi

Survei

dan

Pemetaan

Nasional

(Bakosurtanal), data citra satelit (suhu dan klorofil-a) dari satelit AQUA/MODIS

dan

didownload

(oceancolor.gsfc.nasagov).

dari

NASA

data

base

3. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian adalah sebagai berikut : a. Tahap persiapan Tahap persiapan ini meliputi studi pendahuluan yaitu studi literatur, penyiapan data sekunder, penyusunan proposal, observasi lapangan, konsultasi dengan dosen pembimbing dan pihak-pihak terkait lainnya serta menyiapkan peralatan yang digunakan dalam kegiatan penelitian. b. Tahap penentuan stasiun Penentuan stasiun pengambilan sampel dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) yang diplot dengan Peta Digital Kabupaten Pangkep.

Penentuan stasiun berdasarkan titik daerah

penangkapan nelayan setempat dengan tingkat keterwakilan dari areal yang disurvei bersamaan dengan proses hauling. Jumlah titik koordinat yang diambil adalah 92 titik. c. Tahap pengambilan data Pada saat hauling dilakukan pengambilan dan pencatatan data parameter oseanografi (klorofil-a, suhu, kedalaman, salinitas, dan arus), jumlah hasil tangkapan ikan kembung dan data kuisioner sebagai data pendukung.

Pengambilan data dilakukan dengan pengukuran dan

wawancara langsung dengan nelayan.

Adapun prosedur pengukuran

parameter oseanografi dan pengambilan data hasil tangkapan ikan kembung sebagai berikut:

a) Pengukuran kandungan klorofil-a Pengambilan sampel air laut yang dilakukan pada setiap kali hauling untuk selanjutnya dilakukan pengukuran klorofil-a, caranya yaitu air laut dimasukkan ke dalam botol sampel dan diberi 3 ml larutan MgCO3, kemudian disimpan di dalam coolbox agar sampel air tidak terkena cahaya matahari sehingga metabolisme klorofil-a dapat terhenti.

Selanjutnya air sampel

tersebut di bawah ke laboratorium untuk di lakukan pengukuran kandungan klorofil-a. Proses pengukuran kandungan klorofil-a di laboratorium adalah sebagai berikut: 

Air laut disaring dengan menggunakan kertas saring yang terbuat dari bahan organik berukuran 0.45 µm, agar semua fitoplankton yang terdapat pada air tertangkap oleh kertas saring yang dipasang pada alat penyaringan (filter holder). Penyaringan mulai dilakukan dibantu dengan menggunakan pompa hisap kemudian volume air yang telah disaring dicatat.



Bilas dengan larutan megnesium karbonat (MgCO3) ± 10 ml kedalam filter holder dan hisap kembali air suling sampai filter nampak kering. Ambil filter hasil penyaringan dan bungkus dengan aluminium foil (beri label) dan simpan ke dalam desikator aluminium yang berisi silika gel kemudian simpan dalam freezer.



Tambahkan 10 ml larutan aceton 90 % ke dalam tabung 15 ml yang telah berisi sampel (filter) dan kocok sampai filter larut dalam larutan aceton.



Centrifuge (memisahkan larutan dengan endapan) larutan tersebut dengan putaran 4000 rpm selama 30 – 60 menit. Periksa cairan yang bening dengan menuang cairan tersebut ke dalam kuvet 1 cm dan periksa absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 750, 664, 647 dan 630 nm.



Untuk menghitung kandungan klorofil-a, absorbansi dari panjang gelombang yang diukur (664, 647, dan 630 nm) dikurangi dengan absorbansi pada panjang gelombang 750 nm. Pengurangan tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan nilai absorbansi yang dilakukan oleh klorofil-a, karena pada panjang gelombang 750 nm terdapat penyerapan yang dilakukan oleh klorofil-a (hanya faktor kekeruhan sampel). Kandungan klorofil-a dapat dihitung dengan rumus berikut:

 Klor  a

11,85x664  1,54 xE 647  0,08xE 630xVe Vsxd

Dimana: E 664

=

Absorbansi 664 nm - absorbansi 750 nm

E 647

=

Absorbansi 647 nm - absobansi 750 nm

E 630

=

Absorbansi 630 nm - absobansi 750 nm

Ve

=

Volume ekstrak aceton (ml)

Vs

=

Volume contoh air yang disaring (liter)

d

=

Lebar diameter kuvet (1 cm, 10 cm, 15 cm)

