Post Event Catalog BIENNALE JOGJA XI EQUATOR #1 .edu

November 26, 2017 | Author: Anonymous | Category: Documents
Share Embed


Short Description

1 BIENNALE JOGJA XI - EQUATO SHADOW LINES: INDONESIA ME R #1 ETS INDIA 26.11.2011 - 8.1.2012 colophon contents BIENNALE ...

Description

1

BIENNALE JOGJA XI - EQUATO

R SHADOW LINES: INDONESIA ME ETS INDIA 26.11.2011 - 8.1.2012

#1

colophon

contents

BIENNALE JOGJA XI 2011 CATALOGUE 25 November 2011 - 8 Januari 2012

Curators: Alia Swastika and Suman Gopinath Text: Agastya Tapha, Agung Hujatnikajennong, Alia Swastika, Eko Prawoto, Suman Gopinath Editing: Ben Fox, Christine Cocca, Ikun SK, Ingvild Solvang Translation: Ferdiansyah Thajib, Ganggang Biru Syndicate, Rani Elshanti Design: Mie Cornoedus Photography: Courtesy of the artists, Dwi Oblo Print: Cahaya Timur Offset Edition: 1000 Publisher: Yayasan Biennale Yogyakarta ISBN: 978-602-19374-0-2 © 2011 Yayasan Biennale Yogyakarta

Inside Cover:

4 5 8 18 28 40 48

Profil Kontributor Biennale Jogja 10 Tahun Ke Depan: Wawancara dengan Katulistiwa - Eko Prawoto Negara dan Pasar: Dua Dasawarsa Seni Rupa Kontemporer Indonesia - Agung Hujatnikajennong Yang Kontemporer dan Seni Kontemporer India: Abad 21 - Agastaya Thapa Fasad Keyakinan - Alia Swastika Shadow Lines: Pertemuan India dan Indonesia - Suman Gopinath Konsep Karya & Biografi Seniman

88

Foto-foto Karya Seniman

176 177 180 190 199 210 218

Note on Writers Biennale Jogja, 10 Years in the Future: an Interview with the Equator - Eko Prawoto The State and the Market: Two Decades of Indonesian Contemporary Art - Agung Hujatnikajennong The Contemporary and Indian Contemporary art: 21st Century - Agastaya Thapa The Facade of Faith - Alia Swastika Shadow Lines: India Meets Indonesia - Suman Gopinath Artist Statements and Biographies

254

Acknowledgements

4

PROFIL KONTRIBUTOR Agastya Thapa saat ini sedang belajar di Univesitas Jawaharlal Nehru, program Visual Studies, School of Arts and Aesthetics. Dia baru saja menyelesaikan disertasi masternya dan sedang menempuh studi doktoral di universitas yang sama. Tulisan-tulisannya biasa mengkaji isu-isu seni kontemporer India.

Yogyakarta. Secara teratur berkontribusi untuk terbitan-terbitan internasional seperti Art Asia Pacific, TAKE magazines, C-Arts dan beberapa katalog pameran internasional dengan minat utama pada seni, gender, identitas, dan budaya anak muda. Saat ini bekerja pada Ark Galeri di Jakarta sebagai pengelola dan pengurasi proyek pameran interAgung Hujatnikajennong lahir di Tasikmalaya, nasional. Proyek-proyek terakhirnya antara lain: 1976. Menyelesaikan gelar sarjana dan magisternya Wall Street Arts:
a Jakarta Paris graffiti exhibition, di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (2007). Pameran Tunggal Eko Nugroho, Wimo Ambala Sejak 2001 bekerja sebagai kurator Selasar Sunaryo Bayang, Tintin Wulia dan Jompet Kuswidananto. Art Space. Mengikuti beberapa program residensi Proyek internasionalnya diadakan di Amsterdam, kuratorial antara lain di Australia (Queensland Art Shanghai, Hong Kong, Taipei, dan yang terkini Gallery, Brisbane dan Drill Hall Gallery, Canberra, adalah pameran 7 seniman Indonesia di Institute of 2002; dan Canberra Contemporary Art Space, Contemporary Arts, LASALLE Singapore. 2010) dan Jepang (Nanjo and Associates, Tokyo, Dia pernah menerima beasiswa untuk mempelajari 2004; dan Arts Initiative Tokyo, 2011). Sejak 1999 perihal pengkuratoran di Berlin ( didanai oleh Asia menjadi kurator untuk sejumlah pameran seni Europe Foundation), di New York (disponsori oleh rupa Indonesia di Indonesia maupun luar negeri. Asian Cultural Council, Shanghai (sponsor oleh Pada tahun 2009 ia menjadi kurator untuk Jakarta Art Hub), dan baru saja merampungkan magang Biennale XIII, Fluid Zones. Sejak 2008 ia mengajar seni di The National Art Gallery, Singapore. di alma maternya. Eko Prawoto (lahir di Yogyakarta, Indonesia, Alia Swastika lahir di Yogyakarta, 1980. Me1959) mendapat gelar Sarjana Arsitektur dari nyelesaikan studi pada tahun 2002 di Fakultas Universitas Gajahmada, Yogyakarta, Indonesia Ilmu Sosial Politik Universitas Gadjah Mada pada tahun 1982, dan gelar Master Arsitektur dari Yogyakarta, Jurusan Komunikasi. Karirnya di The Berlage Institute, Netherlands pada tahun bidang seni dimulai sejak menjadi penulis khusus 1993, dibawah bimbingan Balkrishna V. Doshi. seni dan budaya di koran-koran dan majalah Selama karirnya Prawoto telanh mengerjakan nasional Kompas, The Jakarta Post, Tempo, dll. berbagai proyek arsitektural di Yogyakarta dan Antara 2004 – 2008, menjadi kurator di Cemeti kota-kota lain di Jawa Tengah, menulis beberapa Art House, ruang seni alternative terkemuka di makalah akademik, dan karya-karya instalasinya

telah dipamerkan di London, Venice, Helsinki, Gwangju, Matsidai, Nigata, dan Yogyakarta. Ia juga aktif dalam komunitas seni kontemporer Yogyakarta dan merupakan salah satu anggota Board Yayasan Biennale Jogja. Suman Gopinath (1962 -) adalah kurator dan pendiri CoLab Art and Architecture, yang berbasis di Bangalore . Ia bekerja di sebuah galeri swasta dan belajar di bidang Fine Arts Administration and Curating di Goldsmiths’ College, London. CoLab Art & Architecture adalah program kuratorial yang mempertemukan seniman, arsitektur, kurator, dan akademisi dalam mempresentasikan seni kontemporer India di konteks internasional. CoLab saat ini memiliki dua proyek yang sedang berjalan. Satu dengan The Goethe-Institut, Bangalore, India berjudul “Practices in Contemporary Art & Architecture” yang dimulai pada bulan Juli 2010, dan Re-presenting Histories (2008 - ), program yang dilakukan bersama dengan Grant Watson. Seri pertama adalah “Nasreen Mohamedi: Notes/ Reflections on Indian Modernism (2008 2011)” yang dipamerkan di enam negara di Eropa. Beberapa pameran penting yang telah dikerjakan oleh Suman antara lain; “Santhal Family: Positions around an Indian Sculpture”, Muhka, Belgium, 2008; “Horn Please: Narratives from Contemporary Indian Art”, di Kunst Museum Bern, Swiss, tahun 2007. Suman Gopinath tinggal dan bekerja di Bangalore, India.

d e pan: e k un h ta 10 JA G JO LE A N N B IE stiwa Wawancara d engan Katuli Eko Prawoto

6

7

Biennale Jogja 10 Tahun Ke Depan: Wawancara Dengan Katulistiwa

Biennale Jogja mencoba untuk memandang ke depan, mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas ‘kemapanan’ ataupun konvensi bagi even sejenis.

Katulistiwa diangankan untuk menjadi semacam bingkai yang mewadahi kesamaan namun sekaligus juga menjadi garis menerus yang menembus merangkai dan bersaksi atas pengejawantahan berbagai keragaman.

Wacana seni kontemporer sangatlah dinamis, namun dikotomi sentral/pusat dan periferi/ pinggiran agaknya masih sangat nyata. Ada kebutuhan untuk mencari peluang baru dalam memberikan makna lebih atas peristiwa ini. Diangankan untuk mereka adanya suatu common platform yang sekaligus mampu memberikan provokasi atas munculnya berbagai keragaman dalam perspektif untuk menghadirkan alternatif-alternatif baru atas wacana yang hegemonik.

Katulistiwa akan menjadi common platform untuk ‘membaca kembali‘ dunia. Menegasi keberadaan pusat-pusat dengan menawarkan area kerja wilayah sabuk katulistiwa dengan sudut pandang yang tak berpusat, nir-pusat.

Pilahan geo-politik utara selatan, pilahan atas tingkat kemajuan kesejahteraan ataupun kedekatan teritori dalam stereotype etnisitas telah memberi kontribusi tertentu dalam perkembangan budaya kontemporer selama ini. Kami mengangankan suatu yang sedikit berbeda, tentunya dengan pengharapan akan menjadi pemicu dan pemacu kemunculan relasi dan interelasi alternatif atas pengoperasian kesenian dalam kehidupan.

Katulistiwa dalam perpektif geologis, geografis, ekologis, etnografis, juga historis, serta politis, dll, merupakan wilayah kerja yang luar biasa menarik untuk diekplorasi. Keberagaman yang merupakan cerminan kekayaan dalam karakteristik bersama kelimpahan terpaan surya sebagai sumber daya hidup yang tidak berjeda. Bumi berputar dalam poros yang ternyata tidak lurus benar namun sedikit bergoyang. Perputaran tidak sentris terhadap sumbu itu membentuk sudut sekitar 23 derajat. Ini yang kemudian membentuk jejak area yang diterpa matahari frontal meluas ke utara dan ke selatan. Suatu area yang dikenal dalam kesamaan iklim tropis, sebuah sabuk wilayah yang memiliki

Eko Prawoto

karakteristik berhawa panas sepanjang tahun. Kesamaan karakteristik alam ini dibingkai dalam batas garis balik utara/tropic Cancer (23’27’’ lintang utara) dan garis balik selatan/ tropic Capricorn (23’27’’ lintang selatan). Katulistiwa, zona bumi yang relatif memiliki kecepatan rotasi lebih tinggi, bentangan wilayah sepanjang 40.000 km, berhiaskan mozaik pulau benua dalam anyaman samudera berselimutkan berbagai kekayaan keragaman karakteristik alam: pulau besar kecil namun juga bentangan benua yang sangat besar. Teritori yang mungil akan sangat terpengaruh oleh hembusan kelembaban angin pantai sementara teritori yang besar serta jauh dari laut akan sangat kering dan bahkan berwujud sebagai gurun. Pola-pola alam juga memberikan jejak kehususan yang sangat hakiki, kemiripan flora dan fauna terjadi di berbagai area. Lihatlah misalnya kelapa atau pisang ternyata memiliki sebaran pada area ini. Demikian juga tanaman kopi ternyata merupakan komoditas pertanian khusus yang membentuk simpulsimpul perdagangan yang sudah berumur sangat lama.

Biennale Jogja 10 Tahun Ke Depan: Wawancara Dengan Katulistiwa

Area ini juga memiliki kekayaan memori dan pengalaman panjang sebagai wilayah yang sangat aktif dalam pembentukan budaya dan peradaban manusia, ini yang kemudian juga mewujud dalam rajutan permadani sejarah yang sangat beraneka warna. Semua jenis ras manusia ada dalam sebaran sabuk katulistiwa ini, demikian juga dengan untaian keberadaan semua agama-agama besar. Kenyataan bahwa area ini sudah sangat lama sibuk menjadi jalur-jalur pelintasan migarasi manusia dan juga jalur pelayaran kuno untuk tujuan penjelajahan petualangan ataupun perdagangan. Percampuran persinggungan kehidupan internasional agaknya sudah terjadi sejak awalnya dalam berbagai intensitas dan karakter. Ada yang bersifat damai namun ada juga yang lebih sebagai benturan atau bentrokan penaklukan yang banyak kemudian bermuara pada terjadinya kolonisasi. Budaya dan bahasa kolonial pun merupakan endapan sejarah yang masih sangat nyata terlihat. Sabuk katulistiwa ini akan merupakan ‘arena’ pencarian pengkajian, pertemuan, perjumpaan, perbenturan, perbaikan, pembaruan, kemanusiaan manusia.

Eko Prawoto

9

Negara dan Pasar: Dua Dasawarsa Seni Rupa Kontemporer Indonesia

Negara dan Pasar: Dua Dasawarsa Seni Rupa Kontemporer Indonesia1

N egara dan Pasar: Dua Dasawar sa done s ia In r e r o p m Konte pa Ru Seni Agung Hujatnikajennong

dan geo-ekonomi di Asia Pasifik. Perubahan kebijakan politik ekonomi regional negaranegara besar di Asia turut memberikan pengaruh pada dinamika politik ekonomi medan seni rupa di tingkat lokal, termasuk pada dominasi kepentingan pasar komersial dalam kurun lima tahun terakhir. Berbagai indikator perkembagan yang dibahas dalam tulisan ini mengarah pada kesimpulan tentang menguatnya prinsip ekonomi neo-liberal dalam medan seni rupa Indonesia.

Agung Hujatnikajennong

urban yang sama.

Hari ini kita berdiri di satu masa ketika Tulisan ini mengulas perubahan dalam pola globalisasi bukan lagi sekadar jargon atau produksi, distribusi, dan konsumsi seni rupa istilah yang hanya berdengung-dengung dalam kontemporer Indonesia melalui perbandigan berbagai ulasan akademik dan jurnalistik. terhadap pameran-pameran regional dan Empat dasawarsa yang lalu, globalisasi hanya internasional yang melibatkan Indonesia dalam dibicarakan sebagai gelombang yang niscaya dua dasawarsa terakhir (1990–2010). Terdapat akan menerpa sistem-sistem besar di Indonesia: dua pola dominan yang berbeda pada masingekonomi, budaya, politik, teknologi, serta masing dasawarsa. Perkembangan 1990-an berbagai kombinasi di antara keempat sistem menunjukkan dominasi peran negara, terutama itu. Kini dinamika proses dan dampaknya Jepang dan Australia, melalui pameran-pameran Globalisasi Seni Rupa adalah kenyataan konkret yang sehari-hari ada berskala besar yang mereka selenggarakan di depan mata: aktivitas produksi, distribusi, dengan dukungan dana dan infrastruktur Istilah ‘globalisasi’ dianggap paling relevan dan konsumsi seni rupa Indonesia telah pemerintah. Sementara dalam dasawarsa untuk menjelaskan transformasi dan akselerasi berubah menjadi jaringan lintas negara. Oleh selanjutnya, seni rupa kontemporer Indonesia perubahan sosial yang semakin cepat akibat karena berbagai eksesnya yang tak terduga, lebih banyak mengemuka dalam kegiatan-kegia- migrasi, perdagangan, aliran investasi luar negeri, dampak globalisasi harus selalu ditelaah dalam tan non-pemerintah, terutama melalui kegiatan serta penyebaran sistem gagasan, pengetahuan, konteks yang spesifik, melalui pengamatan yang jual-beli di galeri komersial, balai lelang, dan art dan teknologi secara internasional.2 Melampaui terperinci terhadap berbagai ranah kultural, fair lintas negara di Asia. pengertian-pengertian yang sebelumnya termasuk seni rupa. berkonotasi lebih politis dan negatif, seperti Tulisan ini lebih memanfaatkan model telaah ‘imperialisasi’, ‘kolonialisasi’ dan ‘westernisasi’, Teori-teori dalam sosiologi membahas globalisasi sosiologis ketimbang estetik. Memanfaatkan globalisasi menjadi kata kunci yang populer sebagai intensifikasi dan ekstensifikasi hubungteori-teori budaya dan globalisasi, tulisan ini untuk menjelaskan situasi peradaban di ujung an-hubungan geo-politik dan geo-ekonomi. hendak menunjukkan bagaimana perkembangan abad ke-20, ketika semua aspek kehidupan Geo-politik adalah teori yang menganalisa seni rupa kontemporer Indonesia berhubungan masyarakat modern terintegrasi secara luar biasa hubungan antar-bangsa dan antar-negara dalam dengan perubahan konstelasi geo-politik oleh sistem bahasa, media massa, dan gaya hidup kaitan kekuatan politik dan wilayah geografis.

10

11

Negara dan Pasar: Dua Dasawarsa Seni Rupa Kontemporer Indonesia

Teori geopolitik dapat digunakan untuk menganalisis dan meramal peta kekuatan politik atas suatu wilayah tertentu. Secara khusus, teori ini mencakup analisis kebijakan luar negeri untuk memahami, menjelaskan, dan memprediksi perilaku politik internasional secara geografis. Terkait dengan praktik seni rupa, analisa geopolitik dapat dimanfaatkan untuk menginvestigasi, misalnya, terminologi dan praktik seni rupa kontemporer yang diimbuhi label geografis, seperti Asia atau Asia Pasifik, dan mengapa kategori itu muncul. Sementara itu, geo-ekonomi secara luas adalah studi kekuatan ekonomi dalam konteks ruang (geografis) tertentu. Studi ini dapat mencakup aspek politik ekonomi dan sumber daya, dan bagaimana suatu wilayah geografis ditempatkan dalam peta kekuatan ekonomi pasar. Secara ekonomi, globalisasi telah membawa banyak perubahan pada ranah seni rupa. Perubahan itu nyata ketika kita lihat, misalnya, bagaimana medan seni rupa (art world) saat ini terbentuk dari intensifikasi hubungan-hubungan ekonomi lintas negara. Dalam medan seni rupa Indonesia, studi geoekonomi menjadi penting ketika hubungan lintas negara semakin didominasi oleh kepentingan pasar. Intensifikasi hubungan

ekonomi dalam medan seni rupa kini tengah memperkuat diri menjadi sebuah sistem dengan sokongan basis dan faham perdagangan bebas yang dominan dianut oleh mayoritas negaranegara di dunia. Regionalisme dan Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Era 1990-an Orang boleh berdalih bahwa terbentuknya jaringan global yang melibatkan seni rupa Indonesia sudah terjadi sejak lama, bahkan setua sejarah seni rupa modern Indonesia sendiri. Kita bisa menandainya sejak Raden Saleh berkelana ke Eropa (1829–1851 - jika kita mengartikan migrasi sebagai faktor penting dari globalisasi atau ketika Affandi menjadi seniman Indonesia pertama yang berpameran di Venice Biennale (1964). Dari masa ke masa, globalisasi mewujud dalam berbagai proses dan bentuk. Ia menjelma pula ke dalam berbagai istilah. Pada era 1990-an, gejala konkret globalisasi seni rupa mulai populer di Indonesia melalui istilah ‘internasionalisasi’ dan/atau ‘regionalisasi’. Jika dalam beberapa wacana politik internasional regionalisme dibedakan dengan globalisme (isme = faham/ajaran), tulisan ini justru

Agung Hujatnikajennong

memandang regionalisasi sebagai sub-sistem penting yang beroperasi dalam proses globalisasi. Asumsi ini didasarkan pada pengamatan bahwa, pada praktiknya, betapapun regionalisme bisa dilihat sebagai reaksi terhadap globalisasi; proses inklusi/eksklusi dan interdependensi antarnegara dalam fenomena regionalisasi dan globalisasi sama-sama bersifat arbitrer.3 Tanpa mengecilkan perkembangan sebelumnya, dasawarsa 1990-an harus ditandai sebagai era yang sangat penting terutama jika kita ingat betapa gelombang perubahan pada masa itu tercermin langsung melalui meningkatnya frekuensi berbagai kegiatan lintas negara yang melibatkan Indonesia dan negara-negara lain di Asia dan Pasifik. Pada masa itu, kartografi baru medan seni rupa secara praktis terbentuk oleh adanya dua kekuatan baru: Australia dan Jepang. Terselenggaranya pameran besar periodik berskala museum semacam The AsiaPacific Triennial of Contemporary Art (APT, di Queensland Art Gallery, Brisbane, tiga tahunan, sejak 1993 sampai sekarang); serta rangkaian pameran, simposium, dan lokakarya yang mengusung tajuk “Asia” - New Art from Southeast Asia (1992), Asian Modernism (1995), Asian Contemporary Art Reconsidered (1999) - oleh

Negara dan Pasar: Dua Dasawarsa Seni Rupa Kontemporer Indonesia

The Japan Foundation, dan Asian Art Triennial yang diselenggarakan oleh Fukuoka Art Museum, Jepang, membuktikan dominasi kekuatan itu. Pada awalnya banyak pihak menyangka bahwa berbagai kegiatan tersebut bisa menjadi alternatif dari kegiatan-kegiatan multilateral pemerintah (government to government, atau G-to-G) yang digagas oleh organisasi semacam ASEAN (dalam berbagai bentuknya: ASEAN-Japan, ASEAN-China, atau ASEAN+3 yang meliputi kerjasama negara-negara ASEAN dengan Cina, Korea Selatan, dan Jepang), misalnya. Sebagai catatan: meskipun tidak sepenuhnya dipandang negatif, kegiatan-kegiatan budaya ASEAN sering dianggap kurang menarik karena merepresentasikan agenda yang terlalu “resmi”, ala pemerintah. Pada praktiknya, kegiatan-kegiatan ASEAN juga sering melibatkan self-censorship karena selalu harus menggambarkan sisi-sisi “baik” atau “indah” dari solidaritas kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya, sebagaimana tecermin dalam mottonya, “One Vision, One Identity, One Community” - “Satu Visi, Satu Identitas, Satu Komunitas”. Sepanjang 1990-an, regionalisasi seni rupa Asia-Pasifik berdampak pada produksi seni rupa

di Indonesia. Wacana yang berkembang banyak mempersoalkan pencarian identitas baru seni rupa Indonesia, sebagai seni rupa ‘non-Barat’, menyusul serangan para posmodernis terhadap Modernisme sebagai hegemoni pemikiran Euro-Amerikasentris.4 Pada masa itu, istilah posmodernisme dan seni rupa ‘kontemporer’, sebagai kontras dari ‘modern’, menjadi semacam ‘legitimasi teoretis’ yang menjanjikan ‘kesetaraan’ di antara ekspresi seni rupa berbagai bangsa di dunia. Keterlibatan beberapa seniman Indonesia dalam forum regional itu bahkan menjadi acuan bagi perkembangan praktik seni rupa lokal - termasuk pada kasus dominannya seni rupa dengan muatan kritik sosial dan politik di Indonesia sepanjang 1990-an. Gejala regionalisasi seni rupa pada 1990-an sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari dinamika politik-ekonomi regional negara-negara besar di Asia Pasifik pada saat itu. Menyurutnya Perang Dingin, melemahnya pertentangan ideologi antara blok Barat dan Timur, menyusul runtuhnya tembok Berlin dan pecahnya Uni Soviet, melatari perubahan orientasi (politik, ekonomi, budaya) negara-negara maju. Pada awal 1990-an, dunia internasional serentak menengok ke Asia, terutama dengan munculnya

Agung Hujatnikajennong

Macan Asia (Hong Kong, Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan) sebagai kekuatan ekonomi baru yang dominan. Gejala ini muncul sebelum pertumbuhan ekonomi Cina maju pesat seperti sepuluh tahun terakhir. Salah satu ciri dari regionalisasi 1990-an adalah bahwa berbagai kegiatan mediasi praktik seni rupa Indonesia - pameran, simposium, lokakarya, residensi, dll. - didominasi oleh, atau paling tidak terkait dengan, agenda pemerintah. Motif ini cukup jelas jika kita melihat institusi seni rupa semacam Queensland Art Gallery (QAG) dan The Japan Foundation yang menjadi penyelenggara berbagai kegiatan itu. Bukan kebetulan, penyelenggaraan APT digagas tak lama setelah terbentuknya APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation, pada 1989), bersamaan dengan kampanye politik ekonomi ‘Australia in Asia’ (1991) yang dilancarkan pemerintah Australia pada masa pemerintahan Perdana Menteri Paul Keating. Penyelengaraan APT adalah upaya untuk mengampanyekan citra baru Australia yang sepanjang abad ke-19 sampai akhir Perang Dunia II selalu dilihat sebagai representasi dari dunia Anglo-Saxon karena sejarahnya sebagai koloni Britania.5

12

13

Negara dan Pasar: Dua Dasawarsa Seni Rupa Kontemporer Indonesia

Sementara itu, kegiatan-kegiatan seni rupa regional yang diselenggarakan oleh Jepang (melalui The Japan Foundation) bisa dilihat sebagai realisasi dari agenda Pan-Asianisme yang diusung sebagai upaya untuk melepaskan citra mereka yang sebelumnya sangat lekat dengan blok militer dan ekonomi liberal Amerika Serikat. Sejak pertengahan 1990-an, kegiatankegiatan seni rupa dengan fokus pada ‘Asia’ yang diselenggarakan di Jepang seperti menegaskan suatu kampanye tentang ‘kembalinya mereka ke Asia’ menyusul proses Westernisasi besar-besaran yang secara sadar mereka lakukan sejak akhir abad ke-19. Meskipun secara geografis Jepang berada di benua Asia, secara historis, kesadaran Jepang untuk melibatkan diri dengan perkembangan seni rupa di negara-negara lain di Asia sesungguhnya bisa dibilang baru muncul sejak 1990-an. Negara yang Absen Sampai pada penjelasan ini kita memahami bahwa konstelasi dan perkembangan seni rupa kontemporer regional Asia Pasifik terbentuk oleh mapannya teori-teori posmodernisme di satu sisi, dan peran insitusi negara (bersama agenda politik regional yang ada di dalamnya) di sisi yang lain.

Selain dua faktor eksternal tersebut, sebetulnya ada situasi dan kondisi medan seni rupa lokal yang memungkinkan terjadinya hubungan-hubungan yang baru dengan kancah internasional. Tulisan ini tidak hendak membahas lebih lanjut bagaimana ranah teoretis posmodernisme/multikulturalisme/poskolonialisme/feminisme berpengaruh pada regionalisasi seni rupa kontemporer Indonesia. Menarik mengamati bagaimana agenda politik regional yang diusung oleh pusat-pusat baru di Asia Pasifik pada 1990-an tidak diwujudkan melalui pola G-to-G seperti dalam kegiatankegiatan ASEAN. Dalam penyelenggaraan APT sepanjang 1993 - 1999, misalnya, berbagai kebijakan kuratorial yang menyangkut pemilihan seniman dan karya justru ditentukan oleh pihak QAG bersama dengan individu-individu seperti seniman, kurator independen, ataupun akademisi Indonesia yang tidak berkecimpung dalam kepemerintahan. Pada praktiknya, hal ini berdampak pada absennya representasi pemerintah (negara) Indonesia maupun agenda ‘kebudayaan nasional’ yang justru sering menonjol dalam penyelenggaraan kegiatankegiatan ASEAN.

Agung Hujatnikajennong

Demikian pula halnya dalam kegiatan-kegiatan yang didanai oleh pemerintah Jepang melalui The Japan Foundation, seniman maupun kurator Indonesia yang terlibat sering tidak mewakili golongan pemerintah. Kita malah bisa menemukan segelintir nama dan sosok kurator yang “itu-itu juga” dalam berbagai kegiatan sepanjang 1990-an. Harus diakui, pada masa itu profesi kekuratoran di Indonesia memang cenderung belum sepopuler sekarang. Namun kenyataan bahwa praktik kekuratoran pada masa itu tidak muncul dari institusi seni pemerintah seperti museum adalah fakta lain yang menunjukkan kondisi medan seni rupa di Indonesia yang “tidak lengkap”. Nyaris selama satu dasawarsa, peran pemerintah Indonesia dalam mengangkat kemunculan seni rupa kontemporer di berbagai kancah internasional pada era 1990-an cenderung minimal, kalau bukan sama sekali absen. Situasi ini bertolak belakang dengan salah satu ciri regionalisme yang kebanyakan agendanya mengarah pada skema kerjasama dan integrasi kebijakan ekonomi antara negara atau stabilisasi politik suatu kawasan. Berkenaan dengan stabilisasi politik, ada aspek

Negara dan Pasar: Dua Dasawarsa Seni Rupa Kontemporer Indonesia

yang menarik dikaji berkenaan dengan keterlibatan seniman-seniman Indonesia. Seperti kita tahu, pameran-pameran regional pada masa itu berhasil memunculkan beberapa nama seperti Heri Dono, Dadang Christanto, FX Harsono, Arahmaiani, Tisna Sanjaya - menyebut beberapa saja di antaranya. Kebanyakan karya mereka pada masa itu merupakan respons terhadap situasi sosial-politik di Indonesia. Secara lebih spesifik, beberapa karya yang pernah tampil pada APT 1993–1999 banyak memuat kritik tajam terhadap situasi represif pada masa pemerintahan Orde Baru. Dapat diasumsikan bahwa kemunculan ‘seni rupa sosial politik’ Indonesia di kancah internasional pada 1990-an tidak dimungkinkan jika institusi pemerintah Indonesia terlibat di dalamnya. Sementara proses regionalisasi seni rupa diharapkan bisa menjadi, mengutip istilah Apinan Poshyananda, ‘pelumas licin’ (slippery lubricants) visi politik maupun ekonomi 6 regional, karya-karya yang tampil dalam APT (1993-1999) justru bisa digolongkan sebagai pengingkaran terhadap visi regionalisme pemerintah Australia (“Australia adalah Asia”). Dengan sering tampilnya karya-karya yang “anti-Orde Baru”, APT justru menjadi semacam

outlet pencitraan yang buruk tentang hubungan baik antara Indonesia dan Australia, terlebih lagi jika kita ingat mesranya hubungan antara Paul Keating dan Soeharto ketika keduanya masih berkuasa. Keating beberapa kali menyebut Indonesia sebagai negara tetangga terpenting bagi Australia; sementara wakilnya, Tim Fischer, pernah menominasikan Soeharto sebagai “Man of the 20th Century”.7 Proses regionalisasi seni rupa kontemporer Indonesia dengan demikian sudah menunjukkan tanda-tanda yang ‘menyimpang’ jika kita mematok pengertian regionalisme sebagai upaya realisasi agenda politik kawasan. Menyimpang karena, pertama, mekanisme penyelenggaraannya tidak melibatkan institusi pemerintah/ negara lokal. Kedua, karena tema-tema karya yang tampil sama-sekali tidak merepresentasikan agenda politik kawasan. Gejala yang arbitrer pada regionalisasi 1990-an ini justru memperlihatkan kemiripan dengan pola sosial dalam globalisasi di mana aktivitas individu cenderung “bebas”, tidak serta-merta terikat oleh kebangsaan atau “ideologi” pemerintah negaranya. Sementara sebagai agenda ekonomi, beredarnya karya-karya seni rupa kontemporer Indonesia di

Agung Hujatnikajennong

kancah internasional pada masa itu secara praktis tidak menghasilkan perubahan besar pada konstelasi pasar komersial secara luas. Beberapa museum dan kolektor luar negeri memang mengoleksi karya-karya segelintir seniman Indonesia, namun dalam jumlah yang sangat terbatas. Forum regional 1990-an pada akhirnya menjadi medan tersendiri bagi seniman-seniman yang berorientasi pada karir internasional. Pengalaman tampil dalam pameran berskala besar di luar negeri menjadi iming-iming yang memikat, terlebih lagi jika mengingat bahwa legitimasi institusional semacam itu malah mustahil mereka dapatkan di negeri sendiri. Pasar dan Komodifikasi Seni Rupa Globalisasi/regionalisasi 1990-an membuktikan bahwa praktik dan sistem nilai seni rupa Indonesia pada masa itu mulai melepaskan diri dari paradigma, konvensi, dan infrastruktur lokal. Harus diakui bahwa sebagian besar seniman Indonesia yang lebih banyak tampil ketika itu adalah mereka yang justru tenggelam di bawah gelombang booming pasar seni rupa lokal yang berlangsung sejak 1980-an. Dampak perkembangan seni rupa regional pada kancah seni rupa lokal baru terlihat sejak pertengahan

14

15

Negara dan Pasar: Dua Dasawarsa Seni Rupa Kontemporer Indonesia

2000-an ketika figur-figur seniman yang selama 1990-an banyak malang melintang di luar itu kemudian mulai mendapatkan lebih banyak kesempatan berpameran di Indonesia. Sejak 2000-an, frekuensi kegiatan-kegiatan seni rupa berbasis regional cenderung menyurut. Jikapun masih berlangsung, perayaannya tidak lagi semeriah pada masa sebelumnya. Pada 1990-an arahan praktik seni rupa kontemporer banyak dipengaruhi oleh agenda dan mekanisme pemerintah negara-negara kawasan yang cenderung bersifat top-down. Ketika terjadi keguncangan hubungan politik di tingkat negara, dampak langsung pada praktik seni rupa Indonesia pun tak terhindarkan. Tragedi 11 September yang menyebabkan timbulnya sentimen negatif pada Islam menjadi antitesis dari wacana multikulturalisme yang digembar-gemborkan sepanjang 1990-an. Kepanikan sosial yang disebabkan terorisme dan perang global terhadap terorisme yang diuaruarkan negara adidaya menjadikan kegiatan seni budaya lintas negara tidak lagi berlaku sebagai ‘pelumas’ agenda politik. Kecurigaan negara-negara Barat pada negara-negara Islam, termasuk Indonesia, memacetkan komunikasi budaya.

Tragedi bom Bali pada 2002 dan 2005, ditambah lagi dengan pengeboman kedutaan Australia di Jakarta pada September 2004, berujung pada diberlakukannya travel warning dan travel ban pada Indonesia oleh beberapa negara, termasuk Australia. Para kurator museum pemerintah di Australia mendapatkan kesulitan untuk melakukan riset lapangan di Indonesia. Proses pertukaran informasi dan kerjasama yang telah terjalin sebelumnya terhambat oleh memburuknya hubungan diplomatik antarnegara. Pada 2000-an, pola distribusi dan konsumsi medan seni rupa regional di Asia bertransformasi dengan mekanisme baru yang didorong oleh pesatnya perkembangan seni rupa kontemporer Cina dan tren baru pengoleksian karya seni rupa kontemporer oleh para kolektor partikelir. Dominasi pemerintah negara sebagai pusat mengendur seiring dengan perluasan jaringan seni rupa yang melibatkan agen-agen non-pemerintah. Para penyalur seni dan galeri komersial menjadi pemain yang semakin penting dalam konstelasi ini. Sekurang-kurangnya sejak 2005, frekuensi pameran seni rupa Indonesia meningkat di galeri-galeri partikelir di kota-kota besar di Asia seperti Hong Kong, Kuala Lumpur,

Agung Hujatnikajennong

Singapura, dan Beijing. Karya-karya yang muncul saat itu mewakili fenomena munculnya generasi seniman baru pasca 1990-an, sekaligus “cita-rasa baru pasar” yang semakin beragam dan idiosinkratik. Balai lelang juga memainkan peranan yang tak kalah penting dalam perubahan konstelasi seni rupa pasca-1990-an. Beberapa balai lelang besar yang membuka cabang di Asia berhasil memunculkan klien-klien baru multinasional yang mendorong penjualan secara signifikan termasuk dengan pecahnya rekor harga penjualan karya-karya seni rupa Indonesia. Mekanisme lelang yang sebelumnya dilihat sebagai ‘pasar sekunder’ malah memberi banyak perubahan pada semakin lancarnya perputaran uang lintas negara dan interaksi para aktor di medan seni rupa. Kolektor-kolektor seni rupa Indonesia pun semakin aktif di lelang-lelang regional. Menarik untuk mengamati bagaimana fenomena ini bukanlah gejala yang terpisah dari perkembangan di luar Asia Pasifik. Pada masa yang kurang lebih sama, di belahan dunia lain, balai lelang juga mampu melahirkan kolektor-kolektor baru dari negara-negara di mana pengoleksian seni rupa modern/kontemporer adalah tradisi yang sama sekali baru, seperti Uni Emirat Arab dan Turki.

Negara dan Pasar: Dua Dasawarsa Seni Rupa Kontemporer Indonesia

Pada perkembangan 1990-an poros kekuatan dominan yang paling berperan dalam ekspose seni rupa kontemporer Indonesia di Asia Pasifik adalah kurator independen dan galeri alternatif Indonesia. Bekerja sama dengan institusi luar negeri yang berperan sebagai tuan rumah kegiatan-kegiatan regional, poros tersebut menjadi faktor yang sangat menentukan pada corak dan eksistensi seni rupa Indonesia di kancah internasional pada 1990-an. Adalah pola yang sangat umum bahwa dalam mekanisme kuratorial pameran - riset, penulisan, dan pemilihan karya-karya senimanseniman Indonesia - pihak museum atau organisasi internasional selalu melibatkan para kurator atau seniman lokal. Sementara dalam perkembangan hari-hari ini peta poros kekuatan dalam medan seni rupa regional menjadi lebih kompleks. Satu hal yang pasti, dalam kurun lima tahun terakhir, para kolektor juga mengambil peran yang lebih signifikan dibandingkan masa-masa sebelumnya. Kolektor menjadi aktor yang turut berperan dalam ‘mekanisme kuratorial’ pameran-pameran seni rupa Indonesia di luar negeri. Pameran Collectors Stage di Singapore Art Museum pada Januari 2011 hanyalah salah satu bukti

bagaimana sebuah institusi seni pemerintah dewasa ini dapat secara secara terang-terangan berkompromi dengan kepentingan-kepentingan partikelir. Pameran tersebut menampilkan sejumlah karya koleksi beberapa kolektor Indonesia yang bersanding dengan kolektorkolektor dari negara lain seperti Cina, Singapura, dan India. Semakin populernya international art fair yang melibatkan perputaran komoditas dan modal kapital lintas negara dalam jumlah yang sangat besar harus dilihat sebagai bukti bagaimana medan seni rupa saat ini kian mengikuti pola perdagangan dan pasar bebas. Semenjak 2000-an, beberapa art fair internasional melakukan “perombakan” dengan mekanisme seleksi yang lebih ketat. Citra mereka pun terangkat oleh kegiatan-kegiatan pendamping yang “serius” semacam seminar dan pemberian penghargaan yang melibatkan nama-nama besar kurator internasional sebagai juri. Dalam art fair internasional, agenda politik negara cenderung absen karena sebagian besar art fair internasional yang populer saat ini diselenggarakan dan diikuti oleh korporasi partikelir dan lebih dilandasi oleh kepentingan dagang.

Agung Hujatnikajennong

Keikutsertaan beberapa galeri Indonesia dalam beberapa art fair di Cina, Singapura, dan Amerika secara reguler membuktikan hal ini. Semenjak pertengahan 2000-an, frekuensi penyelenggaraan art fair di Asia semakin meningkat dan hal itu diikuti juga oleh meningkatnya jumlah galeri komersial Indonesia yang mengikuti kegiatan tersebut. Menarik untuk mengamati bagaimana galeri-galeri tersebut membawa serta “seniman-seniman 1990-an”, dan mempekerjakan kurator-kurator independen lokal yang sebelumnya aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan seni rupa regional pada 1990-an. Pada titik itu pergeseran patronase yang dominan dalam eksposisi seni rupa Indonesia di kancah internasional menjadi terlihat jelas. Biennale/triennale dan proyek-proyek seni rupa yang diinisiasi institusi seni publik/pemerintah negara-negara regional pada 1990-an memang bukan format kegiatan yang bisa diperbandingkan secara langsung dengan art fair dan balai lelang partikelir yang dominan pada 2000-an. Kedua pola perkembangan dominan tersebut juga bukanlah model yang bisa dipertentangkan secara biner, antara lain karena adanya perbedaan motif penyelenggaraan dan indikator keberhasilan.

16

17

Negara dan Pasar: Dua Dasawarsa Seni Rupa Kontemporer Indonesia

Akan tetapi, kita masih bisa membedakan pola patronase yang berlangsung dalam institusi publik/pemerintah dengan korporasi partikelir. Yang pertama bisa diandaikan sebagai representasi negara; sementara yang kedua, pasar. Tetapi, menarik untuk melihat bagaimana hari-hari ini kedua pola tersebut sama-sama tunduk pada pola ekonomi pasar bebas, di mana institusi seni negara seperti museum publik pada akhirnya juga mengalami “privatisasi” dengan keterlibatan individu ataupun korporasi nonpemerintah. Dalam lima sampai sepuluh tahun terakhir, beberapa institusi publik di negara-negara maju dihadapkan pada masalah yang pelik dengan krisis ekonomi global yang berdampak pada pemotongan subsidi pemerintah untuk kegiatan seni. Museum publik/pemerintah berkompromi dengan perubahan besar itu, melakukan kerjasama dengan kolektor atau korporasi swasta demi kelangsungan institusi mereka di masa depan. Sebagai institusi yang sebelumnya melakukan “validasi nilai” seni rupa, museum publik sebagai representasi negara kini “bersaing” dengan fundamentalisme pasar bebas yang sarat dengan kepentingan-kepentingan segelintir elite.

Pada level yang akut, independensi institusi dan infrastruktur negara seperti museum tergerogoti oleh pasar. Ini adalah juga cermin dari krisis negara yang diramalkan masih akan berlangsung sampai satu hingga dua dasawarsa ke depan. Ketegangan antara negara dan pasar global ini merepresentasikan konflik yang lebih besar antara ekonomi neoliberal - sebagai denyut nadi kapitalisme mutakhir - versus nasionalisme baru yang menggerakkan kontra-globalisme. Fenomena anomali sebetulnya terjadi dalam medan seni rupa Indonesia, di mana institusi publiknya tak pernah benar-benar hadir sebagai representasi negara. Jauh sebelum krisis global berlangsung, mekanisme penyelenggaraan kegiatan seni rupa sudah selalu bergantung pada dukungan korporasi partikelir. Representasi negara memang hadir dalam bentuk label institusi dan fasilitas fisik. Tapi sampai hari ini, dalam keadaan krisis maupun sejahtera, negara tak pernah benar-benar bisa hadir sebagai kuasa yang punya otoritas dan wibawa untuk menetapkan suatu agenda besar. Mekanisme yang selama ini berlangsung menunjukkan bagaimana fungsi validasi dan legitimasi yang seharusnya diemban oleh institusi publik sebagai representasi negara justru tak pernah steril dari

Agung Hujatnikajennong

kepentingan-kepentingan ekonomi. Fenomena anomali yang lain adalah ketika pasar seni rupa regional/internasional dilanda kelesuan, frekuensi pameran seni rupa di Indonesia malah tak kunjung surut. Pecahnya rekor harga penjualan karya seni rupa Indonesia di sebuah balai lelang terjadi pada 2008 ketika kondisi ekonomi global menunjukkan tanda-tanda memburuk. Semua gejala itu menunjukkan bagaimana dalam sistem pasar neoliberal yang rizomatik, kendali terhadap pasar berlangsung seolah-olah tanpa pusat atau, jikapun ada, ‘sang pusat’ kini bisa dengan mudahnya berkelindan di pinggiran dengan kepentingan-kepentingan tersembunyi.

Negara dan Pasar: Dua Dasawarsa Seni Rupa Kontemporer Indonesia

Footnotes: 1 Tulisan ini bukanlah esai yang selesai dan berdiri sendiri, melainkan bagian dari sebuah penelitian yang masih berlangsung. Butir-butir pemikiran dalam tulisan ini terus menerus mengalami perluasan dan pengembangan. Beberapa versi lain dari tulisan ini telah terbit dalam publikasi buku, jurnal, dan katalog, antara lain, Indonesian Contemporary Art in the International Arena: Representation and its Changes dalam Global Studies – Mapping Contemporary Art and Culture, Hans Belting, Jacob Birken, Andrea Buddensieg, Peter Weibel (eds.), Hatje Cantz, Verlag, 2011. 2 Manfred B. Steger, Globalization: A Very Short Introduction, New York, Oxford University Press, 2003, hal. 3 – 5. 3 Steger, ibid. Hal. 24. 4 Caroline Turner, Internationalism and Regionalism: Paradoxes of Identity, dalam Tradition and Change, Contemporary Art in Asia and the Pacific, Caroline Turner (ed.), Brisbane: University of Queensland Press, 1993. 5 Apinan Poshyananda, The Future: Post-Cold War, Postmodernism, Postmarginalia (Playing with Slippery Lubricants) dalam Caroline Turner (ed.), ibid. Hal. 3-24.

Apinan Poshyananda, ibid. Greg Sheridan, Farewell to Jakarta’s man of steel, The Australian online, 28 Januari, 2008, http://www.theaustralian.news.com.au/ story/0,25197,23118079-5013460,00.html diakses 1 Juni 2009. 6 7

Agung Hujatnikajennong

19

Yang Kontemporer dan Seni Kontemporer India: Abad 21

Yang Konte m por e r dan Abad 21 Seni Konte m por e r In d ia: Agastaya Thapa

Mari menyebutnya mengambil sisa persediaan, refleksi atau retrospeksi, yang paling mendasar selalu disebabkan oleh jarak. Menjadi kritis membutuhkan jarak. Tetapi, bagaimana kita menciptakan jarak dari yang sesuatu yang kontemporer? Dalam istilah “menyusun sejarah”, tampaknya selalu ada kebutuhan mendesak untuk mendokumentasikan, mengarsipkan, merekam dan mendata. Karenanya, munculnya lembaga seperti Asian Art Archive pada awal abad ke 21 (2000) dengan projek seperti Bahan-bahan untuk Masa Depan: Mendokumentasikan Seni Kontemporer Cina tahun 1980 hingga 1990 (2000) harus dilihat sebagai peristiwa penting yang membawa serta banyak implikasi. Peristiwa ini tidak hanya menyebabkan peningkatan seri produksi seni di wilayah Asia, tetapi juga menunjukkan pertumbuhan seni rupa Asia di tingkatan dunia. Ini merupakan poin penanda menuju tautan yang dekat antara fenomena global yang menonjol dan produksi seni. Tautan yang terperkirakan ini dapat membawa kita untuk mengafirmasi secara penuh keyakinan, dan, pada cara tertentu, dengan cara lebih reduktif, kepercayaan bahwa awalan menuju abad 21 sejauh ini menunjukkan perkembangan baik bagi seni India. Jika kita menimbang berbagai

Agastaya Thapa

debat terbuka yang sering terasa melemahkan dan rangkaian upaya yang secara kritis mematikan sifat dan makna dari kata ‘baik’ itu sendiri, di sini kita bisa melihat ada keterlihatan dan keberdayaan seni India dalam satu kelonggaran baru, yang global. Seni India sudah masuk pada ‘yang global’. Bisa juga disebut Seni India sekarang menjadi kontemporer dengan terbukanya India sebagai bagian dari dunia seni global, taruh kata dengan banyaknya seniman India yang sekarang menjadi seniman internasional yang sukses. Sukses ini bisa mencakup mereka yang menjual karya dengan nilai uang yang sangat tinggi, atau mereka yang karyanya dikoleksi oleh kolektor dan museum penting. Dapat dikatakan, seni kontemporer India telah menjadi bagian dari proses yang lebih besar yang membangun struktur keseluruhan yang luas, yang diidentifikasi sebagai momen kontemporer di India. Seni kontemporer India harus dikaitkan dengan representasi senimannya pada berbagai biennale, triennale dan festival seni internasional, dan dalam wilayah lokal, dengan diselenggarakannya art fair seperti India Art Summit pada 2008. Antisipasi atas biennale internasional India yang akan diselenggarakan pada 2012 juga harus diperhitungkan. Dengan demikian, seni kontemporer India sekarang ini merupakan

jejaring luas dari galeri-galeri, kolektor dan ruang seni yang diinisiasi oleh seniman. Kesukacitaan ini juga semakin ditambah dengan adanya penghargaan-penghargaan untuk seniman kontemporer, didirikannya museum-museum pribadi dan yayasan seni kontemporer serta inisiatif dari pemerintah. Ada banyak yang sudah dikatakan tentang gejala kontemporer dan relasinya yang kompleks dengan seni. Faktanya, yang paling sering dikutip dalam membicarakan isu ini adalah kuesioner tentang Kontemporer: 32 respons, yang disusun oleh jurnal October untuk memetakan sifat seni kontemporer dalam bingkai teoretis dan mengatasi antusiasme berlebihan yang menggerakkan dinamika seni kontemporer itu dan bagaimana kita membicarakannya. Menurut editornya, Hal Foster: “Kategori ‘seni kontemporer’ bukanlah sesuatu yang baru. Yang baru adalah rasa keberagamannya, yang sekarang pada praktiknya sekarang tampaknya membebaskan diri dari determinasi historis, definisi konseptual dan penilaian kritis.” Bagaimanapun, paradoks yang ditemui dari fakta adanya kevakuman realitas telah memunculkan kesempatan untuk melembagakan “seni

20

21

Yang Kontemporer dan Seni Kontemporer India: Abad 21

kontemporer” dalam studi para profesor dan program-program di dunia akademis, serta adanya institusi dan departemen di museum yang didedikasikan untuk subjek ‘kontemporer’. Konstitusi yang disebut Hal Foster sebagai “keberadaan yang ringan dan jelas tampak’ dari seni kontemporer juga diturunkan dari riuh rendah art fair, biennale dan sebagainya yang masih kurang pengalaman dan bising. Karenanya menjadi penting untuk memberi perhatian pada konsep yang dianggap signifikan oleh filsuf Jean Luc Nancy mengenai konsep ‘yang kontemporer’ dalam seni. Dalam Philosophical Chronicle, Nancy menggarisbawahi kecemasan di sekitar tema ‘seni kontemporer karena adanya intensifikasi dari proses-proses yang mengafirmasi makna ‘yang kontemporer’ dalam seni. “Musim festival, biennale, dan art fair serta adanya pasar telah membangkitkan kembali di sana sini keriuhan yang panas di seputar apa yang kita sebut, dua puluh tahun yang lalu, dalam sebuah tata cara tunggal, sebagai seni kontemporer. Rasa yang paling tampak dari ekspresi ini adalah, ‘seni kontemporer’ merancang seni untuk secara konstan bertautan dengan debat atas dirinya sendiri, menjadi kontemporer dengan tindak mempertanyakan dirinya atau dinamikanya sendiri; pendeknya,

Agastaya Thapa

kontemporer dengan mengambil jarak dari dirinya sendiri, dengan pemutusan intim yang harus dilakukan seseorang untuk bisa mengalami dirinya sendiri, dalam wilayah apapun, sebagai ‘yang kontemporer’ dari sesuatu atau seseorang.”

yang ada di sekitar pusat. Padahal pusat-pusat ini sendiripun nyaris tak dapat dikenali. Jika pada level makro acap dipercaya bahwa akibat dari globalisasi adalah melonggarnya batas dan batasan, maka pada level mikro, dunia seni tampak mengakomodasi kecenderungan ini Ia menunjuk situasi di sekitar seni kontemporer dalam bentuk pertukaran lintas budaya dan sebagai kurangnya naluri, yang gagal membuat persilangan. Bentuk-bentuk ekspresi diambil dari sesuatu masuk akal…. –setidaknya naluri dari sebuah piring budaya yang tampaknya terlalu dikeriuhan yang secara dashyat mengemukakan garisbawahi, terlalu disuntuki dan pada akhirnya argumen-argumen mengenai karakternya yang membuat nilai yang kontemporer itu menjadi memadai untuk menghadapi suara-suara yang berkurang. Bagaimanapun Nancy membaca berbeda: “Ini seni!” atau “Ini bukan seni!” atau kompleksitas ini dengan mengidentifikasi “Apa sesungguhnya seni?” dalam alur seni kontemporer, sebuah harapan emansipasi. Emansipasi ini terletak tepatnya Dalam proses yang berganda dan berlebih, pada keriuhan medan seni global yang bipolar, praktik dan tanda yang ditawarkan oleh yang yang pada saat yang sama bersifat global dan kontemporer, jelaslah bahwa medan seni lokal, masa kini dan tak berbatas waktu, sehingga dikepung dan dikitari oleh pertanyaan dan menjadi sulit untuk merumuskan medan seni ketidakpastian mengenai statusnya sendiri. Dan sekarang ini dalam modul yang terdefinisikan jika seni dalam masa kontemporer berada di dengan baik. Nancy melihat bahwa dalam garis depan, pada saat yang sama mendorong ruang yang licin dari yang kontemporer, ada tetapi juga membatasi titik tumbuhnya, dan peningkatan perlawanan terhadap konformitas karenanya kita berupaya menggambarkannya atas struktur, dan ada sebuah sistem siap pakai dalam makna-makna dan nilai-nilai penting untuk pemaknaan dan interpretasi. Ketika yang tak pasti. Seni kontemporer karenanya seniman bertaut dengan dunia, selalu ada waktu merupakan moda siklus yang terus berulang yang transit dan memahami hal baru, dan mereka tampaknya mencampurkan setiap komponen tidak lagi tertarik untuk membuat seni sebagai

Yang Kontemporer dan Seni Kontemporer India: Abad 21

agen individual yang berjarak dari pengalamanpengalaman dunia yang umum. Seni dibawa mendekat ke kehidupan. Nancy mengenalinya sebagai peristiwa emansipatif atau jeda menuju yang akan datang. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa bagi Nancy, yang kontemporer itu penuh dengan gairah untuk melakukan penerimaan dan inklusi, mengakui adanya chaos heterogenitas yang dibawa oleh dunia baru.

Agastaya Thapa

secara berkelanjutan berkontribusi pada transformasi yang lebih besar dalam seni kontemporer. Karya John Clark Modern Asian Art (1998) memosisikan korespondensi antara munculnya gerakan garda depan Asia ini dengan agensi sosial politik.

Gerakan-gerakan garda depan ini tampaknya juga diperkaya oleh persoalan-persoalan lokal dan pertukaran eksternal, juga oleh peristiwa sosial politik yang mengemuka seperti Semua poin ini memusat pada lahan basah berakhirnya Revolusi Kebudayaan di Cina, modernitas, yang muncul secara menonjol dalam liberalisasi ekonomi India dan reformasi di konstitusi yang kontemporer, sebagaimana Indonesia. Bersamaan dengan transformasi yang disebut oleh kurator Okwui Enwezor sosial politik dalam ‘konstelasi pasca-kolonial’ dalam terma “konstelasi pascakolonial” dimana dimana hal itu memang merupakan konsekue“situasi terkini atas produksi, penyebaran nsinya, sebagaimana yang disebut Enwezor, ada dan penerimaan tentang seni kontemporer” penguatan kepemerintahan dan kelembagaan, tersembunyi dalam konfigurasi geopolitik yang wilayah-wilayah baru kehidupan dan kompleks yang mendefinisikan semua sistem kepemilikan bagi masyarakat dan warga negara, produksi dan relasi dari pertukaran sebagai kebudayaan dan komunitas”, selain ada kemajuan konsekuensi globalisasi setelah berakhirnya dan perkembangan ekonomi yang pesat di imperialisme.” Dalam kompleksitas yang sebagian wilayah Asia. Ledakan ekonomi Asia kontemporer, munculnya medan seni Asia dalam dua dekade terakhir tidak saja berarti dapat dilihat sebagai bukti dari meningkatnya perluasan infrastruktur seperti dukungan untuk ‘konstelasi pascakolonial’, dimana senimangaleri dan museum, organisasi biennale dan art seniman Asia semenjak 1980 dan 1990 menjadi fair, tetapi juga pada level personal: munculnya bagian dari dunia kontemporer global, dan kolektor-kolektor berpengaruh untuk seni,

dan dikombinasikan dengan perkembangan teknologi komunikasi dan perluasan jejaring budaya dengan aliran seniman dan kosakata visual lintas batas. Semuanya telah memberikan kontribusi dalam membuat seni kontemporer Asia menjadi terlihat, dalam level global dan internasional. Dengan demikian, secara umum, pertukaran identitas dan konteks sepanjang jalan kanal globalisasi tidak saja berpengaruh pada pelestarian yang kontemporer sebagai warisan budaya yang beragam dan tersebar, tetapi menunjukkan juga partisipasi seni kontemporer Asia dalam milennium ini, yang kemudian diterjemahkan dalam pengakuan institusional dan terbentuknya pasar untuk beberapa seniman Asia. Hal ini bisa dikatakan sebagai situasi afirmatif, tidak hanya berkaitan dengan produksi seni dan bahasa, tetapi juga bisa menjadi konsekuensi tak terhindarkan bagi munculnya model pusatpinggiran dari penyebaran seni, yang meletakkan Barat sebagai pusat dari model heliosentris yang merupakan asal dari pinggiran dan memberi model pada modernisme mereka. Karenanya kita dapat melihat bahwa bangkitnya yang kontemporer dalam diskursus penghilangan pusat ini juga cocok dengan tren akademis masa

22

23

Yang Kontemporer dan Seni Kontemporer India: Abad 21

2009, berjudul titled Signposts of the Times…from the collection of the NGMA, dimana dapat dilihat sekitar lima ratus karya dari koleksi seni NGMA, New Delhi ditampilkan pada pengunjung, terkandung sebuah upaya untuk memadatkan, sekaligus memecah modernitas India. Halaman maya The NGMA Bangalore dengan penuh bangga menyatakan bahwa pameran tersebut menelusuri trajektori seni India dari Abad 18 ke Abad 21, dimana kita bisa menilai modernisme Pertanyaan mengenai modernitas dalam konteks yang tumbuh dalam seni India berbeda dengan India, adalah sesuatu yang di permukaan sesuatu yang dirumuskan oleh Barat, dan dalam membuat penasaran dan secara ideomatis pemulihan pasca-kolonial, sebuah modernisme terpecah. Modernitas di India selalu dikaitkan yang bertumbuh dari istilahnya sendiri. Halaman dengan subjek ‘yang tradisional’. Modernitas maya The NGMA mempropagandakan di India dilihat sebagai sesuatu yang disebut versi modernisme India yang terikat dengan sebagai penulis sejarah seni Gayatri Sinha sebagai projek pembentukan negara bangsa India. “keberanian India untuk menghadapi teknologi Bagaimanapun, yang perlu ditujukan di luar dan penggunaan fotografi yang demokratis dan ini adalah, fakta bahwa modernitas India selalu imajinatif, serta penyatuan dengan modernitas ditunggangi oleh penumpang gelap. Penumpang internasional”, yang memberi timbal balik pada gelap tradisi dan yang membentuk tradisi tidak penciptaan idiom India yang disadari, di antara pernah bisa lepas dari titik pandang masa depan yang “jalanan dan studio, media kontemporer modernitas. Pameran Contemporary Art in Asia: dan tradisional, ideologi dan praksis. Jika kita Traditions/ Tensions (1996-1997) yang diselengberfokus pada pameran restrospektif terkini yang garakan Asia Society menampilkan karya dari menunjukkan modernisme India, yang diseleng- lima negara: India, Indonesia, Filipina, Korea garakan sebagai pameran pembuka dari National Selatan dan Thailand. Sebagaimana dirujuk Gallery of Modern Art cabang Bangalore pada dalam judul pamerannya, ada usaha untuk mengkini, debat mengenai penggandaan modernitas itu sendiri. Modernitas, sebagai fenomena yang tersebar luas secara kuat dibahas oleh Kobena Mercer dalam seri buku yang disuntingnya, Annotating Art’s Histories (2005-2008) yang menggunakan pendekatan komparatif untuk pertanyaan mengenai modernisme berganda dan pemetaannya dalam konteks politik dan estetika perbedaan budaya yang lebih besar.

Agastaya Thapa

garisbawahi relasi antara tradisi dan modernitas, yang lama dan yang baru dan cara-cara seniman Asia beroperasi di antara ketegangan itu dalam dunia yang terglobalkan. Dengan demikian, satu cara untuk membicarakan isu ini adalah bukan hanya mempertanyakan modernitas, akan tetapi, kriteria ‘tradisional’ harus dibawa ke permukaan juga. Jika seseorang bertanya, “kapankah modernisme itu?” maka orang itu mungkin juga mengajukan “apakah tradisional itu?” Di India, tradisi dikaitkan dengan versi ke-India-an yang otentik dan dianggap bawaan di India. Pada faktanya penulis sejarah seni John Clark memperkirakan debat mengenai tradisional dan modern dapat dirujuk pada tahun 1890an di India. Tradisi pada kenyataannya menjadi istilah yang problematis terutama karena ia berubah menjadi ‘tradisional’. Sebagaimana yang dikatakan Clark, ‘segala sesuatu yang bisa dikatakan tradisional, adalah sebuah penemuan yang motivasi ideologisnya harus dipertanyakan, karena hal tersebut seharusnya mendeskripsikan objek, ritual dan nilai dari masa lalu dimana kelompok ‘mendefinisikan diri sendiri’ mungkin berhutang kesetiaan dan melepaskan diri dari. Berkaitan dengan terma-terma karya seninya, tradisional

Agastaya Thapa

Yang Kontemporer dan Seni Kontemporer India: Abad 21

“diselidiki kembali” untuk memproduksi variasi baru dan intervensi formal, sementara pada level idealisasi, tradisional digunakan untuk membuat cara pandang yang estetik dan religius menjadi eksplisit.” Tradisi yang dipengaruhi modernisme ini dapat dipahami dalam terma yang digunakan Clark: neotradisionalisme, dan tradisi semacamnya seperi lukisan neotradisional muncul dengan sentimen anti-kolonial yang disebabkan koloni India, diartikulasikan melalui gerakan seperti Swadeshi di Bengal pada 1900. Bengal School yang didirikan seniman Abanindranath Tagore mengartikulasikaan demam nasionalistis pada 1900an melalui wacana orientalis di seputar pertanyaan mengenai apa yang otentik dalam seni India, atau ketahanan tradisi. Pada kenyatannya, kita bisa menyebut bahwa formasi pasca-kolonial memegang teguh pengalaman modernitas yang diterima melalui pertemuan tradisi dan artefak kolonial. Belakangan ini, dengan posisi yang strategis dari seni garda depan India, kompleksitas modernitas mulai dijelajahi. Posisi garda depan seni India dikenali oleh sejarawan seni Partha Mitter dalam peristiwa pengenalan seni modern di India pada 1922 ketika diadakan pameran Paul Klee,

Wassily Kandinsky dan seniman Bauhaus lainnya di Kalkuta, dimana kemudian memfasilitasi penggunaan bahasa modernis dalam seni oleh seniman seperti Rabindranath Tagore dan Jamini Roy, pejuang awal seni modern di India. Seniman-seniman ini mengklaim solidaritas dengan kritikus garda depan Barat berkaitan dengan kapitalisme industri masyarakat kota, membawa mereka untuk menggarisbawahi pedesaan sebagai situs bangsa dan resistensi terhadap kekuasaan kolonial yang juga memandu mereka, untuk terlibat pertama kalinya dengan persoalan estetika global, sebagaimana yang disebut Mitter.” Poin-poin penyelidikan sampai pada fakta bahwa momen modernitas dalam seni India tampaknya penuh dengan kekhawatiran, dengan tujuan ambivalen sebagaimana yang ditegaskan Yashodhara Dalmia, ketika institusi-institusi seni didirikan oleh pemerintah Inggris pada pertengahan Abad ke19, terutama untuk menyebarkan seni neo-klasik dengan tujuan untuk meningkatkan tradisi pembuatan kerajinan tangan oleh masyarakat India asli. Percampuran yang modern dan yang tradisional semacam itu menghasilkan sesuatu seperti ciptaan seniman asli India Raja Ravi Varma dari

Travancore pada abad ke19, yang memisahkan sejarah seni aristokratis dengan matriks sosial. Karya Varma juga menampilkan persentuhan degan citra-citra visual popular dan gambar— dibuat di studio litografi, sebagian besar didirikan oleh lulusan dari lembaga seni seperti Calcutta Art Studio pada tahun 1980an. Studiostudio semacam ini secara khusus membuat karya cetak dengan cakupan yang luas, mulai dari gambar lanskap hingga tampakan religius dalam sensibilitas hibrid dari moda realis Barat, dan idiom penciptaan citra yang vernakular. Jika model realis yang dipengaruhi tradisi yang dipopulerkan oleh Raja Ravi Varmaa pada abad 19 membentuk satu bagian dari sejarah seni India, maka bagian lain yang diidentifikasi Geeta Kapur adalah praksis sosiologis dari Abad 19, sebuah moda yang datang dari kelompok kelas menengah, bukan seperti para Tagore. Kelompok Tagore secara progresif dan bergerak luas dalam ruang mereka sendiri dengan apa yang disebut sebagai ‘seni rakyat’ (folk). Mereka menunjukkan apa yang disebut Geeta sebagai “nostalgia pastoral’ (2000) yang membawa mereka memasuki bingkai nasionalisme India yang lebih besar, ketika bahasa-bahasa seni tertentu mempertemukan seni rakyat ini dengan inovasi. Projek ini, sebagaimana yang

24

25

Agastaya Thapa

Yang Kontemporer dan Seni Kontemporer India: Abad 21

diidentifikasi oleh Kapur (2000), mempunyai kebutuhan demokratis yang nyaris mutlak, yang diterjemahkan, dalam kasus Rabindranath Tagore, menjadi penciptaan ruang pedagogis. Santiniketan, tahun 1920, dengan senimansenimannya Nandalan Bose dan Ramkinkar Baji memperjauh visi ini pada masa kemudian. Kapur (2000) memperluas trajektori seni modern India dari Santiniketan (dan manifestasi subaltern-nya) sebagai bagian dari strategi komposisional triparti bersamaan dengan seniman yang berbasis pada ideologi Gandhian dan estetika kerajinan, dibawa pimpinan A.K. Coomaraswamy, dalam formasi budaya nasionalis, yang merujuk pada gagasan atas tradisi. Memperluas pengenalan artistik modern ini ke dalam praktik seni abad 20, senimanseniman seperti K.G. Subramanyan, yang menciptakan ulang bentuk-bentuk tradisi, dikatakan sebagai mereka yang mengikuti bentuk mediasi modernis kesadaran diri. Seni rakyat, yang sering dipertukarkan dengan tradisi, dan keterlibatannya dengan modernitas membentuk jalur modernitas baru bagi modernisme populis yang dimediasi oleh Jamini Roy, pada 1930an. Dalam kasus ini, interaksi metropolitan sebagaimana yang bisa dilihat

pada karya seniman keturunan Hungaria Amrita Sher-Gil, dan kelompok mediasi modernis pada tahun 1940an dan 1950an di kota-kota pusat cosmopolitan (seperti Delhi dengan Delhi Silpi Chakra, Calcutta dengan the Calcutta Group, Bombay dengan the Progressive Artists’ Group dan Madras dengan the Progressive Painters’ Association).

1970an dengan munculnya Baroda sebagai pusat baru bagi seni kontemporer terutama dengan didirikannya Fakultas Seni Murni di M.S. University, dimana kaitan antara praktik seni dan teori didorong menjadi bagian penting dari zaman ini, untuk mendapatkan dasar bagi bahasa naratif untuk mengartikulasikan sejarah kontemporer dan personal.

Trajektori seni modern India melihat munculnya estetika nasional/modern pada tahun 1950an yang mempunya kaitan khusus dengan status sosial politik bangsa India sebagai formasi baru pasca 1947 ketika seniman seperti M.F. Husain, K.C.S. Paniker, Satish Gujral dan Paritosh Sen mengartikulasikan visi modern atas bangsa kepada masyarakat menggunakan leksikon modernis. Tahun 1960an menyaksikan formasi moda artistik figural naratif, yang ditujukan sebagai respon pada intervensi modernis kelompok Progressive Artists’ Group di tahun 1950an, yang tampaknya bersikap terlalu pasif tanpa kritik terhadap leksikon modernitas Barat. Yang mendukung kampanye ini adalah Group 1890 yang didirikan di Baroda, Gujarat oleh Gulammohammad Sheikh dan sebelas seniman lain termasuk J. Swaminathan, Jeram Patel and Jyoti Bhatt. Intervensi artistik ini meluas hingga

Karenanya, pada 1970an, ada transformasi dan pergeseran yang nyata dalam medan seni India ketika seniman mulai menjelajahi realitas yang intim dan memasuki lingkungan lokal mereka, yang terungkapkan dalam setting seni naratif yang bersifat membangkitkan. Pada tahun 1980an lah, sebuah gerakan menuju ‘internasional’ dipetakan dalam medan seni India dengan adanya peristiwa-peristiwa seperti The Festivals of India di London, Paris dan di Amerika, serta pameran Place for People (Bombay dan New Delhi, 1981). Pameran Place for People (1981) pada awalnya diinisiasi oleh seniman seperti Gulammohammad Sheikh, Bhupen Khakhar, Vivan Sundaram, Nalini Malani, Jogen Chowdhury, Sudhir Patwardhan dan kritikus seni Geeta Kapur, untuk mempertanyakan lokasi dan modernisme, baik dalam narasi sejarah personal seperti yang dijelajahi

Agastaya Thapa

Yang Kontemporer dan Seni Kontemporer India: Abad 21

oleh Bhupen Khakhar dan Gulammohammad Sheikh, atau dalam pelibatan kelas proletar dan subaltern sebagaimana yang terlihat pada karya Sudhir Patwardhan yang menampilkan adopsi tanpa nilai kritik terhadap idiom modernis Barat oleh seniman-seniman yang berkarya sebelum mereka. Tahun 1980 juga menjadi signifikan untuk diskursus Barat mengenai modernisme dengan adanya dua pameran penting, Primitivism in 20th Century Art: Affinity of the Tribal and the Modern yang diselenggarakan oleh Museum of Modern Art in 1984 dan Magiciens de la Ferre di Centre Pompidou pada 1989 yang mendiskusikan isu lokasi dan modernisme. Tahun 1990 melihat munculnya dimensi baru dari seni India ketika negara ini bergerak menuju liberalisasi dan ekonomi pasar bebas yang lebih besar. Mobilitas yang lebih tinggi, akses dan terpaan pada medan seni global membuat adanya eksperimentasi, permainan artistik yang dipinjam dari budaya pluralistis dan multikultur, yang ditunjukkan dengan cakupan tema yang beragam, serta konteks dan modus-modus baru yang mulai dijelajahi.

Kondisi baru menghadapi Abad 21, dengan pertumbuhan teknologi yang pesat dan jejaring komunikasi yang makin mudah, yang telah memberi bingkai pada globalisasi, membuat seni India menjadi lebih sinkretis dan lintas budaya. Seni India sekarang menjadi kontemporer di Abad 21, tidak hanya dalam istilah yang berdimensi waktu seperti ‘kekinian’, tetapi juga berkaitan dengan tindak menempatkan diri, bekerja dalam, dan memperluas model-model dari apa yang membentuk seni kontemporer. Karenanya konteks yang berganda, tema, moda kerja, praktik, semua diselidiki dan diakomodasi oleh yang kontemporer dalam seni India. Instalasi, karya berbasis alam, seni konseptual, performans dan seni video diciptakan untuk menginformasikan dan mengalamatkan isu-isu yang mencakup multikulturalisme, hibriditas, fragmentasi, pluralisme, teknologi, gender dan seksualitas, fetish, sensibilitas baru, sejarah, kutipan dan keaslian, identitas politik dan personal, lokasi, dan sebagainya. Juga, ‘yang kontemporer’ berarti level yang lain dari keterlibatan dengan tradisi, sebagaimana dalam kasus karya foto Pushpamala N. dari seri the Native Women of South India: Manners and Customs (2000-2004) dimana ia mengambil satu bentuk tradisi yang digariskan Raja Ravi

Varma pada Abad 19. Dengan menampilkan dirinya sebagai Laksmi dalam karya Raja Ravi Varma yang ikonik (Laksmi adalah Dewi Kemakmuran dalam ajaran Hindu), yang dibuat sedemikian rupa sehingga wajahnya benar-benar menyerupai dewi (karena teknologi cetak di Abad 19, maka gambar-gambar ini bisa disebarluaskan), ia berhasil untuk menautkan karyanya dengan tradisi dalam nada yang meragukan. Jika Raja Ravi Varma melakukan rekonfigurasi tradisi dengan mempertanyakan mitos dalam model realis Barat Abad 19, maka Pushpamala mengutip pencapaian Abad 21dengan dua tujuan sekaligus, bukan hanya representasi mistikal, tetapi juga membawa pertanyaan atas tradisi, modernitas dan sejarah seni India. Dalam kasus Shilpa Gupta, karyanya membawa jejak kontemporer tidak hanya dalam caranya menggunakan teknologi untuk membuat yang kini terasa kontekstual, tetapi juga dalam keterlibatan teknologi itu dengan isu dan tema yang relevan untuk situasi masa sekarang. Pertanyaanpertanyaan mengenai lokasi melalui oposisi biner lokal/global dijelajahi dalam patung Subodh Gupta yang kompleks dan instalasinya yang terdiri dari benda keseharian seperti panik yang dicetak sebagai penanda dari lokasi dan identitas

26

27

Yang Kontemporer dan Seni Kontemporer India: Abad 21

dalam globalisasi super cepat yang membongkar visi adanya satu keutuhan yang terpadu dan homogeni. Karenanya, jeda dan rekonfigurasi yang stilistik dan kontekstual menjadi bagian dari kompleks kontemporer, terbukti pada karya-karya Sudarshan Shetty, Jitish Kallat, Nalini Malani, Anita Dube, Mithu Sen, Bharti Kher, N.S. Harsha, Bose Krishnama chari, Riyas Komu, Surendran Nair, L.N. Tallur, Sakshi Gupta, Raqs Media Collective dan sebagainya. Dalam cara singkat, yang kontemporer tidak lagi dilihat sebagai perluasan teleologis dari modernisme Amerika Eropa, ia merangkul keberagaman dan kegandaan dari berbagai belahan dunia. Bagaimanapun, potensi emansipatoris yang terkandung dalam seni kontemporer yang multi-fokal, plural, lintas budaya dan tak bisa gampang dirangkum, juga memiliki kecemasannya sendiri berkaitan dengan definisi, batasan, wewenang dan legitimasi. Ketidaknyamanan dengan yang kontemporer sebagaimana yang dimunculkan oleh tekanan globalisasi, tidak saja menggemakan isu mengenai globallokal, pusat-pinggiran atau ekspor-impor dalam seni, dalam sebuah belokan yang lebih mutakhir dan bernuansa, tetapi juga memunculkan diskursus yang tidak mudah diurai. Karenanya,

Agastaya Thapa

yang kontemporer diakomodasi atau dimediasi melalui piranti seperti jelajah penyelidikan, paranoia pasca-kolonial, dan produksi wacana yang berbelit atau melalui ko-operasi yang aktif. Jika pada satu sisi, ada naluri ekstase yang profan dan optimis mengenai pergeseran yang terjadi dalam meluasnya corpus estetika global dan inklusi dari seni kontemporer Asia, kita mendapati juga kecemasan mengenai keriuhan ini. Jika kita melihat pada arsip-arsip dan karya dokumentatif yang sekarang berpengaruh pada seni kontemporer), sebagaimana yang sudah diramalkan Nam June Paik, tampaknya masa depan sudah berlari terlalu cepat di depan kita. Catatan penerjemah: The contemporary di sini saya terjemahkan sebagai Yang Kontemporer, untuk menggarisbawahi posisinya sebagai sebuah kata benda yang mengandung konsep dan punya posisi khusus dalam sejarah seni.

Footnotes 1 Hal Foster, Questionnaire on “the contemporary”: 32 Responses, October 130 (2009): 3 2 Jean Luc Nancy, Philosophical Chronicles translated by Franson Manjali (New York: Fordham University Press, 2008) 59 3 Ibid, 61. 4 Okwui Enwezor, The Postcolonial Constellation in Antinomies of Art and Culture: Modernity, Postmodernity, Contemporaneity (Durham and London: Duke University Press, 2008) 208. 5 Ibid, 208. 6 Russell Storer, More than Half the World: Asian and Pacific Artists in the 21st Century in 21st Century: Art in the First Decade edited by Miranda Wallace (Queensland: Queensland Art Gallery, 2010) 34. 7 Gayatri Sinha, introduction to Art and Visual Culture in India, ed. Gayatri Sinha (Mumbai: Marg Publications, 2009) 22. 8 John Clark, Modern Asian Art (Sydney: Craftsmen House, 1998) 71. 9 Ibid. 10 Ibid, 73. 11 Partha Mitter, The Triumph of Indian Modernism: India’s Artists and the Avant-garde (1922-1947), (New Delhi: Oxford University Press, 2007) 10.

Yang Kontemporer dan Seni Kontemporer India: Abad 21

Yashodhara Dalmia, introduction to Contemporary Indian Art: Other Realities, ed. Yashodhara Dalmia (Mumbai: Marg Publications, 2002) 1. 13 Geeta Kapur, When Was Modernism: Essays on Contemporary Cultural Practices in India (New Delhi: Tulika, 2000)271. 14 Ibid. 272. 12

Sumber Bacaan 1. Wallace, Miranda, ed. 21st Century: Art in the First Decade. Queensland: Queensland Art Gallery, 2010. 2. Sambrani, Chaitanya. Edge of Desire: Recent Art in India. London: Philip Wilson Publishers, 2005. 3. Sinha, Gayatri, ed. Indian Art: An Overview. New Delhi: Rupa, 2003. 4. Kapur, Geeta. When Was Modernism: Essays on Contemporary Cultural Practices in India. New Delhi: Tulika, 2000. 5. Clark, John. Modern Asian Art. Sydney: Craftsmen House, 1998. 6. Mitter, Partha .The Triumph of Indian Modernism: India’s Artists and the Avant-garde (1922-1947). New Delhi: Oxford University Press, 2007. 7. Dalmia ,Yashodhara ,ed. Contemporary Indian

Agastaya Thapa

Art: Other Realities. Mumbai: Marg Publications, 2002 8. Sinha, Gayatri, ed. Art and Visual Culture in India. Mumbai: Marg Publications, 2009. 9. Nancy, Jean- Luc. Philosophical Chronicles. Translated by Franson Manjali. New York: Fordham University Press, 2008. 10. Enwezor, Okwui , ed. The Postcolonial Constellation in Antinomies of Art and Culture: Modernity, Postmodernity, Contemporaneity. Durham and London: Duke University Press, 2008.

29

Fasad Keyakinan

FASAD KEYAKINAN Alia Swastika

Philosophy is questions that may never be answered. Religion is answers that may never be questioned. ~Author Unknown Dalam buku-buku pelajaran sekolah yang saya baca selama bertahun-tahun masa belajar, saya selalu diingatkan terus menerus tentang betapa kayanya Indonesia akan keragaman etnis dan suku bangsa, kebudayaan dan kepercayaan. Generasi saya, juga generasi yang lahir satu dekade sebelum dan sesudahnya, menerima ‘gagasan ideal’ tentang Indonesia yang penuh keragaman. Dengan peneguhan yang terus menerus semacam ini, keberagaman latar belakang yang pada akhirnya didefinisikan sebagai sebuah bangsa, lebih dilihat sebagai sebuah fakta yang niscaya dan menjadi sesuatu yang (seolah-olah) terberi , alih-alih dilihat sebagai fakta yang harus dikembangkan menjadi proses bersama (terkait dengan identitas kebangsaan). Merefleksikan pengalaman personal saya, saya sendiri menjadi bagian dari generasi itu, dimana keluarga saya menjelma menjadi kelompok muslim kelas menengah yang baru, tetapi pada saat yang sama sangat terbuka pada gagasan-gagasan modernitas ala Barat. Sebagai muslim, saya dibesarkan di sekolah dasar yang dikelola oleh Yayasan Katholik,

Alia Swastika

dan mendapatkan pengetahuan-pengetahuan nasrani, yang kemudian hari membantu saya bersikap terbuka pada kepercayaan lain. Nama saya mengandung sebuah kata Hindu, yang juga dengan mudah ditemukan pada nama teman muslim lainnya. Sahabat saya semasa di sekolah menengah adalah seorang Bali dengan tradisi Hindu yang sangat kuat. Di luar meta-fiksi yang lain mengenai keberhasilan pembangunan selama tiga puluh tahun, gagasan bahwa masyarakat Indonesia “hidup berdampingan dengan damai” merupakan bagian dari slogan-slogan yang dilancarkan untuk mempertahankan stabilitas politik, meskipun, pada sisi yang lain, mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi. Situasi inilah yang sekiranya memuncak pada berbagai fenomena yang membawa serta nama Tuhan dan agama, di tengah konflik-konflik antar masyarakat dan antara Negara-masyarakat. Peristiwa Mei 1998, sebuah titik waktu yang krusial untuk perjalanan kehidupan politik Indonesia, menggubah banyak hal berkaitan dengan kontruksi fiksi-fiksi ini, termasuk soal keragaman budaya dan kepercayaan yang tadinya melenakan. Pasca perubahan struktur

kekuasaan yang mendasar itu dapat ditandai perubahan pola relasi antara masyarakat dan Negara (yang mencakup seluruh infrastruktur formalnya), dimana Negara tidak lagi menjadi “pusat” yang mutlak dan memegang kontrol atas dinamika kehidupan bernegara. Ada kebebasan berekspresi yang lebih terbuka, terutama dalam dunia pers dan kesenian. Dari pergeseran inilah, soal-soal yang sesungguhnya terpendam pada periode penuh dongeng tentang hidup berbangsa yang ideal, muncul dan menampilkan akumulasi masalah yang sulit untuk diuraikan. Konflik antar agama adalah salah satu hal yang paling sering dimunculkan di media massa pasca reformasi, meskipun sesungguhnya ia lebih berfungsi sebagai tameng bagi persoalanpersoalan politik dan kekuasaan yang lebih luas ketimbang mengenai perdebatan tentang kepercayaan itu sendiri. Di negara yang kaya akan perbedaan semacam Indonesia ini, menunjuk satu gagasan utuh tentang “negara-bangsa” menjadi sesuatu yang nyaris muskil. Tidak ada satu kualitas atau karakteristik tentang yang bisa menjadi satu rujukan mutlak tentang apa artinya menjadi orang Indonesia. Meski demikian, usaha-usaha yang esensialis semacam itu bukannya tidak pernah

30

31

Fasad Keyakinan

dilakukan, melainkan justru menjadi aksi yang nyata atas konsep “komunitas terbayang”, demi menciptakan satu bayangan bersama tentang makna menjadi “Indonesia”.

Alia Swastika

ahan darah, debat panjang tak berujung, serta pengadilan yang tak adil—dan menunjuk pada titik soal yang sering terkubur dalam narasi-narasi besar. Sementara negara sering tak punya daya untuk mengatasi ketegangan yang muncul dari kelompok sekular dan fundamentalis.

sebagai anggota populasi agama homogeni, melainkan bagian dari konteks besar yang menuntut kompromi dan penyesuaian.

Gagasan tentang agama, terutama karena Sebuah pagi yang indah acapkali menjadi suram melibatkan tafsir dan kekuasaan, selalu karena berita tentang bentrok-bentrok yang menampilkan kontradiksi dan paradoks yang diulang terus menerus dalam sebuah kotak Jurgen Habermas mencatat bahwa fenomena memerlukan kedewasaan untuk bisa mengatabernama televisi; sebuah gereja yang diserang, ini memang merupakan hal yang dapat disebut sinya, atau melampauinya. Beberapa di antara kampung kelompok umat beragama yang sebagai tantangan baru bagi tradisi keagamaan paradoks itu, misalnya, “salah” dan “benar”, dilumpuhkan dengan brutal, bom meledak di dan komunitas keyakinan dalam berhadapan “personal” dan “komunal”, “mikro-kosmos” gereja, atau sekelompok orang yang merobohkan dengan kepentingan politik, terutama menunjuk dan “makro-kosmos”, “murni” dan “dosa”, dan, patung-patung kota karena kurang mencerapa yang terjadi di Asia Timur, Afrika, Asia yang belakangan sering dirujuk adalah “kita” minkan citra religius. Pada saat yang bersamaan Tenggara dan sub benua India. Persoalannya, dan “mereka”. Pada konteks yang lebih luas, dengan berita-berita semacam ini, kita juga di antara banyak negara ini, pemerintahnya beberapa paradoks ini saling bertemu dan saling melihat bagaimana soal semacam ini memasuki merupakan pemerintah sekular yang harus berlawanan pada lapis selanjutnya, menjadi “kita wilayah personal seorang individu: penyanyi mengambil peran besar dalam menjamin yang benar” dan “mereka yang salah”. Satu hal dangdut yang dikecam tokoh-tokoh agama, kebebasan beragama bagi warga negaranya. seolah melawan hal yang lain, atas nama sesuatu seorang selebritis yang masuk bui karena dituduh Peraturan hukum yang demokratis mesti bisa yang dipercayai sebagai kebenaran sejati. melanggar hukum pornografi. Dan semua mengisi kesenjangan legitimasi antara yang kasus berderet ini menggunakan tameng agama sekular dan yang berbasis religius. Lebih jauh Berhadapan dengan modernitas dan pranatasebagai modus operandi, meski sebenarnya lagi, alih-alih menyalahkan tafsir yang terlalu pranata sosial yang lain, agama dan kepercayaan kita tahu bahwa kasus-kasus semacam itu tidak kuat atas doktrin agama, Habermas melihat memang tertantang untuk merengkuh, melulu dipicu karena soal-soal perbedaan bahwa sesungguhnya konflik antara manusiabmenerima, dan mengadaptasi ukuran-ukuran keyakinan, melainkan lebih merupakan ekses eragama dengan negara sudah dimulai ketika kebenaran yang lain. Clifforf Geertz mencatat dari persoalan relasi kekuasaan, politik dalam seorang warga negara yang beragama ‘dipaksa’ bahwa dalam kehidupan masyarakat yang P kapital. Tentunya, tidak mudah menyingkap untuk menerima konsensus hukum yang di lebih terbuka, akulturasi produk budaya dan apa yang tampak riuh di permukaan—pertump- luar tradisinya. Pada saat itu, ia tidak lagi hidup kepercayaan ini ditemukan bahkan hingga

Fasad Keyakinan

ruang-ruang yang pedalaman, memberi warna baru pada upacara adat dan keagamaan yang tadinya acap disebut sebagai ‘asli’. Ritual keagamaan dengan demikian dapat dilihat sebagai hal yang juga terus berubah dan berkembang, berkebalikan dengan anggapan umum yang cenderung menyebutkan bahwa upacara semacam ini bersifat puritan. Geertz mencatat bahwa perjalanannya ke banyak tempat di Indonesia menunjukkan bahwa dalam kehidupan nyata, seluruh kategori budaya yang berbeda saling berhadapan, dan sebagaimana yang telah diilustrasikan di atas, membentuk kompleksitas yang menyerupai sirkus, dengan seluruh akrobat yang penuh ironi dan humor, kontradiktif tetapi harmonis, meskipun tragis dan heroik. ***** Dalam pameran ini, seniman-seniman menunjukkan pendekatan-pendekatan yang menarik untuk mengulik perihal religiusitas, spiritualitas dan agama. Sebagian besar seniman ini dibesarkan dalam tradisi beragam agama yang cukup kuat dalam keluarga dan lingkungannya. Persentuhan mereka dengan agama, terutama yang lahir dari generasi-generasi pasca 1970an, sama intensnya dengan persentuhan mereka terhadap modernitas, budaya Barat, serta, yang

Alia Swastika

paling mutakhir, adalah produk dari teknologi informasi. Meskipun berangkat dari reaksi yang cukup spontan atas berbagai situasi konflik yang membawa serta payung keagamaan, tetapi pada akhirnya, gagasan kuratorial ini meluas dalam melihat keagamaan, kepercayaan, dan spiritualitas sebagai bagian dari kenyataan masyarakat kontemporer di Indonesia. Praktik keberagamaan masih menjadi bagian dari ketegangan ruang publik di Indonesia, negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, berbeda dengan situasi di negara-negara yang lebih ‘sekular’, yang biasanya soal semacam ini masuk dalam wilayah praktik individual. Ketegangan antara ruang publik dan ruang personal inilah yang saya kira menjadi tantangan besar bagi seniman untuk membaca isu yang ditawarkan dengan perspektif yang aktual dan relevan. Beragam isu bersilang sengkarut dalam sebuah karya, mulai dari kaitan keyakinan dengan identitas personal, hingga persoalan yang menghubungkan agama dan konteks sosial politik lainnya, sehingga satu karya bisa dengan banyak perspektif. Isu-isu kekerasan yang belakangan kerap

bergulir sebagai sebuah kajian bersama atas agama dan kepercayaan, nyatanya tidak secara langsung menarik perhatian para seniman untuk bereaksi dan menjadikannya titik berangkat dalam menanggapi tema pameran yang saya ajukan. Alih-alih terjebak mengamini dengan segera betapa sekarang agama telah mengotakkotakkan, diskusi-diskusi yang saya lalui bersama tentang seniman beranjak lebih jauh daripada itu. Kekerasan telah ditempatkan sebagai efek yang paling akhir dari tafsir-tafsir yang simpang siur tentang Tuhan dan kebenaran. Beberapa seniman memang bekerja memasuki wilayah ini, tetapi kita bisa melihat bahwa ada lapis fenomena lain yang sedang dipertanyakan dan digugat. Karenanya, banyak seniman yang kemudian memasuki isu-isu yang mendasar mengenai relasi eksistensial manusia, sementara banyak pula yang bekerja melihat bagaimana keberagamaan dan kepercayaan disikapi secara praktis sebagai dalam kehidupan sehari-hari. Melihat kecenderungan titik pijak ini, saya melihat ada empat isu penting yang terefleksi dari karya-karya seniman. 1. Identitas, Negara Bangsa dan Pola Relasi Kuasa Tiga rangkaian kata kunci ini merepresentasikan sebuah pendekatan yang antropologis

32

33

Fasad Keyakinan

dan etnografis terhadap fenomena religiusitas dan spiritualitas. Gagasan tentang identitas dimaknai sebagai sesuatu yang keluar dari pokok esensial dan karenanya mencatat gerakan perubahan dan pergeserannya menjadi sebuah petualangan yang memberikan tantangan visual yang menarik. Dalam konteks Indonesia, dimana negara memiliki kontrol yang cukup kuat berkaitan dengan kepercayaan yang dianut oleh individunya, perubahan identitas yang berkaitan dengan soal keyakinan ini tidak bisa dilepaskan dari konsekuensi-konsekuensi sosial yang mengikutinya. Gagasan ‘agama’ sebagai bagian identitas individu, selalu dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang berada di luar jalur keyakinan dan kebenaran itu sendiri. Salah satu seniman yang tertarik melihat isu ini adalah Akiq AW yang menginvestigasi persoalan perubahan identitas dan sejauh mana kontrol sosial politik memberi tekanan pada individu. Ia menemui kelompok orang yang mempunyai pengalaman dalam pergeseran keyakinan, yang mengubah drastis identitas mereka dalam struktur sosial masyarakat. Soal agama sebagai penanda identitas (diri) ini juga terefleksi dalam karya pasangan Arya Pandjalu dan Sara Nuytemans yang menggambarkan

Alia Swastika

bahwa apa yang melulu person(al), sering tertutupi oleh atribut-atribut yang sesungguhnya (hanya) menjadi simbol. Ikon dalam agama, seperti rumah ibadah, cara berpakaian, menjadi penanda yang memisahkan sekaligus mempertemukan satu orang dengan orang lainnya. Menariknya, ikon-ikon agama, meskipun ada tendensi menjadi universal, pada kenyataannya tidak pernah keluar dari konteks ‘di sini dan kini’, selalu ada nuansa lokal dan penanda zaman yang menyertai. Jompet Kuswidananto melihat bahwa praktik sebuah dalam membela dan menjalani keyakinannya, sesungguhnya selalu melahirkan produk-produk kebudayaan yang sinkretis karena dengan cara saling meminjam dan mengadopsi itulah agama formal bisa masuk dan diterima masyarakatnya. Sementara, sebagaimana pranata sosial lain yang memiliki strukturnya sendiri, dalam sebuah agama formal kita bisa melihat dengan jelas adanya pola relasi kuasa. J Ariadhitya Pramuhendra memandang pada dasarnya, pola inilah yang membuat agama menjadi kompleksitas dari relasi antar manusia, yang melampaui pengertian umum bahwa yang terpenting dalam agama adalah hubungan manusia dengan Tuhannya. Sistem agama juga

melibatkan politik, ilusi tentang siapa yang berhak menentukan (tafsir) apa yang benar dan yang salah. 2. Narasi, Mitologi, Mitisisme Mitologi dan mistisisme merupakan dua hal utama yang terus diwariskan bersamaan dengan spirit pewarisan religiositas. Narasi yang berkembang di seputar wacana ini kerap mempresentasikan agama sebagai sesuatu yang penuh ‘mukzizat’ dan bagaimana kejadian berputar di luar nalar. Agama sering dikaitkan dengan gejala ‘super power’ untuk menunjukkan ketidakberdayaan manusia. Upaya menulis ulang narasi mitologis merupakan cara untuk keluar dari ketidakberdayaan, menunjukkan kemampuan manusia untuk terus bergerak dan berjuang menghadapi rasa tak berdaya. Theresia Agustina Sitompul menafsir ulang kisah yang dituliskan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian baru yang memberinya kesan visual yang sangat kuat. Alih-alih menafsir dengan apa adanya, There mengaitkan dengan situasi-situasi masyarakat sekarang, terutama dengan keinginan bahwa prinsip dari agama barangkali tetap tetapi tafsirnya terbuka untuk semua zaman.