Selain itu digunakan data sebaran klorofil-a yang diperoleh dari data citra satelit AQUA/MODIS. b) Pengukuran suhu Pengukuran suhu dengan menggunakan thermometer yang dilakukan pada setiap kali hauling. Selain itu, juga digunakan data suhu permukaan laut yang diperoleh dari data citra satelit AQUA/MODIS. c) Pengukuran kedalaman Pengukuran kedalaman perairan dengan menggunakan metode batu duga yang dilakukan pada setiap kali hauling. Caranya yaitu mula-mula pemberat yang telah dihubungkan dengan tali diturunkan. Setelah mencapai dasar perairan maka bagian tali yang berada tepat di permukaan air diberikan tanda. Kemudian tali dinaikkan dan panjang tali dihitung dari tanda tersebut hingga ke pemberat, sehingga di diperoleh kedalaman perairan tersebut. d) Pengukuran salinitas Pengukuran salinitas dengan menggunakan handrefractometer yang dilakukan pada setiap kali hauling.

e) Pengukuran arus Pengukuran kecepatan arus permukaan dengan menggunakan layangan arus yang dilakukan pada setiap kali hauling. Caranya yaitu pelampung layangan arus diturunkan dan bersamaan dengan itu stopwatch di on-kan, kemudian tali diulurkan hingga terentang dengan sempurna dan stopwatch diof-kan. Kemudian dilakukan perhitungan panjang tali (m) dibagi dengan lama waktu yang digunakan hingga tali terentang sempurna (detik), hasilnya adalah kecepatan arus (ms-1). f) Pencatatan data hasil tangkapan Hasil tangkapan yang berada di dek disortir.

Ikan kembung

dipisahkan dari tangkapan yang lain, kemudian dimasukkan ke dalam keranjang lalu ditimbang dan di catat total beratnya dalam Kilogram (Kg).

Pencatatan jumlah hasil tangkapan

tersebut dilakukan pada setiap kali hauling.

4. Analisis Data a. Analisis kondisi oseanografi dan hasil tangkapan Pengolahan

data

dilakukan

dengan

menggunakan

bantuan

Software SPSS (Statistical Product and Service Solution) 12. Penelitian ini dilakukan di lapangan dengan berbagai faktor yang sulit untuk dikontrol yang dapat mempengaruhi terjadinya bias pada data hasil pengukuran, sehingga pada penelitian ini menggunakan tingkat kepercayan sebesar 90%. Artinya tingkat kesalahan yang diperbolehkan adalah sebesar 10%

(0,1).

Kondisi oseanografi dan hasil tangkapan dianalisis dengan

beberapa metode statistik sebagai berikut: a) Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk menguji kenormalan distribusi data yang diperoleh di lokasi penelitian. Ada dua cara untuk melihat kenormalan data yaitu secara visual dan dengan uji statistik.

Secara visual menggunakan grafik dan histogram

dengan asumsi yang digunakan berdasarkan grafik normal probability yang terbentuk, jika titik menyebar disekitar garis normal, maka data tersebut dapat dikatakan telah berdistribusi normal, begitu pula sebaliknya (Santosa, dkk., 2005). Uji normalitas data dengan uji statistik digunakan Lilliefors Test (Kolmogorov-Smirnov Test).

Hipotesis yang digunakan yaitu

HO: data berdistribusi normal, H1: data tidak berdistribusi normal. Jika nilai signifikan lebih besar 0,1 maka hipotesis tentang data berdistribusi normal akan diterima (gagal tolak HO), dan jika lebih kecil 0,1 maka data tidak berdistribsi normal (terima H1). b) Analisis Model Fungsi Cobb-douglas Untuk

mengetahui

hubungan

variabel

tak

bebas:

hasil

tangkapan ikan kembung (Y) terhadap hasil pengukuran variabel bebas: klorofil-a (X1), suhu (X2) kedalaman (X3), salinitas (X4) dan kecepatan arus (X5) maka digunakan analisis

cobb-douglas (Pratisto, 2004). Formulasi dari analisis tersebut sebagai berikut : Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + e

Persamaan ini kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma, sebagai berikut:

Log Y = Log a+ b1 LogX1 + b2 LogX2 + b3 LogX3 + b4LogX4 + b5 LogX5 + e

Dimana : Y a b1 b2 b3 b4 b5 X1 X2 X3 X4 X5 e

= = = = = = = = = = = = =

Total hasil tangkapan Koefisien potongan (Konstanta) Koefisien regresi parameter Klorofil-a Koefisien regresi suhu Koefisien regresi Kedalaman Koefisien regresi salinitas Koefisien regresi arus Klorofil-a (mgm-3) Suhu (0C)) Kedalaman (m) Salinitas (‰) Kecepatan Arus (ms-1) Standar Error

c) Analisis Varians (Uji F) Pengujian ini dilakukan untuk menguji pengaruh variabel bebas (independent) secara bersama

terhadap variabel tak bebas

(dependent). Dari tabel Anova didapatkan nilai significance F dimana jika lebih kecil dari 0,1 berarti nyata dan jika lebih besar dari 0,1 berarti tidak nyata (Sudjana, 1996).

d) Analisis Koefisien Regresi (Uji t) Pengujian ini dilakukan untuk melihat pengaruh masing-masing variabel bebas (independent) terhadap variabel tak bebas (dependent) sehingga diperoleh model regresi terbaik.

Dari

tabel summary output didapatkan nilai significance t dimana jika lebih kecil dari taraf hipotesis 0,1 berarti nyata, dan jika lebih besar dari 0,1 berarti tidak nyata (Sudjana, 1996). b. Analisis sistem informasi geografis (SIG) a). Zona penangkapan potensial ikan kembung Pada tahapan ini terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan: 1) Tahap pertama Memasukkan

peta

digital

Sulawesi

Selatan

untuk

mendapatkan gambaran lokasi penelitian, dan sekaligus penentuan batasan wilayah penelitian. 2) Tahap ke dua Melakukan

suatu

topologi

yakni

penyusunan

atau

pemasukkan semua data atribut/database dalam bentuk file Database (*dbf) berupa data parameter oseanografi (suhu, salinitas, arus, klorofil-a, dan kedalaman) serta hasil tangkapan. Hal ini dilakukan untuk membangun hubungan antara data spasial dengan data atribut setiap parameter yang digunakan. Proses ini menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3.

3) Tahap ke tiga Melakukan interpolasi terhadap hasil tangkapan lapangan dan

hasil

tangkapan

prediksi

(hasil

analisis)

untuk

mendapatkan peta tematik dalam bentuk data spasial. Metode yang digunakan untuk interpolasi adalah Inverse Distance Weightness (IDW) yang mengasumsikan bahwa tiap titik input mempunyai pengaruh yang bersifat lokal yang berkurang terhadap jarak. Metode ini memberi bobot lebih tinggi pada sel yang lebih jauh.

Titik-titik pada radius

tertentu dapat digunakan dalam menentukan nilai luaran tiap lokasi.

Setelah interpolasi dilakukan, maka akan terlihat

pembagian zonasi secara otomatis.

Proses ini juga

menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3. 4) Tahap ke empat Penyajian hasil analisis berupa grafik tabel dan gambar dalam bentuk zona potensi penangkapan ikan dan disertai penjelasan deskriptif.

Menampilkan peta hasil analisis

dengan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3 dan melayoutnya.

Kriteria

penentuan

zona penangkapan

potensial tersebut ditentukan secara otomatis oleh program ArcView GIS 3.3 dengan sistem quartil.

Proses pemasukan data satelit (parameter suhu dan klorofil-a) ke program ArcView 3.3 dapat dilihat pada Gambar 8 berikut:

NASA Data base

Klorofil-a

Suhu

Download

Data HDF

Software ENVI 4.3

Data ASCII

Microsoft Excel

Data DBF

ArcView 3.3 Gambar 8. Proses pemasukan data citra satelit kedalam software ArcView 3.3

b). Pola migrasi ikan kembung (Rastrelliger spp) Untuk mendapatkan pola migrasi ikan Kembung maka daerah potensi sumberdaya ikan Kembung tersebut dipetakan dengan menggunakan teknik SIG (posisi penangkapan dan CPUE prediksi harian).