Fasad Keyakinan

Christine Ay Tjoe menggunakan narasi “Lama Sabakhtani” untuk membicarakan isu pengorbanan, perihal kemungkinan seseorang hidup seperti martir. Pada karya Christine, ada sebuah gagasan tentang penderitaan untuk membawa manusia kembali pada relasi yang abadi dengan Tuhan.

Ruang rupa dan Irwan Ahmett mengerjakan proyek interaktif yang memberikan kesempatan kepada audiens untuk keluar sejenak dari kenyataan yang lazim dan ‘membaca ulang’ praktik keseharian yang dianggap terberi. Upaya-upaya menuliskan kembali sejarah, mitologi dan mistisisme ini merupakan sebuah cara kembali masa lalu, dan memberi konteks Mitos lain yang diyakini sebagai kebenaran dan cara pandang baru terhadap hal-hal yang adalah gagasan tentang surga. Iswanto Hartono sudah kita terima sebagai sedemikian adanya. mencoba menjadikan nyata bayangan manusia Para seniman mengajukan pertanyaan-pertantentang surga, yang selalu digambarkan sebagai yaan kritis yang mengganggu kelaziman kita, taman-taman penuh keindahan. “Sebuah membawa kita pada keinginan untuk menggali keindahan yang tak bisa digambarkan,” demikian fakta-fakta yang terpendam dan terlupakan, ujar salah satu ustadz yang sempat saya dengar di televisi. Dengan menciptakan taman di ruang 3. Diri, Tubuh dan “Sang Liyan” pameran, Iswanto menghancurkan mitos bahwa Selain mempersoalkan bagaimana agama surga hanya bisa dicapai setelah perjuangan yang membentuk pandangan dunia yang berkait penuh rasa sakit di bumi. dengan lingkungan makro, karya-karya seniman pada pameran kali ini menampilkan pula R.E. membuat rekonstruksi atas bagaimana kecenderungan ketika spiritualitas dimaknai agama modern bisa dibentuk dan disebarkan sebagai proses pencarian ‘diri’. Dari penggalian dalam kehidupan masa kini. Mengambil inspirasi makna tentang diri, meluas pada refleksi atas dari beberapa kisah orang-orang yang merasa relasi-relasi tentang sang liyan, dan ketegangan mendapat wahyu kemudian menyebarkan agama dalam menempuh jarak di antara keduanya. baru, Hartanto merekonstruksi dan memprePendekatan yang cukup beragam merepresensentasikan ritual tentang bagaimana agama masa tasikan bagaimana isu spiritualitas tidak melulu kini diciptakan. dilihat dan dibaca sebagai sesuatu yang ‘non-

Alia Swastika

ilmiah’ atau tak terjelaskan, melainkan dikaitkan dengan modus-modus pengetahuan formal yang dikenal dalam cabang ilmu seperti psikologi atau filsafat sehingga ada pola pikir tertentu yang menjadi dasar dalam pencarian diri ini. Nurdian Ichsan memanfaatkan medium tanah basah untuk mencari apa yang hakiki dari eksistensi manusia. Keyakinan bahwa yang alamiah merupakan bagian dari semesta penciptaan kehidupan manusia. Karya Ichsan memberi pertanyaan tentang apa yang sesungguhnya abadi dari kehidupan? Hal ini juga tercermin dari karya Krisna Murti yang membicarakan relasi manusia dengan alam dalam bentuk yang paling sederhana. Ia membuat semacam ruang terapi dimana suara seperti laut, air, menjadi sesuatu yang memungkinkan manusia bertaut dengan hal-hal di luar dirinya. Gagasan tentang diri dan (mikro)kosmos dapat pula direfleksikan dari karya Albert Yonathan dan Melati Suryodarmo (self). Sementara dua seniman, Erika Ernawan dan Octora, membawa kembali gagasan tentang tubuh dan tabu. Dalam tafsir yang klasik atas teks-teks agama, ada kecenderungan tubuh perempuan dilihat sebagai sumber dosa, karenanya tubuh direkayasa agar

34

35

Fasad Keyakinan

tidak terlihat dan tidak menonjol dari tubuh yang lain. Perempuan berinteraksi dengan tubuhnya sendiri berdasarkan apa yang dianggap memenuhi standar moral dan ukuran-ukuran yang mendasarkan diri pada soal-soal benar dan tidak. Ketelanjangan dan penampilan bagian tubuh yang dianggap tabu merupakan cara bagi kedua seniman untuk bertemu lagi dengan gagasan atas dirinya.

utama dalam khazanah seni kontemporer satu dekade terakhir. Gempuran dan serbuan dari produk budaya visual dalam hidup masyarakat kontemporer telah membangun budaya untuk mengaitkan dan mendefinisikan praktik-praktik hidup dalam ikon dan simbol visual. Senimanseniman dalam pameran ini menunjukkan bagaimana soal keberagamaan dan spiritualitas adalah tentang bagaimana sebuah kepercayaan dan keyakinan direpresentasikan dan bagaimana Dalam masyarakat komunal seperti di Indonesia, tafsir atas simbol atau ikon beroperasi dalam gagasan tentang diri tidak menjadi bagian filsafat masyarakat majemuk. dasar kehidupan. “Diri” selalu dikaitkan dengan “masyarakat” yang lebih luas. Karya-karya dalam Wimo Ambala Bayang menyajikan rangkaian kategori ini menunjukkan bahwa semakin tegang karya fotografi yang berbicara tentang ikon relasi seorang individu dengan masyarakatnya, dan kepercayaan yang nyaris fatalistik atas semakin seseorang berusaha mengakui (klaim) maknanya. Di luar kritisismenya terhadap keberadaan dirinya yang hakiki. Pencarian ini fanatisme tersebut, Bayang menjabarkan pula tidak dengan begitu saja mengantarkan mereka tentang makna keaslian dan yang tiruan, yang pada gagasan yang cenderung esensialis atas tunggal dan yang diperbanyak, serta bagaimana konsep diri, tetapi mereka memang mencari ketegangan-ketegangan tersebut disikapi dalam sesuatu yang selama ini tertutupi oleh realitas kehidupan sehari-hari. Setu Legi, selangkah lebih sehari-hari yang tampak di permukaan. jauh daripada Bayang, mengajukan persoalan ikon visual ini dalam kerangka konsep ‘berhala’. 4. Ikon(isasi), Budaya Populer dan Praktik Dengan latar belakangnya yang terlibat pada Kehidupan Sehari-hari gerakan sosialis, Setu Legi mengaitkan perihal Budaya populer dan praktik kehidupan berhala tidak saja dalam kepercayaan represensehari-hari telah menjadi bagian dari wacana arus tasi atas Tuhan atau agama, melainkan berkait

Alia Swastika

dengan konsep produksi. Arahmaiani menggunakan pendekatan sebagaimana Bayang, meskipun dengan dorongan untuk menjadi dekonstruktif yang lebih kuat. Huruf Arab, di negara-negara non-Arab, tetapi dengan tradisi muslim yang kuat, selalu dikaitkan dengan soal agama atau justru di-’rendah’-kan hanya sebagai seni kaligrafi. Arahmaiani ingin melihat huruf Arab ini keluar dari kerangka keagamaan itu, dan memperlakukannya sebagai bagian wajar dari kehidupan sehari-hari sebagaimana alfabet yang lain. Selain menjadi sebuah subjek yang dikritisi sebagaimana tiga seniman tersebut di atas, ada kemungkinan melihat budaya populer sebagai kode bahasa yang digunakan untuk membicarakan soal-soal yang secara politik dianggap sensitif. Dengan menggunakan komik dan fantasi, Wedhar Riyadi membawa isu-isu kekerasan dalam kritik yang menghadapkannya dengan kehidupan yang penuh glamor dan sekular. Penggunaan komik ini berhasil memberikan metafor yang ekstrem atas reaksi yang spontan dalam menolak tindak kekerasan yang mengatasnamakan kebenaran tafsir tertentu. Tromarama juga menggunaan subjek

Fasad Keyakinan

dan metafora sehari-hari untuk membicarakan “tuhan-tuhan baru” masyarakat modern, menunjukkan tidak adanya pusat yang tunggal, tetapi merupakan rangkaian pencarian yang berputar.

Alia Swastika

bisa menjadi alat untuk membicarakan sistem disebut sebagai pusat, dan membangun citra pendidikan. baru bagi kota-kota semacam ini. ***** Biennale Yogyakarta Dan Internasionalisme Baru Selain biennale yang berkembang di Eropa, tradisi biennale (internasional) yang berkembang Perkembangan medan seni rupa global di Asia dapat dikatakan bermula dari kota Praktik kehidupan sehari-hari juga menarik dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan non-ibukota seperti Gwangju, yang memulai perhatian Paul Kadarisman. Secara menggelitik, perubahan yang signifikan, terutama berkaitan biennale pertamanya pada 1995. Okwui ia mengamati lingkungan pergaulan keseharidengan peran dari elemen-elemen penting dalam Enwezor, Direktur Artistik Gwangju Biennale annya dan menemukan bagaimana identitas infrastruktur seni rupa. Jika pada masa-masa 2008, menyatakan bahwa Gwangju Biennale muslim direpresentasikan dengan nama yang sebelumnya kategori dan peranan dari masingmenjadi penting karena perannya dalam mengmengandung hakikat ‘menjadi muslim’. Yang masing elemen ini dapat dikatakan sangat garisbawahi usaha merefleksikan sejarah politik pertama-tama adalah menggunakan nama rigid dan terkotak, maka pada masa kini peran kota itu, berkaitan dengan peristiwa Mei 1980. ‘Mohammad’. Kadarisman mempresentasiitu saling bersilangan dan bertukar, sehingga kan tiga temannya yang sama-sama bernama mengubah konstelasi jejaring dalam seni rupa Dalam konteks Indonesia, Yogyakarta Mohammad untuk menampilkan gambaran yang global. Pada awal 1990-an, ketika tradisi mempunyai posisi yang cukup unik, terutama dianggap wajar dalam praktik menjadi muslim di Biennale mulai menjadi bagian dari tradisi dalam konstelasi gagasan intelektual, aktivisme Indonesia. medan seni rupa internasional, yang beralih politik, dan gerakan kebudayaan. Meskipun dari model gagasan Negara-bangsa sebagaimana acap disebut sebagai pusat kebudayaan Jawa, Andy Dewantoro menggunakan ikon gereja yang diterapkan dalam Venice Biennale menjadi sebuah etnis terbesar yang sangat berpengaruh dan meletakkannya sebagai bagian dari lanskap model pameran internasional tanpa embel-embel dalam kebudayaan Indonesia, persinggungan arsitektur kota yang menandai pula gagasan bangsa, hampir seluruh negara maju menjadikan masyarakat Yogyakarta dengan kebudayaantentang modernisme dalam arsitektur. Sementara ajang internasional seperti biennale untuk kebudayaan di luar dirinya sesungguhnya Wiyoga Muhardanto menempatkan sandal menjadi alat promosi bagi pencapaian telah mengalami proses pertarungan yang sebagai ikon yang telah merasuki memori artistiknya, juga memproklamasikan visi sebuah panjang. Membangun eksistensinya pascakolektif kita tentang praktik keagamaan. kota. Menarik untuk melihat bahwa sebagian masyarakat prasejarah, memasuki zaman Budha, Titarubi, menarik gagasan tentang ikon dalam besar peristiwa seperti biennale berlangsung di meneguhkan diri sebagai kerajaan Hindu, konteks yang lebih luas, dimana buku agama kota-kota non-ibukota, menjauh dari apa yang kemudian hampir secara bersamaan menghadapi

36

37

Fasad Keyakinan

Alia Swastika

kedatangan Islam dan kolonialisme Barat, masyarakat Yogyakarta telah terbiasa dengan gagasan tentang pluralisme. Elizabeth Inandiak, penulis Prancis yang lebih dari 25 tahun tinggal di Yogyakarta, menggambarkan situasi multikultur ini dengan: “berabad-abad, mereka menyerap ketegangan kultural paling dramatis - Indianisasi, kolonialisme Belanda, dan kultur mereka sendiri.

yang membentuk sinkretisme baru yang genuine dan berkarakter. Perpaduan lokal/global, tradisi/ modern, seni tinggi/seni rendah, kepengrajinan/eksperimentalisme, merupakan fenomena yang telah menjadi bagian tak terpisahkan, menjadi sesuatu yang nyaris seperti terberi dalam kehidupan kreatif masyarakat kota ini. Dari sinilah lahir produk-produk budaya yang salingsilang seperti gamelan jazz dan hip hop Jawa.

seni internasional. Sebagian besar peristiwa seni yang disebut sebagai internasional selalu berambisi mewakili ‘dunia’. Selalu ada tuntutan untuk menampilkan representasi dari banyak negara, dan juga sikap-sikap yang secara politis benar, membawa pula kelompok-kelompok yang selama ini dianggap marjinal. Semakin meluasnya penafsiran atas ‘internasionalisasi’ membuat sebagian besar peristiwa seni menjelma seolah sebagai sidang perserikatan bangsa-bangsa. Di satu sisi, model internasionalisasi baru yang masif ini didukung oleh saling keterhubungan antara tempat di berbagai belahan bumi melalui jaringan teknologi komunikasi dan semakin terjangkaunya sarana transportasi, dan di sisi lain, berubahnya strategi dan pendekatan artistik seniman yang memungkinkan karya direproduksi atau dibawa dalam pameran keliling tanpa harus mengeluarkan biaya sebesar dulu, misalnya dalam kasus ini adalah fenomena digitalisasi dalam produksi fotografi maupun video.

Dengan sejarah sinkretisme yang sedemikian kuat, masyarakat Yogyakarta menjadi masyarakat yang terbuka dan relatif bebas-konflik berkaitan dengan soal-soal kepercayaan di Indonesia. Sebaliknya, gerakan kebudayaan dan aktivisme politik menemukan gerbang pembuka di sini. Menjelang 1998, puluhan ribu massa yang dimotori oleh mahasiswa, bergerak turut menumbangkan Soeharto dan menjadi salah satu gerakan massa yang berpengaruh pada saat itu. Perpaduan antara kesadaran politik yang tinggi dengan kedekatan terhadap berbagai produk kebudayaan yang melintasi banyak periode zaman telah membuat Yogyakarta menempati posisi istimewa dalam konteks sosial politik di Indonesia. Di luar kedekatan dengan tradisi kesenian Jawa, produk budaya popular global menjadi salah satu rujukan yang penting

Secara khusus, medan seni rupa kontemporer menyaksikan lahirnya seniman-seniman penuh bakat yang memasuki pula medan seni internasional, pertukaran-pertukaran seniman internasional yang produktif bagi kedua belah pihak, dan masuknya kelompok modal internasional ke dalam jejaring ini—termasuk di antaranya para kurator internasional, direktur museum dari berbagai kota seantero dunia, dan tak terkecuali galeri dan balai lelang. Yogyakarta menikmati pula periode yang jauh dari ingar-bingar pasar, sehingga memberi kesempatan pada para seniman untuk mengembangkan gagasan merespons Meskipun telah menjadi lebih mudah, ambisi situasi-situasi politik yang relevan. menjadi ‘internasional’ dalam pengertian yang besar tetap saja merupakan kemewahan dan Tradisi Biennale Jogja sendiri sudah berlangsung hanya bisa diselenggarakan oleh negara-negara semenjak 1988, dan tahun ini mencapai babak yang infrastrukturnya mapan, dengan dukungan baru dengan mengukuhkannya sebagai peristiwa negara yang kuat. Karenanya, di Yogyakarta,

Fasad Keyakinan

persoalan ini secara tidak langsung memberikan tantangan untuk bersiasat, untuk menghindari kebangkrutan gagasan kreatif dan kekukuhan ideologis dalam rangka bisa meletakkan diri dalam peta seni rupa dunia. Dengan situasi kreatif yang unik, dengan sejarah dan konteks sosial politik yang telah menarik para peneliti dan pemikir kebudayaan terpenting karena kekuatan pascakolonialnya, tawaran untuk memberi makna baru pada konsep internasional(isme) menjadi pendekatan yang strategis secara politis. Memilih bekerja secara bergantian dengan negara-negara di seputar garis ekuator menunjukkan kemampuan para pelaku seni dalam Yayasan Biennale Yogyakarta dalam membaca tren dalam dunia internasional, ketika terjadi penyeragaman dalam diskursus estetika global. Ketika internasionalisme dilihat sebagai representasi dari beragam negara, seniman-seniman dan karya seni dari berbagai benua berkumpul dalam satu ruang dan waktu sehingga gagasan tentang pertukaran yang intensif dari dua negara yang berbeda tidak dapat terlalu banyak dieksplorasi. Keterbatasan infrastruktur yang dihadapi pelaku seni di Indonesia membawa keinginan untuk meletakkan diri dalam medan seni rupa global dengan pendekatan yang berbeda, dan pada saat

Alia Swastika

yang sama memberi kemungkinan pertemuan dengan yang “lain”. Ruang-ruang pertemuan semacam inilah yang tidak lagi banyak ditemukan ketika lalu lintas antarnegara-antarbenua-antarnegara menjadi sangat intensif dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Pergerakan seniman, karya seni, dan gagasan dalam lalu lintas yang hiruk pikuk ini menjadi bagian dari dinamika yang glamor dari seni rupa global. Di luar biennale, kita menemukan bahwa pusat-pusat baru seni dunia menyelenggarakan peristiwa seperti art fair internasional, atau membangun museummuseum dengan reputasi internasional, semua berlangsung dalam waktu cepat dan rapat, besar dan sesak. Memaknai terma “internasional” dalam pengertian yang lebih terbatas, seperti merujuk hanya pada negara-negara khatulistiwa dengan batasan garis bayang geografis, tetapi mengandung spirit ideologis untuk menautkan negara-negara yang acap dikategorikan sebagai marjinal, menjadi tawaran penting untuk menuliskan kembali sejarah (seni) dalam konteks negara-negara dalam kawasan khatulistiwa itu sendiri. Gagasan untuk mengerucutkan biennale dalam

satu tema yang spesifik, berbeda dengan kecenderungan biennale-biennale internasional belakangan ini yang gagasannya semakin terbuka dengan tema yang makin meluas, merupakan reaksi pula terhadap pola penyeragaman dalam tren seni rupa global. Beberapa kali menyaksikan biennale di berbagai belahan dunia, saya mengobservasi bahwa peristiwa seni semacam ini, terutama yang mendapatkan dukungan dana besar dari pemerintah dan infrastruktur ekonomi lainnya, membuka kemungkinan bagi seorang kurator untuk melakukan eksperimentasi projek kuratorial dengan kebebasan nyaris penuh. Kebebasan bereksperimen ini tentu saja juga menuntut adanya semacam tanggung jawab untuk membawa eksperimentasi ini berkontribusi terhadap problem tertentu dalam konteks masyarakat yang lebih luas, serta memberikan gagasan baru yang segar dan inspiratif terhadap persoalan seni kontemporer hari-hari ini. Kerja kuratorial menjadi kerja yang penuh dengan tantangan kreatif dan intelektual sekaligus, yang pada saat yang sama berupaya mendekonstruksi kemapanan dan memberikan peta dan konstruksi baru sekaligus. Ketika menggagas tema untuk Biennale Jogja ini, saya bersitegang dengan diri saya sendiri

38

39

Fasad Keyakinan

mengenai apa relevansinya ajang-ajang seperti biennale ini bagi masyarakat yang lebih luas, selain menjadi strategi kebudayaan baru bagi kota-kota pusat seni. Apakah biennale masih bisa menjadi sesuatu yang punya tautan jika ia dikelola bukan sebagai sesuatu yang masif atau diberi façade sebagai sebuah perayaan? Gangguan pertanyaan ini terus mendorong saya untuk sampai pada satu titik bahwa selain menjadi strategi kebudayaan, peristiwa seperti ini harus pula menjadi bagian dari strategi politik untuk menunjukkan sebuah pendekatan spesifik dari kecenderungan global. Katakanlah, semacam kontekstualisasi dari sistem seni yang cenderung gampang mewabah sebagai tren global. Artinya, kita bisa saja mengadopsi penyelenggaraan biennale/triennale yang seperti punya standar baku universal dalam konteks khusus di Indonesia, tetapi tetap dalam rangka menunjukkan pencapaian-pencapaian estetika dan ide artistik yang punya makna ‘di sini dan kini’.

Alia Swastika

untuk mengambil jeda dari hiruk pikuk hidup keseharian. Pilihan saya untuk menghadapkan mereka pada satu isu yang cukup spesifik merupakan salah satu upaya untuk menggali kembali suara-suara politis itu, mengonfrontasikan mereka dengan kenyataan sosial politik yang masih terjadi dengan intens, di bawah mimpi tentang kehidupan demokrasi.

Di negara-negara di mana sejarah seninya menunjukkan tautan antara praksis berkesenian dengan keterlibatan dengan masyarakat, menjadi seniman yang melulu egois dengan visi estetikanya bukan pilihan yang secara politis dianggap tepat. Kebuntuan sistem sosial politik, baik yang berkaitan dengan ekspresi di ruang-ruang publik seperti media massa dan kualitas pendidikan yang tidak merata, membuat seniman masih menghadapi tantangan untuk menciptakan karya-karya yang langsung maupun tidak langsung memberi kontribusi untuk berbicara mengenai kebuntuan ini, jika tidak memberikan pandangan yang Kedua, saya juga melihat bahwa pasca-1998, menarik atas situasi semacam ini. Jika pada dan beberapa tahun sesudahnya, ketika seniman masa sebelum 1998 seniman ditantang untuk tidak lagi menyuarakan soal-soal politis sebagai menjadi saluran penyuara, maka sekarang yang cara untuk mengada, isu-isu yang lebih ‘personal’ dihadapi seniman adalah bagaimana memberi dan ‘universal’ menjadi cara bagi para seniman bingkai yang berbeda dari isu-isu yang mem-

bombardir kehidupan masyarakat melalui berbagai saluran informasi. Seniman punya peran dalam membantu masyarakat masa kini mencari apa yang hakiki dari hiruk pikuk dan perbesaran informasi. Karya-karya seni punya kemungkinan menggarisbawahi pernyataan tertentu, memunculkan yang tersembunyi, dan, jika kita ingin menjadi sedikit lebih romantik, memberi sebentuk ‘rasa’ dari cara-cara melihat yang cenderung rasional. Sebuah pameran semacam biennale saya kira mempunyai peranan yang semacam itu juga. Di tengah perayaan tren seni kontemporer yang gegap gempita, pergantian tren yang rapat dan cepat, pertumbuhan pasar yang determinan serta keinginan untuk menyatu dengan sistem seni internasional yang cenderung mengglobal, kebutuhan untuk menegaskan fungsi sosial seni menjadi cukup mendesak. Pameran seperti Biennale bisa menjadi cara untuk menyampaikan pernyataan baru dari generasi-generasi yang lahir pasca-1998: celah yang menunjukkan makna baru dari ‘menjadi politis’. Biennale Jogja X dengan gemilang berhasil membawa publik masuk ke dalam jelajah seni kontemporer yang dinamis. Ribuan

Fasad Keyakinan

anggota masyarakat berbondong memasuki ruang pameran, berfoto dengan gembira, dan ikut merasa keriangan menjadi warga kota Yogya. Puluhan karya ditampilkan di jalanan, begitu tampak (visible), dan dengan gampang mengundang sapa dengan warga. Ada semangat yang tersebar di seluruh penjuru kota, yang dalam pandangan saya, merupakan titik penting bagi pertumbuhan seni kontemporer di Jogja. Tentu saja, harapan untuk biennale kali ini menjadi lebih besar: bagaimana Biennale bisa menjadi sebuah ruang publik yang inspiratif, dialogis, dan produktif bagi pembentukan masyarakat kota yang terbuka dan dewasa. Saya melihat bahwa cara-cara yang sedemikian terbuka itu menarik dan komunikatif, tetapi pada saat bersamaan saya melihat bahwa prasarana kita tidak cukup kuat untuk menyangga perayaan-perayaan itu tetap ada dalam koridor sistem seni yang telanjur diamini dalam pergerakan seni dunia sekarang ini. Di luar perdebatan mengenai kualitas kekaryaan, saya percaya bahwa gerak dinamis yang energik semacam itu harus dibarengi pula oleh sebuah proses untuk membaca dan menggambar peta mengenai praktik hidup sehari-hari masyarakat dengan lebih sungguh-sungguh. Karenanya,

Alia Swastika

biennale kali ini akan terasa lebih kecil dan tidak terlalu glamor dibandingkan penyelenggaraan biennale sebelumnya. Menyelenggarakan pameran kecil dengan tema yang spesifik juga menantang proses kerja yang intensif, di mana setiap pembentukan dan perkembangan konsep karya dan pengejawantahan karya merupakan hasil dari perbincangan yang dialektis antara seniman, kurator, dan situasi-situasi masa kini. Alih-alih merayakan terus-menerus identitas kita yang dilihat secara umum sebagai sebuah situs budaya yang dinamis, pameran ini memfokuskan diri pada sebuah isu yang sedang dibicarakan bersama, sebuah situasi yang menyatukan masyarakat. Setelah masa-masa ketika menjadi politis adalah sesuatu yang bisa menjebak seniman menjadi terlalu verbal dan bekerja di ranah permukaan, tawaran membicarakan isu semacam religiositas dan spiritualitas menjadi cara menautkan kembali praktik kesenian dan apa yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Tautan dengan masyarakat banyak kemudian diharapkan muncul dari kedekatan isu yang dipilih seniman dengan apa yang terjadi dalam praktik keseharian itu, alih-alih dalam pertemuan langsung antara masyarakat dengan

karya di ruang-ruang publik atau dalam keterlibatan masyarakat dalam penciptaan karya. Dalam konteks seni kontemporer di Indonesia, pilihan ini memang kurang populer dan memberi banyak pekerjaan rumah bagi penontonnya. Tetapi, dengan cara inilah masyarakat sendiri dihadapkan pada lapis-lapis penafsiran dan mengevaluasi kembali praktikpraktik mereka dengan cara pandang yang berjarak dan berbeda. Sumber Bacaan Luthfi Assyaukanie, “Agar Biola Kita Tidak Sumbang”, Seputar Indonesia daily, September 22, 2010. Geertz, Clifford, After the Fact: Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog, LKis, Yogyakarta, 1998. Geertz, Clifford. Religion of Java, University Press of Chicago, Chicago, 1976 Habermas, Jurgen: Between Naturalism and Religion, Philisophical Essays, diterjamahkan oleh Ciaran Cronin, Polity, Cambridge 2008 Hadi Sutomo, Suripan. Sinkretisme Jawa Islam, Yogyakarta, Bentang Budaya Inandiak, Elizabeth. From Bohu to Tofu, catalogue exhibition for Transfiguration: Indonesien Mythologies, Louis Vuitton Culturel Espace 2011

41

Shadow Lines: Pertemuan India dan Indonesia

S hadow Line s: N E S IA PE RTE M UAN IN D IA DAN IN DO Suman Gopinath

Jogja XI: Biennale Equator mengambil fokus pada dua negara yang terletak di khatulistiwa India dan Indonesia – dan disebut Shadow Lines (Garis Bayang).

perdagangan dan agama. Meskipun Indonesia adalah negara yang kini adalah mayoritas Muslim, masa lalu Hindu-Budha yang sudah hadir sejak 1400 tahun sebelum menyebarnya Islam (di abad 15) masih bertahan dengan Diambil dari judul buku-nya Amitav Ghosh banyak bentuk “separuh terhapus, sedikit Shadow Lines, frase ini menandai banyak misterius, namun masih mempesona seperti pengertian: ia merujuk pada garis imajiner yang Borobudur itu sendiri”1. Pada pergantian abad mengelilingi dunia, yang tampak jelas di satu 20, penyair Rabindranath Tagore, yang dianggap perspektif, namun tidak ada bagi perspektif sebagai salah satu perintis yang membangun lain; mungkin ia juga merujuk pada terbenjembatan antara kedua negara, adalah salah tuknya negara modern di Asia Selatan dan satu orang India pertama yang melakukan batasan geo-politik yang rentan atau pada garis upaya serius dalam mendirikan lalu lintas dua yang menyatukan orang dan yang memisahkan arah untuk studi keilmuan dan seni antara mereka. Sebagai kiasan, Shadow Lines juga India dan Indonesia. Pada 1955, Jawaharlal merujuk pada tema yang memayungi biennale Nehru dan Sukarno, pimpinan dari kedua ini, ‘religiusitas, spiritualitas, dan kepercayaan,’ negara yang barusan merdeka ini menandadan garis tipis yang mengantarainya. Gagasantangani “Perjanjian Bandung” yang dianggap gagasan ini menjadi kerangka bagi biennale Jogja sebagai titik balik bagi politik anti-kolonial dan dan juga merupakan kacamata untuk merefleksi- hubungan internasional modern. Konferensi kan persoalan kedua bangsa tersebut di hari ini. Asia-Afrika ini mengajukan cita-cita yang idealis bagi negara-negara yang berlokasi di kawasan ini, Sementara dalam biennale ini perjumpaan yang mencakup nilai-nilai seperti ko-eksistensi antara India dan Indonesia berlangsung dalam damai, saling menghargai dan kerjasama. Namun pengertiannya yang kontemporer, kaitan antara seiring dengan dekolonisasi dan globalisasi, kedua negara ini terjalin sejak beberapa milenia perjanjian ini semakin kehilangan maknanya: lalu, mulai dari rute perjalanan laut dan darat cita-cita ideal tentang multiplisitas dan koyang menghubungkan kedua negara melalu eksistensi damai telah sedemikian terancam

Suman Gopinath

dengan kekuatan-kekuatan fundamentalis yang memiliki pandangan sempit dan reduksionis atas dunia - ‘Hindutva’ 2 seperti yang berlangsung dalam konteks India, atau ‘Islamisme’ di konteks Indonesia. Tapi kekuatan demokrasi dan undang-undang sekuler di India lebih berhasil mengatasi gejolak-gejolak tersebut ketimbang di Indonesia di mana ‘‘demokrasi terus menerus muncul sebagai cameo’’, 3 (Indonesia pertama kali memiliki pemerintahan yang terpilih secara demokratis pada 1999). Kamus Inggris Oxford menjelaskan‘religiositas’ sebagai agama yang eksesif; yang kerap berujung pada perang, kekerasan, dan kemarahan: kemarahan umat yang melihat dunia sedang mengalami pembusukan dan secara konstan ingin memulihkannya kembali sesuai dengan teks religius. Skema fundamentalis mengembalikan preseden ilahi, ‘sehingga sejarah harus melayani teologi dan hukum dipisahkan dari gagasan kesetaraan ….’4 Dalam kaitannya dengan India, orang bisa merujuk pada beberapa contoh mengenai ‘religiositas’ dan dampaknya, dengan pembantaian yang mengikuti pemisahan5 pada 1947 sebagai salah satu yang paling mengerikan di sepanjang

42

43

Shadow Lines: Pertemuan India dan Indonesia

sejarah bangsa ini. Kekarutan yang sama juga mencengkram negara ini ketika pada 6 Desember 1992, ribuan militan Hindu merobohkan Babri Masjid di Ayodhya, Uttar Pradesh, yang dianggap sebagai tempat kelahiran tokoh kepahlawanan dan setengah dewa dalam Ramayana, Rama. Gerakan Hindutva menganggap bahwa mesjid tersebut Masjid dibangun di atas tempat kelahiran Rama 9000,000 tahun yang lalu (sebelum dokumentasi sejarah dilakukan). Vandalisme keagamaan dan penghancuran sektarian yang mengikuti setelah robohnya masjid tersebut tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Sebuah mesjid diruntuhkan dengan tujuan mendirikan sebuah kuil yang didedikasikan pada Rama sebagai penggantinya. Garis tipis yang memisahkan mitos dan sejarah benar-benar dikaburkan dan kisah Ramayana tidak lagi dapat dibaca sebagai ‘satu parabel yang mengagumkan’ (seperti yang disampaikan oleh Rabindranath Tagore) melainkan sebagai dokumen historis yang tidak dapat dipertanyakan.6 Satu dekade setelahya, satu lagi kerusuhan komunal terjadi di Gujarat dan disusul dengan pembakaran para peziarah Hindu di Godhra.7 Peristiwa ini menimbulkan respon yang sama kejinya.

Suman Gopinath

Pengertian ‘religiositas’ mengedepankan beberapa isu seperti fanasitisme kaum terpinggir, kerapuhan artistik, massa sebagai kritik, sensor, serta ujung batas dari apa yang ‘dibolehkan’. Satu contoh mutakhir mengenai operasi semua faktor ini adalah serangan yang dialami seniman ternama India M F Husain dan karya seninya oleh kekuatan fundamentalis, karena provokasi imajinernya. Husain, yang menjadi korban bagi merajelelanya ketidak-toleranan dan kekerasan, ekspresi kebencian, dan serangan dipaksa untuk mengucilkan diri pada usia 90 tahun, dan tak satupun hukum, aturan, parlemen, pengadilan, organisasi masyarakat sipil maupun seniman mampu memberikan jalan aman baginya untuk kembali ke tanah airnya, India secara terhormat, hingga akhir hayatnya dalam eksil.8

aspek keagamaan yang sinkretik dan nir-monolitik; dan cara-cara menyatakan kembali ‘yang spiritual’ dalam hidup sehari-hari.

Lahir di Kerala, 1971, seniman Riyas Komu secara metaforik menjadi dewasa pada tahun 1992, tahun ketika penghancuran Mesjid Babri berlangsung. Ia menggunakan lampu, gereja kayu, dan karpet sebagai simbol yang merepresentasikan agama Hindu, Kristen, dan Islam dalam karyanya The Magic Landscape; Komu menyatakan bahwa ketika lampu yang menjadi sumber cahaya dan pencerahan tidak terpelihara, ia juga dapat menjadi sumber kematian dan destruksi. “Tafsir yang diplintir dapat merusak ritme koreografi,” katanya. Instalasi-patungynya yang detil diciptakan secara teliti oleh para perajin tradisional, yang ia dukung keahlian dan Karya-karya seni dalam biennale ini berkecipung penghidupannya melalui praktik artistiknya. dengan tema ‘religiositas, spiritualitas and kepercayaan’ dan menelusuri dengan berbagai Sebuah trilogi film karya Amar Kanwar secara cara kaitan erat dan ketegangan antara agama langsung merujuk pada hubungan antara dan politik, agama dan nasionalisme, dan kepercayaan, religiositas, kekerasan, dan namengaburnya batas antara keduanya. Substansi sionalisme. Film pertama A Season Outside, karya-karya ini meliputi: ikonografi keagaamaan dimulai di perbatasan Wagah – garis, batas, dan identitas nasional; fetisisasi obyek; yang memisahkan India dengan Pakistan, dan keyakinan pada diri sendiri; pencarian identitas film itu kemudian berkembang menjadi suatu spiritual, kosmik yang melampaui yang fisik; meditasi atas kekerasan. Semua kekerasan adalah

Shadow Lines: Pertemuan India dan Indonesia

sama, ia berujung pada kematian, kehancuran, yang membedakan hanya soal waktu dan tempat. Tapi bagaimana orang mengatasi ini, dengan ‘mempersenjatai kebenaran anda’ dengan resistensi atau cara-cara nir-kekerasan? Jawaban pertanyaan ini dikonfrontasikan dan diajukan di film kedua dalam trilogi-nya Night of Prophecy, yang mengungkapkan bagian dalam dari demokrasi melalui serangkaian puisi dan lagu rakyat yang lahir di komunitas dan kelompok etnis marginal yang memenuhi pemandangan di India. Lagu-lagu yang politis sifatnya ini menekankan tidak relevannya agama dalam suatu negara di mana batas antara kaya dan miskin selalu meningkat. Tidak seperti di film pertama, ‘bangkitlah dan lawan ketidakadilan’ menjadi pesan dari film ini. To Remember adalah film bisu, disyuting di lokasi tempat Mahatma Gandhi dibunuh. Ironis bahwa Gujarat, sebuah negara yang memiliki partai sayap kanan paling sukses berkuasa pada masanya, mengklaim Gandhi sebagai putranya. Bagian dari teks-teks di film ini merupakan ringkasan dari testimoni para saksi dalam pembantaian anti-Muslim dalam kerusuhan 2002 di Gujarat. Motif yang terus menerus muncul dalam karya Shilpa Gupta’s work adalah perbatasan, peta,

Suman Gopinath

dan kartografi. No Borders, gambar dinding dengan selotip-nya secara langsung menyampaikan pesannya: ‘bendera’ yang seharusnya mengabarkan kemerdekaan, kini justru mengungkung. Kata-kata dalam bendera yang menyiratkan langit yang tanpa batas dibingkai dengan batas-batas yang mengurung. Teks dalam bendera Gupta mengubah pemahaman, dari pengalaman personal yang intim, ‘Kekasihku dan aku’, menjadi kata-kata yang membangkitkan citra tentang perang dan konflik - ‘teritori, benteng, parit’. Gupta melihat ‘perbatasan’ sebagai batasan geo-politis yang hadir di antara bangsa-bangsa, dan sebagai penghalang antara orang dan komunitas, ingatan personal dan amatan sejarah. Dalam The Chronic Chronicle, Best Cutting, Sheela Gowda dan Christoph Storz merekonstruksi isi koran yang meliputi kisah-kisah eksklusi dan pengusiran, para manusia dewa (godmen) dan keajaiban, sensor, kerusuhan Godhra, kasus Best Bakery, sampai dengan iklan dan tips-tips hidup nyaman. Dalam pengertian tertentu, benda-benda yang ‘dikurasi ini saling menguatkan dan melengkapi satu sama lain: misalnya, satu koran memuat berita tentang penulisan ulang buku-buku teks oleh

kaum fanatik agam – ini disandingkan dengan kisah-kisah tentang manusia dewa dan keajaiban dan bahkan dibubuhi judul A Hindu deity can own land and property, rules SC (Supreme Court) (Dewa Hindu dapat memiliki tanah dan properti, aturan Mahkamah Agung). Koran ini secara keseluruhan membentuk potongan kertas atau acuan yang digunakan penjahit dalam memadukan kain. Seri foto-pertunjukannya Pushpamala N. berjudul Motherland menelusuri pengertian nasionalisme, kebangsaan, imajeri keagamaan, dan ikonografi ‘ibu pertiwi’. Selama perjuangan kemerdekaan, semangat India direpresentasikan oleh citra ganda dewa Siwa – ‘gagasan ideal mengenai kelaki-lakian dan dewi Shakti – ‘simbol Keibuan abadi’. Secara historis, seni visual dan populer telah melahirkan citra Dewi Durga yang beragam, yang telah “digarap-ulang” oleh seniman-seniman lain. Pada 1970an, selama masa-masa Darurat di India, M. F. Husain menggambarkan perdana menteri pada masa itu, Indira Gandhi sebagai dewi Durga yang menaiki singa. Dalam ikonografi mutakhir, citra Durga sebagai Ibu Pertiwi telah digunakan oleh partai sayap kanan Hindu dalam rapat-rapat akbarnya. Pushpamala menampilkan dirinya sebagai Durga

44

45

Shadow Lines: Pertemuan India dan Indonesia

dalam seri foto yang dikonstruksi secara rinci ini. dengan makna di luar dirinya; soal ikonisasi kepercayaan, investasi pada citra, berhala, dan Rangkaian foto lain tentang ‘identitas obyek-obyek dengan konotasi ritualistik dan performatif ’ ada di seri Ganga’s Daughters, oleh ilahiah. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, seniman Sheba Chhachhi. Ini adalah foto-foto Hande memotret apa yang disebutnya sebagai para petapa perempuan yang menemukan-ulang ‘Dewa-dewa yang Ditolak’ –foto atau berhala dirinya dan mengenakan identitas alternatif, para dewa yang ditemukan di pinggir jalan, yang identitas androgini yang tidak lagi terhubung sudah tidak lagi disembah, namun kini dibuang dengan dunia sosial di sekitarnya, alih-alih entah karena nilai ‘sakralnya’. Dengan demikian mereka lebih dekat dengan sebuah dunia mereka diterlantarkan di sudut-sudut jalan, metafisik. Para perempuan ini menempuh hidup menunggu untuk disembah oleh buruh migran asketis setelah inisiasi yang rumit di ‘Kumbh yang mungkin akan menciptakan tempat kuil Mela’ (sebuah peristiwa religius/ spiritual yang dan tempat persembahyangan sementara. Seri berlangsung setiap 12 tahun sekali di sebuah ini juga merujuk pada citra iliahiah pada budaya ‘tempat sakral’ di mana ketiga sungan suci populer dan pasar. bertemu) di mana mereka mati secara simbolis dan lahir kembali sebagai sadhus perempuan. Ground Shift karya Sheela Gowda berangkat dari Dalam potret-potret ini, Chhachhi berkolabogagasan yang sama dengan karya sebelumnya. rasi dengan para petapa dalam merekonstruksiSecara tradisional, dapur-dapur dilengkapi kan reprentasinya. Karya potret ini dilengkapi dengan batu ulekan yang ditanam ke lantai dengan sebuah film animasi pendek dari footage pada saat pembangunannya. Seturut dengan temuan yang mengungkapkan aspirasi politik modernisasi, blok-blok apartemen baru berdiri seorang pemimpin spiritual dalam komunitas di atas lokasi rumah-rumah tua dan batu ulekan petapa. Film ini mengartikulasikan garis tipis tersebut menjadi mubazir. Bebatuan ini, juga antara kekuasan spiritual dan politik. disembah selama ritual religius, juga disarati dengan makna yang siap dibuang, dan oleh Proyek arsip Archana Hande menelusuri karena itu diletakkan di tempat lain. Melalui ‘kepercayaan’ dan objek-objek yang disarati intervensi yang dilakukan si seniman lah,

Suman Gopinath

bebatuan ini menjadi kembali tampak. Objek kepercayaan dan ‘fetisistik’ dieksplorasi oleh Sakshi Gupta’s dalam instalasinya Reality Bites. Gupta mengonstruksi dengan cermat sebuah tirai yang dibuat dari cabe merah. Cabe merah di India konon menjauhkan orang dari roh jahat dan jimat cabe Gupta berfungsi sebagai obyek pelindung dan penjaga. Anita Dube dalam karyanya mengungkapkan bahwa kepercayaan pada diri sendiri adalah jalan menuju transformasi dan perubahan Dalam gambar dinding monumentalnya, Neti Neti ia menggunakan keramik siap pakai berukir ‘votive eyes’ (mata nazar atau maya yang digunakan dalam berhala dewa-dewi) untuk mengonstruksikan tiga kenyataan yang bertransformasi satu sama lain – masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ia melakukan ini dengan melakukan superimposisi tiga set gambar yang satu di atas yang lain, gambar ‘rangoli’ merujuk pada ‘tradisi’ (aspek yang tak berubah), sebuah peta lokasi geografis tempat ia tinggal (juga tidak berubah) dan satu garis acak yang merepresentasikan masa depan. Ia melihat masa depan sebagai ruang kemungkinan, hal-hal yang tadinya dianggap tidak dapat berubah dapat ditransformasi-

Shadow Lines: Pertemuan India dan Indonesia

kan. Dengan menggunakan mata nazar, yang berdasarkan tradisi hanya digunakan untuk obyek keagamaan (yang ia anggap sebagai simbol opresi), ia menciptakan karya seni, dan dengan demikian mengembalikan ‘keindahan’ ke tempatnya semula, ke dunia estetik sekuler. Karya ini juga merujuk pada gambar ‘rangoli’ yang merupakan bagian dari seni dekorasi tradisi rakyat. Gambar-gambar di lantai ini digunakan setiap pagi dengan tepung beras untuk menyambut hari baru dan setengah terhapus atau hilang sama sekali dalam semalam. Tapi setiap hari membawa gambar baru, awalan baru. Gambar ‘rangoli’ juga menunjuk pada tradisi kehidupan, praktik-praktik yang masih sangat hidup di negara-negara seperti India dan Indonesia. Tradisi lama dan praktis kesenimanan haidr bersama dengan kehidupan modern dan teknologi informasi. Gagasan mengenai ‘tradisi hidup’ ini juga ditelusuri dalam karya-karya Prabhavathi Meppayil dan Valsan Koorma Kolleri. Meppayil meluaskan proses ritualistik dalam tradisi pembuatan perhiasan ke dalam bentuk kontemporer. Lahir dari keluarga pandai emas tradisional, Meppayil menggunakan alat-alat dan proses pembuatan perhiasan dalam menciptakan karya seni kontemporer. Karyanya

Suman Gopinath

yang padat karya dan performatif berisikan bunyi alat-alat tukang perhiasan – palu dan pahat – yang digunakan untuk membuat pola untuk gelang emas. Sifat material yang digunakan karya seni tersebut - kawat tembaga yang ditanam di panel gesso, memunculkan patina dengan satu sisi yang mengkilap- menghapus garis-garis yang perlahan berubah seiring dengan waktu dan usia. Pengolahan objek dan tindakan repetitif dalam menciptakan karya tersebut nyaris seperti aspek ‘meditatif ’ dalam praktik seniman yang bersangkutan. Seniman lain yang karyanya berhubungan erat dengan bahan, kerajinan rakyat, ritual, tradisi performatif dan ‘peristiwa’, adalah Valsan Koorma Kolleri. Inspirasinya dalam menciptakan seni berasal dari alam, yang ia yakini sebagai sumber dari semua pengetahuan spiritual. Karyanya sangat dipengaruhi oleh tradisi-tradisi seperti ‘Theyyam’ atau “Dewa” (peristiwa spiritualitas di mana orang menunjukkan daya tahan) di Kerala, tempat ia tinggal. ‘Theyyam’ adalah upacara sosial-keagamaan dan merupakan kombinasi dari ritual, vokal dan musik instrumental, tarian, lukisan, patung dan sastra. Instalasi patung Kolleri adalah dibangun dari objek organik, logam dan obyek

temuan yang akan menua dan berevolusi seiring dengan perjalanan waktu dan dalam penuaannya mengungkapkan kehidupan batin mereka. Kisah mitologis dari teks-teks Hindu seperti Bhagavad Gita, atau epik seperti Ramayana atau Mahabharata adalah kisah yang senantiasa membayangi kehidupan sehari-hari di India. Cerita-cerita ini kadang menjadi sebuah ensiklopedi bagi perilaku etis dan tindak-tanduk; kadang menjadi tesaurus dari kiasan untuk semua situasi. Cinta, perang, perpindahan atau migrasi, apa pun dapat ditelusuri kembali ke epik-epik ini. K.P. Reji merujuk ke mitos-mitos tersebut untuk projeknya kali ini dan menjadikan sebagian citranya sebagai plot lukisannya. Cerita bergambar Atul Dodiya adalah diambil dari sebuah kaleidoskop referensi termasuk teks sastra dan spiritual. Ada dua tubuh karya Dodiya dalam biennale ini: sementara kematian, kekerasan, kematian menjadi subyek kajian dalam Piero Pierced /Breakfast Project, mortalitas dan penerimaan kematian melalui kekuatan transformatif imajinasi adalah subjek kajian dalam karyanya yang bertitel The Names of the Statues.

46

47

Shadow Lines: Pertemuan India dan Indonesia

Piero Pierced/Breakfast Project terdiri dari 30 frame gambar dan kata-kata yang digantung berdampingan. Gambar-gambar ini merupakan reproduksi lukisan kecil della Francesca, yang mana jantung Madonna tampak tertembus peluru; kata-kata yang dipajang mengabarkan berita singkat dari kliping koran yang mengumumkan bencana sehari-hari. Ini adalah pengumuman tentang bencana dan kematian, tetapi bagaimana seseorang menghadapi kematiannya sendiri? Instalasi The Names of the Statues terdiri dari tiang-tiang gantungan, gambar cat air dalam ukuran besar dengan sebuah puisi singkat oleh mistikus abad 12 penyair Allama Prabhu dan cermin. Tiang-tiang gantungan selalu dikaitkan dengan kekerasan yang mematikan, tetapi dalam karya ini, Dodiya tampaknya menunjukkan bahwa dengan bantuan teks-teks spiritual dan sedikit imajinasi, tiang gantungan dapat diubah menjadi obyek keindahan. Dengan begitu kematian tidak lagi menjadi ancaman yang harus ditakuti. Dodiya mengacu pada kekuasaan transformatif dari imajinasi dan kekuatan seni, sastra dan musik untuk membantu orang menerima kematian dengan khusuk. Namun apakah kekhusukkan dan rasa kes-

Suman Gopinath

eimbangan dimungkinkan ada di masa kini? Ini adalah pertanyaan yang diajukan seniman Sreshta Rit Premnath dalam karyanya Infinite Threat, Infinite Regress. Menyatakan ikon budaya yang terkenal Bruce Lee dari film ‘Enter the Dragon’ di mana musuh bersembunyi di sebuah selasat cermin, Sreshta dalam videoloop-nya ‘meniadakan sang musuh, sehingga Lee menjadi subjek yang diinterpelasi secara terus-menerus dalam ketegangan, tidak yakin dengan jalan mana yang ia harus tempuh agar dapat keluar dari mimpi buruk rasa takut dan pada saat bersamaan tidak berdaya’. Tantangan yang diajukan adalah soal tindakan. Bruce Lee dalam ‘Enter the Dragon’ keluar dari perangkap dengan memecahkan cermin, memisahkan musuh yang asli dari kilau bayangan dan memusnahkannya. Tapi penghiburan dari masa yang lebih mudah tidak lagi tersedia di masa ketakutan universal (perang melawan teror). Tindakan sang aktor dikendalikan oleh sebuah bar kode berwarna yang menunjukkan tingkat bahaya. Maka Lee menemukan dirinya dalam keadaan neurosis dan takut terus menerus, tidak mampu mengambil tindakan apapun karena ia tidak memiliki keyakinan pada apapun. Dapatkah ia keluar dari perangkap selasar cermin?

Karya N.S. Harsha mengeksplorasi hubungan ambigu manusia dengan kosmos dan misteri penciptaan. Karya seniman ini berasal dari sebuah tanda, percikan cat di lantai galeri, yang kemudian memunculkan bintang-bintang, rasi bintang, galaksi, alam semesta. Dan dari alam semesta lahir para dewa, bumi dan manusia. Ini adalah karya yang merenungkan misteri asal-usul - penciptaan, alam semesta, dewa-dewa, agama dan kepercayaan. Himne singkat dalam Rig Veda bersemanyam dalam yang tak terbayangkan Siapa yang sesungguhnya tahu, dan siapa yang dapat bersumpah, Bagaimana penciptaan terjadi, kapan dan di mana! Bahkan para dewa hadir setelah hari penciptaan, Siap yang sesungguhnya tahu, dan siapa yang dapat benar-benar mengatakan, Kapan, dan bagaimana penciptaan bermula? Apakah Ia yang melakukannya? Ataukah Ia tidak melakukannya? Hanya Ia, di atas sana, tahu, mungkin; Atau mungkin juga, bahkan Ia pun tak tahu. Rig Veda 10:129

Shadow Lines: Pertemuan India dan Indonesia

Biennale ini menyatukan beragam karya seni dan perspektif. Komentar interpretatif saya pada karya-karya para seniman India ini tidak definitif, tetapi memberikan jalan masuk, atau titik tolak bagi pemirsa dalam merenungkan tema biennale yang lebih besar - religiusitas, spiritualitas dan kepercayaan. Saya telah berusaha untuk mendefinisikan dan menggambarkan istilah ‘religiusitas’ dengan beberapa contoh, namun juga menghindar dari melakukan hal yang sama pada gagasan ‘spiritualitas’ dan ‘kepercayaan’ hanya karena kata-kata ini mencakup praktik yang begitu luas. Saya melihat bahwa ‘spiritualitas’ berada di ranah praktik kesenian, kehidupan budaya, sehari-hari dan ‘kepercayaan’ dalam konteks fundamentalisme, komunalisme, agama, ideologi, obyek, kosmos, sastra dan seni, kekuatan imajinasi dan diri sendiri. Biennale yang terdiri dari karya dari 40 seniman ini, 15 dari India dan 25 dari Indonesia yang berbeda dan beragam. Bersama-sama mereka merefleksikan persoalan kontemporer seniman yang hidup dan bergiat di dunia yang semakin radikal.

Suman Gopinath

Footnotes: 1 V.S.Naipaul, Among the Believers 2 ‘Meskipun Hindu adalah agama kuno, Hindutya merupakan gerakan politik yang relatif baru, yang menganggap ajaran Hindu adalah panduan utama bagi ‘ke-India-an’’ 3 Amartya Sen, The Argumentative Indian, Writings on Indian History, Culture & Identity 4 V.S.Naipaul, Among the Believers 5 ‘Pemisahan’ (Partition) adalah pemisahan anak benua India sepanjang garis sektarian pada tahun 1947, ketika India dan Pakistan mendapatkan kemerdekaan dari Inggris 6 Amartya Sen, The Argumentative India, Writings on Indian History, Culture & Identity 7 Kekerasan 2002 di Gujarat merujuk pada pembakaran kereta Godhra dan kerusuhan komunal yang mengikutinya antara Hindu dan Muslim di banyak daerah di Gujarat. 8 Sadanand Menon dalam The Hindu, Jumat, 10 Juni, 2011

49

Akiq AW

88 KoN S E P KARYA & B IOG RAFI S E N IMAN

Sebagai sebuah institusi tertua yang diciptakan manusia, agama tetap menjadi hal penting dalam agenda sosial di sini (masyarakat Indonesia). Agama, sebagaimana diyakini penganutnya, berbeda dengan ideologi atau paham-paham lain. Ia bukan pemikiran, bukan pula cara berpikir. Ia adalah satuan keyakinan tanpa uji. Oleh sebab itu, yang terjadi, praktik agama bukan tentang pencarian kebenaran namun memantapkan/memperkuat apa yang sudah dinyatakan sebagai kebenaran. Tekanan sosial sedemikian kuat menyangkut isu-isu tentang agama, baik permasalahan identitas agama sampai atribut-atribut simboliknya. Hal ini terasa ironis jika dikaitkan pada kenyataan bahwa pilihan agama seseorang adalah urusan personal, bukan urusan yang berada dalam domain publik. Fenomena pindah agama, selama ini, pun sering dilihat dalam kerangka hubungan sosial yang menyangkut hubungan-hubungan yang berubah: sebelum dan sesudah pindah agama. Dalam projek ini, dengan memanfaatkan tegangan antara stillness photography dengan motion video: “A person who once we called ‘the other’”, ingin mengajak melihat bagaimana

Albert Yonathan perubahan-perubahan yang terjadi dalam level personal tentang hidup seorang manusia yang harus berlanjut, tentang identitas yang berganti, tentang atribut yang berubah, tentang apa arti perubahan itu atas hidupnya sendiri.

Akiq AW lahir di Kediri, Jawa Timur, Indonesia tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Terlibat dalam berbagai projek, pameran, dan terutama workshop yang diadakan MES 56. Ia adalah salah satu board member Ruang MES 56. Tahun 2010, mengadakan pameran tunggalnya ‘The Order of Things’. Sistem, teknologi dan inovasi yang diciptakan manusia dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari merupakan tema-tema yang selalu muncul dalam karyanya.

90

Albert Yonathan secara pribadi menganggap proses membangun dan mencetak wujud tiga dimensi dari tanah liat yang alami dan tanpa bentuk sebagai sesuatu yang mewakili transformasi yang tidak jelas. Dari lumpur kemudian berproses menjadi tanah liat, dituang atau dicetak lewat tangan menjadi sebuah bentuk dan akhirnya dibakar sehingga menjadi sebuah objek ukiran yang dapat mewadahi makna lewat keterampilan dan persepsi manusia, transformasi tersebut selalu melibatkan totalitas kekuatan alam yang seringkali mengejutkan dan tak terduga. Dari pemahaman tersebut Yonathan telah mengembangkan sejumlah idiom visual yang terkait dengan ide ‘liminalitas’, yaitu keadaan transisi di antara tapal batas. Ia tekun dengan usahanya mencipta objek keramik yang merepresentasikan karakter imajinatif atau mahluk yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih mahluk hidup—manusia, hewan atau tumbuhtumbuhan secara bersamaan. Karyanya sering berbentuk aransemen ratusan modul cetakan keramik dalam bentuk geometris seperti segitiga, lingkaran, segi enam atau segi empat. Karena metode pencetakan keramik tak akan pernah dapat menghasilkan kesamaan sebagaimana

50

51

Amar Kanwar ditemukan dalam produk industrial untuk konsumsi massa, Yonathan mengajukan ide tentang kesatuan dalam siklus kehidupan semesta. Sementara menunjukkan tanda adanya kekuatan kolektif dalam keteraturan, penampilan berulang dari karya ini juga menekankan ide tentang kontemplasi spiritual pada nilai-nilai yang melampau realitas mata telanjang. Yonathan tertarik untuk mereproduksi bentuk kuil dengan tampak muka yang bersih. Menampilkan karya keramik dalam warna putih dan monokrom, ia memandu audiens pada ide tentang pemurnian karena kuil juga dimaknai sebagai tempat dimana manusia memurnikan dirinya lewat ritual dan upacara keagamaan. (beberapa bagian dari catatan ini adalah ringkasan dari catatan kuratorial Agung Hujatnikajenong, “Temple of Threshold”)

Albert Yonathan lahir di Bandung 1983. Ia menyelesaikan kuliahnya di ITB jurusan seni keramik pada tahun 2007 dan sejak 2010 melanjutkan studi master di universitas yang sama. Ia biasanya berkarya dengan medium keramik dan telah mengikuti berbagai pameran.

Beberapa diantaranya: “Neo-Biennale Jogja IX Nation” (2007), Yogyakarta; “Apocalypse Now!” (2008), ARK Galerie Jakarta; “Jakarta Art Now” (2009), Galeri Nasional, Jakarta; “Jakarta Contemporary Ceramic Biennale #1” (2009), North Art Space-Ancol, Jakarta; “Survey #2” (2009), Edwin’s Gallery, Jakarta; ”Tribute to S. Sudjojono-The Picture Experts and Comrades” (2010), PLATFORM 3 Bandung; “Critical Point” (2010), Edwin’s Gallery, Jakarta; “1001 Doors (1001 Pintu)” (2011), Gallery Marketing Ciputra, Jakarta.

92

Trilogy 1997–2003 “A Season Outside (Sebuah Musim di Luar)” 1997 - Analog dan Digital Color Video dengan suara, 30 menit. Mungkin, di dunia ini tak ada perbatasan serupa Wagah batas penghabisan antara India dan Pakistan. Di sana, sebuah pos berdiri dan setiap sore orang-orang diseret ke garis putih. Mungkin, pada setiap yang bertikai dapat menemukan dirinya. Di sini.

“To Remember (Untuk Mengingat)” 2003 - Digital Color Video, tanpa suara, 8 menit. Sebuah pembunuhan, sebuah galeri, aroma kematian, dan kutukan bisu “A Night of Prophecy (Sebuah Malam Ramalan)” 2002 - Digital Color Video dengan suara, 77 menit. Mungkinkah memahami perjalanan waktu melalui puisi? Dan jika bisa, bahkan satu momen istimewa. Mungkinkah masa depan dapat dilihat?

Andy Dewantoro Lahir pada 1964 di New Delhi –India, tempat ia tinggal dan bekerja saat ini, film-film dan karya multimedia Kanwar mengeksplorasi politik kekuasaan, seksualitas, dan keadilan. Instalasi naratif yang berlapis, seringkali terinspirasi oleh zona-zona konflik dan dapat dikenali dari penggunaan pendekatan puitis terhadap isu sosial dan politik. Dalam menelusuri kembali sejarah melalui gambar, objek ritual, sastra, puisi, dan musik, Kanwar menciptakan esai film yang liris dan meditatif, yang tidak bermaksud untuk menghadirkan trauma atau situasi-situasi politik, namun menemukan cara untuk menghadapinya. Karya Kanwar melihat secara mendalam hubungan sebab-akibat, dan praktik hubungan tersebut diterjemahkan dalam kehidupan seharihari, dan dalam bentuk-bentuk kebudayaan. Pameran tunggal terbarunya dilaksanakan di Marian Goodman Gallery, New York; Haus der Kunst, Munich; dan Stedelijk Museum, Amsterdam. Ia berpartisipasi dalam Documenta 11 dan Documenta 12 di Kassel, Jerman. Juga, penerima penghargaan 1st Edvard Munch Award for Contemporary Art (Penghargaan Edward Munch untuk Seni Kontemporer) di

Norwegia; dan Doktor Kehormatan untuk Seni Murni di Maine College of Art, Amerika Serikat. Film-filmnya juga dipertunjukkan di festival-festival film, dimana ia menerima beberapa penghargaan: Golden Gate Award, San Francisco International Film Festival; The Golden Conch, Mumbai International Film Festival; dan The Jury’s Award, Film South Asia, Nepal.

94

Andy Dewantoro tertarik mengeksplorasi lukisan landscapes sebagai bingkai karya-karyanya sejak kepulangannya dari Eropa pada tahun 2006, ketika menjelajahi museum dan berhadapan dengan karya-karya arsitektural besar dari zaman klasik. Seri landscapes Andy mencoba menggali kekosongan pada perkembangan seni rupa modern yang mengabaikan pengkajian pengaruh perkembangan agama pada ungkapan seni. Kendati ia mengosongkan landscapes-nya dari kehadiran manusia, landscapes Andy masih menampilkan dilema urban yang mempersoalkan ruang hidup manusia di jaman modern ini. Landscapes Andy sama sekali tidak hanya menampilkan keindahan alam yang merayakan kebesaran Tuhan. Pada karya “Abandoned”, ia menampilkan diorama sebuah bangunan yang terbengkalai. Karya ini menyajikan permainan imej realistik karena dibuat dengan perhitungan skala. Landscapes yang muncul dalam imajinasi tampil seperti objek observasi yang memancing pemikiran tentang kota tak terurus.

52

53

Anita Dube Andy Dewantoro lahir di Lampung pada tahun 1973. Ia belajar Interior Design di Institut Teknologi Bandung. Selain lukisan, Andy juga menggunakan fotografi dan objek 3 dimensi sebagai media untuk berkarya. Karya-karya Andy Dewantoro memanfaatkan gambarangambaran lanskap sebagai media perumpamaan yang dapat menangkap atmosfer ‘ditinggalkan’. Selain mengikuti berbagai pameran bersama di dalam dan di luar negeri, Andy pun telah beberapa kali mengadakan pameran tunggal. Di antaranya, “Silent World” (2008) di Ark Gallerie, Jakarta dan “empty - space - landscapes” (2010) di Semarang Gallery, Semarang.

96

“Neti!Neti! (Bukan Ini! Bukan Itu Juga!)” adalah perayaan kekacauan, dari yang ‘banyak’, sebagai gambaran dari mimpi untuk revolusi masa depan! Dibangun dengan nazar mata dewa-dewa (apa yang disebut dengan Ishwar ke Netra), karya ini ingin mengambil ‘keilahian’ dari Tuhan dan mengembalikannya kepada orang-orang, tempat Ia semestinya berada. Tiga fragmen gambar, ditumpuk. Satu, di atas yang lain. Pertama adalah pola lantai ‘kollam’, kedua adalah peta kisi-kisi Alaknanda: tempat saya tinggal di Delhi, dan ketiga adalah sebuah coretan acak pada selembar kertas kosong. Secara konseptual, gambar-gambar tersebut adalah pergumulan antara prinsip-prinsip penataan yang berbeda: masa lalu (tradisi), kekinian atau kehadiran (merujuk pada lokasi), dan masa depan (sebuah gerak dinamis dan acak), yang menciptakan kondisi untuk mengubah segala yang menekan tujuan pada kemungkinan-kemungkinan baru

Anita Dube lahir 1958 adalah seorang sejarawan seni dan kritikus yang menjadi artis. Ia bekerja

Arahmaiani dengan bahasa konseptual yang meningkatkan nilai fragmen patung sebagai pembawa memori pribadi dan sosial, sejarah, mitologi, dan pengalaman fenomenologis. Ia berkarya dengan menggunakan berbagai bahan-bahan industri (busa, plastik, kawat), kerajinan (benang, manikmanik, beludru), tubuh (gigi palsu, tulang), dan bahan jadi (mata keramik). Dube memiliki perhatian yang mendalam terhadap kerusakan baik yang personal maupun masyarakat dan regenerasi. Memulai keterlibatannya di dunia seni dengan Pelukis Radikal India dan Asosiasi Pematung; kelompok seniman yang bergaya 80-an, sejak awal ia berusaha untuk bekerja dengan sisi ‘erotik’ dan ‘politik’ yang meneliti perlawanan individu dan perempuan dalam menentang gagasan menyeluruh tentang ‘kekuatan’. Anita telah berpartisipasi dalam beberapa pameran bersama dan tunggal, baik di India dan luar negeri. Beberapa pameran tunggal yang dilaksanakan tahun ini antara lain Babel, Galerie Dominique Fiat, Paris, 2011; Kal, Lakeeren Art Gallery, Mumbai, 2010. Pameran kelompok selama tahun 2010 & 2011 antara lain: - Paris-Delhi-Bombay, Centre Pompidou,

Paris; Prague Biennale 5, India Pavillion, Prague; The Other and the Mother (Yang Lain dan Sang Ibu), Lakeeren Art Gallery, Mumbai (2011); Indian Highway, Herning Museum, Denmark; Punctum 1, Lakeeren Art Gallery, Mumbai; Spiral Jetty, Nature Morte, New Delhi (2010).

98

Arahmaiani selama lebih dari dua dekade telah bertindak sebagai pengamat dan aktor sekaligus; melibatkan dirinya secara fisik sebagai medium tafsir utama bagi karya seninya. Sebagai duri subversif di masa rezim Suharto yang telah runtuh, dorongan utama bagi karyanya hingga saat ini tetap terpusat pada usaha menginterogasi segala hal yang berbau status quo di berbagai level organisasi sosial dan politik. Secara signifikan ia juga tidak menempatkan berbagai hal yang ia anggap sebagai ancaman sosial budaya dalam hirarki tertentu. Konsumerisme, carut marut gender, konservatisme dalam Islam, masalah lingkungan, industrialisasi, dislokasi pedesaan dan imperialisme Barat ia dudukkan sama rata. Ia juga adalah seorang feminis: secara bersamaan menggugat konvensi yang dilekatkan pada struktur hirarki Jawa dan yang diterapkan oleh aturan aturan Islami, dimana mereka cenderung merepresi perempuan dalam manisfestasinya yang terkini. Namun demikian, feminisme Arahmaiani melampaui sebuah tujuan pada dirinya sendiri. Sebaliknya, ia adalah salah satu saja dari sekian alat yang ia gunakan untuk bersilang pendapat dengan ide ide dan pola perilaku dominan.

Arahmaiani tertarik pada peran berbagai simbol dan pergeseran makna sesuai dengan konteks. Petunjuk material—atau pernik sebagaimana yang orang namai untuk berbagai simbol ikonis kultural yang ia gunakan—berperan besar dalam presentasi Arahmaiani, “Stitching the Wound” (“Menjahit Luka”, yang dipresentasikan di Bangkok pada tahun 2006). Tidak didesain sebagai karya tentang gender, tak pula sebagai sesuatu yang mendekati sebuah apologi untuk Islam, instalasi tersebut menggunakan ikon yang sudah teridentifikasi dengan dunia muslim. Dibaca dalam tataran yang berbeda, mereka juga lewat pertaliannya membangkitkan imaji tentang kerudung. Hal yang melambangkan kesucian perempuan bagi mereka yang saleh, baik itu jilbab atau cadar hitam, bentuk sandang perempuan ini bagi mereka yang ada di luar telah melambangkan kekangan dan represi bagi perempuan. Instalasi kedua Arahmaiani, berbagai huruf Arab raksasa dalam bentuk bantal, digunakan dengan cara yang sama untuk menekankan aspek kemanusiaan dalam Islam. Lembut, beraneka warna, tampak mengundang dan diukur berlebih sehingga ia seakan membanjiri dalam ruang, melampaui jagat klasik ayat Islam, bantal huruf

54

55

Archana Hande

100

huruf ini membangkitkan kerangka intelektual Rangkaian foto-foto ini berasal yang lebih luas tentang pengetahuan, pemahaman dari projek kearsipan yang dan pembelajaran universal yang menolak kesan mengeksplorasi gagasan tentang ‘fetisisme’ suram dari kekerasan yang kerap dimunculkan (menujukan kekuatan supernatural untuk oleh huruf Arab di pers Barat. objek material yang keliru untuk keilahian). Gambar-gambar dan berhala dewa-dewa, yang didokumentasi di sini, telah dibuang di trotoar Arahmaiani lahir di Bandung, Indonesia, pada dan tempat sampah karena terdapat kekeliruan tahun 1961. Ia belajar di Institut Teknologi pada ikonografi mereka atau karena rusak. RepBandung pada tahun 1983 dan juga belajar resentasi yang cacat dianggap dapat membawa di Paddington Art School, Sydney, Australia sial dan tidak bisa dipuja tetapi juga tidak dapat dari tahun 1985-1986, dan Akademie voor ditolak karena mereka memiliki nilai-nilai Beeldende Kunst en Vormgeving, Enschede, suci. Oleh karena itu, mereka diistirahatkan Netherlands, pada tahun 1991 sampai 1992. di jalanan dan mereka ada di sana sampai Ia dikenal di dunia internasional melalui mereka dihidupkan kembali oleh pengembara karya performance, tapi ia juga bekerja dengan yang lewat, atau akhirnya dilempar dengan media lukis, drawing, instalasi, tari dan musik. puing-puing bangunan. Yang menarik adalah, Beberapa acara penting yang telah diikuti tidak ada satupun yang berani menyentuh Arahmaiani antara lain, Asia-Pacific Triennial mereka. of Contemporary Art, Queensland Art Gallery, Brisbane, Australia pada tahun 1996; Bienal de Arsip-arsip yang ada juga mendokumentasikan La Habana, Havana, Cuba pada tahun 1997; dinding-dinding dan bangunan-bangunan yang the Biennale d’Art Contemporain de Lyon, pada tubuh mereka terdapat gambar-gambar France, dan Werkleitz Biennale, Germany pada keilahian: yang dilukis, ditempel, atau dicat tahun 2000; Sao Paulo Bienal, Brazil, Kwangju yang ditempatkan dengan strategis. GambarBiennale, South Korea pada tahun 2002; dan gambar ini mensakralkan dinding-dinding Venice Biennale pada tahun 2003. Saat ini ia tersebut dan mencegah orang-orang yang tinggal dan bekerja di Jakarta-Bandung. hendak menodai mereka.

Ariadhitya Pramuhendra Disamping mengeksplorasi ide-ide kepercayaan dan takhayul, projek kearsipan ini juga menaut pada budaya pop dan ‘seni pasar’.

Archana Hande lahir 1970, lulus dari Printmaking di Visva-Bharati, Santiniketan pada tahun 1991, dan menyelesaikan gelar M.F.A-nya di M.S. University, Baroda tahun 1993. Karya seni dan kerja kreatif Hande selalu meluas ke beragam gaya, tempat, perhatian, dan bentuk. Kerja kreatifnya juga mencakup perannya sebagai seniman-kurator, dan penyelenggara. Projeknya yang terkemuka, www.arrangeurownmarriage.com (2002-2008) adalah sebuah projek website dan instalasi yang menyelidiki institusi perjodohan dan menanamkan dengan mendalam hubungan-hubungannya dengan struktur religius dan tradisional. Projek-projek lainnya antara lain: Archanadevi Chamber, All is Fair in Magic White, Relics of Grey, dan Tales of Patachitrakar. Ia telah berpameran tunggal di Galeri Z2O/Sara Zanin di Roma; Galeri Chemould di Mumbai;

Nature Morte & JNU di Delhi, Lakeeren di Mumbai. Karya-karyanya juga diikutsertakan dalam pameran bersama seperti: Incheon Women Artists’ Biennale, Korea; Guangzhou Triennial, Cina; NIFCA, Helsinki Show, dan lain-lain. Ia adalah penerima penghargaan The Charles Wallace India Trust Arts Award pada 2000, The Majlis Fellowship for Visual Arts, Mumbai periode 2007-2008, dan yang paling akhir adalah hibah penelitian dari Pro Helvetia Switzerland tahun 2010. Ia juga berpartisipasi dalam banyak workshop nasional dan internasional. Archana tinggal dan bekerja di Bombay dan Bangalore, India.

102

Sejak awal berkarir sebagai seorang seniman professional, Pramuhendra sudah tertarik dengan kompromi yang terus menerus terjadi antara dia sendiri dengan masyarakat. Dengan berfokus pada pencarian tiada henti akan konsep menjadi diri sendiri, sebagian besar hasil karyanya adalah berupa potret dirinya sendiri, baik sendirian maupun bersama keluarganya. Dia menggunakan gereja dan simbol-simbol Katolik secara khusus untuk mempresentasikan kepercayaan dan kelemahan manusia, dan hubungannya dengan batasan-batasannya. Dia bermaksud mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai eksistensi yang kemudian dikembalikan kepada sang Pencipta, di saat segala nilai dan peraturan manusia dibuat dengan maksud untuk menciptakan keseimbangan dalam hubungan sosial manusia. Motivasinya untuk melacak elemen terdalam dari “diri” telah membawanya pada pencarian substansi Sang Kreator. Ia juga melacak identitasnya sebagai seorang Katolik, sementara investigasi terhadap hubungannya dengan keluarga merupakan representasi lain dari Gereja. Dari seri lukisan yang menggunakan

arang, Pramuhendra mengeksplorasi karya instalasi dan media baru, khususnya untuk karya-karya yang berdimensi warna hitam dan putih. Pramuhendra melacak kembali hubungan antara individualitas dan keagamaan dan secara keras mempertanyakan posisi seseorang dalam hubungannya dengan institusi sosial. Pada saat yang sama mencoba menekankan pentingnya mempertahankan daerah abu-abu di dalamnya – dan bahkan berani bermain dengan jarak di antara keduanya.

Ariadhitya Pramuhendra lahir pada tanggal 13 Agustus 1984 di Semarang, Indonesia. Dia lulus dari Institusi Teknologi Bandung Jurusan Desain Grafis pada tahun 2007. Dia pernah mendapat penghargaan Honorable Mention dalam International Biennale Print dan Drawing Exhibition to 12 pada tahun 2006 dari National Taiwan Museum of Fine Arts. Pameran-pameran tunggal yang pernah dia selenggarakan adalah “Pada Perjamuan Terakhir” (Jakarta, 2008), “Jarak Identitas”

56

57

Arya Pandjalu & Sara Nuytemans (Singapore, 2009),” Abu Menjadi Abu“(Hong Kong, 2010), “Silent Confession” di Michael Ku Gallery, Taiwan (2011). Projek pameran internasional yang telah diikuti antara lain: “Transfiguration: Indonesian Mythologies” di Espace Culturel Louis Vuitton, Paris, Perancis (2011), pameran “Indonesian Eye” di Saatchi Gallery, London (2011) dan Biennale Jogja 2011.

104

“Doa-Doa Burung” (2007sekarang) adalah respon pada isu-isu problematik konflik keagamaan. Ia percaya bahwa ruang publik adalah salah satu alat yang paling efektif untuk mendekonstruksi stereotip dan menciptakan kesadaran tentang keberagaman dan perbedaan. Perspektif individual sangat erat kaitannya dengan nilai dan penilaian pribadi namun juga dengan perasaan aman dan kenyamanan dalam lingkungannya sendiri. “Doa-Doa Burung” berusaha untuk menanggapi kenisbian perasaan ini dan kesetiaan yang kukuh dari masyarakat padanya. Ia adalah projek seni berkelanjutan, lintas disiplin dan lintas budaya yang dalam usahanya memperkuat diri untuk mencapai tujuan, akan dibangun di berbagai belahan dunia dalam versi khusus sesuai dengan keadaan lokal. Setiap edisi “Doa-doa Burung” akan dilengkapi dengan pertunjukan “All in the Mind” (Semua Dalam Pikiran) dan memasukkan kombinasi dari instalasi, ukiran, lukisan, gambar, karya cetak, pembacaan, diskusi dan berbagai bentuk komunikasi lain. Kami berusaha mengubah cara masyarakat melihat sesuatu dan menunjukkan bahwa dibalik tampilan tipikal terdapat semangat

kebudayaan yang sepenuhnya terlibat dalam usaha manusia yang universal. Demikian adanya, projek ini mengkonfrontasi dinding psikologis dan fisik yang dibangun oleh pemikiran konservatif yang mengelilingi ritualisasi dari agama massa dan kebudayaan dan bukan respon spiritual personal dari berbagai iman. Oleh karenanya keragaman adalah elemen esensial dari dialog. Kami ingin berkontribusi pada afirmasi positif atas identitas dan keragaman budaya dengan cara mempertanyakan norma yang sudah mapan. Stereotip seringkali menyepelekan baik kompleksitas dan keragaman pengalaman manusia. www.birdprayers.net

Arya Pandjalu dan Sara Nuytemans adalah sepasang suami istri yang bekerja sebagai seniman. Keduanya terbiasa bekerja secara individual namun juga dalam membuat projek bersama. Arya dilahirkan di Bandung pada tahun 1976, belajar desain grafis di ISI Yogyakarta. Sejak 1996 ia telah berpartisipasi dalam berbagai pameran seni di Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Sementara Sara Nuytemans dilahirkan di Belgia di tahun

Atul Dodiya 1970. Ia tinggal dan bekerja di Den Haag dan Yogyakarta. Karya-karyanya adalah kombinasi dari strategi audio visual, instalasi dan pertunjukan. Baik Arya dan Sara telah melewati masa residensi di Rumah Seni Cemeti menghasilkan karya Landing Soon #1 di tahun 2006.

106

Dalam sebuah karya besar terdiri atas tiga puluh bagian yang digabung dari dua karya, Atul Dodiya menyusun pasangan yang berlawanan: bahasa vs gambar; figuratif vs naratif; seni konseptual vs lukisan tradisional. Pada “Pierro Pierced (Pierro yang Tertusuk)”, Dodiya merespon karya reproduksi lukisan Della Francesca dengan bor, hingga seringkali terlihat seperti peluru yang ditembakkan ke jantung Madonna. “Breakfast Project (Projek Sarapan Pagi)” dibuat dari kliping-kliping pendek surat kabar harian yang secara ringkas dan jelas menyinggung masalahmasalah bencana dan trauma: baik yang belum terselesaikan ataupun yang sedang terjadi (“GAZA, berlanjut ke halaman 6” bagian satu); moralitas dan konflik, perselisihan sosial dan kompromi, pengalaman dan kelicikan, masa lalu dan masa depan. Kata-kata dan gambar disusun lalu dibingkai hingga mendekati gambaran kejamnya perjalanan sejarah dan lugunya keterlibatan seluruh manusia di zaman ini. Kutub-kutub yang berlawanan ditampilkan, seperti halnya kesejajaran mereka dalam mendekati kekerasan, sehingga kemampuan kita untuk mencerna juga ditantang pada waktu yang bersamaan. Sekalipun begitu, kutub-kutub ini direkonsili-

asi dalam sebuah karya tunggal, “The Names of the Statues (Nama dari Patung-patung)”: tiang gantungan baja yang berputar bertindak sebagai semacam bingkai untuk sebuah cermin dan cat air. Di sini, kehidupan (puisi dan refleksi) menjadi satu dengan kematian (jerat algojo). Di sini, seseorang membaca lukisan sembari merenungi dirinya (laki-laki atau perempuan), di antara ancaman eksekusi. Teks yang digambar dengan gemulai oleh Dodiya, adalah teks dari Allama Prabhu: orang suci dari daerah India Selatan, yang hidup sekitar abad ke-12. Versi aslinya disusun dalam bahasa Kannada, bahasa yang digunakan di daerah Karnataka, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-20 oleh seorang penyair, A.K Ramanujan: ... Di luar batas kota sebuah kuil dalam sebuah kuil, lihatlah, seorang wanita pertapa Pada tangan wanita itu adalah sebuah jarum, Pada ujung jarum adalah empat belas dunia O Raja Gua-Gua,

58

59

Christine Ay Tjoe kulihat seekor semut menelan segalanya sang wanita, sebatang jarum, dan empat belas dunia.

Atul Dodiya (lahir 1959) belajar di Sir J J School of Art, Mumbai dan di Ecole Des Beaux-Arts, Paris. Lukisan-lukisan simbolis Dodiya di atas kanvas, kertas, dan daun jendela logam menghasilkan Dengan menggunakan teks ini, Dodiya keberagaman tradisi dalam lukisan dan teks. Ia memberi kesan bahwa transformasi bukanlah bekerja dengan bahan-bahan dan teknik yang semata-mata kaidah, tetapi sesuatu yang esensial tidak biasa dan menyajikan kepada audiens suatu bagi kelangsungan hidup. Dalam praktiknya, lontar bergambar dan kolase pengalaman. Karya dalam keragaman avatar/awatara (inkarnasi), ia Dodiya ditandai dengan fragmen multi warna, membiarkan imaji-imaji dari berbagai sumber dan narasi bergambarnya mengambil gambardiubah oleh rekontekstualisasi dan penjajaran gambar ikonis dari kebudayaan visual global: mereka. Ketika mungkin, hal ini adalah teknik fragmen film, strip kartun, oleograf populer, standar yang digunakan dalam appropriation versi lokal dari komik MAD, yang semua dijalin art , maka situasi personal Dodiya menghardengan autobiografi. Karya-karyanya yang uskan membuka paksa kotak pandora yang kompleks, mendetail, dan berlapis-lapis terlihat sempit. Kerongkongannya terbuka lebar hingga seperti pola mosaik atas ide yang disusun dengan hampir mengisyaratkan kesalahpahaman pada humor dan ironi. alat-alat dan manuver-manuvernya, seperti Atul Dodiya telah berpameran tunggal 25 kali silsilah orang-orang Eropa atau Amerika yang di India dan luar negeri, termasuk retrospeksi dipilih untuk tidak diuraikan pada orang-orang pertengahan karirnya di Japan Foundation Asia India, dan sebaliknya. Rintangan ini tampaknya Centre, Tokyo pada 2001, dan sebuah pameran tidak menimbulkan persolan bagi Dodiya; dan tunggal di Museum Reina Sofia, Madrid pada mungkin, ia menerima hal ini sebagai sebuah 2002. Dodiya turut berpartisipasi dalam akibat globalisasi yang mengalami percepatan, Yokohama Triennale pertama, Venice Biennale khususnya dalam dunia seni kontemporer. ke-51, Documenta 12, Gwangju Biennale ke-7, (Kutipan dari esai katalog yang ditulis Peter dan Moscow Biennale ke-3. Dodiya tinggal dan Nagy) bekerja di Bombay, India.

110

“... Today I Kill The First Layer and I Find Other Layer Living as Landscape, Landscape, Landscape..” berwujud mesin ketik mini berwarna perak, dengan delapan belas tuas yang menjulur panjang tanpa bantalan, mengesankan pencarian, tapi juga kesemena-menaan. Besi-besi panjang kurus itu mengingatkan kita akan juluran garis-garis sedikit liar dalam lukisan Christine yang seakan mencari suatu tambatan sosok tertentu. Hanya ada tiga aksara tersisa di ujung pengungkit itu, yakni G-O-D. Melalui rasa nyeri yang tajam pada ujung jari ketika mengetuk bilah-bilah yang telah kehilangan semua penandanya, tiga aksara di ujung pengungkit itu perlahan kita sadari keberadaannya. Penanda yang digunakan Christine lagi-lagi adalah ketukan-ketukan “kebetulan” yang menghasilkan komposisi bunyi atau musik yang berbeda-beda. Bunyi dihadirkan karena ketukan tuas tertentu di atas permukaan datar berbahan aluminium yang dilengkapi pemutar musik tersembunyi. Apakah Christine dengan sengaja ingin menunjukan permainan semantik antara bunyi dan yang sem(bunyi) ini? (kutipan dari esai kuratorial Hendro Wiyanto, “Lama Sabakhtani Club”)

Erika Ernawan Christine Ay Tjoe lahir di Bandung, 27 Desember 1973. Pada tahun 1992-1997 melakukan studinya di Institut Teknologi Bandung jurusan Seni Grafis. Sejak tahun 1999 telah aktif melakukan berbagai pameran bersama dan tunggal.

112

Erika adalah salah satu dari seniman generasi muda yang tertarik untuk menjadikan pengungkapan jati dirinya sebagai titik awal dari proses kreatifnya. Selagi dia menggaris bawahi identitas dirinya sebagai seniman perempuan, karya-karya Erika berpusat pada isu-isu tubuh dan tabu. Beberapa pameran tunggal terpilihnya, Karya-karya terakhirnya nampak dimaksudkan antara lain: “Reach Me” (2003), Cemeti Art untuk laki-laki (dan pemirsa laki-laki). Walau House, Yogyakarta, “Eksekusi Ego” (2006), dia tidak memandang dirinya sebagai seorang Edwin Galery, Jakarta, “Silent Supper”, feminis, sulit disangkal bahwa karya-karyanya Ark Galerie, Jakarta, “Interiority of Hope”, nampak jelas mengarah pada jalur feminisme Emmitan Gallery, Surabaya, “Panorama – salah satu cabang utama posmodernisme. Without Distance” (2009), Art Hongkong 09, Sebagaimana halnya dengan seniman feminis Hongkong, Lama Sabakhtani Club (2010), lain, Erika menunjukkan dirinya dalam Lawang Wangi Artspace, Bandung. Christine karya-karya seninya. Hal-hal yang kita lihat telah meraih beberapa penghargaan internasion- dalam karya-karyanya bertentangan dengan al antara lain 5 besar Phillip Morris Indonesian karakter kesehariannya yang lembut dan lebih Art Award, Indonesia (2001), beasiswa di feminim. Erika dalam karya-karya seninya Stiftung Kuenstlerdorf Scheppingen, Jerman tidaklah sama dengan Erika yang kita kenal, yaitu (2004), SCMP Art Future Prize, Hongkong yang bersikap manis dan sopan. Erika dalam Art Fair (2009). Tahun 2011 menjadi finalis karya-karya seninya adalah Erika yang agak Signture Art Prize yang diselenggarakan oleh ‘berbeda’, yang melakukan protes dan memproSingapore Art Museum. vokasi penontonnya. Dalam “Mirror Sees Me (Cermin Melihatku)”, figur sang seniman mudah dikenali dalam karyanya. Dalam setiap karyanya, figur

ukuran asli tubuhnya menatap langsung para penontonnya, menantang penontonnya. Sapuan kuas-cat pada tubuhnya menimbulkan efek dinamis, dan pada saat yang sama muncul seperti kabut yang misterius. Sapuan kuas-catnya jelas Nampak kuat dan ekspresif, dan pada saat yang sama rapuh dan rentan. Kenyataan bahwa kita dengan mudah bisa mengenali Erika dalam setiap figurnya justru membuat karya seninya semakin “mengejutkan”. Hal ini membuat menimbulkan dampak secara tidak sengaja pada penonton – yang sudah mengenali Erika melalui interaksi sehari-hari dengannya – yang melihat dan membaca hasil-hasil karyanya. Sebagai tambahan, presentasi atas diri seniman itu sendiri telah meletakkan karya-karya seni Erika lebih dekat pada genre ‘self-portrait’ (potret diri). Namun karyanya juga harus dilihat sebagai suatu potret diri dengan orientasi menentang bias gender, agak berbeda dengan karya-karya potret diri yang lebih bisa dimengerti secara umum. Yang lebih ditekankan di sini adalah proses mempertanyakan hubungan dia dengan tubuhnya sendiri, bukan hasil akhir dari projek ini. Erika menanyakan dirinya tentang bagaimana tubuhnya bisa menjadi senjata dan pelind-

60

61

Irwan Ahmett ungnya, walau pun kebanyakan waktu tubuh (perempuan) lebih dilihat sebagai obyek kecantikan dan kesakitan. Dalam konteks ini, ide refleksi yang sering ditampilkan dalam karya-karyanya menjadi permainan tontonan: antara laki-laki dan perempuan, pembuat dan penonton, pelakon dan penonton, kita dan mereka. (sebagian kutipan dari tulisan kuratorial Asmudjo J. Irianto, “Der Spiegel”)

Erika Ernawan lahir 1986 di Bandung, Indonesia. Gelar BFA dan MFA diperolehnya di Institut Teknologi Bandung, Fakultas Seni Rupa. Sejak tahun 2007 dia telah berkarya dengan media seni baru, pertunjukan, instalasi, dan juga fotografi. Dia tertarik pada hubungan antara identitas, refleksi dan persepsi visual. Erika mendapat penghargaan dari Bandung Contemporary Art Award (BaCAA) pada 2010. Saat ini dia tinggal dan bekerja di Berlin, Jerman.

114

Dari Mistik… Mistik merupakan wilayah di luar panca indera dan nalar yang mendapatkan tempat tertentu dalam budaya Jawa sebelum maupun sesudah kedatangan Islam. Dalam pelaksanaanya beberapa kelompok masyarakat melakukan pengkultusan terhadap objek atau wilayah, mengagungkan kharisma, mencari keyakinan untuk kesejatian, rangkaian ritual yang rumit hingga berpuasa melatih diri untuk meraih tujuan tertentu, bagi para jawara mantra dihapal untuk menolak bala. Mistis bersifat fungsional karena memberi efek terhadap jiwa atau kepercayaan diri bagi mereka yang meyakininya. Ke Materialistik… Geliat konsumerisme diikuti perubahan gaya hidup serta kesenangan duniawi yang ditampilkan oleh golongan kapitalis telah menyihir masyarakat Jawa dewasa ini. Nilai-nilai mistik kian memudar tergantikan oleh pandangan nyata yang lebih instan. Penghambaan terhadap merek global, pengkultusan selebriti pujaan, upacara ritual dijual untuk pariwisata, iklan diputar berulang agar slogan mudah dihafal, disisi lain kaum pekerja rela berpuasa memotong gajinya setiap bulan untuk

Iswanto Hartono mendapatkan gadget terbaru buatan China desain California yang dapat menambah percaya diri bagi penggunanya. Materialistik mendorong ambisi konsumtif yang tidak pernah terpuaskan. Rencana Projek: Saat ini Irwan Ahmett sedang melakukan perjalanan di luar negeri selama satu tahun. Dalam projeknya kali ini ia mengajak seniman atau komunitas dari Jogja untuk berkolaborasi. Untuk mempermudah jangkauan dan mempertajam kelompok sasaran maka ruang yang dipilih untuk mempresentasikan karya adalah Mesin ATM (Automatic Teller Machine) akan ditempeli ‘objek’ yang berkaitan dengan tema projeknya. Teknis Pelaksanaan: Karya akan dibuat dua tahap: • pertama adalah membuat peristiwa dengan ‘menginstall’ karya di mesin ATM • kedua pameran presentasi baik dokumentasi, temuan dan respon publik yang didapat selama menjalankan projek.

Desainer dan perupa yang tertarik dengan isu sosial dan perubahan perilaku. Saat ini

saya sedang mempelajari nilai dan makna kebahagiaan dalam kehidupan masyarakat perkotaan dengan menciptakan konsep permainan yang spesifik. Saya mendirikan Ahmett Salina studio, selain produktif sebagai creative director saya berinisiatif untuk melakukan kampanye-kampanye independen dengan melibatkan lintas disiplin dan mengemasnya menggunakan berbagai medium. Beberapa pameran yang pernah saya ikuti adalah presentasi projek “Change Yourself ” (2004 - 2006) di Cemeti Art House, Yogyakarta, kemudian “Masa Lalu Masa Lupa” (2007 - 2008) di Amsterdam, Shanghai, Jakarta, Semarang dan Singapura, serta “Manifesto of the New Aesthetic: Seven Artists from Indonesia” (2010) di Institute of Contemporary Arts, Singapura.