Selanjutnya pola pergerakan migrasi ikan

diidentifikasi dengan menggunakan pergerakan pusat gravitasi daerah penangkapan ikan. Untuk menentukan pola pergerakan ikan pada tiap-tiap posisi (x dan y) pada jangka waktu tertentu digunakan persamaan sebagai berikut (Lehodey et al ., 1997):

Gx 

 long (C / F )  (C / F )

dan

Gy 

 lat (C / F )  (C / F )

Dimana : x

=

Posisi ikan dalam derajat pada garis bujur

y

=

Posisi ikan dalam derajat pada garis lintang

(c / f) =

CPUE prediksi (kg)

Pola pergerakan ikan yang terbentuk berdasarkan rumus pusat gravitasi kemudian diplot ke peta untuk mendapatkan pola pergerakan ikan kembung selama penelitian dan selanjutnya dioverlay dengan parameter oseanografi untuk mendapatkan hubungan antara pergerakan ikan, hasil tangkapan dan kondisi oseanografi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 9 berikut:

Pengumpulan Data

Data Base

Data Lapangan

Faktor Oseanografi     

Data Satelit

Hasil Tangkapan (Y)

Klorofil-a (X1) Suhu (X2) Kedalaman (X3) Salinitas (X4) Arus (X5)

AQUA/MODIS  Klorofil-a  Suhu

Analisis Data

Normalitas Data

Analisis Data  Uji-F  Uji-t  Analisis Cobb Douglas

“dbf” file  Hasil Tangkapan  Faktor Oseanografi  Pergerakan Pusat Grafitasi

Analisis SIG

Plotting

Interpolasi IDW / Spline

Lay Out

Prediksi Zona Potensial Penangkapan dan Pola Migrasi Ikan Kembung (Rastrelliger spp)

Gambar 9. Prosedur analisis SIG untuk penentuan zona penangkapan potensial dan pola migrasi ikan Kembung (Rastrelliger spp)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Daerah Penangkapan

Fishing base dari alat tangkap Purse seine di Perairan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep berada di pulau Sanane Desa Mattiro Adae dengan posisi 119o 20’ 31” BT dan 4

o

56’ 39,5” LS. Waktu yang

diperlukan untuk sampai ke fishing ground tergantung jarak dari fishing base ke fishing ground. Fishing ground terjauh ditempuh sekitar 3 jam dengan kecepatan kapal maksimal 5-6 mil/jam, sedangkan untuk fishing ground terdekat di tempuh sekitar 2 jam. Banyaknya titik penangkapan yang diperoleh selama penelitian berjumlah 92 titik penangkapan.

B. Deskripsi Alat Tangkap Purse Seine

1. Kapal Purse Seine Konstruksi kapal purse seine yang digunakan oleh nelayan di perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep pada umumnya sama dengan konstruksi kapal purse seine yang digunakan oleh nelayan di daerah lain. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan setempat, secara umum kapal yang digunakan selama penelitian mememiliki ukuran utama yaitu panjang (L) = 17 - 19 meter, lebar (B) = 3,5 - 4 meter dan tinggi

(D) = 1,15 – 1,30 meter. Kapal tersebut dilengkapi dengan tiga buah mesin yakni mesin utama dengan kekuatan 40 HP, mesin bantu dengan kekuatan 27 HP, serta mesin roller untuk menarik tali kolor yang menggunakan bahan bakar solar.

Konstruksi kapal purse seine yang

digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 10 berikut:

Gambar 10. Unit alat tangkap purse seine yang digunakan selama penelitian

2. Alat Tangkap Purse seine Jaring purse seine yang digunakan di Perairan Kecamatan Liukang

Tupabbiring

Kabupaten

Pangkep

terbuat

dari

bahan

multifilament. Ukuran utama jaring yang digunakan yaitu panjang 500 – 600 meter, lebar (dalam) 40 – 50 meter dengan ukuran mata jaring (mesh size) 1 inchi. Tiap unit jaring memiliki pelampung berjumlah 1.000 – 1.800 buah yang terbuat dari bahan sintesis (plastik) berbentuk bola dengan diameter 11 cm. Pelampung tersebut dipasang pada tali ris atas dengan

jarak antar pelampung 25 – 50 cm. Selain itu, terdapat pula pemberat berupa cincin sebanyak 375 – 400 buah yang dipasang pada tali ris bawah yang berfungsi untuk membantu mengkerucutkan jaring. Cincincincin tersebut terbuat dari bahan timah hitam dengan diameter 12 - 15 cm dengan berat tiap cincinnya kurang lebih 500 gram. Jarak antar pemberat 1 meter. Sedangkan untuk tali ris atas dan tali ris bawah menggunakan tali dari bahan polyethylene.

Gambar 11. Alat tangkap purse seine yang digunakan selama penelitian 3. Alat Bantu Penangkapan Alat bantu penangkapan yang digunakan oleh nelayan purse seine di Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep adalah lampu petromaks.

Lampu tersebut ditempatkan di atas sekoci.