116

Iswanto Hartono selama ini banyak terlibat dengan projekprojek instalasi di situs tertentu. Dengan latar belakangnya sebagai arsitek, karya-karya Hartono selalu berkait dengan dimensi ruang dan mempertanyakan persepsi tentang relasi ruang dan sejarah. Dengan fokusnya atas ruang, Hartono mendekati sebuah fenomena dalam kerangka yang makro dan konteks yang meluas.

ruang pameran, sehingga pengunjung merasakan ada sesuatu yang salah dengan hadirnya taman tersebut. Iswanto menantang apakah gagasan tentang surga yang divisualisasikan ini bisa menjawab rasa penasaran manusia akan janji-janji yang mereka percayai. Pengunjung bisa masuk ke dalam instalasi dan membayangkan diri mereka dalam surga dan bahkan membuat surga mereka sendiri.

Projeknya kali ini adalah tentang menciptakan surga. Iswanto melihat bahwa motivasi terbesar dari manusia untuk percaya pada praktik-praktik keagamaan adalah adanya janji tentang surga. “Tanah terjanji” ini merupakan bayaran dari semua darma yang dilakukan manusia ketika hidup di bumi, sehingga manusia mendapatkan ilusi atas hidup sesudah kematian.

Karya ini merujuk pada kontradiksi atas yang mitos dan yang nyata, ilusi dan kehadiran, serta pengalaman atas ruang yang salah tempat (displaced) sehingga pengunjung dijauhkan dari kenyataan sehari-hari untuk mendapatkan cara pandang yang sama sekali lain.

Bayangan visual yang paling sederhana atas surga adalah sebuah taman yang indah, dimana manusia bisa menikmati apa yang tidak ada di dunia. Hampir semua agama memberikan definisi dan gambaran yang sama tentang surga; sebuah keindahan tak terbayangkan yang tidak dapat diciptakan manusia. Iswanto menghadirkan projek kolaborasi dengan seorang ahli pertamanan, menciptakan taman buatan di

Iswanto Hartono lahir di Purworejo, tahun 1972. Saat ini ia tinggal dan bekerja di Jakarta. Tahun 1991-1996 belajar di Fakultas Arsitektur Universitas Tarumanegara, Jakarta dan pada tahun 1998-2000 di Institut Kesenian Jakarta, Fakultas Seni Rupa. Tahun 2000-2002 ia bersekolah di New Delhi, India dengan jurusan arsitektur dan tata kota. Tahun 2003-2004 mendapat grant dari Freeman Asian Art Award dari Freeman Foundation, Amerika Serikat.

62

63

Jompet Kuswidananto Menyelenggarakan pameran tunggal di Saitama Museum, Jepang pada 2008 . Tahun 2010 mengadakan pameran tunggal di Canna Gallery dengan judul “Museum Of Innocence” yang menggunakan media lukis dan instalasi untuk mengeksplorasi sejarah pembangunan peradaban modern di Indonesia. Ia terlibat program residensi di Tokyo Wondersite tahun 2009, dan beberapa program serupa di Eropa sepanjang 2008. . Ia berpartisipasi pada Jakarta Biennale 2009 “Fluid Zones”, pameran “Manifesto of the New Aesthetic: Seven Artist from Indonesia” (2010) di Institute of Contemporary Arts, Lassale College of the Arts, Singapura,

118

Indonesia adalah kebudayaan yang mengambil tempat di antara tradisional dan modern, kolonial dan poskolonial, timur dan barat, pertanian dan industri, desa dan kota, asli dan asing. Indonesia adalah sebuah realitas ketiga yang disusun dari percampuran banyak nilai yang tak pernah mapan, setengah matang dan membingungkan. Indonesia adalah ruang seluas-luasnya bagi persaingan maupun kolaborasi dalam rangka mendefinisikan satu bentuk identitas. “Situs Para Dewa” adalah projek seni yang terinspirasi oleh epik tentang orang orang yang hidup dan tumbuh di ‘ambang’ , yang terus menerus menggambar dirinya dan dunia dalam bentuk yang berubah-ubah.

K.P. Reji Jompet Kuswidananto lahir di Yogyakarta, Indonesia pada tahun 1976. Ia adalah musisi yang bekerja di dunia seni rupa kontemporer dan sangat tertarik dengan dunia teater. Dia telah berpameran di “Modernization & Urbanization” di Marronnier Art Center, Seoul (2003); 3rd Fukuoka Art Triennale (2005), Equatorial Rhythms at Stenersenmuseet, Oslo (2007); Yokohama Triennale (2008); Jakarta Biennale XIII (2009); 10e Biennale de Lyon (2009), Kuandu
Biennial (2010) dan “The Tradition of the New” di Sakshi Gallery, Mumbai (2010), “Home, History, Nation” (2011) di Singapore Art Museum, Singapura, Transfiguration: Indonesian Mythologies” (2011) di Louis Vuitton Culturel Espace di Paris, Perancis “Global Contemporary” di ZKM Museum, Karlshruhe, Jerman (2011). Pameran tunggalnya antara lain “The Third Realm, (2011) di Gervastuti Foundation, Venice, Italia, “Family Chronicle” (2011) Selasar Soenaryo, Bandung, Osage Gallery (2009, 2010) dan “War of Java: Do You Remember?” di Cemeti Art House, Yogyakarta (2008).

120

Kisah-kisah mitologi dari teks-teks Hindu seperti Bhagavad Gita, Ramayana, atau Mahabharata dikenal sebagai bagian dari keseharian di India. Sebagian besar populasi umat Hindu di India memiliki nama yang diambil dari nama-nama tokoh dalam epos-epos tersebut. Tokoh-tokoh heroik dalam mitologi-mitologi ini, di India, menggunakan nama-nama dewa, meski orang-orang yang menggunakan nama seperti itu bisa saja baik, jahat, atau jelek. Saya tidak pernah membaca satupun dari epos-epos tersebut secara menyeluruh. Saya mengetahui sebagian besar cerita-cerita melalui tradisi lisan atau buku-buku teks sekolah, majalah-majalah populer, film, atau acara TV. Lebih dari aspek spiritual, saya telah lama tertarik pada jalan cerita dan benang merah yang menjalin satu peristiwa dengan yang lainnya. Kisah-kisah dalam mitologi pada umumnya mengajarkan tentang tingkah laku dan tindakan moral. Seringkali, kisah-kisah epos digunakan sebagai contoh atas apa yang harus dilakukan atau yang bisa dilakukan. Bahkan, jika suatu tindakan perlu untuk

dikatakan sebagai benar atau salah, mereka selalu menggunakan teks-teks religius sebagai acuannya. Menurut beberapa kepercayaan, apapun yang terjadi di masa kini, kemungkinan pernah terjadi dalam epos-epos ini. Sebagai contoh, sering dikatakan bahwa senjata pemusnah massal telah digambarkan dalam kisah epos ribuan tahun lalu. Dengan demikian, eksperimen senjata nuklir dapat disebut sebagai ‘senyum Buddha’! Pertandingan kriket antara India dan Sri Lanka dapat disamakan dengan pertarungan antara Rama dan Rahwana. Membakar rumah salah satu tetangga dapat disebut sebagai ‘Lanka Dahan’. Mempertahankan tema yang lebih luas tentang kemodernan kisah-kisah dan referensi mitologi, untuk karya ini, saya berencana menggunakan beberapa imaji dari mitologimitologi yang secara alamiah dapat menjadi bagian dari alur lukisan. Bagaimanapun juga, ketertarikan saya tersebar mulai dari kehidupan sehari-hari yang mungkin terhubung dengan kisah-kisah atau tokoh-tokoh yang terdapat dalam epik-epik yang telah disebutkan tadi.

Lahir pada tahun 1972, K.P Reji menerima gelar M.F.A dan B.F.A dari M.S University di Vadodara. Ia adalah penerima penghargaan Sanskriti Award for the Young Artist pada tahun 2007 dari Sanskriti Foundation, New Delhi. K.P Reji telah berpartisipasi di beberapa pameran besar seperti “Tough Love” yang dikuratori Shaheen Merali; Plataforma Revolver, Lisbon, Portugal; “Snow”, yang dikuratori oleh Ranjit Hoskote; “Horn Please: Narratives in Contemporary Indian Art” di Kunstumuseum Bern, Swis, yang dikuratori oleh Bernhard Fibischer dan Suman Gopinath; “Tolstoy Farm: Archive of Utopia” di New Delhi, yang dikuratori oleh Gayatri Sinha; “Roots in the Air, Branches Below: Modern & Contemporary Art From India” di San Jose Museum of Art, San Jose; CIGE 2009, China and SH Contemporary 08’, Shanghai, diwakili oleh The Guild, Mumbai; Art Asia Miami (2008) diwakili oleh The Guild Art USA Inc. Pameran tunggal terbarunya berjudul “With a Pinch of Salt” di Nature Morte, New Delhi, berkolaborasi dengan The Guild dan “Just Above My Head’” di The Guild, Mumbai.

64

65

Krisna Murti

122

“Video Poem / e-ART-h-quake #4” merupakan video yang tidak bicara tentang apa yang ditayangkan. Kedua video ini mencoba mengajak audiens mengalami “pengalaman puitis” yang subjektif. Video mempunyai persamaan simbolik dengan puisi literal. Simbol itu ada di gambar, gesture tubuh, gerak, mimik dan bahasa semiotika lain. Sekuens, loop bisa dianggap rima dan bait. Bagi Krisna momen bertemunya dunia dalam dan dunia luar, itulah puisi. Jadi video hanya pemicu puisi sebenarnya di dalam diri kita. Krisna menganggap bahwa ada dimensi waktu yang tidak bersifat universal, yang ditentukan oleh diri seseorang. Hal ini sama seperti relativitas yang dialami seseorang ketika sedang mengalami pengalaman spiritual yang masingmasing memiliki persepsi berbeda terhadap waktu. Ibarat seorang pelukis dengan sketsanya, Krisna menggunakan rekaman aliran air terjun tersebut sebagai found footages, sebuah ide mentah yang bisa ia olah menjadi sebuah karya kelak. Saat bereksperimen dengan found footages yang berupa aliran air ini, Krisna menemukan suatu ide puisi audio visual saat menjajarkan dengan berbagai gerak yoga yang

Melati Suryodarmo ditampilkan langsung oleh seorang ahli Yoga (Yogi). Dalam “Video Poem”, tubuh dalam berbagai posisi yoga dilihat sebagai representasi dari persoalan mental, bukan tubuh yang mengalami pendisiplinan dan dikomodifikasi dunia modern. Sementara semburan air terjun yang terus menerus dilihat sebagai sesuatu yang bersifat meditatif, keberulangan yang bersifat “melampaui pengalaman”, seperti saat mengucapkan mantra yang tak lagi membuat seseorang mengalami kesadaran sepenuhnya. Dua video ini menawarkan pengalaman berada dalam ruang yang lain, sehingga penonton mengambil jarak dengan dirinya. Apa yang terlihat secara visual merupakan pancingan untuk memunculkan memori tentang hakikat kedirian dan relasi-relasi seseorang dengan lingkungan alamiah yang esensial seperti air dan tanah.

Krisna Murti tinggal dan bekerja di Jakarta. Menyelesaikan studinya di Fakultas Seni rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Menekuni seni media baru (video) sejak 1990, dan telah berpameran tunggal di dalam dan luar negeri. Pameran internasional yang telah

diikuti di antaranya: Havana Biennale (2000), Fukuoka Asian Art Triennale (1999), Gwangju Biennale (2000) dan Venice Biennale (2005). Videonya dikoleksi oleh Fukuoka Asian Art Museum (Jepang) dan Galeri Nasional Indonesia (Jakarta). Baru-baru ini ia menjadi kurator pameran 15 seniman video generasi ke-2 Indonesia “Hijacking TV” di Galeri Salihara (2011, Jakarta). Pengajar tamu kajian media baru di sekolah pasca sarjana Institut Seni Indonesia sejak 2003. Telah menulis buku “Video Publik” (Kanisius Publisher, 1997) dan “Essays on Video Art and New Media: Indonesia and Beyond” (2009, IVAA Publisher). Mendapat penghargaan Tokoh Seni Tempo 2011.

126

Melati Suryodarmo adalah seorang artis visual Indonesia yang sejak tahun 1994 tinggal dan bekerja di Jerman. Ia lulus dari jurusan ilmu sosial dan politik, Universitas Padjajaran, Bandung dan Hochschule für Bildende Künste Braunschweig, Jerman, dengan konsentrasi seni pertunjukan dan Raum Konzept. Suryodarmo telah mempresentasikan karya-karyanya di berbagai pameran dan festival internasional sejak tahun 1996, termasuk di 50th Venice Biennale 2003, Marking the Territory, IMMA Pertunjukan dan karya instalasi Suryodarmo Dublin. Pada tahun 2005 Melati Suryodarmo yang berjudul “A Conversation with the Black” pentas di Museum Van Gogh, Amsterdam, ia (Percakapan dengan Hitam) menyerap tubuh juga terlibat selama pelaksanaan Exhibition Saya berusaha untuk memahami bahasa yang seniman pada pengalaman di suatu tempat of the Life of Egon Schiele di tahun 2005; tak terucapkan dan membuka pintu persepsi. Saya menghargai kebebasan dalam pikiran kita tertentu yang menguji batas ketahanan manusia. Videobrasil Sao Paolo (2005), Haus der untuk menerima hal hal yang berdatangan lewat Disini ia secara visual membangun lingkungan Kulturen der Welt Berlin, 52nd Venice Biennale yang dibangun lebih tinggi agar bisa terlibat Dance Festival (2007), KIASMA Helsinki sistem penginderaan pribadi. Usaha melintasi dengan filsafat geometri dan ide tentang tatapan (2007), Manifesta7, di Bolzano, Italy (2008), batasan dari pertemuan budaya dan politik dan juga pada In Transit Festival, HKW telah menjadi tantangan yang merangsang saya pasif/aktif serta interaksi audiens. Berkelindan antara ide tentang pelarian, keterjeratan, opresi Berlin (2009). Selama empat tahun terakhir untuk menemukan bentuk identifikasi baru. dan pembebasan, Suryodarmo mentransforSuryodarmo telah mempresentasikan karyanya Usaha untuk menemukan identitas bukanlah masi dan memperkuat tubuh fisik sebagai di Indonesia dan berbagai negara Asia Tenggara tindakan berbahaya yang dapat membuat kita titik investigasi atas seni, pertunjukan dan lainnya. Untuk Padepokan Lemah Putih Solo, kehilangan jati diri. Bagi saya, proses untuk kemungkinan pikiran manusia. Indonesia ia telah mengorganisir acara tahunan menghasilkan karya seni adalah pencarian Performance Art Project dan pertunjukan seni sepanjang hidup yang tak pernah menghentikan ‘wilayah tertutup’ di Solo Indonesia. saya untuk menempatkan diri dalam konstelasi metamorfis. Dunia yang menginspirasi saya untuk menggerakkan pikiran adalah jagad di dalam diri ini. Tubuh menjadi seperti rumah yang berfungsi sebagai wadah memori, organisme yang hidup. Sistem di dalam tubuh psikologis yang berubah sepanjang waktu telah memperkaya ide saya untuk mengembangkan struktur tindakan dan pikiran yang baru. Saya mencoba untuk menghayati sekeliling sebagai suatu fakta nyata dari keberadaan yang sekarang namun disaat yang sama juga mempertimbangkan jalan sejarahnya.

Saya bermaksud untuk menyentuh batasan yang cair antara tubuh dan lingkungannya lewat karya-karya seni saya. Tujuan saya adalah untuk membuat tingkat intensitas yang terkonsentrasi tanpa penggunaan struktur naratif. Berbicara mengenai politik, masyarakat dan psikologi takkan bermakna bagi saya jika syaraf kita tak dapat mencerna informasi. Saya suka saat sebuah pertunjukan mencapai tahap absurditas faktual.

66

67

N.S. Harsha

128

Instalasi site-specific karya N.S Harsha di Jogja Nasional Museum adalah hasil eksplorasi tabiat ambigu dalam hubungan antara manusia dengan langit/ kosmos. Langit, langit malam, langit, langit malam, langitmu, langitku, langitku, langitmu, langit kemarin, langit hari ini, langit esok hari, langit, langitku, langitmu, langit ... langit?

N.S Harsha lahir pada1969, mempelajari seni lukis di CAVA, Mysore dan M S University, Baroda. Harsha adalah pemenang penghargaan bergengsi Artes Mundi pada 2008. Beberapa pameran yang pernah diikuti antara lain: (2011). The Indian Highway, Maxxi Museum Rome, Italia. (2011). Asian Art Triennial, Manchester, John Reynolds Library, UK.

Nurdian Ichsan (2010). Liverpool Biennial, Liverpool, UK. (2010). Sao Paulo Biennial, Sao Paulo, Brazil (2010). Future, Foundation De 11 Lijnen, IBIS School, Ostend Fine Art Museum. (2009). Sharjah Bienalle, UAE. (2009). All that is Solid Melts into Air, MuHka, Antwerp, Belgia. (2009). Comedies, Kuandu Museum of Fine Arts, Taipei, Taiwan. Pameran tunggalnya antara lain: (2009). Cultural Debris, Galeri Sakshi, Mumbai, India. Nations, Institute of International Visual Art, London, UK. Picking Through the Rubble, Victoria Miro, London, UK. Beberapa kali menjadi Visiting Artist di: (2010). Ecole Des Beaux. (2007). Shantou University, China. (2003). VAFA, Colombo, Srilanka.

130

Nurdian Ichsan bekerja dengan medium keramik dan clay sebagai salah satu usahanya mendekati sesuatu yang murni dan alamiah. Sebagian besar karya yang dibuatnya menggunakan medium clay ini kemudian juga menyentuh pertanyaan-pertanyaan mendasar terutama yang berkaitan dengan eksistensi manusia, terutama dalam kaitannya dengan “diri”, spiritualitas dan lingkungan alamnya. Pada dasarnya karya Ichsan berusaha menangkap momen eksistensi manusia. Bagaimana manusia merasakan spirit, sangat bergantung pada sense kita sebagai bentuk kesadaran perseptual terhadap pengalaman-pengalaman tertentu. Karya ini hendak mengusik naluri dan nalar kita akan pengalaman-pengalaman yang abstrak atau sulit terjelaskan dengan kata-kata. Karena bagi Ichsan, pengalaman-pengalaman inilah yang sangat terhubung dengan keberadaan manusia. Pengalaman tersebut misalnya soal waktu, kematian, batas, jarak, inner, ketakutan, ketaktersentuhan, ketakterjelasan. Pemahaman kita terhadap eksistensi menurut Ichsan sangat bergantung pada seberapa jauh kita mengalami hal-hal abstrak tersebut. Kesadaran ini didasari

Octora kepercayaan Ichsan bahwa intelek kesenian bukanlah menjelaskan sesuatu yang bersandar pada logika rasio, namun merupakan wilayah yang memungkinkan kita untuk menguji dan terus-menerus memperluas kesadaran perseptual kita. Figur manusia yang dibentuk oleh Ichsan menunjukkan bagaimana manusia kukuh dengan dirinya dalam bentuk yang paling murni. Ia memberikan efek tetesan air untuk merepresentasikan pengalaman luar diri yang akan mengubah bentuk yang murni menjadi sesuatu yang tak lagi hanya bisa dikendalikan oleh diri. Setiap tetesan akan memberikan daya dorong bagi manusia untuk berubah, meskipun perubahan itu tak secara langsung terlihat, tetapi pelahan-pelahan memberikan gagasan yang baru tentang diri dan kehidupan.

Nurdin Ichsan lahir di Bandung, Jawa Barat pada 1971 dan mendapatkan gelar Sarjana Senirupa dan Paska-Sarjana dari Fakultas Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung, tempatnya mengajar saat ini. Karya-karyanya telah dipamerkan di Jepang, Australia, Malaysia, Singapura juga di berbagai penjuru Indonesia.

Ia berpartisipasi dalam CP Biennale 2005 dan Jakarta Contemporary Ceramic Biennale #1 2009. Karyanya dipilih sebagai salah satu finalis Indonesia Art Award 2010 dan International Competition of Contemporary Ceramic Art 2011 di Faenza, Italy. Pada 2002 dan 2008 dia diundang untuk sebuah program residensi di Jepang. Hasil karyanya kemudian dipertunjukkan dalam sebuah pameran di Solo berjudul “Distance” yang diselenggarakan di Sigiarts pada 2009. Tahun 2011, ia berangkat ke Jepang untuk melanjutkan studi doktoral di bidang keramik di Jepang.

132

Octora merupakan seniman generasi muda yang banyak mempersoalkan perihal tubuh dalam kaitannya dengan kajian gender, terutama berkaitan dengan identitasnya sebagai perempuan. Gagasannya tentang tubuh dan femininitas, terutama juga didasari dengan observasinya atas apa yang terjadi belakangan ini ketika tubuh menjadi bagian penting dari komodifikasi hidup sehari-hari, terutama yang menyangkut mitos kecantikan perempuan. Pada saat yang sama, komodifikasi tubuh ini bersilangan dengan peristiwa-peristiwa kekerasan yang juga selalu menjadikan tubuh sebagai korban dan sasaran. Dalam karya ini Octora mempertanyakan kembali tentang kesakralan tubuh. Ia menginterogasi bahasa bahasa perdamaian yang muncul dari siklus alamiah tubuh yang selama ini sering diingkari. Tubuh juga menyimpan paradoks-paradoks yang menarik untuk direnungkan. Dalam kasus-kasus kekerasan, misalnya, tubuh yang menyemburkan darah bisa dilihat sebagai perlambang kematian. Tetapi tubuh perempuan yang mengeluarkan darah adalah simbol dari kehidupan. Dikaitkan dengan religiositas, menarik untuk melihat bahwa setiap darah yang keluar, manusia

68

69

Paul Kadarisman selalu mengaitkannya dengan nama “Tuhan”. Kehidupan yang ditiupkan oleh Tuhan, kematian dalam membela nama Tuhan.

Octora lahir di Bandung, 1982. Tahun 2001-2005 menempuh studi di fakultas Hukum Universitas Parahyangan dan tahun 2002-2007 juga menempuh studi di Institut Teknologi Gagasan karya ini dimulai pada 2009 ketika Bandung jurusan seni patung. Pada tahun 2007 ia diundang untuk merespon karya Tomoko menyelenggarakan pameran tunggal berjudul Mukaiyama, dan dalam projek tersebut Octora “The Nonva’s Project” di CCF Bandung. banyak memikirkan perihal proses menstruasi Beberapa pameran bersama yang telah diikuti sebagai tahap dalam siklus wanita. Lebih jauh, Octora antara lain, “Bandung New Emergence mengaji perihal daraah dan tubuh, kemudian Vol.2” (2008), Selasar Sunaryo Art Space, memancingnya untuk mempertanyakan tentang “Contemporary Archeology” (2009), Sigiarts pertumpahan darah yang terjadi di muka bumi Gallery, Jakarta, “Recent Art from Indonesiadan berbagai alasannya. Contemporary Art Turn” (2010), SooBinArtPlus, Singapore. Octora juga telah melakukan Pencarian ini membawanya mencari titik residensi di Cemeti Art House Landing Soon pemaknaan tubuh empiris , yang otentik Program di tahun 2009, dan tahun 2010 ia dalam kaitannya dengan posisi tubuh dalam melakukan residensi di Bamboo Culture Studio, religi secara umum dan dalam realitas Taiwan. sosial. Bagaimana tubuh ditampilkan dalam elemennya yang paling mendasar dan verbal, tetapi digunakan untuk menggarisbawahi makna-makna yang kerap terlupakan. Tubuh sebagai kenyataan fisik meruang pertama dimana jiwa memahami dan menginderai kenyataan.

134

Dalam serial “Saya dan Muhammad” ini, Paul Kadarisman berpose dalam serangkaian potret rileks dengan sejumlah rekan fotografer yang bukannya kebetulan bernama Muhammad. “Saya dan Muhammad” secara harfiah memotret Paul dengan Muhammad. Ia menjawab pertanyaan saya “Bagaimana rasanya tinggal di negara dengan penduduk muslim terbanyak?” dengan mengatakan “Kalau kamu tinggal di masyarakat Muslim, sewajarnya kamu punya teman dengan nama Muhammad sebagaimana kamu punya teman dengan nama Christian di Eropa atau Amerika Serikat”. (Asumsi ini adalah sebuah kealpaan yang menarik, karena nama ‘Christian’ tidak berfungsi sama seperti nama ‘Muhammad’.) Kita lihat sebagai contoh Paul Kadarisman dan Muhammad Iqbal si fotografer. Iqbal tampak bertanya-tanya tentang apa gerangan maksud projek ini. Kita juga melihat Paul Kadarisman dan Mohammad Revaldi dengan bangganya memamerkan peralatan fotografi terbaru mereka di studio milik Revaldi, dan yang paling akhir adalah foto Paul Kadarisman dengan Mohammad Firman Ichsan yang anjing Siberianya baru saja melahirkan. Foto-foto urban yang rileks ini penuh dengan referensi

Prabhavathi Meppayil budaya pop. Kita dapat melihat sebagai contoh bagaimana fotografer Indonesia menyukai komputer yang trendi. Atau bagaimana terlepas dari tabu di kalangan muslim untuk memelihara anjing dan juga cuacanya yang di daerah tropis, salah seorang fotografer memiliki beberapa anjing Siberian Husky dan anak anjingnya.

Paul Kadarisman lahir di Jakarta, Juni 1974. Dia lulus dari Departemen Fotografi Institut Kesenian Jakarta pada tahun 2000, dan saat ini bekerja sebagai fotografer lepas. Karyakaryanya telah dipamerkan di berbagai pameran di Indonesia sejak tahun 1998, dan pada tahun 2003 pertama kali pameran solonya berjudul “Bayi dan Resti” di Japan Foundation Galeri Kita dapat mempertimbangkan paradoks bahwa di Jakarta. Pada tahun 2005 seri fotonya dalam Islam ikonografi visual adalah hal yang “Pain” diterbitkan oleh Art & Thought, sebuah terlarang, namun dalam kehidupan sehari hari jurnal seni rupa di Munich, Jerman. Terakhir, masyarakat Muslim ini memberi ruang pada projek-Nya “Muhammad dan Saya” ditampilkan praktik fotografis seperti ini. Sebagai satu-satudi Noorderlicht yang lain di Asia Foto Festival, nya orang yang konsisten hadir dalam setiap foto, Leeuwarden, Belanda, dan dikumpulkan oleh Kadarisman, seorang Kristen abangan, dengan museum kota Leeuwarden. Pada November sengaja bertingkah dingin dan tidak ramah. 2007, ia menerima penghargaan dari Jakarta Sementara itu, tiga Muhammad yang lain terlihat International Photo Summit. Tahun 2010, ia tersenyum, ramah dan tidak berbahaya. mengadakan pameran tunggal berjudul “Happy Boring Days” di Bentara Budaya, Yogyakarta. Dalam projek ini nama ‘Muhammad’ adalah Paul Kadarisman saat ini berbasis di Jakarta, sebuah personifikasi dari Islam dan masyarakat Indonesia. muslim. Sementara ‘Saya” merujuk pada eksplorasi visual yang sadar dari sang fotografer terhadap pengalaman hidup dalam lingkungan Muslim. (kutipan dari tulisan Alex Supartono untuk katalog “Another Asia: Photography from South and South East Asia”)

136

Proses dan material adalah aspek-aspek penting dalam karya saya. Berasal dari keluarga pengrajin emas, yang merupakan pengrajin tradisional, saya memahami pentingnya sebuah proses: keajaiban dari pembentukan. Ikatan saya dengan panel gesso adalah perihal mengeksplorasi hubungan baru dengan bahan-bahan tradisional. Lukisan panel gesso adalah salah satu teknik melukis tertua dan melibatkan bahan-bahan paling murni dan sederhana, serta membutuhkan proses yang disiplin. Panel yang disiapkan tidak hanya untuk permukaan lukisan tetapi juga objek lukisan itu sendiri. Hal ini menimbulkan ambiguitas antara permukaan dan objek. Bagi saya, keseluruhan proses karya ini tidak hanya tentang menggambar, tetapi lebih kepada pembuatan: membuat sesuatu. Mempersiapkan panel dan kemudian membuat tanda-tanda di atasnya adalah sebuah proses melakukan dan di satu sisi, membaliknya pun, merupakan sebuah proses juga. Saya melihat kemungkinan pembuatan tanda di panel dengan menggunakan proses artisan, dengan membentang dan melekatkan kawat

70

71

Pushpamala N

138

Foto-foto dalam “Motherland yang menggunakan teknik-teknik tradisional (Ibu Pertiwi)” adalah bagian lukisan dinding dan pembuatan perhiasan untuk dari eksplorasi jangka panjang terhadap bangsa penggunaan kontemporer. melalui sejarah representasi. Imaji tentang Ibu India pertama kali muncul pada awal Prabhavathi telah bereksperimen dengan masa perjuangan kebebasan di abad ke-19, panel-panel gesso selama beberapa tahun. Ia ketika menanggapi gagasan Britania Raya, ide melihat panel-panel itu tidak hanya sebagai seorang perempuan/dewi sebagai simbol negara permukaan untuk dilukis, tetapi juga sebagai mengambil bentuk. Menurut Christoper Pinney, Kisi-kisi dengan garis terlihat hampir sempurna, objek tersendiri. Karya-karya awalnya memiliki imaji paling awal yang merepresentasikan Ibu tetapi saat melihat karya dalam jarak yang lebih fragmen-fragmen bentuk, sementara karyanya India adalah perempuan tua yang menyerahkan dekat, seseorang akan menyadari sebuah ketidak- yang sekarang, yang mengandung abstraksi sempurnaan karena karya tersebut memiliki yang geometris, menghadirkan garis-garis jernih bayi India kepada Britania. Imaji tersebut kemudian berkembang cepat menjadi versi kualitas buatan tangan. Karakter organik dari dari tembaga yang dilekatkan pada panel-panel dewi, seperti Dewi Kali dan simbol suci seperti panel gesso dan kawat logam yang melekat gesso, mengingatkan pada kompleksitas tatahan Sapi Betina dari ikonografi Hindu. Dengan padanya, satu sisi bertentangan dengan gagasan Moghul. mengambil atribut modern seperti peta dan mengenai presisi. bendera, serta pejuang kebebasan dan nasionalis, Prabhavathi menerima gelar diplomanya dari dan narasi di sekitar gambar, gambaran itu telah Melapis gesso pada panel kayu dan mengkilapKen School of Art in Bangalore. Beberapa menyebar luas ke seluruh negeri melalui cetakan kannya, membuat tanda lekuk di panel dengan pameran bersama yang pernah ia ikuti antara kalender. Meskipun banyak negara memiliki menggunakan alat, meregangkan dan menatah lain: (2010) “Orientations: Trajectories” di perempuan sebagai sebuah simbol, akan terlihat kawat pada panel, keterlibatan fisik adalah hal Indian Art, Belgia. bahwa India adalah satu-satunya negara yang yang penting dalam karya saya, begitu juga memiliki gambar dewi nasional yang melimpah. dengan ‘waktu’ yang dibutuhkan sebuah karya. Yang paling populer adalah imaji Ibu India sebagai Dewi Durga, dengan senjata dan berkendaraan singa, berpakaian mewah, dihiasi bagai Lahir 1965, gambar-gambar ukirannya pada ratu. Sekarang, gambar ini digunakan dalam panel gesso merupakan sesuatu yang padat dan pertemuan umum partai Hindu Sayap Kanan, menggugah. Ia adalah satu dari sedikit seniman tembaga halus pada panel, sebagai elemen garis dan warna. Saya melihat logam seperti emas dalam bentuk dasarnya: meleleh, rata dan terentang, sebelum ia berubah menjadi sepotong perhiasan. Logam adalah material yang sangat menarik karena keindahan warna, bentuk, dan kesementaraan mereka.

R.E. Hartanto Bharatiya Janata, dan yang terkini digunakan oleh Anna Hazare, seorang pekerja sosial yang melakukan aksi mogok makan untuk melawan korupsi. Dalam foto-foto ini, saya berpakaian seperti figur Ibu India, berpose di studio foto yang diatur seperti pasar, dikelilingi oleh atributatributnya dan disembah oleh para martirnya.

Lahir di Bangalore, pada 1956. Ia belajar mematung di Fakultas Seni Murni, Baroda, dan saat ini tinggal di Bangalore dan New Delhi. Ia memulai karirnya sebagai pematung dengan ketertarikannya pada figur naratif, Pushpamala N. telah mengalami perkembangan selama lima belas tahun terakhir. Ia mengeksplorasi tubuhnya dalam beragam karakter dan kepribadian untuk karya pertunjukan foto dan bekerja dengan banyak fotografer. Memperkaya autobiografinya dengan elemen-elemen estetika surealis dan dramatis, karya Pushpamala menampilkan lapisan-lapisan berisi humor, aspek feminin, penyamaran, dan historisitas ke permukaan dua dimensi dari foto cetak. Dalam ‘roman foto’ dan foto studio, Pushpamala

menggoda audiens melalui narasi yang spektakuler dan sukar dimengerti. Secara menyeluruh, karya Pushpamala berkaitan dengan teori-teori identitas pasca-kolonial dan pandangan sejarah feminis. Belum lama ini, Pushpamala mengembangkan karya fotografinya ke dalam film pendek, serta seni pertunjukan yang menghadirkan gerakan, teks, dan suara dalam komposisi terstruktur.

140

Di Bandung, Indonesia, sejak awal tahun 2007, berdiri sebuah kelompok spiritual yang memiliki falsafah yang mendalam tentang derau, bunyi dan suara. Kelompok ini percaya bahwa setiap keberadaan, baik benda mati maupun mahluk hidup di seluruh alam semesta ini, memiliki getaran konstan yang unik dan menghasilkan derau, bagaimanapun halusnya. Sebagian dari komponen alam semesta ini, terutama mahluk hidup seperti manusia dan binatang secara alamiah mengeluarkan suara dan interaksi dari seluruh komponen alam semesta ini menghasilkan bunyi. Sejak awal penciptaan hingga akhir dari segalanya, derau, suara dan bunyi akan tetap hadir dalam sebuah dinamika yang sangat kompleks, menyerupai sebuah orkestrasi gemuruh yang pada akhirnya membentuk derau alam semesta itu sendiri. Bagi kelompok ini, derau adalah sebuah manifestasi ketuhanan dan esensi dari kehidupan itu sendiri. Kelompok ini aktif melakukan kegiatan meditasi bersama dan para siswa diminta untuk secara disiplin melakukan meditasi secara mandiri di rumah masing-masing dengan teratur. Meditasi yang memusatkan perhatian

72

73

Riyas Komu pada derau, bunyi dan suara merupakan basis utama praktik spiritual ini. Dengan memusatkan perhatian pada derau, bunyi dan suara, para siswa diharapkan mencapai suatu tahap kesadaran bahwa kebertautan antar obyek di alam semesta tidak bisa dihindarkan. Para praktisi aliran ini kemudian memahami bahwa apa yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari semata-mata merupakan sebuah usaha untuk mencapai sebuah harmoni dengan derau alam semesta. Karya ini merupakan sebuah video-dokumenter yang merekam kegiatan-kegiatan spiritual sekaligus menjabarkan wawasan-wawasannya dalam sebuah tayangan 18 menit.

R.E. Hartanto (Tanto) lahir di Bandung, 1973. Lulus dari Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa & Desain, Institut Teknologi Bandung, pada tahun 1998 dan mulai aktif berkarya dan mengikuti program pameran. 1998-2000 menjadi asisten dosen di Jurusan Seni Murni, FSRD - ITB. 2001-2002 menjadi partisipan di Rijksakademie van Beeldende Kunsten, Amsterdam, Belanda. 2007 hingga sekarang berkarya secara independen. Selama periode 1999-2011 berkesempatan untuk mengikuti

pameran, workshop, projek seni rupa dan program artist in residence di beberapa kesempatan, termasuk di ARCUS, Jepang (2002) dan Singapore Tyler Print Institute di Singapura pada 2011. Kini tinggal dan berkarya di Bandung.

142

“The Undertakers (Para Pengurus)” adalah salah satu pencarian saya dalam mempertanyakan dasar hubungan ideologi, religiusitas, ingatan, ikonografi, dan warisan. Saya menggunakan kayu yang telah diukir, yang pada sisi lainnya terdapat ‘celah-hati’, dimana mereka yang telah meninggal dunia di masa lalu memberi penghormatan pada mereka yang baru saja keluar ke dunia. Saya memvisualisasikan sebuah imaji yang dapat menangkap kebrutalan dalam kekerasan yang telah disaksikan oleh sejarah daerah-daerah di Asia Tenggara. Saya ingin mengeksplorasi residu dari semua pertempuran berdarah yang terjadi dalam kebudayaan modern. Bagaimana tubuh yang hidup tidak dapat berkembang karena kerusakan yang disebabkan oleh peperangan tersebut. Kerusakan dalam jutaan orang, baik fisik dan pikiran. “Magic Landscape (Panorama Keajaiban)” adalah sebuah karya yang membentuk gabungan mata rantai bagi eksplorasi saya terhadap keindahan sebuah kepercayaan dan juga kekurangannya. Di antara banyak pertanyaan yang berani saya tanyakan, terdapat satu permasalahan yang sangat nyata, yakni, tiadanya keyakinan berupa konsep utama dalam agama apapun. Karya ini

mendahului karya sebelumnya, di mana saya telah mengikatkan diri pada penyelidikan atas dinamika keyakinan dalam konsep modern dan politik. Karya tersebut menjadi sebuah lagu yang membangun momentum untuk sesuatu yang lebih besar. Saya telah mencoba untuk memeras reaksi dari audiens, sekalipun reaksinya adalah mendiamkan harapan yang menggangu ini, yang memberi isyarat akan ketulian. Lampu tradisional adalah sebuah simbol cahaya dan harapan akan pencerahan yang dapat membangkitkan harapan dalam bangunan kayu atau membakar bangunan tersebut. Di sini, saya memberanikan diri untuk mensugesti secara halus, bahwa kesalahan kecil dalam doktrin atau kitab dapat mengendap menjadi sebuah kesalahan fatal dalam kebahagiaan manusia. Sebuah definisi yang salah dapat menghentikan seluruh tarian. Interpretasi yang keliru bisa mengganggu ritme koreografi - seperti sandungan sebuah langkah yang melekat dalam kontradiksi. Lampu dapat menandakan keindahan sifat-sifat ortodoks tetapi tindakan-tindakan tradisional jika dilakukan di tempat yang salah, waktu yang tidak tepat, dan dalam kebingungan,

dapat mengurangi keindahan tersebut dan mengubahnya menjadi sikap keras kepala. Saya mencemaskan masyarakat, yang selamanya akan mencari dermaga yang dapat memberi rasa aman di antara penganut sesama kepercayaan, meragukan validitas daya penglihatan, bahkan di antara orang-orang yang salah tempat. Mereka yang diasingkan dan mencari cahaya di bawah langit yang menaungi mereka, juga menunggu tibanya janji yang abadi: “Semoga kamu hidup dalam antisipasi, ketika tiba hari di mana Tuhan mengutuhkan kembali segalanya.”

Riyas Komu lulus dengan melukis sebagai spesialisasinya, dan telah merambah karya patung, fotografi, dan instalasi video. Riyaz Komu berpartisipasi di: 52nd Venice Biennale 2007 yang dikuratori Robert Storr. Paris-Delhi-Bombay, Centre Pompidou, Paris. Crossroads India Escalate di Prague Biennale 5. Pameran-pameran di museum terkemuka, antara lain: “Concurrent India”, Helsinki Art Museum Tennis Palace, Finlandia. “Indian Highway”, Museum of Contemporary Art, Lyon; Herning Kunstmuseum, Herning, Denmark.

“India Awakens: Under the Banyan Tree”, Essl Museum, Austria. “Finding India”, Art for the New Century, Museum of Contemporary Art; Milan Museum Show, dikuratori Daniella Polizolli. India Contemporary GEM, Museum of Contemporary Art, Hague. “India Now: Contemporary Indian Art Between Continuity and Transformation”, Provincia di Milano, Milan, Italy. “India Xianzai: Contemporary Indian Art”, Museum of Contemporary Art (MOCA), Shanghai. “Modern India”, diadakan oleh Institut Valencià d’Art Modern (IVAM) and Casa Asia Pameran Tunggal, baru-baru ini, antara lain: “Oil’s Well, Let’s Play!”, Fondazione Arnaldo Pomodoro, Milan. “Subrato to Cesar”, Gallery Maskara, Mumbai, berasosiasi dengan The Guild Art Gallery, Mumbai. “Safe to Light”, Azad Art Gallery, Tehran.

74

75

ruangrupa

144

Dalam mengalami film, Indonesia memiliki caranya tersendiri yang kemudian mempengaruhi ingatan orang tentang film itu sendiri, cara tersebut disebut Layar Tancap atau putar film di lapangan terbuka (biasanya lapangan bola). Secara teknis, layar tancap dilakukan dengan memproyeksikan film ke layar besar yang dipancangkan di tengah lapangan. Layar tancap ini dijalankan oleh pihak tertentu yang memang berprofesi sebagai penyedia jasa layar tancap. Mereka bisa disewa untuk acara perkawinan, khitanan, atau acara peringatan hari kemerdekaan. Sebelum pelaksanaan layar tancap, biasanya ada pengumuman atau promosi yang dilakukan di tempat di mana layar tancap tersebut akan dilaksanakan. Layar tancap tersebut tidak hanya kemudian membentuk pengalaman masyarakat terhadap film, tapi juga menjadi semacam ajang bagi interaksi sosial dan transaksi ekonomi di mana pasar malam juga selalu diadakan jika layar tancap digelar. Namun, layar tancap tergerus dan menghilang semenjak kemunculan bioskop indoor dan monopoli distribusi film di Indonesia, dan yang terakhir adalah kehadiran tv-tv swasta yang juga gencar membuat program

Sakshi Gupta

146

pemutaran film yang dengan mudahnya bisa “Reality Bites (Gigitan Realitas)” diakses oleh setiap orang dari rumahnya masingdibuat pada saat residensi masing. seniman di Kashi Gallery di Kochi, Kerala, pada tahun 2006. Berkaitan - di satu sisi - dengan Gerobak bioskop sebagai projek distribusi media konfrontasi dan negosiasi dengan dunia pada independen terinspirasi oleh semangat layar umumnya, karya ini mengeksplorasi pergulatan tancap tersebut. Gerobak bioskop diharapkan seseorang dengan situasi dari hari ke hari bisa kembali menghadirkan semangat menonton dan dengan orang-orang terdekat. Karya ini film, menjadi ajang interaksi sosial yang bisa mencoba untuk memosisikan diri di tengahdikerjakan secara organik di banyak tempat. tengah elemen-elemen tersebut, yang banyak digunakan sebagai sumber kenyamanan - yang sekali waktu membuat seseorang dilanda Ruangrupa, sebuah inisiatif seniman didirikan suasana kebingungan dan kepedihan yang pada awal tahun 2000 oleh sekelompok seniman luar biasa, dan di waktu lain menggiring diri dari Jakarta, sebuah organisasi non-profit yang pada kekosongan mimpi. Hal ini terkadang berfokus pada mendukung perkembangan seni menunjukkan pada kita sepintas pandangan dalam konteks budaya melalui penelitian, studi yang jarang tentang siapa diri kita sesungguhdan dokumentasi, bersama dengan kerjasama nya. yang intensif dengan seniman melalui pameran, seniman residensi program, projek seni dan Jalan-jalan di Kochi penuh dengan cabe merah, lokakarya. Mereka bekerja sama banyak dengan jaring ikan Cina terdapat di mana-mana, di laut seniman lain, dalam struktur horisontal untuk ketika berhadapan dengan kemarahan terhadap mendukung dan mediasi ide-ide segar yang nyamuk, membantu saya untuk tiba pada reprealamat seni visual sebagai sebuah praktek sentasi yang spesifik tentang acuan emosi-emosi budaya yang menarik untuk seni visual debatein yang kompleks, dan sekaligus universal serta dan hubungan dengan sosial - wacana budaya, individual ini. terutama yang berkaitan dengan budaya kontemporer Indonesia.

Setu Legi Sakshi Gupta lahir tahun 1979, adalah pematung yang berdomisili di New Delhi. Melahirkan karya dari rongsokan (seringkali sampah industri), di mana bahan-bahan tersebut dihadirkan kembali oleh seniman untuk melampaui keduniawiannya. Karya-karyanya menyorot kontradiksi yang inheren dalam kehidupan sehari-hari. Ruang dan lingkungan, di mana mereka dibuat, menjadi kekuatan yang memiliki dampak pembebasan pada karya sebagaimana karya tersebut berkembang melalui improvisasi. Dalam menyatukan yang nyata dengan potensi, kekal dengan sementara, kesunyian dengan kekacauan, karya-karyanya mencari cara untuk menemukan keseimbangan intelektual dan emosional. Pada tahun 2011, Sakhsi dianugerahi The Civetella Ranieri Foundation Fellowship, dan pada tahun 2007, ia menerima The Inlaks International Scholarship.

148

Berhala dapat diidentifikasi sebagai benda yang berbentuk menyerupai makhluk hidup atau bahkan yang tidak menyerupai bentuk apapun namun dipuja serta dipercaya mempunyai pengaruh yang hebat terhadap kehidupan disampingnya. Pemaknaan ini identik dengan metode berpikir dalam agama-agama Samawi, pada khususnya Islam. Lebih dari 14 abad, berhala merupakan identitas kegelapan yang perlu disingkirkan bahkan dihancurkan. Sampai sejauh ini keberadaannya sudah tidak lagi penting, hanya saja sejarah tentang cerita baik dan buruk dari saat itu yang selalu bergema disepanjang waktu. Dalam konteks sekarang, konotasi berhala merupakan konsep dan cara berpikir yang memberhalakan etika dan status sosial dalam kerangka modal dan kesempatan untuk menguasai. Implementasi dalam karya ini tidak jauh dari masalah-masalah sosial yang ditimbulkan dari hubungan didalamnya, diantaranya moral dan kepercayaan.

biasa ditemukan dalam sebuah tempat ibadah, khususnya masjid, misalnya pengeras suara, lambang atap masjid, batu-bata, dan pepohonan. Di luar perihal berhala, karya ini juga mempresentasikan kontradiksi di antara pembangunan rumah ibadah yang berlangsung terus menerus, sehingga berlebih dengan lahan dan lingkungan yang dikorbankan untuk pembangunan tersebut. Setu Legi mengkritisi persoalan keberadaan rumah ibadah yang berlebihan dari kebutuhan, serta bagaimana membangun tempat ibadah menjadi bagian dari upaya eksistensialis bagi manusia. Apa yang tadinya abstrak kemudian dimaterialisasikan.