Umumnya

nelayan melakukan operasi penangkapan pada malam hari dengan menggunakan bantuan cahaya lampu petromaks sebagai atraktor untuk menarik perhatian ikan. Jumlah lampu petromaks yang umum digunakan

adalah 6 buah untuk setiap sekoci dan setiap satu alat tangkap purse seine menggunakan 2 - 3 buah sekoci. Sekoci yang digunakan memiliki ukuran panjang (L) 4 - 5 meter, lebar (B) 0,5 – 0,7 meter dan tinggi (D) 0,4 - 0,6 meter.

Gambar 12. Sekoci yang digunakan selama penelitian

4. Metode Penangkapan Nelayan purse seine di Pulau Sanane umumnya meninggalkan fishing base pada waktu siang atau menjelang sore hari, tergantung target fishing

ground

yang

akan

di

tuju.

Bila

lokasinya

jauh

maka

pemberangkatan bisa lebih awal yaitu sekitar pukul 14.30 - 15.00 WITA. Tetapi bila lokasinya dekat, waktu pemberangkatan sekitar pukul 15.30 16.00 WITA. Setelah tiba di lokasi penangkapan yang dimaksud, saat menjelang malam hari sekitar pukul 17.30 - 18.00, nelayan terlebih dahulu mencari lokasi yang cocok untuk penempatan sekoci (pemasangan lampu

petromaks). Caranya yaitu dengan mengukur kedalaman dan tofografi perairan dengan menggunakan tasi yang diikatkan dengan pemberat. Apabila pemberat telah sampai di dasar perairan maka akan menimbulkan getaran pada tasi. Berdasarkan pengalaman, dengan merasakan getaran tersebut, nelayan dapat memprediksi topografi perairan. Penentuan fishing ground adalah wewenang dan tanggung jawab dari fishing master dalam hal ini adalah nakhoda. Apabila nakhoda telah menentukan fishing ground, maka sekoci dilepaskan untuk berlabuh jangkar. Satu orang nelayan bertanggung jawab untuk setiap sekoci, dan harus berada di atas sekoci tersebut mulai dari berangkat dari fishing base hingga saat selesai dilaukan hauling pada sekoci miliknya. Pada saat hari mulai gelap, nelayan yang bertanggung jawab pada masing-masing sekoci akan menyalakan lampu petromaks.

Lampu

tersebut ditempatkan di sisi kanan dan kiri sekoci. Setelah ikan sudah cukup terkonsentrasi di sekitar sekoci (lampu petromaks), nelayan yang berada di atas sekoci tersebut akan memberikan tanda kepada nakhoda untuk segera melakukan pelingkaran jaring.

Pada saat pelingkaran jaring, kapal melaju dengan kecepatan

tinggi agar kedua ujung jaring dapat dipertemukan secepat mungkin untuk menghindari gerombolan ikan meloloskan diri. Ada pun urutan proses penangkapan secara singkat adalah sebagai berikut:

1. Pelampung tanda dilemparkan pada posisi yang telah ditentukan oleh nahkoda dengan melihat arah arus untuk mengetahui arah hanyutnya jaring pada saat pelingkaran. 2. Kemudian kapal penangkap dengan kecepatan penuh melingkari gerombolan ikan yang berada di sekitar sekoci sambil menurunkan jaring dan pemberat. 3. Apabila kapal bertemu kembali dengan ujung jaring yang pertama kali dibuang, mesin kapal dimatikan dan pelampung tanda dinaikkan diatas kapal. 4. Tali kolor segera digulung dengan menggunakan mesin roller dan setelah tali kolor tergulung seluruhnya, maka mesin roller segera dimatikan dan pemberat dinaikkan ke atas kapal. 5. Penarikan dan pengangkatan jaring dilakukan oleh ABK, dimana bagian jaring yang telah berada di atas kapal langsung disusun kembali dengan teratur dan rapi untuk memudahkan pengoperasian jaring pada hauling berikutnya. 6. Jika hasil tangkapan yang diperoleh banyak, maka digunakan serok untuk mengangkat ikan ke atas kapal, tetapi jika hasil tangkapan sedikit maka pengambilan ikan dilakukan secara langsung dengan mengangkat jaring ke atas kapal. 7. Hasil tangkapan yang telah berada di atas kapal kemudian disortir menurut jenis ikan dan dimasukkan ke dalam keranjang.