Setu legi, lahir di Yogyakarta, dibesarkan dalam keluarga guru dan pedagang tradisional. Dia telah menyelesaikan studinya dari Fakultas Seni Rupa dan Disain ISI Yogyakarta pada tahun 2000. Seiring bergejolaknya situasi sosial politik pada tahun 1998 di Indonesia, bersama teman-teKarya Setu Legi merupakan sebuah instalasi yang mannya mendirikan komunitas seni dan budaya menampilkan lima objek yang disebut sebagai Taring Padi. Dalam kelompok ini menjadikan berhala-berhala baru dalam praktik keagamaan, muara untuk berinteraksi secara kreatif dan sesuatu yang keluar dari esensi agama itu sendiri. bersikap kritis dalam mensikapi perkembangan Hestu memasang perangkat-perangkat yang sosial politik dalam ruang-ruang kebudayaan.

76

77

Sheba Chhachhi

150

“Ganga’s Daughters (Anak-anak Sungai Gangga)”

Tidak satu, tidak dua tidak tiga atau pun empat, tapi melalui 8400000 vagina aku telah datang, meminumnya dengan rakus, dalam kenikmatan dan kesakitan Akka Mahadevi, dari Speaking of Siva (Kata-Kata Siwa) (abad ke-12), diterjemahkan oleh A.K Ramanujan.

Sheela Gowda Di sini, setiap perempuan menawarkan sebuah penampilan avant-garde, menumbangkan asumsi-asumsi konvensional tentang gender, seksualitas, rumah tangga, dan kealiman perempuan.

gambar yang ditemukan pada awal era 1900-an, berikut sebuah seri fotografi yang dibuat setelah lebih dari sepuluh tahun melakukan percakapan dengan pemimpin politik yang muncul di komunitas-komunitas asketis.

Digambarkan sebagai sesuatu yang berbahaya bagi keluarga oleh Grih Sutras, buku pedoman Hindu kuno untuk tingkah laku yang baik bagi para ibu rumah tangga, para pengembara yang suka meminta-minta ini adalah mata rantai yang hidup bagi kekayaan sejarah pemberontakan perempuan dan penganut mistik di India. Karaikalammaiyar (abad ke-4 M), bertransformasi menjadi jerangkong yang menari dan menandai tanah kremasinya sebagai ‘pey’ (setan/perampok kubur); Lal Ded, seorang Sufi yang hidup pada abad ke-12 yang mengembara dengan bertelanjang badan; Mirabai yang menari dengan dewa yang jatuh hati padanya, di sebuah kerajaan feodal abad ke-16, menolak dengan angkuh pangeran yang menjadi suaminya; Akka Mahadevi yang menceritakan bait-bait erotis hanya menggunakan rambut panjangnya sebagai pakaian.

Yogini (ahli spiritual) mengusulkan sebuah kesadaran diri - hampir menuju pada tindakantindakan orang suci dengan kekuatan spiritual— yang mengacau dan mempertanyakan kesadaran diri yang alamiah atas potret-potret kekinian. Mahant (pemuka agama) menyediakan perlengkapan bagi kekuasaan hierarkis, yang penuh permainan dan tertanam dalam permainan politik.

Sebelas perempuan menantang audiens dan menyatakan kolaborasi mereka dalam rekonstruksi kehadiran mereka. Pandangan mereka lurus langsung; postur yang bebas, mengingatkan pada genre perkenalan diri di bazar studio fotografi. Mereka adalah perempuan-perempuan yang telah melampaui batas. Bukan para istri, ibu, atau anak, tetapi perempuan-perempuan yang berani menemukan kembali diri mereka dalam hubungan yang metafisik. Meski terlihat memuat subkultur-subkultur tradisional, tindakan dan transformasi tubuh mereka dengan marah telah melawan definisi-definisi yang pada Potret-potret ini dikumpulkan dalam sebuah umumnya disusun oleh subjek-subjek etnografis. video animasi pendek, menggunakan gambar-

Instalasi Chhachhi mengartikulasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya transformasi diri, atas identitas-identitas cair yang bergerak di antara pasangan-pasangan normatif dari maskulin/feminin, erotis/spiritual, kontemporer/tradisional, dan religius/sekuler.

Sheba Chhachhi berkarya dengan lensa berbasis gambar, baik gambar diam maupun bergerak, dalam menyelidiki pertanyaan-pertanyaan seputar gender, ekologi, kekerasan, dan budaya

visual. Karya-karyanya mempertanyakan tentang transformasi, pribadi dan ingatan kolektif, penyelamatan kaum marjinal, juga bermain dengan dongeng serta kondisi sosial. Sebagai seseorang yang telah lama menjadi penulis kronik pergerakan perempuan di India, dan merangkap fotografer serta aktivis, ia mulai mengembangkan potret fotografis dengan pokok penyelidikannya di awal era 90-an, yang kemudian berpindah ke instalasi foto. Chhachhi menempatkan foto dalam ruang yang diperkaya dengan video, suara, pencahayaan, obyek, dan teks. Ia telah mengembangkan sebuah bahasa artistik baru, yakni gambar bergerak dalam kotak berlampu, yang menggunakan serangkaian gambar-gambar fotografis diam dan bergerak yang berlapis sehingga menampilkan efek-efek sinematik. Intervensi kesenian rakyat adalah bagian penting dari praktik Chhachhi. Ia telah dikenal luas, baik di India dan dunia internasional.

154

Memuat halaman-halaman surat kabar The Chronic Chronicle, “Best Cutting (Potongan Terbaik)” tersusun atas kliping-kliping surat kabar yang dikumpulkan selama lebih dari sepuluh tahun oleh Gowda dan rekannya, Christoph Storz. Melalui koleksi kliping-kliping humoris, tragis, atau berita-berita yang keliru, “Best Cutting” menampilkan secara eksplisit referensi-referensi politik yang selalu hadir dalam karya Gowda sebagai contoh, negara bagian Uttar Pradesh di bagian utara India; polemik dalam tubuh Partai Bharatiya Janata; ironi Best Bakery Case (kasus Best Bakery) dan Zahira Sheikh (saksi atas pembunuhan komunal yang dijatuhi hukuman masuk penjara); pengusiran Taslima Nasreen dari Bangladesh; kesuksesan politik Ratu Bandit Phoolan Devi; atau isu-isu reflektif yang melekat pada kebijakan tanah terhadap dusun miskin di India. Cerita dalam berita-berita ini tersaji sebagai latar belakang bentuk yang memberi gambaran bagaimana konstruksi-konstruksi sosial diciptakan dan dikelola - dengan pola nyata bersumber pada sebuah buku terjahit yang telah memberi judul pada karya. (Dikutip dari katalog Postulates of Contiguity, dikuratori oleh Marta Kuzma, Kantor untuk

Seni Kontemporer Norwegia, Juni 2010.) “Ground Shift (Pergeseran di Dasar)” merupakan perihal perubahan. Yang terjadi dalam sebuah ruang, dari ruang pribadi terdalam - yang dibatasi oleh unsur-unsur dari luar - sampai ke luar. Tapi, sisi luar di sini tidak diartikan sebagai ruang publik, seperti layaknya jalanan pada umumnya. Sisi luar ini dapat dikenali sebagai yang ‘tidak-di dalam’. Batu asah, salah satu alat penting di dapur, dengan konotasi ritualistik tertanam di lantai rumah, sejak rumah-rumah itu dibangun setengah abad lalu atau mungkin lebih. Ia ada di sana seperti selamanya, 200 kg beratnya, tak dapat digerakkan. Perempuan-perempuan di rumah itu telah mengaduk dan menggiling rempah-rempah untuk menu harian, duduk di lantai, memutar alat penumbuk, dari hari ke hari, dari tahun ke tahun. Tapi saat ini, dengan meningkatnya nilai real estate, tanah berpindah tangan dan rumah tua dibongkar. Mungkin, pemiliknya sendiri membangun rumah baru yang lebih tinggi dan

78

79

Shilpa Gupta lengkap. Kebanyakan ibu rumah tangga tak lagi bekerja sembari duduk di tanah. Dan orangorang, kini, lebih memilih untuk menggunakan mixer.

terbaring dan tak seorang pun melirik mereka. Jika saja mereka tak menghambat lalu lintas, pihak kotamadya pun tak melihat mereka. Pelan-pelan, mereka menjadi siluman.

Seperti puing dinding tua, batu asah harus pergi. Tapi tidak seperti puing reruntuhan yang mesti disingkirkan agar jalan bersih, tak seorang pun berani melakukan tindakan yang sama terhadap batu asah. Tak juga seorang pun berani menghancurkannya, karena penghancuran mungkin akan terlihat sebagai tindakan yang kurang sopan; karena batu asah juga memiliki harga - terlalu dipenuhi kenangan dan makna. Oleh karena itu ia ‘dibebaskan’, seperti anak sapi dan sapi jantan yang tak menghasilkan susu, mereka dibebaskan untuk berkeliaran di jalanan.

Sekecil apapun perubahan yang terjadi pada batu asah, adalah sesuatu yang esensial bahwa batu-batu tersebut telah melintasi batas.

Sebagai simbol kelambanan, batu asah tak pergi jauh-jauh. Terkadang, ia hanya pergi sedikit jauh, ke dasar tiang listrik atau jalan-jalan pedesaan, menyusul batu asah-batu asah lain yang telah lebih dulu diistirahatkan di sana. Perubahan kemudian dianggap sebagai kebiasaan dan kebersamaan para batu asah membuat tempat mereka diletakkan terlihat seperti kuburan di malam hari. Di sana, mereka

Lahir di India pada 1957, Sheela Gowda adalah pelukis yang juga berkarya dengan beragam media dan material, yang kerap dipresentasikan sebagai instalasi. Sheela mengkaji materi-materi kebudayaan dan kemasyarakatan dan apa yang disampaikan oleh kedua hal tersebut melampaui fungsi dan kehadiran mereka setiap hari. Kajian tersebut tidak hanya pada tataran perbandingan, tetapi juga ketika ia menguji konsep dan pra-

Pemindahan telah terjadi sebelum seorang seniman mengintervensi. Dan karena sebuah intervensi, batu-batu asah kini dapat menyampaikan kisah-kisah mereka. (Dikutip dari esai katalog yang ditulis oleh Christoph Storz)

konsepnya, karya demi karya. Beberapa pameran-pameran terpilih antara lain: 2011. Singapore Biennial. 2009. 53rd Venice Biennale 2009; dan 2008. Sharjah Biennale. 2007. Documenta 12. 1995. Africus, Johannesburg. Sejumlah pameran tunggal dielenggarakan di: InIVA London; NAS Gallery, Sydney; OCA, Oslo; Bose Pacia Gallery, New York, dan di Gallery SKE, Bangalore. Sheela Gowda tinggal dan bekerja di Bangalore. (Dikutip dari katalog Documenta 12.)

158

Kucoba dengan keras membelah langit menjadi dua. Satu untuk kekasihku dan satu untukku. Tapi langit terus bergerak dan awan-awan dari wilayahnya memasuki wilayahku. Kucoba menyingkirkannya dengan tanganku sekuat tenaga. Tapi langit terus bergerak dan awan dari wilayahku memasuki wilayahnya ... (Shilpa Gupta) Bagi saya, baris ini terdengar seperti sebuah surat dari medan perang. Seorang tentara yang dimabuk cinta duduk di salah satu parit perlindungan dan menulis baris tersebut. Ia memerangi perang demi seseorang. Baris-baris ini menjadi kabur ketika air matanya menetesi surat. Jika di sana tidak ada film berwarna, kita dapat membayangkan adegan ini dalam hitam dan putih. Intensitas sebuah dunia di mana setan digambarkan sebagai hitam dan kebaikan sebagai putih. Ini dapat menjadi sesuatu yang klise. Kini, baris-baris ini melekat pada sebuah bendera. Bendera kuning yang bukan milik siapa-siapa. Mendekatlah dan pahami aku, undang bendera itu. Semakin dekat, semakin jelas kamu membaca formasi semut di atas garis kuning. Seperti kata ‘OM’ yang tertulis

di pakaian seorang guru Hindu, kamu dapat melihat sebuah prasasti: TIDAK ADA BATAS DI SINI. Kalimat ini bekerja bagai nyanyian. Karya Shilpa Gupta ini sederhana dan tanpa basa-basi. Bendera yang semestinya menjadi lambang kemerdekaan, kini justru membatasinya. Dalam tubuhnya tertulis kebangsaan, ideologi, kasta, keyakinan, ras. Kemudian, bendera membatasi: ia mewujudkan batas. Sang seniman, yang terkenal dengan instalasi-instalasi multimedianya, menentukan suasana dalam karya ini. Ironi yang tidak diharapkan muncul ketika kamu berdiri di depan proyeksi video interaktifnya. Untuk melihat karya ini, kita harus berdiri di belakang ‘garis batas’ (dimohon untuk tetap berada pada posisi tersebut), jadi gambar anda dapat tertangkap dan anda akan berpartisipasi dalam karya Shilpa. (Johny ML)

Pada tahun 2008-2009, ia menyelenggarakan pameran tunggal di Gallerie Yvon Lambert in Paris and Galleria Continua, San Gimignano, dan di galeri umum ‘Lalit Kala Akademi’ di New Delhi, dengan Vadehra Gallery sebagai tuan rumah; Gwangju Biennale 08’ yang dikuratori oleh Okwui Enwezor; Yokohama Triennale 08’ yang dikuratori oleh Hans Ulrich Obrist; 3rd Seville Biennale yang dikuratori oleh Peter Weibel dan Wonil Rhee.

Shilpa Gupta lahir di Mumbai, India, pada 1976. Menciptakan karya seni melalui website interaktif, video, lingkungan galeri, dan pertunjukan di tempat umum untuk menyelidiki dan menguji subversivitas tema-tema seperti budaya konsumsi, hasrat, konsep rasa aman, militerisme, dan penyalahgunaan hak-hak manusia.

Saat ini Gupta tinggal dan bekerja di Mumbai.

Karyanya telah dipamerkan di institusi-institusi dan museum-museum internasional seperti di Tate Modern and Serpentine Gallery di London, Daimler Chrysler Contemporary di Berlin, Mori Museum di Tokyo, Solomon R. Guggenheim Museum, New Museum and Queens Museum di New York, Chicago Cultural Center, Louisiana Museum of Modern Art di Humlebæk, dan Devi Art Foundation di Gurgaon.

80

81

Sreshta Rit Premnath

160

“Infinite Threat, Infinite Regress” (Ancaman Tak Berbatas, Kemunduran Tak Berbatas) Dalam karya Sreshta Premnath yang tajam dan humoris tentang perang melawan teror (“Infinite Threat, Infinite Regress”), Bruce Lee berhadapan dengan sifat dasar kemakmuran modern. Dalam karya ini, perhatian seniman terletak pada keadaan mental individu dalam menghadapi perang yang tidak henti-hentinya dimana musuh senantiasa hadir, menjadi ancaman yang tidak terlihat, dan selalu siap menyerang. Melibatkan salah satu ikon terkenal, Bruce Lee, dari salah satu adegan yang terkenal dalam film ‘Enter the Dragon’, ketika si musuh bersembunyi di ruangan penuh cermin, putaran video ini menghilangkan penjahatnya sehingga Lee menjadi satu-satunya subjek yang terganggu, yang secara konstan berada dalam kondisi tegang, dan tidak yakin harus kemana mencari jalan keluar untuk mengakhiri mimpi buruk dan ketakutan untuk melakukan sesuatu. Sumber informasi yang ada hanyalah angka-angka berurutan dari sinyal teror Amerika: sebuah bendera muncul dengan warna-warna, hal ini menjadi sebuah kelucuan

Theresia Agustina Sitompul dalam ketidakmampuannya menyampaikan informasi. Seperti daftar binatang karya Borges yang terkenal, warna-warna yang seenaknya dan komposisi yang salah memancing dalam pikiran keinginan untuk menggolongkan, mengendalikan, dan memanipulasi; untuk memisahkan dan mengendalikan.

nya. Tetapi penghiburan dari waktu berbeda yang lebih sederhana tak lagi ada dalam jaman kebohongan dan ketakutan universal. Yang mana gagasan tentang ‘musuh yang sesungguhnya’ adalah suatu kesatuan. Bagaimana seseorang dapat menemukan jalan keluar dari lorong penuh cermin ...?

Kategorisasi dalam karya ini tidaklah lugu. Si subjek diarahkan menjadi paranoid dan mengalami ketakutan hebat saat warna-warna berputar naik, tidak yakin bagaimana harus bergerak. Warna-warna tersebut menjadi sumber bagi tekanan ganda terhadap subjek. Yang satu adalah kemunduran yang kekanakkanakan dan penghormatan pada otoritas yang lebih besar, sebuah panopticon yang motif-motifnya kita percaya atau harapkan penuh kebaikan. Yang satu lagi adalah kemunduran nihil yang hadir melalui kepercayaan terhadap kenyataan dan diarahkan oleh kesinisan terhadap banyak hal.

(oleh Arjun Jayadev)

Pose tantangan berikutnya adalah salah satu aksi. Saat Bruce Lee dalam ‘Enter the Dragon’ keluar dari jebakan dengan meremukkan cermin-cermin, memisahkan musuh yang sebenarnya kilau pantulan dan melenyapkan-

“Untitled” Video ini menggambarkan si seniman berenang menyeberangi sungai, sementara ia terikat pada tali yang melingkar di pergelangan kaki dan batu besar di tepi sungai. Premnath mendiskusikan bagaimana ketika suatu obyek gairah dikejar, urgensinya mengesankan suatu kesia-siaan. Tetapi, bagaimanapun juga, suatu kesia-siaan tidak akan menjadi sungguhsungguh sia-sia jika individu yang bersangkutan tidak memaksa untuk mengikatkan diri pada suatu gairah, ketika ia tidak mampu meraihnya dan menjadi mapan dalam kondisi tersebut. Bangunan penjara berbentuk lingkaran yang didesain untuk mengawasi tanpa terlihat.

Sreshta Rit Premnath lahir pada tahun 1979, di Bangalore, India, tinggal dan bekerja di New York. Ia menerima gelar M.F.A dari Bard College, New York dan sempat menjadi mahasiswa di The Whitney Independent Study Program pada tahun 2008. Pada tahun 2009, ia berpartisipasi di program residensi di Skowhegan School of Painting and Sculpture, Skowhegan, ME. Premnath berpameran sejak 2004. Pada tahun 2011 ia menyelenggarakan pameran tunggal di Galerie Nordenhake, Berlin dan pada tahun 2010 ia mempresentasikan karya berjudul Zero Knot (Ikatan Nihil) di Art Statements, Art Basel. Karyanya telah ditampilkan di Gallery SKE di Bangalore; Balice Hertling di Paris; juga di Thomas Erben Gallery, Friedman Benda, Rotunda Gallery, Art in General, dan Bose Pacia (semua di New York); dan di 1A Space di Hong Kong. Tahun ini, ia juga akan berpartisipasi dalam pameran di Yerba Buena Center for the Arts, San Francisco dan Wave Hill, New York. Pada tahun 2011, ia menerima penghargaan dari Art Matters Foundation Grant. Premnath adalah pendiri dan editor majalah Shifter.

162

Theresia Agustina tertarik dengan gagasan untuk menuliskan ulang kisah-kisah yang ia baca dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Agustina tertarik untuk menggambarkan secara visual narasi tersebut, mengesktremkan modus fantasi yang ia temukan di dalamnya. Dalam pandangan Agustina, seluruh kisah dalam Perjanjian Lama dan Baru mengandung gagasan visual yang sangat menarik terutama karena mereka banyak mendasarkan diri pada gagasan tentang mukzizat atau keajaiban, yang menantang seseorang untuk membayangkan sesuatu yang melampaui kenyataan.

masi symbol-simbol visual yang telanjur ikonik. Salah satu instalasi yang ia ciptakan berjudul “Noah Ark (Perahu Nuh)”, dimana ia membuat versi baru dari kapal Nuh, sebuah cerita yang sudah sangat dikenal oleh publik luas. Agustina mentransformasikan gagasan tentang kapal nuh dalam konteks sejarah kolonialisme di Indonesia, dengan mengisi kapal dengan bebijian dan rempah-rempah, yang selalu disebut sebagai sumber dari keinginan untuk menguasai negara tropis.

Theresia Agustina Sitompul lahir di Pasuruan, 1980. Menyelesaikan studinya di Institut Seni Indonesia jurusan Seni Grafis (1999-2007). Menuliskan ulang narasi ini memberikan kesempatan pada Agustina untuk melihat kisah Aktif berpameran sejak tahun 2000, Tere telah ini dalam konteksnya yang sekarang, atau men- mengadakan tiga pameran tunggal, “Yearning” di ViaVia Cafe Yogykarta (2004), “Confession” gaitkannya dengan sejarah yang berkait pada lokalitas tertentu. Tafsir baru atas teks-teks di Richard Koh Fine Art, Kuala Lumpur dan Vivi Yip Art Room, Jakarta, keduanya pada agama ini sebagian dikonstruksi untuk membawa esensi dari narasi-narasi itu ke dalam tahun 2009. konteks masa kini, sehingga teks agama selalu punya relevansi, dan bukan ditafsir berdasarkan Pada tahun 2002-2005 ia tergabung dalam kebenaran pada masa ia dilahirkan saja. Selain, kelompok Persen ‘99 dan sejak tahun 2002 sampai saat ini ia mengelola Studio Grafis dalam pandangan Agustina, ada kesempatan untuk menggali kemungkinan visual yang pada Minggiran. akhirnya mendekonstruksi dan mentransfor-

82

83

Titarubi Di tahun 2005 ia meraih penghargaan sebagai juara 1 lomba mural ITC “Belanja Grosir Sambil Plesir” di Surabaya. Projek terakhirnya yang juga menjadi bagian dari studi S 2 nya di ISI ialah pameran tugas akhir “Spirit of Noah” di Bentara Budaya Yogyakarta (2011).

164

“Bacalah” adalah satu kata bagi umat Islam yang dipercaya sebagai kata yang pertama kali diperintahkan harus dilakukan oleh Rasulnya, Muhammad (Al-Quran surat Al-Alaq). Kata ini, adalah sebuah kegiatan, yang menempati posisi sangat penting. Membaca adalah proses negosiasi dari pertemuan, perpindahan, pencerapan dan pembongkaran atas bangunan-bangunan yang material maupun yang non-material. Ribuan lembaran kosong sebuah buku dalam karya ini merujuk pada pemahaman bahwa membaca bukan hanya melihat deretan huruf atau melihat gambar melainkan proses negosiasi itu sendiri. Konsep utama dari ajaran ini adalah mengembalikan bahwa pengetahuan tertinggi adalah inti dari kosong.

Titarubi tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Dia mulai berpameran pada 1988. Karya-karyanya telah dikoleksi dan dipamerkan di galeri-galeri, museum, dan peristiwa seni rupa di Asia dan Eropa, di antaranya: Singapur Biennale, Bali Biennale, Yogyakarta Biennale, CP Biennale, Jakarta, ZKM The Center of Art and Media

Tromarama (Karlsruhe, Jerman), The Museum and Art Gallery of the Northern Territory (Darwin, Australia), Singapore Art Museum, National Museum of Singapore, Busan Biennale, dan Museo d’Arte Contemporanea di Roma (Roma, Italia). Pada 2008 dia mendirikan Indonesia Contemporary Art Network (iCAN).

166

Karya ini berawal dari obrolan dan diskusi tentang arti sebuah agama. Secara lebih spesifik, apa arti agama bagi diri kita pada saat ini. Di sisi lain kita sadar bahwa agama yang kita peluk saat ini merupakan warisan dari orang tua kita. Agama menjadi sesuatu yang terberi sejak kita lahir. Disini kita melihat bagaimana agama yang kita anut mengatur pola hubungan dan cara kita berinteraksi dengan tuhan. Bagaimana cara pandang kita (sebagai mahkluk yang diciptakan) melihat tuhan (sebagai yang menciptakan) juga dibentuk oleh agama. Hingga akhirnya hal ini membawa kita ke pertanyaan yang lebih mendasar yaitu tentang siapa dan apakah tuhan itu. Seiring dengan perjalanan hidup, kita merasa bagaimana pada saat ini hubungan kita (manusia) dengan tuhan mulai bergeser ke wilayah yang lebih personal dan intim, keluar dari konteks agama tertentu. Yang ada hanyalah kita (manusia) dan tuhan (sang pencipta). Di titik ini, kita berusaha mempertanyakan kembali bagaimana hubungan kita (manusia) dengan tuhan selama ini? Bagaimana kita (manusia) melihat tuhan sebagai sang pencipta? Dengan merefleksikan memori masa lalu, benda-benda keseharian berikut beragam

Valsan Koorma Kolleri aktifitas kita sebagai manusia yang menjalani hidup ini, kita mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Mencari makna tuhan dibalik berbagai pengalaman personal. Hal ini merupakan usaha kita sebagai manusia yang ingin memaknai kembali hubungan antara yang menciptakan dan yang diciptakan. Membangun sebuah ruang untuk menanyakan kembali sebuah arti.

Tromarama adalah kelompok yang dibentuk tahun 2004 beranggotakan Febie Babyrose, Ruddy Hatumena dan Herbert Hans dari Bandung. Ketiganya menyelesaikan studinya di ITB . Biasa bekerja dengan medium video dan instalasi, kebanyakan stop-motion animation yang menggunakan objek beragam dan sering melibatkan konsep gaya hidup, budaya urban dan idealisme. Beberapa pameran yang telah diikuti antara lain Mori Art Museum, Tokyo – Japan, 2nd Singapore Biennial 2008 dan Philagrafika 2010 – Philadelphia, serta Asian Art Biennale (2011) di Taichung, Taiwan. Mereka juga telah menyelenggarakan pameran tunggal di Galeri Tembi Contemporary, Bantul, Yogyakarta berjudul “Kidult”.

168

Karya Valsan Koorma Kolleri menggabungkan kualitas bentuk alamiah dengan kompleksitas dan kekayaan yang banyak berasal dari kekayaan kebudayaan kita. Di masa patung masih menjadi manifestasi dari wujud aslinya, atau sebagai suatu peranakan antara dua unsur, Valsan menunjukkan sentuhan kecakapan yang jarang, yang melingkupi dan menyatukan media yang ia gunakan. Entah bagaimana, Valsan terkadang menggabungkan semua media, dan meniadakan perasaan-perasaan ganjil dalam material seperti perunggu, batu, laterit, dan material-material alam. Karya Valsan mengingatkan kita pada kesatuan alam yang mendalam. Baginya, sebentuk material dalam lingkungan alaminya memiliki kekuatan komunikasi yang murni, dan sulit dibandingkan dengan obyek-obyek bentukan manusia. Material-material tersebut adalah bagian dari sesuatu yang universal yang melampaui segala batasan kebudayaan, sosial, atau politik. Ikatan Valsan dengan material dan alam, tidak dapat dipisahkan dari pencariannya akan pengalaman dan kehidupan. Pilihannya berakar pada keyakinan dan identifikasinya terhadap jalan hidup. Patung-patungnya mengajak kita untuk berdialog. Kekuatan interaktifnya terbentuk

84

85

Wedhar Riyadi dari pemahamannya terhadap tradisi sebagai kehidupan yang sejalan dengan akar dan koneksi-koneksi mendalam pada banyak tujuan dari tanah yang kita diami. Valsan memperluas karyanya melampaui batasan-batasan konvensional. Ia membuat patung sebagai refleksi untuk arsitektur, bekerja dengan hutan, air, sampah, dan lingkungan. Karya “Sakhtan Palace”-nya (Istana Sakhtan) dan karyanya di hutan di Kerala secara tepat mewakili hal tersebut. Dan kekuatan ini lahir dari spontanitasnya yang luar biasa, yang berpadu dengan keahlian dan ritual rakyat, serta tradisi pertunjukan. Karyanya yang dimulai dengan menggambari batu, menuangkan air ke bumi, misalnya - terlihat seperti ritual pembebasan dan pertunjukan seni. Patungpatung Valsan dan caranya menampilkan mereka mencari jalan untuk bicara melampaui batasan-batasan komunikasi kepada mereka yang tidak dapat melihat, berbicara, atau mendengar. Memahami karya patung Valsan terasa seperti berjalan di alam yang menyaksikan kehancuran atas dirinya. Ide pembaruan dan daur ulang menyampaikan sebuah pernyataan yang kuat dalam karya

terakhirnya. Karya ini lahir dari keprihatinannya terhadap apa yang dapat diperbuat oleh zaman yang akan datang, terhadap kemungkinan untuk melihat, membaui, menyentuh, dan perasaanperasaan lazim terhadap bumi. (Dituliskan oleh para siswa)

Valsan Koorma Kolleri (1953 - ) berkarya dengan menggunakan bahan-bahan dari lingkungan sekitar. Patung-patung dan instalasinya muncul dalam tampilan yang berbeda dari tempat di mana mereka diambil, dan dibuat menggunakan alat, bahkan tangan. Kolleri belajar di Madras School of Art and Craft, Madras; MS University, Baroda, dan Ecole Nationale Superior Des Beaux Arts, Paris. Dalam karya instalasi terbarunya, Kolleri berinteraksi dengan pepohonan, bangunan-bangunan baru maupun historis, dan ruang-ruang kota. Ia dikenal baik dengan kemampuannya mencipta patung dari benda-benda yang ditemukannya, membuat benda-benda yang lazim dipakai tetapi sudah dibuang menjadi sesuatu yang ternyata dapat digunakan, dan memberi sebuah eksistensi pada benda-benda tersebut.

Kolleri telah berpartisipasi dalam beberapa pameran bersama dan pernah menyelenggarakan pameran tunggal di Lalit Kala Academy, Sakhshi Gallery & British Council di Madras. Pameranpameran terpilih lainnya antara lain “Retrospective as Artwork”, Project Art Centre, Dublin, Ireland; “Newclear Age”, Ananta Gallery, New Delhi, dan Talwar Gallery di New York. Saat ini Kolleri tinggal dan bekerja di Kerala, dan tengah mengembangkan sebuah projek berjudul Artshram, Shilpapaddiam: sebuah Program Residensi Seni yang terfokus pada Desain, Seni Murni, Arsitektur, dan Arsitektur Alam.

170

Bagi Wedhar, imej-imej yang diambilnya dari iklan dari majalah adalah bentuk dari modernisasi yang kemudian ia timpa dengan citra-citra kekerasan dengan visual yang kontras menggambarkan tentang penolakan, perlawanan terhadap bentuk modernisasi global -dengan cara kekerasanyang sering terjadi dari orang atau golongan yang kurang terbuka terhadap perubahan dan perbedaan. “Kebenaran” yang muncul dari sikap semacam itu menurut Wedhar tidak akan melahirkan pandangan dikotomis mengenai sesuatu yang “benar” dan yang dituduh “keliru”. Ia mempersoalkan “bagaimana” gejala itu harus disikapi atau bahkan dilampaui, bukan mendaftar “apa” saja yang kiranya mesti dibasmi. Selalu berupaya mencari posisi atau “tempat yang tepat” dalam perkembangan masyarakat sekuler global di masa kini merupakan konteks utama yang mendasari pandangan dunia Wedhar. Dan itulah juga yang kemudian merupakan “norma” estetiknya sebagai seniman, kala memandang berbagai kegaduhan yang berkembang dalam masyarakat di sekitarnya yang makin bertaut dengan peristiwa-peristiwa seluas dunia.

Jika kita perhatikan gambar-gambar dan lukisan Wedhar –yang menggabungkan antara teknik gambar dan lukisan, dan gambar-gambar yang ditimpakan secara langsung pada halamanhalaman lepas majalah populer- tampak bahwa citra dan ikonografi kekerasan merasuki semua pilihan dan strategi bahasa artistiknya. Ia menampilkan citra-citra yang mengundang tautan dengan sarana dan suasana kekerasan arkais, ketika nalar tak hadir, seakan mereproduksi kisah-kisah kekerasan di masyarakatnya sendiri. (ringkasan dari esai kuratorial Hendri Wiyanto, “Daging dan Pedang: Kegaduhan di Negeri yang Subur”)

Wedhar Riyadi lahir di Yogyakarta, Indonesia, 1980. Dia belajar di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Dalam karyanya ia kerap menggabungkan elemen-elemen gelap dan lucu yang terinspirasi dari sains fiksi, horor, kartun, musik dan fashion dalam berbagai medium, mulai dari drawing, mural, komik, ilustrasi, stiker, poster dan objek tiga dimensi. Pada tahun 2008 ia mengikuti residendi di Okinawa, Jepang.

Ia juga telah mengikuti pameran bersama berbagai galeri internasional di Singapura, Hongkong, New York dan Switzerland. Ia berpartisipasi dalam pameran “Indonesian Eye” di Saatchi Gallery, London (2011). Telah dua kali menyelenggarakan pameran tunggal, tahun 2008, “Art of Desire” dan tahun 2011, “Daging dan Pedang: Kegaduhan di Negeri yang Subur”.

86

87

Wimo Ambala Bayang

172

Pada karya Ka’bah, Wimo memotret empat miniatur ka’bah yang biasa digunakan untuk latihan manasik haji di beberapa tempat. Wimo memilih empat miniatur ka’bah yang memiliki ciri visual yang berbeda-beda untuk menunjukan bagaimana representasi visual ka’bah sebagai tempat yang suci dapat ditafsirkan dalam berbagai cara, tergantung pada latar belakang kebudayaan masing-masing tempat. Keberagaman pandangan atas apa yang suci dan sakral pada miniatur ka’bah menunjukan natur ajaran agama yang harus dipahami sebagai sebuah tafsir, sehingga perbedaan adalah sesuatu yang niscaya.

Wiyoga Muhardanto melakukan ziarah spiritual ke tempat yang suci, layaknya naik haji. Dalam “ziarah performatif ” ini Wimo mempertanyakan juga apa makna ritual dalam agama. Apakah ritual dipahami sebagai sesuatu yang bersifat personal atau merupakan konstruksi dari lembaga agama yang lebih bersifat politis ketimbang spiritual?

Wimo Ambala Bayang lahir di Magelang pada tahun 1976. Ia belajar desain interior di Modern School of Design dan jurusan fotografi di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Ia biasa berkarya menggunakan media fotografi dan video dan merupakan salah satu Karya ini juga menyajikan ketegangan tentang founder Ruang Mes 56. Karyanya mereflekikon-ikon sakral dalam teks agama yang sesikan perspektif yang unik atas budaya yang sungguhnya merupakan representasi dari dimaksudkan bukan sebagai kritik, tapi untuk kehadiran Tuhan atau Dewa, yang sesungguhnya mengingatkan kita kembali pada kebiasaanmerupakan sesuatu yang dibuat oleh manusia kebiasaan yang selama ini kita miliki. sendiri. Dengan menempatkan ka’bah ini dalam Pada tahun 2008 ia mengadakan pameran bingkai gambar yang menghadapkannya dengan tunggal sebagai bagian dari residensi di Rumah landskap yang alamiah, Wimo menunjukkan Seni Cemeti berjudul ‘Belanda Sudah Dekat”. pula kontradiksi apa yang alami dan yang dibuat Di tahun 2010 ia juga mengadakan pameran dalam kaitannya dengan gagasan tentang Tuhan. tunggal “Not So High (Heels)” di D gallerie, Jakarta. Dalam perjalanannya memotret keempat ka’bah Wimo adalah seniman yang cukup aktif ini, Wimo membayangkan dirinya seperti sedang mengikuti residensi, antara lain di Lijiang

Studio, China (2005), Heden Kunst Van Nu, Den Haag (2008), dan South Project/ Monash, Melbourne (2009). Selain itu, ia terlibat dalam pameran-pameran internasional di Amsterdam, Shanghai, Darwin, Korea Selatan dan sebagainya, dengan fotografi dan media baru sebagai fokus mediumnya.

174

Karya ini merupakan versi baru dari karya (JUDUL) yang sebelumnya dipamerkan sebagai karya instalasi ruang khusus di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Karya ini menyelidiki hubungan antara persepsi seseorang atas ruang dan simbol-simbol visual yang menjadi kode pembacaan atasnya. Wiyoga memindahkan simbol-simbol visual yang biasanya ditemukan pada ruang tertentu, dalam kasus ini adalah masjid, dan memindahkannya ke ruang pameran. Dengan lanskap ruang yang berbeda, simbol-simbol visual ini muncul sebagai kejutan, atau sesuatu yang di luar kelaziman, sehingga pengunjung ditantang untuk membaca ruang dan simbol visual ini dengan cara yang baru. Sandal-sandal yang ditata sedemikian rupa di luar ruang pameran dengan segera mengingatkan pengunjung pada fenomena yang selalu didapati di masjid. Dengan memindahkannya ke Taman Budaya Yogyakarta, pengunjung menautkan asosiasi dan memori tentang masjid serta perilaku-perilaku orang dalam menyikapi ruang di masjid dengan perspektif yang lebih berjarak. Wiyoga memanfaatkan konsep ruang yang salah (displaced) sebagai pendekatan karya instalasi ini, untuk mendekonstruksi

makna-makna yang sudah diterima sebagai sesuatu yang seharusnya, dan mengajak pengunjung untuk mengonstruksi sendiri makna baru dengan mengaitkannya pada lingkungan dan ruang yang berbeda.

Wiyoga Muhardanto lahir di Jakarta, tahun 1984. Ia lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB jurusan seni patung pada tahun 2007. Pada tahun 2008 ia mengadakan pameran tunggal berjudul “Window Display” di Selasar Sunaryo Artspace. Ia juga telah mengikuti berbagai pameran bersama, antara lain: “Bandung Art Now”, National Gallery of Indonesia, Jakarta
“Jakarta Bienalle 2009 (Fluid Zones)”, Grand Indonesia Shopping Center, Jakarta, “ Beyond The Dutch”, Centraal Museum of Utrectch, Netherland, “Jakarta Contemporary Ceramic Biennale”, NAS Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Ia juga anggota board sebuah ruang seni alternatif di Bandung, Platform 3.

88

89

Akiq Aw

49 & 219

‘A Person Who Once We Called ‘The

Other’’, installation of slide projector,

, 2011

laptop, photograph, sound and video

90

91

Albert Yonathan

49 & 219

beads, ‘Cosmic Labyrinth: The Bells’, terracotta (low fired ceramics), wooden 2011 audio & video channel, variable dimension, installation and performances,

92

93

Amar Kanwar

50 & 220

‘A Night of Prophecy’, digital color video with sound, 77 min, 2003

New York, 1997 ‘A Season Outside’, courtesy of the artist and Marian Goodman Gallery,

‘To Remember’, digital color video, silent, 8 min, 2003

94

95

Andy Dewantoro

51 & 221

‘You Were There’, fiberglass, resin, paint, variable dimensions, 2011

96

97

Anita Dube

52 & 222

‘Kissa-e-Noor Mohammed (Garam Hawa)’, video, color, sound, 15 min, 2004

‘Neti Neti’ (not this, not this either), enamel eyes on wall, 2011

98

99

Arahmaiani

53 & 223

‘Thread - Stitching the Wounds’, silk and styrofoam, 2006

100

101

Archana Hande

54 & 224

‘Please Dont Piss Nor Spit Here / Rejected Gods’, installation, digital prints, decorated frames, light boxes, 2000 to 2011

102

103

Ariadhitya Pramuhendra

55 & 225

‘End of Negotiation’, mix media installation, 2011

104

105

Arya Pandjalu Sara Nuytemans

56 & 225

‘Birdprayers #2’, Yogyakarta, lambda print on diasec, 60 x 80 cm, ‘Birdprayers #3’, Istanbul, lambda print on diasec, 60 x 80 cm, ed 6/10, ed 6/10, 2007 2008

lambda print on diasec, ‘Birdprayers #5’, Rome, lambda print on diasec, ‘Birdprayers #6’, Berlin, 60 x 80 cm, ed 6/10, 2010 60 x 80 cm, ed 6/10, 2009

‘Birdprayers #1’, Ubud, lambda print on diasec, 60 x 80 cm, ed 7/10, 2007

106

107

Atul Dodiya

57 & 226

‘Outside City Limits’, 2010

‘The Names Of The Statues’, oxidized mild steel, mirror, fiberglass, watercolor and charcoal on paper, 2010

‘Whoever Knew’, oxidized mild steel, mirror, fiberglass, watercolor and charcoal on paper, gallow: 259 x 107, painting: 152 x 92 cm, 2010 ‘Show Me Once’, 2010

108

‘Breakfast Project / Piero Pierced’, 15 newspaper cuttings and 15 pierced reproductions, each framed with mount and glass, 58 x 41 cm, 2008

109

110

111

Christine Ay Tjoe

58 & 227

‘….Today I Kill the First Layer and I Find Other Layer Living as Landscape, Landscape, Landscape…’, self-assembled typewriters, aluminum foil, sound, 63 x 129 x 94 cm, 2009-2010

112

113

Erika Ernawan

59 & 228

Series ‘Mirror Sees Me’, video documentation of performance, 01:47, 2010

Series ‘Mirror Sees Me’, digital print on mirror, 90 x 170 cm, 2010, from collection Natasha Sidharta

114

115

Irwan Ahmett

60 & 229

‘Dari Mistis ke Materialistis (From Mystical to Materialistical)’, interactive project and installation, 2011

116

117

Iswanto Hartono

61 & 230

‘Surga (Paradise)’, site specific installation, 2011

118

119

Jompet Kuswidananto

62 & 231

‘Site of Gods’, installation, 2011

120

121

K.P. Reji

63 & 232

‘School’, oil on canvas, 3 pcs, 210 x 150 cm, 2011, work in progress

122

123

Krisna Murti

64 & 233

‘Video Poem’, video single channel, loop, 2011

124

125

‘e-ART-h-quake No. 4’, video installation and performance (Hanna Fransisca), loop, 2011

126

127

Melati Suryodarmo

65 & 234

‘A Conversation With The Black’, performed at Manila Contemporary, June

2011

128

129

N.S. Harsha

66 & 235

‘Reminder’, floor painting, 2011

‘Untitled’, enamel on floor, credit: artist and Niranjana School, Bodhgaya, 2011

130

131

Nurdian Ichsan

66 & 235

‘Linkage’, study for clay installation,

2011

132

133

Octora

67 & 236

‘God Exile (Tuhan Terasing)’, installation, video performance, sound: Bagus Pandega, dress courtesy: Tomoko Mukaiyama, 2011

134

135

Paul Kadarisman

68 & 237

‘Mohammad and Me’, pigment print, 3 pcs, 60 x 80 cm, 2006

136

137

Prabhavathi Meppayil

69 & 238

‘Untitled Series’, copper wire embedded in lime gesso panel, 2010

138

139

Pushpamala N

70 & 238

‘Motherland - The Great Sacrifice’, from the Mother India Project, photo credit: Clay Kelton, archival inkjet print, 114 x 76 cm, ed 2/6, 2010

‘Motherland - The Festive Tableau’, from the Mother India Project, photo credit: Clay Kelton, archival inkjet print, 114 x 76 cm, ed 3/6, 2009

140

141

R.E. Hartanto

71 & 239

‘Derau (Echoes)’, video and installation, 2011

142

143

Riyas Komu

72 & 240

‘Magic Landscape’, wood, carpet, metal lamp, size variable, 2006

‘Undertakers III’, wood, automotive paint, archival prints on linen and copper, 120 x 105 x 61 cm, 2008

144

145

ruangrupa

74 & 241

‘Gerobak Bioskop (Movie Wagon)’, community project in Gunung Kidul,

2011

146

147

Sakshi Gupta

74 & 242

‘Reality Bites’, red chillies, wooden cot, 195 x 99 x 325 cm, 2006, courtesy Galleryske

148

149

Setu Legi

75 & 243

‘Berhala (Idols)’, mixed media installation, canvas, pottery, water, wood, bamboo, iron, aluminum, fiber, wire, tape player, lamps, 2011

150

151

Sheba Chhachhi

76 & 243

‘Backstage at the KumbhMela’, from Ganga’s Daughters, (The Rogues

Gallery), archival pigment print, 101 x 76 cm, 1992 - 2002

‘Bairagan’, from Ganga’s Daughters, (The Rogues Gallery), archival pigment print, ‘Kotwal’, from Ganga’s Daughters, (The Rogues Gallery), archival pigment 101 x 76 cm, 1992 - 2002 print, 101 x 76 cm, 1992 - 2002

‘Buri’, from Ganga’s Daughters, (The Rogues Gallery), archival pigment print, 101 x 76 cm, 1992 - 2002

‘Bhadramahila’, from Ganga’s Daughters, (The Rogues Gallery), archival pigment print, 101 x 76 cm, 1992 - 2002

152

153

‘Shanti Giri’, from Ganga’s Daughters, (The Rogues Gallery), archival pigment print, 101 x 76 cm, 1992 - 2002

‘Pagli’, from Ganga’s Daughters, (The Rogues Gallery), archival pigment print, ‘Ritual Bath Procession’, from Ganga’s Daughters, (The 101 x 76 cm, 1992 - 2002 Rogues Gallery), archival pigment print, 101 x 76 cm, 1992 - 2002

archival pigment print, ‘Jamuna Giri and Friend’, from Ganga’s Daughters, (The Rogues Gallery),

101 x 76 cm, 1992 - 2002

154

155

Sheela Gowda

77 & 244

‘Chronic Chronical, Best Cutting’, digital collage, glass-marking pencil, inkjet print on paper, 56 x 70 cm and 56 x 35 cm, 2008, courtesy Sheela Gowda

156

‘Ground Shift’ (suite of 33 prints), inkjet print on archival photo rag paper,17 x 11,5 cm each, 2007, courtesy Sheela Gowda

157

158

159

Shilpa Gupta

79 & 246

‘Untitled (There is No Border Here)’, wall drawing with self adhesive tape,

300 x 300 cm, 2005-06, courtesy of the artist and Yvon Lambert, Paris

160

161

Sreshta Rit Premnath

80 & 247

‘Untitled’, single channel video loop, 2005

‘Infinite Threat, Infinite Regress’, 2 channel video, sound, 2008

162

163

Theresia Agustina Sitompul

81 & 248

‘Ten Commandments’, painted resin, 2011

164

165

Titarubi

82 & 249

‘Bacalah (Read)’, paper, wood & charcoal, flexiglass, stainless steel, light, 2011

166

167

Tromarama

83 & 249

‘Pilgrimage’, audiovisual installation, 2011

168

169

Valsan Koorma Kolleri

83 & 250

‘Kudumbam (Family)’, latarite

‘Bird Bath’, stainless steel and water, variable dimension,

‘Janani’, Copper

170

171

Wedhar Riyadi

85 & 251

‘Holy War #1 and #2’, painted aluminum, dimension variable, 2011, from collection of Sunarto Tinor and Tirto Yuwono

172

173

Wimo Ambala Bayang

86 & 252

‘Ka’bah’, photography mounted on aluminum, 4 pcs, 100 x 150 cm, 2011

174

175

Wiyoga Muhardanto

87 & 253

‘Study Forum for Certain Case’, site specific installation, 2011

176

NOTE ON WRITERS Agastya Thapa is currently a student of Visual Studies at the School of Arts and Aesthetics, Jawaharlal Nehru University, New Delhi. She has recently submitted her M.Phil dissertation and has registered for PhD at the same school. She mainly works on issues and currents of contemporary Indian art. Agung Hujatnikajennong (born in Tasikmalaya, 1976) graduated from the Faculty of Visual Arts and Design at the Bandung Institute of Technology and completed his master degree at the same university. He works as a curator at Selasar Soenaryo Art Space, Bandung, since 2001. He has participated in some curatorial residencies: in Australia at Queensland Art Gallery, Brisbane, and Drill Hall Gallery, Canberra, 2002 and at Canberra Contemporary Art Space, 2010; in Japan at Nanjo and Associates, Tokyo, 2004, and at Arts Initiative, Tokyo, 2011. He has been the curator for many important exhibitions in Indonesia and abroad. He was the curator for Jakarta Biennale XIII, Fluid Zones. He teaches at his alma mater since 2008.

Gallery, Singapore funded by the Singapore International Foundation. She has curated exhibitions of many important artists in Indonesia, such as Eko Nugroho, Tintin Wulia, Wimo Ambala Bayang, and Jompet Kuswidananto. Some international group exhibitions she curated are “The Past, The Forgotten Time” in Amsterdam, Jakarta, Semarang, Shanghai, Singapore (2007-2008), “Manifesto: The New Aesthetic of Seven Indonesian Artists” in Institute of Contemporary Arts, Lasalle, College of the Arts, Singapore (2010), and “Wall Street Arts: Exhibition of Graffiti artists from Jakarta and Paris” in Salihara Gallery, Jakarta (2011). She wrote for many international exhibitions including for Kuandu Biennale in Taipei (2010), for “Transfiguration: Indonesian Mythologies” in Louis Vuitton Culturel Espace, Paris (2011). She works free-lance for Ark Galerie, in Jakarta (2008-now) and is actively involved in some international exhibitions, as project manager, writer, or curator. She has been appointed one of the co-artistic directors for Gwangju Biennale IX in South Korea, November 2012.

Alia Swastika (born in Yogyakarta, 1980) graduated from the Communication Department in Gadjah Mada University in Yogyakarta. As an artistic manager (2004-2009) in Cemeti Art House, a well-known alternative space, she was a member of the curatorial team. In 2005, with a grant from Asia Europe Foundation (ASEF), she joined a staff exchange program in UfaFabrik, Berlin, Germany. In 2006, she participated in a fellowship program organized by Kelola Foundation and funded by the Asian Cultural Council. Other curatorial residencies she joined, are: BizArt, Shanghai, 2008 and at The National Art

Eko Prawoto (born in Yogyakarta, Indonesia, 1959) received his Bachelor of Architecture from the University of Gajah Mada, Yogyakarta, Indonesia in 1982, and a Master of Architecture from The Berlage Institute, the Netherlands in 1993. During his career Prawoto has worked on various architectural projects in Yogyakarta and other cities in Central Java. He wrote several academic papers, and has exhibited his installation works in London, Venice, Helsinki, Gwangju, Matsidai, Niigata, and Yogyakarta. He is also active in the contemporary art community of Yogyakarta and is a member of Yogyakarta Biennale Foundation.

Suman Gopinath (1962-) is the co-curator of Jogja Biennale XI. She is the founder/director of CoLab Art & Architecture based in Bangalore, India. She worked in a private gallery and studied Fine Arts Administration and Curating at Goldsmiths’ College, University of London, UK, before setting up CoLab in 2005. CoLab works with artists, architects, curators and academics and presents contemporary Indian work, within the context of international practice. Her most recent curatorial projects are Practices in Contemporary Art & Architecture, a series of lectures by artists, academics, architects and others connected with the visual arts from India and Germany, in collaboration with the Goethe Institut, Max Mueller Bhavan Bangalore (2010-2011) and Re-presenting Histories (2008- ), an on-going programme of exhibitions and events, with British curator Grant Watson. The first of these, Nasreen Mohamedi : Notes/ Reflections on Indian Modernism (2008-2011) initiated by the Office for Contemporary Art Norway, Oslo, has travelled to six countries in Europe. Other selected exhibitions Suman has co-curated include Santhal Family: Positions around an Indian Sculpture, Muhka, Belgium, 2008; Horn Please: Narratives from Contemporary Indian Art, Kunstmuseum Bern, Switzerland, 2007 and Drawing Space: Contemporary Indian Drawing (2000-2001) in collaboration with inIVA (Institute for International Visual Art) and the Victoria & Albert Museum, UK. She was invited curator for the Lyon Biennale, 2007. Her essays have appeared in Flash Art, Modern Painters, Art Review. Suman Gopinath lives and works from Bangalore, India.

e futu r e: th in s r yea 10 , JA G JO LE A B IE N N r An Inte rview with th e Equato Eko Prawoto

178

BIENNALE JOGJA, 10 years in the future: An Interview with the Equator

Biennale Jogja looks to the future, developing a and strings together, it also witnesses vast new perspective while confronting the established diversity. conventions for events of this nature. The equator will become a common platform to ‘re-read’ the world, by focusing on the The discourse of contemporary art is very dynamic, however the dichotomy between the centers in the region around the equatorial center and the periphery is still very real. There belt, with perspectives that are non-centered. is a need to search for new opportunities that The equator in geological, geographical, will provide deeper meanings for this event. ecological, ethnographic, poltical and also We searched for a common platform that would stimulate the growth of diverse perspec- historical terms, represents a regional area that is extremely interesting to explore. tives that would bring forth new alternatives to the hegemonic discourse. There is a characteristic natural wealth reflected throughout the region that is The geo-political division between north attributed to the abundance of sunlight as the and south, the division based on the level incessant source of life. The earth rotates on an of progress in prosperity or the territorial proximity to ethnic stereotypes, has provided axis that apparently is not exactly straight and wobbles a little. The rotations are not centered certain contributions to the development of contemporary culture. We propose something on the axis that is set on a 23° angle. As a result of this slant the area in the middle of the earth a bit different, of course with the hope that is exposed to a direct frontal assault from the it will become a trigger and a catalyst for the emergence of alternative relations and interre- sun. Thus, this regional belt that is known as the tropics is characteristically hot throughout lations for the operation of art in life. the year. It is proposed that the equator is a frame that This natural characteristic is framed at the contains both similarities and differences, north by the Tropic of Cancer (23’27’’ north while it is a continuous line that penetrates,

179

Eko Prawoto

latitude) and at the south by the Tropic of Capricorn (23’27’’ south latitude). A mosaic of large and small islands and expansive continents interspersed with oceans, covered in a lush variety of natural wealth decorate the equator, which spans 40,000 km. Small islands are influenced by the humid coastal breezes, while large expanses and those far from the sea are very dry and some turn into deserts. The patterns of nature also provide specific footprints; there is a similarity of flora and fauna in various areas, for example, the coconut or banana trees that are found throughout this area. Coffee is also an agricultural commodity that became the crux of trade for a long time. This area also has a long history of memories and experiences as a region that has been very active in the formation of culture and human civilization. This forms the weave of the historical carpet that is very diverse. All human racial groups are spread throughout the equatorial belt. All of the major religions are present as well. This region has long been the busy crossroads

BIENNALE JOGJA, 10 years in the future: An Interview with the Equator

of human migration and the ancient sailing voyages for exploration and trade. Since the beginning of time, contact between flora, fauna and peoples of distant lands, have crossed the equatorial belt. Some of these contacts were peaceful, however there were those that were confrontational and also those that led to colonization. Colonial culture and language left historical sedimentation that is still very visible. This equatorial belt represents an arena of exploration, study, meetings, encounters, conflicts, reconciliation, renewal, and humanitarianism.

Eko Prawoto

181

The State and the Market: Two Decades of Indonesian Contemporary Art

Decad e s of Two : et k r Ma e th d an Th e State y Art In done s ian Conte m porar Agung Hujatnikajennong

The State and the Market: Two Decades of Indonesian Contemporary Art 1 This essay discusses the changes in the production, distribution, and consumption patterns of Indonesian contemporary art by comparing the different regional and international exhibitions involving Indonesia in the last two decades (1990 – 2010). Each decade has a distinct pattern. The nineties saw the dominant role of the state, especially those of Japan and Australia, through the large-scale exhibitions held in the two countries, supported by state funds and infrastructures. Meanwhile, the subsequent decade witnessed how the Indonesian contemporary art mostly came into view by means of non-government activities and events, especially through dealings in the commercial galleries, auction houses, and cross-border art fairs in the Asian region. This essay employs the model of a sociological study rather than one of aesthetic. Using theories of cultural and globalization studies, the essay wishes to show how the Indonesian contemporary art development is inextricably linked with the shifts in geo-political and geoeconomic constellations in the Asia-Pacific

region. Changes in the regional economybased politics of the big Asian countries affect the dynamics in the art world on the local level, which in the last five years included the dominance of the commercial market. The various development indicators discussed here in this essay point at the strengthening of neoliberal economic principles in the Indonesian art world.

Agung Hujatnikajennong

Today we are living in an era in which globalization is no longer a mere jargon that circulates only in different academic and journalistic reviews. Four decades ago, globalization was being talked about as an inevitable wave that would hit all the important systems in Indonesia: the systems of economy, culture, politics, and technology, along with the various combinations of the four. Today, the dynamics of the globalization process The Globalization of Art and its impact has become concrete realities The term “globalization” is considered as the that we see before us on a daily basis: the most relevant term to explain the increasing activities of art production, distribution, and acceleration of social transformations and consumption in Indonesia have bcome an changes due to migrations, trades, cross-border international network. Due to globalization’s investments, and the spread of systems of many unexpected effects, its consequences ideas, knowledge, and technology, all taking must always be analyzed in specific contexts, place on the international level.2 Moving with thorough observations on many aspects beyond past terms with greater political and of culture, including art. negative connotations such as “imperialism”, “colonization”, and “westernization”, globalTheories in sociology discuss globalization ization became a popular key term used in as the intensification and extensification of explaining the situation of the human geopolitical and geoeconomic relations. The civilization at the end of the twentieth century, theory of geopolitics discusses relations among in which all aspects of life of the modern nations and states in terms of political power society are extraordinarily integrated through and geographic situation. It can be used to the same systems of language, mass media, and analyze and predict the political map of a urban lifestyle. certain region. Specifically, the theory includes

182

183

The State and the Market: Two Decades of Indonesian Contemporary Art

foreign policy analysis to understand, explain, and predict international political behaviors in a geographical context. In the context of art practice, geopolitical analyses can be used to investigate such issues as terminologies and practices of contemporary art sporting geographical labels, for example those of Asia or Asia-Pacific, and why such categories exist. Meanwhile, geoeconomics is, broadly speaking, the study of economic power in the context of certain (geographical) spaces. The study might cover such aspects as the politics of economy and of resources, and investigate how a certain geographical region sits in the map, that depicts the economic power of the market. In terms of economy, globalization has brought about many changes in the world of art. Such changes become obvious as we consider how the art world has been shaped by intensified cross-border economic relations. In the Indonesian art world, geoeconomic study becomes important as international relations are increasingly dominated by market concerns. The intensified economic relations in the art world are building up to become a distinct system supported by free market ideas and ideology

to which the majority of countries in the world are subscribing.

Agung Hujatnikajennong

observation that regionalism, in practice, can be viewed as a reaction to globalization; the processes of inclusion/exclusion, and Regionalism and Indonesian Contemporary the interdependencies between the states are Art: The Nineties arbitrary in nature in both regionalization and One might argue that the global network globalization.3 involving Indonesian art has been in existence for quite a while; it might even be as old as the Without belittling the previous develophistory of Indonesian modern art. We might ments, we must recognize the nineties as use as its milestone the European visit of the a highly significant era, especially if we Javanese painter Raden Saleh (1829-1851) - if consider how the wave of changes at the time we see migration as a significant element of was immediately reflected in the increased globalization - or Affandi’s participation as frequency of cross-border activities involving the first Indonesian artist to exhibit works at Indonesia and other countries in the Asiathe Venice Biennale (1964). From one era to Pacific region. During that era, a new the next, globalization has manifested itself cartography of the art world was shaped by the in a range of processes and forms, as well as in presence of two new powers: Australia various terms. and Japan. The holding of regular museum scale exhibitions such as the Asia-Pacific In the nineties, concrete symptoms of art Triennial of Contemporary Art (APT, at globalization were often discussed using Queensland Art Gallery, Brisbane, from such terms as “internationalization” and/or 1993 to this day); a series of exhibitions, “regionalization”. While some discourses of symposiums, and workshops sporting the label international politics separate regionalism “Asia” - New Art from Southeast Asia (1992), from globalism (“ism” = philosophy), this Asian Modernism (1995), and Asian Conessay views regionalization as an important temporary Art Reconsidered (1999) - all held sub-system operating in the process of globy The Japan Foundation; and the Asian Art balization. This assumption is based on the Triennial presented by Fukuoka Art Museum,

The State and the Market: Two Decades of Indonesian Contemporary Art

Japan, were evident of the dominant presence of these new powers. Many people initially thought that those various events might serve as an alternative to the multilateral government activities (the government-to-government, or G-to-G, activities), initiated by such organizations as the ASEAN (there are different versions of such activities: ASEAN-Japan, ASEANChina, or the ASEAN+3 that covered collaborative efforts between the ASEAN member countries and China, South Korea, and Japan). A side note: although not entirely viewed in a negative light, ASEAN’s cultural activities were often considered dreary as they represented a much-too-official agenda that was characteristic of the government. In practice, ASEAN’s cultural activities often entailed self-censorship as they must always present the “good” or “beautiful” aspects of the Southeast Asian solidarity, as reflected in ASEAN’s motto of “One Vision, One Identity, One Community.” During the nineties, the regionalization of art in Asia-Pacific affected the production of art in Indonesia. The growing discourse

at the time discussed the search for a new identity of Indonesian art as a “non-Western” entity, following the postmodernists’ attack on Modernism, criticizing it as a form of hegemony of Euro-America-centric thinking.4 At the time, the terms of “postmodernism” and “contemporary” art, as contrasted to “modern”, became a kind of “theoretical legitimacy” promising “equality” among the various art expressions from different nations. The involvement of several Indonesian artists in the regional forums even served as a reference, for the development of local art practices - including the dominance of artwork laden with social and political criticism. Such symptoms of art regionalization in the nineties were in fact inextricably linked to the dynamics in the regional economy-based politics among the big countries in the Asia Pacific region. The fading Cold War and the declining ideological conflict between the Western and the Eastern blocs following the fall of the Berlin Wall and the splitting up of the USSR served as the background in the shifts of (political, economic, and cultural) orientations of the developed countries. In the early nineties, the world turned in unison to

Agung Hujatnikajennong

Asia, especially with the rising Asian Tigers (Hong Kong, Singapore, Taiwan, and South Korea) as the new dominant economic force. The symptom emerged, even before the economic growth in China progressed in a rapid pace, as we have been witnessing in the last ten years. One of the characteristics of the nineties’ regionalization was that the various mediating activities in Indonesian art practices exhibitions, symposiums, workshops, residence programs, etc. - were dominated by, or at least related to the government’s agenda. This pattern becomes obvious as we consider how art institutions such as the Queensland Art Gallery (QAG) and the Japan Foundation were the ones who held those activities and events. It was not a coincidence that the Asia-Pacific Triennial began not long after the establishment of the Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC, in 1989), along with the political campaign of “Australia in Asia” (1991) launched by the Australian government under Prime Minister Paul Keating. The Asia-Pacific Triennial was an effort to promote a new image of Australia, which from the nineteenth century to the end

184

185

The State and the Market: Two Decades of Indonesian Contemporary Art

of World War II, had always been seen as a representation of the Anglo-Saxon world owing to her history as a British colony.5 Meanwhile, regional art activities held by Japan (through the Japan Foundation) could be seen as a manifestation of their PanAsianism agenda, promoted to shed their old image of being a close ally of the military and liberal economic blocs of the US. From the mid-nineties onward, art activities with a focus on “Asia” held in Japan have seemed to intensify the campaign about their “return to Asia”, following the large-scale Westernization process that they had purposely gone through from the end of the nineteenth century. Geographically speaking, Japan lies within the Asian region. Despite this fact, Japanese awareness to play a role in the art development of the region only emerged in the nineties. The Absent State So far, we have thus understood how the constellation and development of contemporary art in the Asia-Pacific region have been shaped by, on the one hand, the strengthening theories of postmodernism and, on the other hand, the role of state institutions (along with the regional political agenda that

this entailed). Apart from these two external factors, there were in fact local art conditions that enabled the fostering of new relations with the international players and arena. This essay does not wish to discuss further how the theoretical realms of postmodernism/multiculturalism/post-colonialism/ feminism played a role in the regionalization of Indonesian contemporary art. It is interesting to see how the regional political agenda set forth by the new centers in the Asia Pacific region during the nineties, did not find its manifestation through G-to-G programs, unlike the ASEAN activities. In the Asia-Pacific Triennial in 1993-1999, for example, the various curatorial policies concerning the selection of artists and artwork had been determined by Queensland Art Gallery in collaboration with such individuals as Indonesian artists, independent curators, or academics who had no involvement with the Indonesian government. In practice this resulted in the absence of representation of the Indonesian (state) government and the agenda of “national culture” that often took a central stage in ASEAN activities.

Agung Hujatnikajennong

Similarly, in the activities funded by the Japanese government through the Japan Foundation, the participating Indonesian artists or curators often did not represent the government. We would even come across the same few curators in different events and activities throughout the nineties. Admittedly, the curatorial profession in Indonesia at the time, had not become as widely recognized as it is today. The fact that curatorial practice at that time did not emerge from state institutions such as the museum, however, reveals the “incomplete” situation of the Indonesian art world. Almost throughout the nineties, the role of the Indonesian government in promoting contemporary art, in a range of international arenas tended to be minimal, not to say entirely absent. This situation was in contrast with one of the features of regionalism, whose agenda is mostly geared to collaboration schemes and the integration of cross-border economic policies or political stabilization of a region. In terms of political stabilization, there is an interesting aspect to it in relation to the

The State and the Market: Two Decades of Indonesian Contemporary Art

involvement of Indonesian artists. Regional exhibitions at the time gave rise to the increasing fame of such Indonesian artists as Heri Dono, Dadang Christanto, FX Harsono, Arahmaiani, and Tisna Sanjaya - to mention only a few. Most of their works at the time had been made in response to the social and political situations in Indonesia. Some of the works appearing at the Asia-Pacific Triennial 1993-1999 contained shrewd criticism about the repressive situations of the country under the New Order regime. One can safely assume that the emergence of the Indonesian “socio-political art” in the international arena during the nineties would not have been possible, had the Indonesian government been involved. While the process regionalization of art was expected to serve as a “slippery lubricant” - to use Apinan Poshyananda’s term - for political and economic visions within the region,6 works appearing in the Asia-Pacific Triennial (1993-1999) could be categorized as a denial of the regionalism vision of the Australian government (“Australia is Asia”). Along with the increasing appearance of “anti-New Order” works, the Asia-Pacific

Triennial eventually served as a bad outlet for the image about the harmonious relation between Indonesia and Australia, especially considering the cordial relationship between Paul Keating and Soeharto, when the two leaders were still in power. Keating repeatedly said how Indonesia was Australia’s most important neighbor, while his deputy, Tim Fischer, once nominated Soeharto as the “Man of the Twentieth Century.”7 One can therefore say that the regionalization process of Indonesian contemporary art has revealed “deviating” signals, if we understand regionalism as an effort to bring about regional political agendas. It is deviating because, first of all, in its execution there has been no involvement from government or state institutions. Second, the themes of the works on display were in no way representative of the regional political agenda. Such arbitrary symptom in the regionalization in the nineties revealed a resemblance with the social pattern of globalization, in which an individual’s activities tend to be “free” and not immediately bounded by the person’s nationhood or the “ideology” of his or her government.

Agung Hujatnikajennong

Meanwhile, in terms of the economic agenda, the involvement of Indonesian contemporary art works on the international stage at the time did not give rise to significant shifts in the commercial market constellation. Some foreign museums and collectors had indeed collected the works by a few Indonesian artists, but only in a limited number. Regional forums of the nineties eventually served as a distinct arena for artists who were aiming for an international career. The experience of taking part in a large-scale exhibition abroad became a lure, especially considering how such institutional legitimacy was impossible to gain in their own country. The Market and the Commodification of Art The globalization/regionalization process in the nineties proved that the practices and value system of Indonesian art at the time were starting to detach themselves from local paradigms, conventions, and infrastructures. Admittedly, the Indonesian artists who enjoyed most of the international limelight at the time were precisely those who were drowning under the booming local art market since the eighties. The effect of the regional art development on the local art arena only began

186

The State and the Market: Two Decades of Indonesian Contemporary Art

to be detected in mid-2000s, when the artists who in the nineties had been stealing the show in international arenas, began to have more opportunities to exhibit their works in Indonesia.

along with the bombing at the Australian Embassy in Jakarta in September 2004, resulted in travel warnings and travel ban advisories to Indonesia, issued by various countries including Australia. Curators at state museums in Australia found it difficult to From the 2000s onwards, the frequency of do field research in Indonesia. The process of regional art events has been on the decline. information exchange and collaboration that The ones that still exist are no longer as has so far been nurtured, was hampered by the glamorously celebrated. In the nineties, the worsening diplomatic relation between the direction that the contemporary art practices two countries. took, was mostly affected by top-down state agenda and government mechanism within In the 2000s, patterns of distribution and the region. When political relations between consumption in the regional art world the states deteriorated, the Indonesian art in Asia have been transformed with the practices were immediately affected. existence of new mechanisms, spurred by The September 11 tragedy that gave rise to the rapid development of contemporary art negative sentiments about Islam, became the in China and the new trends of contemantithesis of the multicultural discourse widely porary art collection by private collectors. promoted in the nineties. The social panic due The dominance of state governments as to terrorism and the global war on terrorism the center slackened with the expansion of prevented cross-border art and cultural art networks involving non-government activities from being the “lubricant” for agents. Art distributors and commercial political agenda. Suspicions that the Western galleries became players with an increasingly countries harbored toward the Islamic important role. At least from 2005 onwards, countries, including Indonesia, obstructed the the frequency of Indonesian art exhibitions flow of cultural communication. has been on the increase in private galleries The Bali bombing tragedy in 2002 and 2005, in big Asian cities such as Hong Kong,

187

Agung Hujatnikajennong

Kuala Lumpur, Singapore, and Beijing. The exhibited works represented the emergence of a new generation of “post-nineties” artists as well as the “new art taste” in a market, that has become increasingly diverse and idiosyncratic. The auction houses also play a significant role in the shift in the art constellation during the nineties. Several big auction houses that opened branch offices in Asia managed to secure new multinational clients, boosting their sales significantly - and beating the record price of Indonesian art works. Auctions, which were previously seen as “secondary market”, induced greater changes in terms of the ease of crossborder capital flows and interactions among the actors in the art world. Indonesian art collectors have also become increasingly active in regional auctions. It is interesting to observe how this phenomenon is not separate from the development in the art world outside the AsiaPacific region. At about the same time, in other parts of the world, different auction houses managed to secure new collectors in countries where modern or contemporary art collection is a novel tradition, for example in the United Arab Emirates and Turkey.

The State and the Market: Two Decades of Indonesian Contemporary Art

In the nineties, the dominant axis of power with the greatest role in the promotion of Indonesian contemporary art in the AsiaPacific region consisted of independent curators and alternative galleries in Indonesia. Collaborating with foreign institutions as the hosts for regional events, this axis played a determining role in shaping the pattern and existence of Indonesian art in the international arena during the nineties. It was a common practice at the time for the international museums or organizations to collaborate with local curators and artists during the curatorial preparations - for example in the research, writing, and the selection of works. These days, the map of power distributions in the regional art world has become increasingly complex. One thing is certain, however: in the last five years, collectors have been playing a greater role compared to the role they had in the past. They serve as important actors who also affect the “curatorial mechanism” of Indonesian art exhibitions abroad. The exhibition of “Collectors’ Stage” at the Singapore Art Museum in January 2011 proved that a government-owned art institution today can collaborate with private

interests. The exhibition presented a number of works owned by private collectors from countries such as Indonesia, China, Singapore, and India. The increasing popularity of international art fairs, involving significant cross-border flow of commodities and capitals, must be viewed as evidence of how the art world today follows the patterns of free trade and market. Since the 2000s, several international art fairs have undergone an “overhaul” by employing a stricter selection mechanism. Their image is bolstered with the presentation of “high-brow” side activities such as seminars and awards, involving eminent international curators as members of the jury. In international art fairs, political agenda of the state tends to be absent, as most popular art fairs today are held and attended by private corporations and based more on the interest of trade, as proven by regular participation of several Indonesian art galleries in the art fairs in China, Singapore, and United States. Since the mid-2000s, the frequency of art fairs in Asia has increased, followed by a rise in the number of participating Indonesian

Agung Hujatnikajennong

commercial galleries. It is interesting to observe how these galleries bring with them “artists of the nineties” and employ local independent curators who had been active in the regional art events of the nineties. At this point, the shift in the dominant patronage in the presentation of Indonesian art on the international arena becomes obvious. True, biennales or triennials as well as art projects initiated by public or government art institutions within the region in the nineties cannot be immediately compared with private art fairs and auctions that became dominant in the 2000s. The two dominant patterns of development cannot be immediately contrasted with one another, not least due to their different basis of existence and success indicators. We can, however, compare the pattern of patronage in public or government institutions with the one found in private corporations. We can imagine the former as the representation of the state; while the latter, that of the market. It is interesting to observe how these days the two patterns both succumb to the patterns of free market economy, in which

188

189

The State and the Market: Two Decades of Indonesian Contemporary Art

state art institutions such as public museums eventually become “privatized” with the involvement of non-government individuals or corporations. In the last five to ten years, several public institutions in developed countries have been confronted with a set of complex problems as global economic crisis kicked in, affecting the availability of public funds for art activities. Public or state museums adapt to this change, make compromise, and collaborate with private collectors or corporations for the sake of preserving their institutions for the future. As institutions that have formerly been “validating” the value of art, the public museums, as the representation of the state, are now competing with free market fundamentalism, rife as it is with the interests of a few elites. At an acute level, the independence of state institutions and infrastructures such as museums has been undermined by the market. This is also reflective of the crisis in the state that is predicted to remain within the next one or two decades. The tension between the state and the global market

represents the greater conflict between the neoliberal economy - the latest form of capitalism - and the new nationalism that has induced contra-globalism movement. There is actually an anomaly in the Indonesian art world, in which the public institution has never been actually present as the representation of the state. Far before the global crisis set in, the mechanism of art activities in Indonesia has always been dependent on the support from private corporations. The state has indeed been present in the form of the institution labels and physical infrastructure. To this day, however, whether in crisis or in prosperity, the state has never been able to exist as a power with the authority and command to set a significant agenda. The mechanism that has existed to this day shows how the functions of validation and legitimation that should be carried by public institutions as the representation of the state have never been free from economic interests. Another anomaly became evident with the decline of the regional/international art market, as at the same time the frequency of art exhibitions in Indonesia is still on the rise.

Agung Hujatnikajennong

The record-breaking selling price of the Indonesian art work occurred in 2008, at the time when the global economy was showing symptoms of decline. All of these symptoms show how in the rhizomatic system of the neoliberal market, control over the market takes place seemingly without any center - or, if a center does exist, it lies at the margin, hooking up with hidden interests. Footnotes: 1 This is not meant to be a comprehensive and stand-alone essay; rather, it is a part of an on-going research. Thoughts explained in this article are still being expanded and developed. Different versions of this article have been published in a range of publications, such as “Indonesian Contemporary Art in the International Arena: Representation and Its Changes”, in Global Studies—Mapping Contemporary Art and Culture, Hans Belting, Jacob Birken, Andrea Buddensieg, Peter Weibel (eds.); Hatje Cantz Verlag, 2011. 2 Manfred B. Steger, Globalization: A Very Short Introduction, New York, Oxford University Press, 2003, p. 3-5 3 Steger, ibid. p. 24.

The State and the Market: Two Decades of Indonesian Contemporary Art

Caroline Turner, Internationalism and Regionalism: Paradoxes of Identity, dalam Tradition and Change, Contemporary Art in Asia and the Pacific, Caroline Turner (ed.), Brisbane: University of Queensland Press, 1993. 5 Apinan Poshyananda, The Future: Post-Cold War, Postmodernism, Postmarginalia (Playing with Slippery Lubricants) dalam Caroline Turner (ed.), ibid. p. 3-24. 6 Apinan Poshyananda, ibid. 7 Greg Sheridan, Farewell to Jakarta’s man of steel, The Australian online, January 28, 2008, http://www.theaustralian.news.com.au/ story/0,25197,23118079-5013460,00.html date of access: June 1, 2009. 4

Agung Hujatnikajennong

191

The Contemporary and Indian Contemporary Art: 21st Century

Th e Conte m porary an d In d ian Conte m porary Art: 21st Centu ry Agastaya Thapa

Call it taking stock, reflection or retrospection, the basis is always mandated on distance. Criticality demands this distance. However, how does one create this distance from the contemporary? In terms of ‘historicizing’ the contemporary, there seems to be a rush to document, archive, record and register. Therefore, the establishment of an institution like the Asian Art Archive at the start of the 21st century (2000) with projects like Materials for the Future: Documenting Contemporary Chinese Art from 1980-1990 (2000) has to be recognized as a foundational moment that carries with it many implications. It not only implies the sheer volume of art production in the region, but also the growing precedence of contemporary Asian Art at the global level. This in turn points to the close nexus between global prominence and art production. The assumed nexus could lead one to affirm rather confidently, and some way, reductively, that the early start to the 21st century has so far been good to Indian art. Skirting any debilitating open-ended debates and critical pogroms on the nature and quality of ‘good’, here it means visibility and the ascendancy of Indian art into a new dispensation, the ‘global.’ Indian art has

entered the ‘global.’ Rather Indian art is now contemporary with the opening up of India to the forces of the global art world, be it in the way that some Indian artists have become successful international artists, in the sense of those who sell for large sums of money, or those whose works are collected by influential art museums and collectors. It can be said that Indian contemporary art has become part of the larger processes that structure the broader whole, of what is identified as the contemporary moment in art. Indian contemporary art has so far had to contend with representations at various biennales, triennales and art festivals across the globe, and in a more local register, with the inauguration of its own art fair, the India Art Summit in 2008. The anticipation of its own international biennale to be held in 2012 should also not be discounted. Indian contemporary art has therefore spawned a wide network of galleries, collectors and artist-initiatives and the excitability around it is being bolstered in the form of top Indian contemporary artist prizes, establishment of private museums and foundations of contemporary art and state-driven initiatives.

Agastaya Thapa

Much has been said about ‘the contemporary’ and the vexed relationship it presents with art. In fact, the most cited reference on this issue has been the Questionnaire on ‘the contemporary’: 32 responses formulated by the journal October regarding the confounding nature of contemporary art, in the theoretical elusiveness it presents and yet the overwhelming art-inflated frenzy that is driven by and on it. As summed up by the editor Hal Foster, “The category of ‘contemporary art’ is not a new one. What is new is the sense that, in its very heterogeneity, much present practice seems to float free of historical determination, conceptual definition, and critical judgment.”1 However, the paradox lies in the fact that the ‘conceptual vacuum’ has given rise to a strident enterprise, that has managed to institutionalize “contemporary art”, in the professorships and programs in the academic world and departments and institutions at the museums dedicated to the subject of ‘the contemporary’. The constitution of what Hal Foster calls the “apparent lightness of being” of the contemporary is also drawn from the verdant and cacophonic rushes of art fairs, biennales and such. It therefore becomes important to then

192

The Contemporary and Indian Contemporary Art: 21st Century

pay heed to what philosopher Jean-Luc Nancy considers significant to ‘the contemporary’ in art. Thus, in Philosophical Chronicles Nancy underlines the anxiety around the term ‘contemporary art’ as the intensification of the very processes that affirm the ‘contemporary’ in art.

not art!” or “What actually is art?”3 In the abundance and multiplicity of processes, practices and signs that are offered by the contemporary, it seems that the art scene is indeed beset and riddled by questions and uncertainty about its very status. Then art in the contemporary is at a frontier, “The season of festivals, biennials, and other that at once propels, as well as forestalls its art fairs and markets has revived here and culmination, thereby drawing it in a vortex there the furious quarrel ignited about twenty of indeterminate meanings and significayears ago around what we call, in a singular tions. Contemporary art is then on a spin manner, contemporary art. The most manifest cycle mode that seems to churn every given sense of this expression, “contemporary art” component around an imperceptible centre. is to designate an art constantly in tune with If at the macro-level it is to be believed that its own debate, contemporary with its own the forces of globalization have made borders questioning or its own suspension; in short, and boundaries more permeable, then at a contemporary with this distancing from microcosmic level the world of art too seems itself, with this intimate dissociation that one to accommodate this porosity in the form must have in order to experience oneself, in of cross-cultural exchanges and cross-overs. whatever domain, as the “contemporary” of Multiple forms of expressions culled from such something or someone.”2 a cultural platter can be seen to overwhelm and over-determine as well as underrate He gauges the situation surrounding contem- the contemporary. However, Nancy wades porary art as one that lacks sense, that “never through these complexities by identifying ceases to make sense…. - at the very least the within the murky contemporary art waters, sense of this quarrel that furiously argues over a hope for emancipation. This emancipaits proper character in exclamations divided up tion rests on precisely the frenzy of a bi-polar among various voices: “This is art!” or “This is global art scene that is at once global and local,

193

Agastaya Thapa

present and timeless, thus making it hard to straitjacket or dovetail the current art scene into a well-defined module. Nancy sees in the slippery terrain of the contemporary, the mounting of a resistance against conformity to a structure, or a ready system of meanings and interpretation. As the artists grapple with a world that is always in transit and new, they are no longer interested in making art as individuated agents, distant from the experiences of the common world, art is brought closer to life. Nancy recognizes this as a moment of emancipation or a break from what has come to pass. Thus one can say that for Nancy, ‘the contemporary’ is laced with a desire for inclusion and acceptance, amidst the din and chaos of the heterogeneity presented by the new world. All this points to the decentering of the modernity turf, that features prominently in the constitution of the contemporary, as perceived by the curator Okwui Enwezor in the term “postcolonial constellation” wherein “the current conditions of production, dissemination, and reception of contemporary art” is hinged on “a complex geopolitical configuration that defines all systems of production

The Contemporary and Indian Contemporary Art: 21st Century

and relations of exchange as a consequence of globalization after imperialism.”4

Agastaya Thapa

been rapid economic growth and development language, but one that can have palpable across much of the region. consequences for the centre-periphery model of art dissemination, that puts the West as Within the complexities of the contemporary, The Asian economic boom in the last two the centre of a heliocentric module from the rise of the Asian art scene can be seen as decades has meant not only infrastructural where the peripheries derive and model their proof of the intensification of the “postcoloextensions like support for the expansion modernism. Thus, one can posit that such a nial constellation”, in that Asian artists since of galleries and museums, the organization restitution of the contemporary within the the 1980s and the 1990s have been part of the of biennales and art fairs, but on a personal de-centering discourse also fits into what global contemporary, constantly contributlevel, the emergence of influential collectors is in academic fashion today, the debates ing to the greater fund of transformations in for the arts; this, combined with extensive around the multiplicity of modernity itself. art practice and infrastructure. John Clark development in communication technology Modernity as a widely-dispersed phenomenon in his work Modern Asian Art (1998) posits and the widening of the cultural net with the was soundly discussed by cultural theorist a correspondence between the emergence of flow of artists and visual vocabulary across Kobena Mercer in a series of books edited by 6 distinctive Asian avant-garde movements and borders, has contributed to making Asian her, Annotating Art’s Histories (2005-2008) the socio-political exigencies. contemporary art visible, global and interwhere comparative approaches to the question national. Therefore, overall, the slippages of of multiple modernisms and their mapping, in These movements also seem to be informed location, identity and contexts along the fault the larger context of the politics and aesthetics by local concerns and external transferlines of the looming globalization terrain, has of cultural difference were presented. ences as well as by socio-political upheavals not only contributed to the perpetuation of like the end of the Cultural Revolution in the contemporary as a diverse and dispersed The question of modernity in the Indian China, liberalization of the Indian economy cultural commissary, but the participation of context is one that is profoundly vexed and and the Reformasi in Indonesia. Along with Asian contemporary art in this milieu, has idiomatically fissured. Modernity in India has the socio-political transformations within translated into widespread institutional and always been subjected to contend with that such “postcolonial constellations” which are market recognition for a number of Asian which constitutes ‘the traditional’. Modernity of consequence to, as Enwezor puts it on artists. in Indian art is seen to be predicated on “governmentality and institutionality, new what art historian Gayatri Sinha contends domains of living and belonging as people and This can be taken as an affirmative stance as, “India’s eager embrace of technology, citizens, cultures and communities”5, there has not only in the sense of art production and the democratic and imaginative use of the

194

195

The Contemporary and Indian Contemporary Art: 21st Century

photograph, and an alliance with international modernities” which all feed back into the conscious creation of an Indian idiom somewhere between the “street and studio, tradition and contemporary media, ideology and practices.”7 If one were to focus on the recent “retrospective” show of Indian modernism hosted at the inauguration of the National Gallery of Modern Art (NGMA) branch at Bangalore in 2009, titled Signposts of the Times, from the collection of the NGMA, where around five hundred works from the art collection at NGMA, New Delhi were unveiled for the viewers, there was in that endeavour an attempt to encapsulate as well as insulate Indian modernity. The NGMA Bangalore website proudly states that the exhibition traces the trajectory of Indian art from the 18th century to the 21st century, wherefrom one can chart modernism that developed in Indian art as different from the West-inflected one, and in a postcolonial recovery, a modernism that developed on its own terms. The NGMA website propagates a version of Indian modernism that is closely tied to the project of the Indian nationstate. However, what needs to be addressed besides this, is the fact that Indian modernity

has always been saddled with a doppelganger. The doppelganger of tradition and what constitutes the traditional is never off modernity’s vision-point.

Agastaya Thapa

Tradition in fact becomes a problematic term especially when it becomes ‘traditional’. As Clark states “anything that might be termed ‘traditional’, is an invention whose ideological motivation must be questioned, as it is The exhibition Contemporary Art in Asia: supposed to describe objects, rituals and values Traditions / Tensions (1996-1997) mounted from the past that a “self-defining” group and presented by Asia Society showed works wishes to owe allegiance to and align itself from five countries: India, Indonesia, the with.9 In terms of artworks, the traditional is Philippines, South Korea and Thailand. As the “interrogated” to produce new variations and title suggests, the exhibition was an attempt to formal interventions, while at the ideational underline the relation between tradition and level, the traditional is mined to make modernity, the old and the new and the ways explicit the “underlying aesthetic or religious the Asian artists mediate between them in an viewpoint.” 10 increasingly globalized world. This tradition-inflected modernity can be Thus, one way of getting around this issue understood in terms of Clark’s neotraditionis that it is not only modernity that has to alism and as such the tradition of neotradibe questioned, but it is the very criterion tional paintings came to a head with antiof “tradition” that has to be brought to the colonial sentiments pervading the Indian questioning pit. If one can ask “When was colony, articulated through movements like Modernism?” then one might as well propose “Swadeshi” in the 1900s in Bengal. The Bengal “What is Tradition?” In India, Tradition School as instituted by the artist Abaninis associated with an authentic and innate dranath Tagore articulated such nationalistic version of Indianness in India. In fact, the art fervor in the 1900s via an orientalist discourse historian, John Clark estimates that the debate around the question of the “authentic” in on the opposition between ‘modernity’ and Indian art, or rather insistence on tradition. ‘tradition’ dates back to the 1890s in India.8 In fact, one can postulate that the postcolo-

The Contemporary and Indian Contemporary Art: 21st Century

nial formations hold forth an experience of modernity that is percepted through the axes of tradition and colonial vestiges. Concurrently, in the very positioning of the avant-garde in Indian art, the complexities of modernism are explored. The avant-garde position in Indian art is recognized by art historian Partha Mitter in the moment of modernist art’s inception in India in 1922 when the first exhibition of Paul Klee, Wassily Kandinsky and other Bauhaus artists was held in Calcutta, which then facilitated the use of modernist language in art by artists such as Rabindranath Tagore and Jamini Roy, the earliest forbearers of modernist art in India. These artists claimed solidarity with the Western avant-garde critics of urban industrial capitalism, leading them to valorize the rural, as a site of the nation, and resistance against the colonial power which also lead them as Mitter puts it “to engage for the first time with global aesthetic issues.”11

classical art with the intention of bolstering the craft-making tradition of the natives.12 Such a mix and match of the modern and the traditional resulted in the creation of an Indian native artist Raja Ravi Varma of Travancore in the 19th century, who formed part of ‘aristocratic art history’ in the social matrix. Varma’s work also provided an impetus to popular images and picture-making via lithographic studios, mostly established by graduates of art institutions like the Calcutta Art Studio in the 1880s. These studios specialized in making a wide range of prints from landscapes to religious imagery in the hybrid sensibilities of the realist western mode, and the vernacular image-making idiom. If the tradition-inflected realist mode that Raja Ravi Varma popularized in the 19th century forms one strain of Indian art history, then the other strain that Geeta Kapur identifies from the sociological praxis of the nineteenth century, is the mode that came from the Investigation points to the fact that the middle-class landed gentry not unlike the modern moment in Indian art was seemingly Tagores. The Tagores were progressive and fraught, with what Yashodhara Dalmia termed widely immersed themselves with what was the ‘ambivalent intent’, as the art institutions considered to be ‘folk’. They exercised what that were established by the British in the Kapur (2000) terms a “pastoral nostalgia” that mid-19th century mainly disseminated neobrought to bear within the larger framework

Agastaya Thapa

of Indian nationalism, a certain language of art that married the folk with innovation. This project as identified by Kapur (2000) held a definitive democratic urge that translated, in the case of Rabindranath Tagore, into the creation of a pedagogical space, Santiniketan, from the 1920s, wherein successive artists like Nandalal Bose and Ramkinkar Baij furthered this vision. Kapur (2000) extends the trajectory of Indian modern art from Santiniketan (and its manifestation of the subaltern) as part of the tripartite compositional strategy along with the artisanal basis of Gandhian ideology and craft aesthetic, heralded by A.K. Coomaraswamy, in the formation of the nationalist culture, that adheres to the idea of tradition. This artistic interlude extended to the first half of the twentieth century into the art practices of artists like K.G. Subramanyan, whose reworking of tradition was said to be in the form of self-conscious modernist mediations.13 The folk, as a repository of tradition, and its entanglements with modernity formed tracts for a populist modernism mediated by Jamini Roy in the 1930s, the metropolitan interactions as evidenced in the works of Indo-Hun-

196

197

The Contemporary and Indian Contemporary Art: 21st Century

garian artist Amrita Sher-Gil and the collective modernist mediations in the 1940s and 1950s in the various cosmopolitan centres (like Delhi with the Delhi Silpi Chakra, Calcutta with the Calcutta Group, Bombay with the Progressive Artists’ Group and Madras with the Progressive Painters’ Association).14 The trajectory of Indian modernist art saw the rise of the national/modern aesthetic in the 1950s which had special affinity to the socio-political status of the Indian nation as a new formation in the post-1947 phase wherein artists like M.F. Husain, K.C.S. Paniker, Satish Gujral and Paritosh Sen articulated the modern vision of the nation to the people in the modernist lexicon.

Jyoti Bhatt. This artistic intervention extended into the 1970s with the emergence of Baroda as a central node of contemporary Indian art especially around the Faculty of Fine Arts at M.S. University, where the linkages between art practice and theory were forged in a milieu that sought to ground itself in a narrative language for the articulation of personal and contemporary history.

Thus, by the 1970s, there were perceptible transformations and shifts in the Indian art scene, as artists began exploring intimate realities and their local environments that were expressed in a reinvigorated narrative art set-up. It was in the 1980s, that a move towards ‘the international’ was mapped on the Indian art scene with events like the Festivals The 1960s saw the formation of the narrative- of India at London, Paris and in the United figural mode of artistic address that was States and the Place for People (Bombay instituted as a response to the Progressive and New Delhi, 1981) show. The Place for Artists’ Group’s modernist interventions in the People (1981) exhibitions were an initiative 1950s, that was seen to draw too uncritically undertaken by artists like Gulammohammad the Western modernist lexicon. Spearheading Sheikh, Bhupen Khakhar, Vivan Sundaram, this campaign was the Group 1890, which Nalini Malani, Jogen Chowdhury, Sudhir was formed in Baroda, Gujarat, by GulamPatwardhan and art critic Geeta Kapur, where mohammad Sheikh and eleven other artists questions of location and modernism, whether including J. Swaminathan, Jeram Patel and in the narratives of personal histories like the

Agastaya Thapa

ones explored by Bhupen Khakhar and Gulammohammad Sheikh, or in the preoccupation with the proletarian or the subaltern as seen in Sudhir Patwardhan’s depiction of mechanics and autorickshaw drivers, were staged as a stance against what was seen as the uncritical adoption of the West-inflected modernist idiom by artists that went before them. The 1980s were also significant to the Western discourse on modernism as two landmark exhibitions, Primitivism in 20th Century Art: Affinity of the Tribal and the Modern put together by the Museum of Modern Art in 1984 and Magiciens de la Ferre at the Centre Pompidou in 1989 brought forth the vexed issues of location and modernism. The 1990s saw the emergence of a new dimension in Indian art as the country moved towards greater liberalization and free market economy. Greater mobility, exposure and access to the global art scene made possible unbridled experimentations, pluralistic and multiculturalist borrowings and in a sense artistic play, as a wide range of themes, contexts and modes began to be explored.