Jumlah trip untuk alat tangkap purse seine ini biasanya kurang lebih 20 - 22 hari dalam setiap bulannya, dengan 2 – 3 kali hauling per tripnya, tergantung fase bulan pada saat tersebut. Pada fase bulan gelap hauling dapat dilakukan 3 - 4 kali sedangkan pada fase bulan terang hanya dilakukan 2 kali hauling.

C. Analisis Hubungan Parameter Oseanografi dan Hasil Tangkapan

Untuk mendapatkan hubungan kondisi oseanografi dengan hasil tangkapan pada penelitian ini, dilakukan analisis beberapa parameter. Berdasarkan hasil pengukuran parameter klorofil-a (X1), suhu (X2), kedalaman (X3), salinitas (X4) dan arus (X5) yang kemudian dijadikan variabel bebas (independent) sedangkan hasil tangkapan ikan kembung (Y) dijadikan variabel tak bebas (dependent). Parameter klorofil-a, suhu, kedalaman, salinitas, dan kecepatan arus diduga memiliki hubungan dan pengaruh terhadap hasil tangkapan ikan kembung.

1. Uji Kenormalan (Normal Probability Plot) Uji kenormalan ini dilakukan untuk menguji kenormalan distribusi data yang diperoleh di lokasi penelitian. Maksud data terdistribusi secara normal adalah bahwa data memusat pada nilai rata-rata dan median.

Cara ini

dilakukan karena bentuk data yang terdistribusi secara normal akan mengikuti pola distribusi normal dimana bentuk grafiknya mengikuti bentuk lonceng. Sedangkan analisis statistik menggunakan analisis keruncingan dan kemencengan kurva dengan indikator keruncingan dan kemencengan.

Uji normalitas dengan uji statistik Lilliefors (Kolmogorov-Smirnov Test) untuk masing-masing parameter oseanografi, didapatkan bahwa tidak satupun dari kelima parameter tersebut yang terdistribusi normal (Tabel 4):

Tabel 4. Statistik uji normalitas Tests of Normality

Klorofil Suhu Kedalaman Salinitas Arus Kembung

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df .374 92 .000 .478 92 .212 92 .000 .857 92 .219 92 .000 .867 92 .131 92 .001 .927 92 .362 92 .000 .299 92 .164 92 .000 .845 92

Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .000

a Lilliefors Significance Correction

Berdasarkan analisis data tersebut, diketahui bahwa data yang didapatkan dalam penelitian tidak memenuhi standar uji kenormalan, sehingga dilakukan transformasi data dengan melogaritmakan semua data tersebut, sehingga diperoleh hasil seperti pada Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Statistik uji normalitas lanjutan (setelah di logaritmakan) Tests of Normality

Klorofil Suhu Kedalaman Salinitas Arus Tangkapan

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. .206 92 .000 .779 92 .000 .213 92 .000 .857 92 .000 .182 92 .000 .922 92 .000 .142 92 .000 .909 92 .000 .104 92 .015 .854 92 .000 .088 92 .074 .972 92 .043

a Lilliefors Significance Correction

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa data masih tidak berdistribusi normal. Namun berdasarkan Lampiran 4, dimana dapat dilihat bahwa grafik jumlah hasil tangkapan yang dipengaruhi oleh lima faktor oseanografi secara bersama-sama telah mengikuti bentuk distribusi normal dengan bentuk histogram yang hampir sama dengan bentuk distribusi normal. Pada grafik PP Plots, kesamaan antara nilai probabilitas harapan dan probabilitas pengamatan ditunjukkan dengan garis diagonal yang merupakan perpotongan antara garis probabilitas harapan dan probabilitas pengamatan.

Dari grafik tersebut terlihat bahwa nilai plot PP terletak di

sekitar garis diagonal. Uji normalitas dan uji normalitas lanjutan yang menunjukkan bahwa data tidak memenuhi standar uji kenormalan, hal ini diduga terjadi akibat beberapa faktor antara lain: (1) kesalahan manusia (human error), misalnya tehnik pengambilan, perlakuan dan penyimpanan terhadap air sampel (klorofil-a), (2) pengaruh faktor alam, misalnya pengukuran salinitas yang bertepatan dengan saat turunnya hujan, (3) tingkat akurasi dari alat ukur masing-masing parameter yang digunakan dalam penelitian, misalnya penggunaan thermometer batang untuk mengukur suhu permukaan laut, layangan arus untuk mengukur kecepatan arus, tali untuk mengukur kedalaman perairan (metode batu duga) dan timbangan biasa untuk menimbang

hasil

tangkapan.

Hal

tersebut

sedikit

banyak

akan

mempengaruhi kualitas dari data lapangan yang diperoleh. Oleh karena itu disarankan agar penelitian-penelitian selanjutnya menggunakan alat ukur

yang lebih akurat misalnya thermometer digital untuk mengukur suhu permukaan laut, current meter untuk mengukur arus, echosounder untuk mengukur kedalaman dan timbangan elektrik untuk menimbang hasil tangkapan, serta menghindari pengaruh dari faktor-faktor alam misalnya hujan, yang dapat menyebabkan bias pada hasil pengukuran.

2. Analisis Varians (Uji F) Analisis varians digunakan untuk menguji pengaruh variabel bebas (independent) secara bersama terhadap variabel tak bebas (dependent). Analisis ini menampilkan nilai Fhitung yang digunakan untuk menentukan model

penaksiran

yang

digunakan

tepat

atau

tidak,

dengan

membandingkan Fhitung dengan Ftabel. Secara statistik, semakin besar nilai uji F maka nilai tersebut semakin baik digunakan dalam membandingkan hubungan antara hasil tangkapan dengan parameter oseanografi yang diteliti.

Tabel 6. Uji F regresi Cobb-douglas ANOVA(d)

Model 3

Sum of Squares Regression 2.508 Residual 11.081 Total 13.589

df 3 88 91

Mean Square .836 .126

c Predictors: (Constant), Suhu, Kedalaman, Klorofil-a d Dependent Variable: Kembung

F 6.639

Sig. .000(c)

Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai signifikansi 0,000 < 0,01, Ini menunjukkan bahwa faktor oseanografi yaitu klorofil-a, suhu dan kedalaman secara bersama berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan Kembung. Selain itu diperoleh kesimpulan bahwa model persamaan LogY = Log a + b1LogX1 + b2LogX2 + b3LogX3 + e yang diajukan dapat diterima. 3. Analisis Koefsien Regresi (Uji t) Analisis regresi Cobb-Douglas dengan metode backward untuk menunjukkan hubungan antara faktor oseanografi sebagai variabel bebas (X), terhadap jumlah hasil tangkapan sebagai variabel tak bebas (Y). Faktor (X) dan (Y) tersebut akan di pasangkan, sehingga hasilnya akan diperoleh perpaduan beberapa faktor (X) yang sangat berpengaruh terhadap faktor (Y), sedangkan faktor lainnya yang tidak berpengaruh tidak akan diperhitungkan. Metode ini secara otomatis akan membuang faktor-faktor oseanografi yang dianggap tidak signifikan pengaruhnya terhadap hasil tangkapan.

Tabel 7. Uji t antara variabel independent dengan variabel dependent. Coefficients(a)

Model

3

(Constant) Klorofil Suhu Kedalaman

Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Std. B Error Beta -17.364 5.802 .298 .114 .279 10.543 3.836 .267 2.016 .587 .367

a Dependent Variable: Kembung

t

-2.993 2.626 2.749 3.435

Sig.

.004 .010 .007 .001

Berdasarkan analisis regresi

Cobb-Douglas dengan metode

backward maka diperoleh hasil akhir (seperti yang terlihat pada Tabel 7) yaitu pada model ke 3 (tiga) dimana hanya faktor klorofil-a, suhu dan kedalaman yang mempengaruhi hasil tangkapan secara signifikan. Nilai signifikan dari variabel kolorofil (X1) diperoleh nilai probabilitas (sig) sebesar 0,01= .100).

2

.

3

.

a All requested variables entered. b Dependent Variable: Kembung

Model Summary(d)

Model

R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics

1

.432(a)

.186

.139

.35855

R Square Change .186

2

.432(b)

.186

.149

.35652

.000

3 a b c d

.430(c) .185 .157 .35486 -.002 Predictors: (Constant), Arus, Kedalaman, Salinitas, Suhu, Klorofil Predictors: (Constant), Kedalaman, Salinitas, Suhu, Klorofil Predictors: (Constant), Kedalaman, Suhu, Klorofil Dependent Variable: Tangkapan

F Change 3.941

df1 5

df2 86

Sig. F Change .003

.016

1

86

.899

.182

1

87

.670

ANOVA(d)

Model 1

2

3

Regression

Sum of Squares 2.533

df 5

Mean Square .507 .129

Residual

11.056

86

Total

13.589

91

Regression

2.531

4

.633

Residual

11.058

87

.127

Total

13.589

91

2.508

3

.836

11.081

88

.126

Regression Residual

F 3.941

Sig. .003(a)

4.978

.001(b)

6.639

.000(c)

t

Sig.

Total

a b c d

13.589 91 Predictors: (Constant), Arus, Kedalaman, Salinitas, Suhu, Klorofil Predictors: (Constant), Kedalaman, Salinitas, Suhu, Klorofil Predictors: (Constant), Kedalaman, Suhu, Klorofil Dependent Variable: Tangkapan

Coefficients(a) Unstandardized Coefficients

Model

Standardized Coefficients

B -18.838

Std. Error 6.799

-2.771

.007

.297

.122

.278

2.440

.017

10.732

3.900

.272

2.752

.007

2.034

.599

.370

3.395

.001

Salinitas

.815

1.908

.042

.427

.670

Arus

.018

.141

.013

.127

.899

-18.825

6.759

-2.785

.007

.292

.115

.273

2.540

.013

10.724

3.877

.272

2.766

.007

2.023

.590

.368

3.430

.001

.810 -17.364 .298

1.897 5.802 .114

.042 .279

.427 -2.993 2.626

.670 .004 .010

10.543

3.836

.267

2.749

.007

2.016 a Dependent Variable: Tangkapan

.587

.367

3.435

.001

1

(Constant) Klorofil Suhu Kedalaman

2

(Constant) Klorofil Suhu Kedalaman Salinitas

3

(Constant) Klorofil Suhu Kedalaman

Beta

Excluded Variables(c) Collinearity Statistics Partial Beta In t Sig. Correlation Arus .013(a) .127 .899 .014 3 Arus .012(b) .118 .906 .013 Salinitas .042(b) .427 .670 .046 a Predictors in the Model: (Constant), Kedalaman, Salinitas, Suhu, Klorofil b Predictors in the Model: (Constant), Kedalaman, Suhu, Klorofil c Dependent Variable: Tangkapan Model 2

Tolerance .899 .900 .968

Residuals Statistics(a) Minimum .9075

Maximum 1.6904

Mean 1.3132

Std. Deviation .16601

-1.01677

.66131

.00000

.34896

92

-2.444

2.272

.000

1.000

92

-2.865 a Dependent Variable: Tangkapan

1.864

.000

.983

92

Predicted Value Residual Std. Predicted Value Std. Residual

N 92

Histogram Histogram

Dependent Dependent Variable: Variable: Kembung Kembung

20 20

Frequency Frequency

15 15

10 10

55

Mean Mean==-9.08E-15 -9.08E-15 Std. Std.Dev. Dev.==0.983 0.983 NN==92 92

00 -2 -2

-1 -1

00

11

22

33

44

Regression Regression Standardized Standardized Residual Residual

Normal Normal P-P P-P Plot Plot of of Regression Regression Standardized Standardized Residual Residual

Dependent Dependent Variable: Variable: Kembung Kembung 1.0 1.0

Prob Cum Prob Expected Cum Expected

0.8 0.8

0.6 0.6

0.4 0.4

0.2 0.2

0.0 0.0 0.0 0.0

0.2 0.2

0.4 0.4

0.6 0.6

Observed Observed Cum Cum Prob Prob

0.8 0.8

1.0 1.0

Lampiran 5. Summary Output hubungan antara hasil tangkapan di lapangan dengan prediksi hasil tangkapan. SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 00 Januari 1900 R Square 00 Januari 1900 Adjusted R Square 00 Januari 1900 Standard Error 21 Januari 1900 Observations 01 April 1900 ANOVA Df Regression Residual Total

3.0000 88.0000 91.0000

Coefficients Intercept X Variable 1 X Variable 2 X Variable 3

-309.2410 4.3745 10.0192 0.9361

SS 8034.0962 42244.7711 50278.8673

Standard Error 107.9643 1.6265 3.5587 0.3230

MS 2678.0321 480.0542

t Stat -2.8643 2.6896 2.8154 2.8981

F Significance F 5.5786 0.0015

P-value 0.0052 0.0086 0.0060 0.0047

Lower 95% -523.7973 1.1422 2.9471 0.2942

Upper 95%

Lower 95.0%

94.6848 7.6068 17.0913 1.5780

-523.7973 1.1422 2.9471 0.2942

Upper 95.0% -94.6848 7.6068 17.0913 1.5780

View more...

Comments

Copyright © 2017 DATENPDF Inc.