The Contemporary and Indian Contemporary Art: 21st Century

The new conditions of being in the twenty first century, with rapid technological advancements and larger viability of communication networks, that is presaged on the overarching frame of globalization, has made Indian art more syncretic and cross-cultural. Indian art is now contemporary in the 21st century, not only in terms of temporal registers of ‘presentness’, but also in terms of inhabiting, working within and extending the modules of what constitutes ‘the contemporary’ in art. Therefore, multiple contexts, themes, modes, practice, are investigated and accommodated by the contemporary in Indian art. Installations, earth-works, conceptual, performance and video art are deployed to inform and address issues ranging from multiculturalism, hybridity, fragmentation, pluralism, technology, gender and sexuality, fetish, new sensibilities, history, quotations and authenticity, personal and political identity, location and such. Also, ‘the contemporary’ means another level of engagement with tradition, as in the case of Pushpamala N.’s photo-performance works from the Native Women of South India: Manners and Customs (2000-2004) series

where she takes on one form of tradition bequeathed by Raja Ravi Varma in the 19th century. As she deftly recasts herself as Raja Ravi Varma’s iconic Lakshmi (the goddess of wealth in the Hindu pantheon) which became literally the face of the goddess (as print technology of the 19th century made possible the widest dissemination of the image), she manages to doubly inscribe her work with tradition. If Raja Ravi Varma had reconfigured tradition by casting myths in a Western realist mode in the 19th century, then Pushpamala’s citation in the 21st century achieves a double reinscription, as she takes on not only mythical representation, but brings to attention questions of tradition, modernity and Indian art history.

Agastaya Thapa

and identity in a rapidly globalized world that engenders the vision of a homogeneous and unified whole. Therefore, stylistic and contextual breaks and reconfigurations become part of the contemporary complex as evidenced in the works of artists like Sudarshan Shetty, Jitish Kallat, Nalini Malani, Anita Dube, Mithu Sen, Bharti Kher, N.S. Harsha, Bose Krishnamachari, Riyas Komu, Surendran Nair, L.N. Tallur, Sakshi Gupta, Raqs Media Collective and others.

In a capsule, the contemporary is no longer seen as a teleological extension of EuroAmerican modernity, it incorporates diversity and multiplicity from across the globe. However, the emancipatory potential that the multi-focal, pluralistic, cross-cultural and In the case of Shilpa Gupta, her works carry ungraspable contemporary engenders, also contemporary footprints not only in the way harbours within it anxieties around definition, she deploys technology to contextualize the boundary, limit, authority and legitimacy. present, but also in their engagement with The discomfort with the contemporary as themes and issues that are pertinent to the it stands buffered and feted by the forces of current situation. Questions of location via globalization, not only recasts the same issues the local/global binary are explored in Subodh of local-global, centre-periphery or exportGupta’s steel sculptural complexes and installa- import in art in an updated and more nuanced tions that involve everyday life objects like steel inflection, but also proliferates a rather vexed lotas (pots) being cast as markers of location discourse. Thus, ‘the contemporary’ is accom-

198

The Contemporary and Indian Contemporary Art: 21st Century

modated or mediated through devices like elaborate investigations, postcolonial paranoia and convoluted discourse productions or through active co-operation. If on the one hand, there is a profound sense of ecstasy and optimism about the shifts that have occurred in the broadening of the global aesthetic corpus and the inclusion of the Asian contemporary within it, there also seems to be much anxiety around this frenzy, (if one were to look at the spate of archival and documentation work that is being effected around the contemporary), so much so, that Nam June Paik’s prophecy notwithstanding, the future it seems is being overrun by the now. Footnotes 1 Hal Foster, Questionnaire on “the contemporary”: 32 Responses, October 130 (2009): 3 2 Jean Luc Nancy, Philosophical Chronicles translated by Franson Manjali (New York: Fordham University Press, 2008) 59 3 Ibid, 61. 4 Okwui Enwezor, The Postcolonial Constellation in Antinomies of Art and Culture: Modernity, Postmodernity, Contemporaneity (Durham and London: Duke University Press,

2008) 208. 5 Ibid, 208. 6 Russell Storer, More than Half the World: Asian and Pacific Artists in 21st Century: Art in the First Decade edited by Miranda Wallace (Queensland: Queensland Art Gallery, 2010) 34. 7 Gayatri Sinha, introduction to Art and Visual Culture in India, ed. Gayatri Sinha (Mumbai: Marg Publications, 2009) 22. 8 John Clark, Modern Asian Art (Sydney: Craftsmen House, 1998) 71. 9 Ibid. 10 Ibid, 73. 11 Partha Mitter, The Triumph of Indian Modernism: India’s Artists and the Avant-garde (1922-1947), (New Delhi: Oxford University Press, 2007) 10. 12 Yashodhara Dalmia, introduction to Contemporary Indian Art: Other Realities, ed. Yashodhara Dalmia (Mumbai: Marg Publications, 2002) 1. 13 Geeta Kapur, When Was Modernism: Essays on Contemporary Cultural Practices in India (New Delhi: Tulika, 2000)271. 14 Ibid. 272.

Agastaya Thapa

Bibliography 1. Wallace, Miranda, ed. 21st Century: Art in the First Decade. Queensland: Queensland Art Gallery, 2010. 2. Sambrani, Chaitanya. Edge of Desire: Recent Art in India. London: Philip Wilson Publishers, 2005. 3. Sinha, Gayatri, ed. Indian Art: An Overview. New Delhi: Rupa, 2003. 4. Kapur, Geeta. When Was Modernism: Essays on Contemporary Cultural Practices in India. New Delhi: Tulika, 2000. 5. Clark, John. Modern Asian Art. Sydney: Craftsmen House, 1998. 6. Mitter, Partha .The Triumph of Indian Modernism: India’s Artists and the Avant-garde (1922-1947). New Delhi: Oxford University Press, 2007. 7. Dalmia ,Yashodhara ,ed. Contemporary Indian Art: Other Realities. Mumbai: Marg Publications, 02 8. Sinha, Gayatri, ed. Art and Visual Culture in India. Mumbai: Marg Publications, 2009. 9. Nancy, Jean- Luc. Philosophical Chronicles. Translated by Franson Manjali. New York: Fordham University Press, 2008. 10. Enwezor, Okwui , ed. The Postcolonial Constellation in Antinomies of Art and Culture: Modernity, Postmodernity, Contemporaneity. Durham and London: Duke University Press, 2008.

TH E FACAD E OF FAITH Alia Swastika

200

201

The Facade of Faith

In the school books I read during the many years of my schooling period, I was constantly reminded of how rich Indonesia is in terms of its cultures, faiths, and ethnic groups. My generation, as well as the generations that preceded and followed it, accepted the “ideal vision” of a diverse Indonesia. With such constant affirmation, the diversity of cultural backgrounds that was eventually defined as the nation’s backbone is seen more as a fact, a certainty and a given, rather than as something that must be further developed in a collective manner to create a mutual experience (in relation to the national identity). Along with the meta-fiction about the success of the thirty-year development process, the idea that the people of Indonesia “live peacefully side by side” forms a part of the series of slogans launched to maintain political stability, while the principles of democracy fell victim to the effort. The situation escalated and eventually reached a peak with a chain of events and incidents that dragged with them the name of God and the shield of religion, forming a vortex of conflicts among the different groupings in the society, as well as between the State and the people as a whole.

Alia Swastika

The May 1998 incident, a crucial point in Indonesia’s political life, changed a lot of things in relation to the construction of metafictions, including the lulling meta-fiction about the diversity of cultures and faiths. The era in which the fundamental change took place within the structure of power in the country, was marked by a shift in the relationship between the people and the State (including its entire formal infrastructure). In this new situation, the State no longer serves as the absolute center that exerts control over the dynamics in the citizens’ lives. There is greater freedom of expression, especially in the press and the arts. The shift brought to the surface issues that had remained concealed in the previous era, rife as it was with tales of the ideal life as a nation. The long-accumulated problems came into view, and were difficult to untangle. Inter-religious conflict rears its ugly head most often, although here religion actually serves as a shield, concealing the larger issues of politics and power. In a country like Indonesia, where differences abound, it is hard to refer to one comprehensive idea about a “nation-state”. There is no single quality or character that one can use as

an absolute reference about what it means to be an Indonesian. It does not mean, however, that there has been no such essentialist effort made before. There were measures advocating the concept of an “imagined community” to create a common vision about what it meant to be an Indonesian. In the early days of the past regimes, the idea about nationhood invariably became the focus of the efforts to establish a common world-view about the state and government. The regime in power asserted control over issues of identity. Rather than opening dialogues to bridge differences and create mutual understanding between the contending parties, conflicts between the different faiths or ethnic groups were stifled by the imposition of state policies. In the last five years, fundamentalism has been criticized as threatening the ideal vision of unity and harmonious communal living. Meanwhile, people gradually become used to the idea of a secular life. The relationship between the secularist and the fundamentalists eventually evolves to become a love-and-hate relationship, changing depending especially on the larger social and political contexts. It is quite common now for a beautiful

The Facade of Faith

morning to be interrupted by television news channels continuously broadcasting conflicts related to religious issues: the number of people attacked at a church, a group of Ahmadiyah being brutally harassed, the discovery of a church bomb, or people demanding and forcing the destruction of public sculptures since they do not correspond with their religious image of the city. At the same time, we also watch how this social control of faith enters into the private domain: a singer is criticized by a religious leader for her sensual performances, or a celebrity is jailed for creating a pornographic video intended for private consumption. All these cases use religion as their buffer excuse, even though we understand that they are all being politicized and are related to the negotiation of Power (with a capital “p”). It is not easy to see past the hectic façade - all the bloody fighting, the never ending arguments in the mass media and the unfair courts - to get at the essential problems that are veiled by these dominant narratives. All the while, the government, as a secular state, seems to run from its responsibility to be the mediator and the creator of justice in between these conflicts and tensions.

Alia Swastika

Ideas about religion invariably pose paradoxes and contradictions, especially because interpretations and power play a role in them. A certain level of maturity would be necessary for us to be able to move beyond such contradictions or antagonism. Examples of such antagonism are: “right” and “wrong”, “the individual” and “the communal”, “microcosm” and “macrocosm”, and - the opposing pair that we often hear about - us” and “them”. In a wider context, some of these forms of antagonism intersect and, on the subsequent level, converge to oppose one another again, becoming, for example, “the righteous we” and “the errant they”. It seems as if there are always oppositions, each side speaking on behalf of something that they believe as the real truth. Faith and religion are two different things, although we cannot deny the overlaps between the two. Faith, which we often consider synonymous with belief, amounts to a personal search for something that we often call “the meaning of life”. Faith, therefore, embraces other dimensions beyond right and wrong, and does not require formality and structure. Meanwhile, it is this last aspect that has been the subject of common criticism against religion.

As they are confronted with modernity and other social infrastructures, faith and religion are simultaneously challenged to welcome and accept other standards of truth and adapt them to suit their needs. Clifford Geertz noted that in a more open society, traces of acculturation are found even in remote hinterlands, coloring the religious and traditional rituals that had previously been considered “original”. Religious rituals can therefore be seen as something that keeps on changing and developing, contrary to the common notion about such rituals as unadulterated practices. Geertz noted that his visits to many places in Indonesia showed how in real life all different cultural categories stand face to face with one another and, as I have described above, create a circus-resembling complexity, with all the ironic and humorous acrobats, contradictory to one another yet existing in harmony, both tragic and heroic at the same time. **** Issues of Religiosity and Artist’s Perspectives Although using as its point of departure a rather spontaneous reaction concerning the various conflicts that carry with them

202

203

The Facade of Faith

the shield of religion, at the end of the day this curatorial vision has expanded to view practices of religion, faith, and spirituality as a part of the reality of Indonesian contemporary society. Religious practices still create tensions in the public space of Indonesia, a country with the largest number of Moslem citizens in the world, whereas in more secular countries, such issues are usually relegated into the personal realm of the individual. I believe it is such tensions between the public and the personal spaces that present the artists here with the greatest challenge as they reflect on the proposed theme with actual and relevant perspectives. In this exhibition, the artists show a variety of approaches, exploring the issues of religiosity, spirituality, and religion itself. Most of them were brought up in environments with strong religious traditions. Their contact with religion, especially for those born after the seventies, took place as intensely as their experience with modernity, Western culture, and products of information technology. Aside from the images presented by the mass media that have been showing threats to

Alia Swastika

pluralism, in real life diversity and acceptance of differences still form a part of the richness of Indonesian society, revealing forms of local wisdom. Openness to differences comes from a mature society that is used to having critical discussions about the long-established religious phenomena and philosophy.

established practices or definitions regarding religion. I discovered how the artists are able to present extraordinary points of view and thus provide us with intriguing glimpses of reality in regard to this discourse.

Novel ways of interpretations are inevitable as we step into the new era. Luthfi Assyaukani, I base my curatorial work on research about an activist of the Liberal Islam Network - a the different tendencies of the Indonesian group that has been consistently spreading artists to respond to issues that are now seen critical analyses about Islam and campaigning as sensitive, such as issues of religion and faith. about the pluralistic and peaceful form of Most of the artists involved in this event have religion - mentioned that one would not be been exploring issues of spirituality, belief, able to avoid revitalization of religion. Divine and religion. Arahmaiani, for example, began revelations stopped coming fourteen centuries expressing her anxiety in the eighties, while ago while human logic and thoughts keep on the young artist J. Ariadhitya Pramuhendra developing. Changes are taking place around has consistently been exploring what it means us while no new page is being added into the to be a Christian. Other artists, albeit not holy books. We humans encounter many new having dealt with these issues specifically, have problems, not all of them can be answered by presented critical ideas and adopted analytical the holy books and religious doctrines. approaches as they explore the phenomena of day-to-day life. A case in point is Paul As I observe the works presented in Biennale Kadarisman who deals with names in an Jogja 2011: Shadow Lines, I see how the artists intriguing manner, or Andy Dewantoro who are providing us with intriguing offers that tackles issues of architecture and landscape. I we can discuss further outside the exhibition, thus expect to encourage dialogues among the triggering post-revelation ideas. Instead of works, each of them having stepped out of the providing us with a strict framework for

The Facade of Faith

religious interpretations, the works, in creative ways, encourage questions regarding issues that have so far been taken for granted as the truth. A work might present intersections of issues, starting from the link between faith and identity to the relationship between religion and other social and political contexts. A work might thus present a range of perspectives.

Alia Swastika

there are four important issues reflected in the artwork presented here in this biennale.

Identity, Nation-State, and Patterns of Power-Relations These three terms - identity, nation-state, and patterns of power-relation - represent the anthropological and ethnographic approaches to religiosity and spirituality. The idea about The issue of violence that has lately often been identity is seen as something that deviates discussed with regard to religion and faith from the essential theme. The recording of did not catch the artists’ fancy right away. shifts and changes in relation to identity They did not immediately use it as a point and faith provide the artists with intriguing of departure as they responded to the theme visual challenges, thus making the effort a of the exhibition that I put forward. Instead worthwhile adventure. In Indonesia, where of immediately agreeing how religion has the state has a rather strong grip on matters of segregated us, the artists took the issue further. religion, the issue of a faith-related change of Violence was seen as the ultimate effect of identity cannot be separated from the series of chaotic interpretations about God and truth. social consequences that such a change might Some of the artists took the offer and explored create. An individual’s religious identity is the theme, but we can see that there are other always affected by a range of factors apart from layers of events they are examining. Many the questions of truth and faith themselves. artists went on to explore fundamental issues about our existential relations, while others Akiq AW investigates the issue of identity observed how people responded to diversity change and how social and political controls and faith on a day-to-day basis. As I observed exert certain burdens on the individual. He how the artists worked and chose their met with people who have dealt with the conceptual basis, I came to the conclusion that issue of a change of belief, and thus drastically

changed their identity within the social structure of the society. The issue of religion as a mark of identity is also reflected in the work of the artist-couple Arya Pandjalu and Sara Nuytemans, who show us that what is personal is often hidden by attributes that are mere symbols. Icons in religion, such as the house of worship and a certain way of dressing, serve as markers that separate and at the same time bring people together. Interestingly, religious icons, despite their tendency to become universal, never move far from the context of the “here and now”there are always local nuances and markers of a specific era. Jompet Kuswidananto sees how the practices of a certain group as they go about affirming their faith, always give rise to syncretic cultural products. It is by borrowing and adopting things, that formal religions are able to find a footing in the local context, welcomed and accepted by the locals. Meanwhile, in a formal religion - just as any other social organizations with distinct structures - we can clearly see that there is a pattern of power relations. J. Ariadhitya Pramuhendra considers that it is such a pattern that makes religion achieve a complex

204

205

The Facade of Faith

form shaped by the interrelations among humans, going beyond the common notion of understanding to see the relationship between mankind and God as the most important point in religion. Religious systems also have to do with politics, as well as the illusion about who has the right to determine what is right and what is wrong, and which interpretation is right, which one is wrong. Narrative, Mythology, Mythicism Mythology and mythicism are the two main things that are passed on along with religion. The constructed narratives often represent religion as full of miracles and beyond logic. Religion is often linked with phenomena of the superpower, exposing the helplessness of humans. The effort to re-write mythological narratives serves as a way out of the helplessness, showing humans’ ability to keep on moving and to fight against such feelings of vulnerability. Theresia Agustina Sitompul re-interprets stories of the Old and New Testaments, which have given her strong visual impressions. Instead of making simple interpretations, Theresia presents the stories in a contemporary context. Present in her work is the desire to say that

Alia Swastika

although religious principles remain the same, they are open to new interpretations as they move into different eras. Christine Ay Tjoe uses the narrative of “Lama Sabakhtani” to talk about our intimate relation to God which includes the feeling of pain and sacrifice, when we force ourselves to think only about his existence. Another myth that people believe as truth is the idea of heaven. Iswanto Hartono tries to manifest our vision of paradise, which is invariably depicted as a beautiful garden. “It is the kind of beauty that none of us would be able to describe,” said one of the clerics that I saw performing on television. Through a representation of a beautiful garden in the exhibition space, Iswanto destroys the myth of heaven as something that we can only achieve after a painful struggle on earth. The Self, the Body, and the Other Apart from exploring the issues of how religion establishes world-views related to the macro-cosm, the works also present the tendency to see spirituality as a process of “self-searching”: starting from explorations about the meaning of the self, moving on to

reflections about relations of the Other, and the tension that exist in traversing the distance between the two. The varied artists’ approaches represent how the issue of spirituality is not merely viewed as something that is “non-scientific” or unexplainable, but also linked with the modes of formal knowledge recognized in such branches of science as psychology or philosophy, ensuring that there are certain patterns of thought that serve as a basis in this self-searching journey. The work by R.E. Hartanto examines the relation between the self and the psychological feelings enfolding the internal conditions of humans. Nurdian Ichsan uses moist soil as his medium of choice to search for the essence of human existence; the belief that the natural is a part of the universe of creation in our lives. Ichsan’s work poses the question about what is eternal in life. This is also reflected in the work by Krisna Murti who talks of mankind’s relation with nature in its simplest form. Here the artist creates a sort of room for therapy where sounds of nature, such as the sea and water, enable humans to form relations with things external to them.

The Facade of Faith

Two artists, Erika Ernawan and Octora, present the idea about the body and taboos. In classic interpretations on religious texts there is the tendency to view the female body as a source of sin, and the body is thus made to remain hidden and obscure. Women interact with their bodies based on perceived moral standards and the standards of what is right and wrong. Nakedness and exposure of parts of the body that are considered taboo are a way for these two artists to encounter ideas about the self. In communal society such as that existing in Indonesia, ideas about the self do not become a part of the basic philosophy of life. “The self ” is invariably related to the wider context of “the society”. Works in this category show how the greater the tension in the relationship between an individual and the society, the greater also the individual’s effort to claim their existence. Such a search does not immediately lead them to essentialist ideas about the concept of the self, but they are indeed searching for something that has so far been hidden under the façade of daily realities. Icon(ization), Popular Culture, and the Practices of Daily Life Popular culture and the practices of daily

Alia Swastika

life have become a part of the mainstream discourse in contemporary art within the last decade. The barrage and inundation of products of visual culture in the life of contemporary society has given rise to a culture of defining practices of life in terms of visual icons and symbols. The artists taking part in this exhibition show us how issues of diversity and spirituality are about how beliefs and faiths are represented and how the interpretation of symbols or icons operates in a plural society. Wimo Ambala Bayang presents a series of photography works about icons and the nearly-fatalistic beliefs about their meanings. Apart from his critical stance toward such fanaticism, Bayang also expands on his take about the meanings of originality and copycats, the singular and the replicated, and how such tensions are handled in our day-to-day lives. Setu Legi goes even further and talks of such visual icons in terms of the concept of “idols”. Coming from the background of socialist movements, Setu Legi links the issue of idolatry with not only God or religion, but also with the concept of production.

Arahmaiani also uses a similar approach as the one taken by Bayang, but one can here detect a stronger impetus to deconstruct. In non-Arabic countries with a strong Islamic tradition, the Arabic alphabet is invariably linked with religion or demoted as mere calligraphy. Arahmaiani wants to see the Arabic alphabet moved out of such a religious framework and treats them as a normal part of life, just like any other alphabet. Apart from serving as a subject viewed with a critical eye as in the case of the three artists discussed above, popular culture might also be seen as a linguistic code used to talk about issues that are considered politically sensitive. Using comics and elements of fantasy, Wedhar Riyadi presents issues of violence in a form of criticism that brings such issues into a clash with a secular and glamorous life. The use of comics succeeds in shaping extreme metaphors regarding the rejection of violence committed on behalf of a certain interpretation of truth. Practices of day-to-day life also catch Paul Kadarisman’s attention. He observes his social surrounding and discovers how Islamic identity is represented through such names as “Mohammad”. Kadarisman presents images

206

The Facade of Faith

of three of his friends, all of whom go by the name of Mohammad, providing us with glimpses of the individual lives of Moslems in Indonesia. **** Jogja Biennale And A New Statement Of Being International In the context of Indonesia, Yogyakarta has a unique position especially in terms of the constellation of intellectual ideas, political activism, and cultural movements. Although often considered the cultural center for the Javanese (the largest ethnic group with a significant influence on Indonesian culture) Yogyakarta has a long history of cultural encounters between locals and others, beginning with its creation after the prehistoric era, continuing as it entered the era of Buddhism, affirmed by its existence as a Hindu court, and then as it dealt with the almost simultaneous arrivals of Islam and Western colonialism. The people of Yogyakarta have thus become used to the idea of pluralism. Elizabeth Inandiak, a French writer who has stayed in Yogyakarta for more than twenty-five years, notes, “For centuries, they absorbed the most dramatic

207

Alia Swastika

of cultural tensions - Indianization, Dutch them with a chance to find novel perspeccolonialism...”and thereby describes this multi- tives and discover something extraordinary cultural situation. in the midst of all the things that have been considered a given. With the variety of visual approaches and experiments made possible by the latest With such a strong history of syncretism, the mediums of contemporary art, the works people of Yogyakarta formed an open society, in this exhibition do not only discuss issues relatively free of conflicts when it comes to of faith, diversity, and variation, but also issues of beliefs. Cultural movements and use them as a basis for aesthetic concepts. political activism also began here. Nearing Throughout the entirety of the project, we 1998, scores of thousands of people, with observe intersections of creative modes; students as the motor, moved to help topple starting from works that use as their point of the Soeharto regime and became one of the departure the idea of craftsmanship, contemmost influential mass movements at the time. porary photography, multimedia installations, The combination between acute political video installations, site-specific performances, awareness and the proximity to different and works based on community projects. cultural products that have stood the test of All of these works reveal the artists’ beliefs time has given Yogyakarta a special position about art as a way to remain critical about the in the Indonesian social and political context. different truths that are generally accepted or Alongside Javanese art traditions, products of taken for granted, and even often considered the global popular culture also serve as one to be absolute truths. of the main references in establishing a new and genuine kind of syncretism with a strong The development of Indonesian contempocharacter. Encounters between the local and rary art can be discerned through events such the global, tradition and the modern, high art as this biennale, where the artists are given and low art, craftsmanship and experimentalspace to experiment with unusual projects, ism have become an inseparable part - a given, challenging their limits and thus providing almost - of the creative life of the city. It is here

The Facade of Faith

that hybrid cultural products - such as jazz gamelan and Javanese hip-hop - were born.

and stance with regard to the latest social phenomena and the shifts in general aesthetic ideas. Such repositioning gave rise to the idea The tradition of the Jogja Biennale started in to make a response to the rapid flow of art glo1988 and has a long history in the Indonesian balization, to assert its presence on the great visual art scene. Over time, the Jogja Biennale stage of the international art world. The desire went on to become one of the most important to become international, however, must be art events in the country, revealing artistic articulated based on its own needs instead of achievements as well as presenting the latest merely using an external reference about such art discourse trends among artists and art prac- internationalization. Most of the art events we titioners alike. A variety of narrative formats consider as being international in nature have and proposals have been tried and celebrated, the ambition to represent “the world”. There is through a variety of dynamic interactions invariably the demand to provide the audience with local residents. The Jogja Biennale has with representations of various countries, grown in an organic way, bloomed without an to maintain politically-correct stances, and established structure, without the full support to introduce groups that have thus far been from the government - which immediately considered marginal. As interpretations for the differentiates it from most of the biennales concept of “internationalization” expanded, taking place in developed countries - but still most art events started to resemble the UN’s succeeding in encouraging the involvement of general assembly. art practitioners to support its existence. The massive, new internationalization model New (Style of ) Internationalization has, on the one hand, been supported by the After a period of two decades, the Biennale interconnections between different places on Jogja is now facing new challenges that force earth through communication technology it to reflect upon its role and its position to networks and the greater accessibility of contribute not only to the development of art transportation infrastructure. Then there are infrastructure, but also to affirm artists’ visions also changes in the artists’ strategy and artistic

Alia Swastika

approaches that enable them to reproduce and carry works for traveling exhibitions at a lower cost, for example in the case of digitalization of photographs and videos. Although it has become a lot easier to become “international”, it is still a luxury in many places and can only come about in countries with an established infrastructure and strong support from the state. In Yogyakarta, therefore, the issue presented us with a challenge to set a strategy, to avoid creative and ideological bankruptcy, in order to position ourselves on the international art map. Armed with the city’s unique creative tradition, long history, and social-political context that has intrigued many researchers and cultural thinkers due to its strong postcolonial character, the biennale now proposes to create a new meaning to the international(ism) concept. Politically, this is also a strategic approach. The choice to work with countries around the equator reveals the skills of art practitioners in the Yogyakarta Biennale Foundation (Yayasan Biennale Yogyakarta) in reading the trends occurring on the international stage, at the

208

209

The Facade of Faith

time when there are strong streams that move the global aesthetic discourses in the same direction. When internationalism is seen as the representation of a variety of countries, artists and works of art from different continents gather within one space and time, and the idea about intensive exchanges between two different countries cannot be thoroughly explored. The problem of the limited infrastructure that the Indonesian art practitioners must face gives rise to the wish to position ourselves within the global art arena using a different approach, one that also enables encounters with “the Other”. The idea to sharpen the practice of the biennale into one specific theme - different from the tendency of the international biennales these days with increasingly open ideas and expanding themes - is also a reaction toward the pattern of uniformity in global art trends. Having observed biennales in a variety of countries, I see how such art events, especially ones with significant financial support from the government and assisted by other economic infrastructure, create opportunities for the curator to conduct curatorial experiments with an almost full autonomy.

Alia Swastika

The process and conceptual framework for Biennale Jogja XI this year might be worlds away from such experiments. As I was considering the theme for this year’s Jogja Biennale, I mulled over the relevance of such biennales for the greater community, apart from serving as a new cultural strategy for the cities that are seen as art centers. Can the biennale remain relevant if it is not managed as a massive event or given the façade of a celebration? Such questions bombarded me and drove me to the conclusion that, apart from serving as a cultural strategy, such events must also become a part of a political strategy, in order to reveal a specific approach to the global trends. One can also say that this enables the creation of a relevant, local context for the art systems that tend to become global. This means we can certainly manage the biennale or triennial with a set of universal standards that have been adopted to suit the specific Indonesian context, while still keeping in mind the objective of presenting aesthetic achievements and artistic ideas that are meaningful for the “here and now”. I also see that after 1998, especially in the few years immediately after this time, when artists

no longer presented social issues as a way to assert their existence, more “personal” and “universal” issues emerged, serving as a way for the artists to find a respite from the chaos of day-to-day living. My choice to confront the artists with a specific issue is an effort to unearth again their political voices, forcing them to deal with the social and political realities that are still taking place in an intense manner, under the dream of a democratic life. In a country where the art history shows a link between the praxis of art and the involvement of society, to become an artist with a selfish focus on one’s own aesthetic vision is not a politically-wise option. The impasse in the social and political systems, whether in terms of expressions in public spaces such as in the mass media or the inequality of the educational system, poses challenges for the artists to create works that contribute, directly or otherwise, to the effort to tackle such impasse, if not to provide interesting opinions regarding such situations. While before 1998 artists had to become a channel for stifled voices, today they need to face the challenge of providing a distinct framework around the issues that have been bombarding people

The Facade of Faith

through a range of information channels. Artists have a role in assisting contemporary society to seek an essence in the midst of such chaos and information amplification. Art works have the opportunity to underline certain statements, to unearth the hidden, and, if one wants to be rather romantic, to give certain “feelings” to the rationalistic ways of seeing.

Epilogue As the curator, I must say that this is a personal statement regarding the new role of the Biennale Jogja. I believe that this idea of new internationalism has forced us to move forward in our efforts to write our own (art) history. While being engaged with the newest conceptual tendencies in international exhibitions, in this Biennale, artists are challenged to face real issues from their surroundings, and to be grounded to their home. I believe that the perspectives and world views they are offering now are something we need, not to seek the truth and final answer, but, as I stated in the beginning, to question faith that is taken for granted in our everyday lives.

Alia Swastika

References . Luthfi Assyaukanie, Agar Biola Kita Tidak Sumbang, Seputar Indonesia daily, September 22, 2010. . Geertz, Clifford, After the Fact: Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog, LKis, Yogyakarta, 1998. . Geertz, Clifford. Religion of Java, University Press of Chicago, Chicago, 1976 . Habermas, Jurgen: Between Naturalism and Religion, Philisophical Essays, translated by Ciaran Cronin, Polity, Cambridge 2008 . Hadi Sutomo, Suripan. Sinkretisme Jawa Islam, Yogyakarta, Bentang Budaya . Inandiak, Elizabeth. From Bohu to Tofu, catalogue exhibition for Transfiguration: Indonesien Mythologies, Louis Vuitton Culturel Espace 2011

211

Shadow Lines: India meets Indonesia

S hadow Line s : In d ia m eets In done s ia Suman Gopinath

Jog ja XI: Biennale Equator brings into focus two countries that lie alongside the equator - India and Indonesia - and is called Shadow Lines. Taken from Amitav Ghosh’s book of the same name, Shadow Lines suggests many notions: it could refer to the imaginary line that runs around the earth, clearly visible from one perspective, non-existent from another; maybe to the creation of modern states in South Asia and the troubled geo-political borders or to the lines that draw people together and the lines that keep them apart. Figuratively speaking, Shadow Lines also refers to the overarching theme of the biennale‘religiosity, spirituality and belief ’, and the thin lines that separate them. These ideas serve as a framework for the biennale, as also a lens to reflect upon contemporary concerns in both countries today.

Suman Gopinath

today, the Hindu-Buddhist past that existed for 1400 years before the advent of Islam (in the 15th century) has survived in many ways “half erased, slightly mysterious, but still awesome, like Borobudur itself ”.1

At the turn of the 20th century, the poet Rabindranath Tagore, regarded as one of the pioneer bridge-builders between the two countries, was one of the first Indians to make a serious attempt at establishing a two-way traffic in scholarship and the arts between India and Indonesia. In 1955, Jawaharlal Nehru and Sukarno, the leaders of the newly independent countries signed the ‘Bandung Treaty’ which is regarded as a watershed event in anti-colonial politics and modern international relations. This Asia-Africa conference had an idealistic vision for the countries in the region, which included peaceful coexistence, mutual respect and cooperation. Yet with de-colonization and globalization, the aims of this treaty have become less and less While India meets Indonesia in a contempomeaningful: the idealistic vision of multirary sense in this biennale, the links between the two countries go back several millennia, to plicity and peaceful co-existence has been severely threatened by fundamentalist forces the sea lanes and land routes that connected the two countries through trade and religion. that have a narrow reductionist view of the world - ‘Hindutva’2 as in the context of India, Although Indonesia is a Muslim country

or ‘Islamism’ as in the context of Indonesia. India’s robust democracy and secular constitution however has been able to weather these upsurges more successfully than Indonesia where ‘‘democracy’ has intermittently made cameo appearances’’,3 (Indonesia had its first democratically elected government in 1999). The Oxford English Dictionary describes ‘religiosity’ as excessive religion; that has often resulted in war, violence and rage: the rage of the religious zealot who sees the world in a state of decay and wants to constantly re-create it in accordance with the religious text. The fundamentalist scheme re-establishes the divine precedent, ‘so history has to serve theology and law is separated from the idea of equity...’4 In relation to India, one can cite several examples of ‘religiosity’ and its aftermath, the carnage following partition5 in 1947 being one of the worst in the history of the nation. The same frenzy seized the country when, on Dec. 6 1992, several thousand Hindu militants tore down the Babri Masjid in Ayodhya, Uttar Pradesh, said to be the birthplace of the epic-hero and god-like

212

213

Shadow Lines: India meets Indonesia

figure of the Ramayana, Lord Rama. The Hindutva movement alleged that the Masjid was built on the place where Rama was born, 9000,000 years ago (before recorded history began). The resulting religious vandalism and sectarian destruction that followed the fall of the mosque was inconceivable. A mosque was brought down with the intention of erecting a temple dedicated to Rama in its place. The thin line that separates myth from history was completely blurred and The Ramayana was no longer allowed to be read as ‘a marvellous parable’ (as Rabindranath Tagore saw it) but as a historical document which could not be questioned.6 A decade later, the communal riots in Gujarat following the burning of Hindu pilgrims at Godhra7 provoked a similar, anguished response. The notion of ‘religiosity’ acts as a foreground to several issues such as lumpen fanaticism, artistic vulnerability, the mob-as-critic, censorship and the limits and borders of the ‘permissible’. A recent example of all these factors operating was the attack on the celebrated Indian artist M F Husain and his art by fundamentalist forces, for imaginary provocations. Husain, victimised by virulent

Suman Gopinath

intolerance and abuse, hate-speech and assault was forced into a self-imposed exile at the age of 90 and no law, ordinance, parliament, court, civil society or artists’ guild could create a sufficient safe passage to enable him a dignified return to his homeland, India and he died in exile.8 The artworks in this biennale engage with the theme of ‘religiosity, spirituality and belief ’ and explore in different ways the close and tenuous links between religion and politics, religion and nationalism and the blurring of the lines between them. The subject matter of the works cover a range: religious iconography and national identity; the fetishization of objects; the belief in oneself; the search for a spiritual, cosmic identity that transcends the physical; the syncretic and non-monolithic aspects of religions; and ways of reclaiming the ‘spiritual’ in everyday life. Born in Kerala in 1971, artist Riyas Komu metaphorically came of age in 1992, the year of the Babri Masjid destruction. He uses the lamp, the wooden church and the carpet as symbols to represent Hinduism, Christianity and Islam in his work The Magic Landscape;

Komu suggests that when the lamp that is the source of light and enlightenment is left untended, it can also be the source of death and destruction. He says, “An interpretation gone awry could upset the rhythm of choreography”. All his elaborate sculpture-installations of wood are meticulously crafted by traditional craftspeople, whose skills and livelihoods he sustains through his artistic practice. A trilogy of films by the artist Amar Kanwar directly references the close links between belief, religiosity, violence and nationalism. The first film, A Season Outside, begins at the Wagah border – the line, the boundary, that separates India from Pakistan, and the film later develops into a meditation on violence. All violence is the same, it results in death and destruction, the only difference is the time and place. But how does one deal with it, by ‘arming your truth’ - with resistance or through non-violent means? The answer to this question is confronted and challenged in the second of his films in the trilogy Night of Prophecy, which discloses the underbelly of a democracy through a collection of popular poetry and folk songs of marginalized communities and ethnic groups that populate

Shadow Lines: India meets Indonesia

the landscape of India. These songs, political in nature, stress the irrelevance of religion in a country where the lines between the rich and the poor are ever increasing. Unlike the first film, ‘arise and resist injustice’ is the message of this film. To Remember is a silent film, shot in the place where Mahatma Gandhi was killed. It is ironical that Gujarat, a state that has one of the most successful right-wing parties in power today, claims the secular Gandhi as its son. Parts of the texts in the film are extracts from the testimonies of witnesses to the anti-Muslim killings in the Gujarat riots of 2002. The recurring motifs in Shilpa Gupta’s work are the border, the map and cartography. No Borders, her wall- drawing with adhesive tape, is direct in its message: the ‘flag’ that should herald freedom, now limits it. The words in the flag that evoke a borderless sky are nonetheless framed within its confining borders. The text in Gupta’s flag changes register, from one of personal intimate experience - ‘My lover and I’, to words that evoke images of war and conflict – ‘territory, a wall, a trench’. Gupta views ‘borders’ as geo-political boundaries that exist between

Suman Gopinath

nations, as also barriers between people and communities, personal memories and historical accounts. In The Chronic Chronicle, Best Cutting Sheela Gowda and Christoph Storz construct newspaper content that ranges from stories of exclusion and expulsion, of godmen and miracles, censorship, the Godhra riots, the Best Bakery case, to advertisements for real estate and tips for living a healthy life. In a sense, these ‘curated’ items highlight and complement each other: for instance, one newspaper carries news about the re-writing of text books by religious zealots - this is juxtaposed with stories of godmen and miracles and carries a headline which says A Hindu deity can own land and property, rules SC ( Supreme Court).The paper in its entirety forms the kind of paper-cutting or template that tailors use for fashioning garments. Pushpamala N’s series of photo-performances called Motherland explores the notions of nationalism, nationhood, religious imagery and the iconography of the ‘motherland’. During the freedom struggle, the spirit of India was represented with the dual images of

the god Shiva – the ‘ideal of Manhood’ and the goddess Shakti – the ‘symbol of eternal Motherhood’. Historically, visual and popular art have thrown up varied images of goddess Durga, which have been ‘re-worked’ by other artists. In the 70s, during the Emergency years in India, M F Husain portrayed the then prime minister Indira Gandhi as the goddess Durga riding a lion. In current iconography, the image of Durga as the Motherland has been used by the Hindu right-wing party in all its public meetings. Pushpamala casts herself as Durga in this series of elaborately constructed photographs. Another set of photographs of ‘performative identities’ is the series called Ganga’s Daughters, by the artist Sheba Chhachhi. These are photographs of women ascetics who have re-invented themselves and taken on an alternate identity, an androgenous identity that no longer connects with the social world around them, but with the metaphysical one. These women take to the ascetic life after elaborate initiation rights at the ‘Kumbh Mela’ (a religious/spiritual event that takes place every 12 years at a ‘sacred space’ where three holy rivers meet) where they symbolically

214

215

Shadow Lines: India meets Indonesia

die and then re-emerge as women sadhus. In these portraits, Chhachhi has collaborated with the ascetics in the construction of their representation. Accompanying the portraits is a short animation film of found footage which discloses the political aspirations of a spiritual leader in the ascetic community. The film articulates the thin line between spiritual and political power.

Suman Gopinath

to that of the ‘rejected gods’. Traditionally, Indian kitchens were equipped with grinding stones that were sunk into the floor at the time of construction. With modernization, new apartment blocks came up in the place of the old homes and the grinding stones became redundant. The stones, also worshipped during religious rituals, were too charged with meaning to be thrown away, and so were laid to rest elsewhere. It is through the act of the artist’s intervention, that the stones are made visible again.

the future. She does this by superimposing three sets of drawings one above the other, a ‘rangoli’ drawing that refers to ‘tradition’ (the unchanging aspect), a map of the geographical location that she lives in (also unchanging) and a random line that represents the future. She sees the future as a space for possibilities, things once considered unchangeable can be transformed. By using the votive eyes, traditionally used only for religious objects Archana Hande’s archival project looks at (which she sees as symbols of oppression), she ‘belief ’ and the objects that are charged with creates works of art, thereby restoring ‘beauty’ meaning outside oneself; at the iconization of to where it rightfully belongs, to the secular belief, of investing images, idols and objects Belief and the ‘fetishistic’ object are explored aesthetic world. This work also references with ritualistic and divine connotations. Over in Sakshi Gupta’s installation Reality Bites. ‘rangoli’ drawing which is a traditional a period of ten years, Hande has photographed Gupta constructs an elaborate curtain made of decorative folk art. These floor drawings are what she calls ‘Rejected Gods’ – photos or red chillies. Chillies in India are said to keep made each morning with rice flour to welcome idols of the divine that have been found on the evil eye at bay and Gupta’s charmed chilli the new day and are half-erased or completely the roadside, no longer worshipped, but not curtain works as protection and guarding wiped away by the night. But every day brings thrown away either because of their ‘sacred’ object. a new drawing, a new beginning. value. They are therefore laid to rest at streetcorners, waiting to be worshipped by migrant Anita Dube in her work suggests that belief The ‘rangoli’ drawing also refers to a living labourers who might create temporary shrines in oneself is the road to transformation and tradition, practices which are very much still and spaces of worship. This series also refers change. In her monumental wall-drawing Neti alive in countries like India and Indonesia. to images of the divine in popular and bazaar Neti she uses the readymade ceramic ‘votive Old traditions and artisanal practices co-exist culture. eyes’, (eyes that are used on the idols of the with modern day living and information divine) to construct three realities that morph technology. This idea of ’living traditions’ is Sheela Gowda’s Ground Shift is similar in idea into each other - the past, the present and explored in the works of Prabhavathi Meppayil

Shadow Lines: India meets Indonesia

and Valsan Koorma Kolleri. Meppayil extends the ritualistic process of traditional jewellerymaking to contemporary use. Coming from a family of traditional goldsmiths, Meppayil uses the tools and the processes of jewellery-making to compose contemporary works of art. Her labour intensive and performative works contain the sounds of the jeweller’s tools- the hammer and the chisel – which are used to make patterns on gold bangles. The materiality of the artwork – copper wires embedded on gesso panels, create a patina of shimmering half-erased lines that slowly change with time and age. The crafting of the object and the repetitive act of making the work is almost like a ‘meditative’ aspect of the artist’s practice. Another artist whose work is closely connected with materials, folk crafts, rituals, performative traditions and ‘happenings’, is Valsan Koorma Kolleri. His inspiration for art-making is derived from nature, which he believes is the source of all spiritual knowledge. His work is deeply influenced by traditions like ‘Theyyam’ or “God” (events of spirituality where people perform feats of endurance) in Kerala where he lives.

Suman Gopinath

‘Theyyam’ is a socio-religious ceremony and is a combination of rituals, vocal and instrumental music, dance, painting, sculpture and literature. Kolleri’s sculptural installations are constructed from organic objects, metals and found objects that will age and evolve with the march of time and in their ageing reveal their inner life.

mortality and the acceptance of death through the transformative powers of the imagination are the subject-matter of his other body of work called The Names of the Statues. Piero Pierced/Breakfast Project consists of 30 frames of images and words hung alongside each other. The images are small reproductions of della Francesca’s paintings where the heart of the Madonna appears to be shot Mythological stories from Hindu texts like the through with a bullet; the words are short Bhagavad-Gita, or epics like the Ramayana terse headlines from newspaper clippings or Mahabharata are insidious to the fabric of that announce everyday disasters. These daily life in India. The stories are sometimes are announcements of public disaster and an encyclopaedia of ethical behaviour and death, but how does one confront one’s codes of conduct; sometimes a thesaurus own mortality? The installation The Names of allegories for all situations. Love, war, of the Statues consists of gallows, a large displacement or migration, anything can be watercolour drawing with a short poem by traced back to these epics. K.P. Reji references the 12th century mystic poet Allama Prabhu the myths for the present project and makes and a mirror. The gallows have always been some of the images part of the plot of his connected with violent death, but in this painting. work, Dodiya seems to suggest that with the help of spiritual texts and a bit of imagination, Atul Dodiya’s pictorial narratives are taken the gallows can be turned into an object of from a kaleidoscope of references including beauty. Death then is no longer a threat to be literary and spiritual texts. There are two feared. Dodiya refers to the transformative bodies of Dodiya’s work in this biennale: powers of the imagination and the power of while death, violence, mortality are the subject art, literature and music to help people accept matter of Piero Pierced /Breakfast Project; death with a sense of equanimity.

216

217

Shadow Lines: India meets Indonesia

But is equanimity and a sense of balance possible in the age we live in today? This is the question artist Sreshta Rit Premnath poses in his work Infinite Threat, Infinite Regress. Invoking the famous cultural icon Bruce Lee from the film ‘Enter the Dragon’ where the enemy hides in a hall of mirrors, Sreshta in this video loop ‘expunges the villan, so Lee becomes an interpellated subject constantly in a state of tension, unsure where to look, to end the nightmare of fear and unable to do so’. The challenge posed is then one of action. The Bruce Lee of Enter the Dragon breaks out of the trap by smashing the mirrors, separating the true enemy from this shimmering reflection and eliminating him. But the consolations of a different easier time are no longer available in a time of universal fear (the war on terror). The actor’s actions are controlled by a colour coded bar that indicates the levels of danger. Thus Lee finds himself in a constant state of neuroses and fear unable to act as he has nothing to believe in. Can he ever break out of this hall of mirrors? N.S. Harsha’s work explores man’s ambiguous relationship with the cosmos and the mystery of creation. The artist’s work originates from

Suman Gopinath

a mark, a splash of paint on the floor of the gallery, from which emerge the stars, the constellations, the galaxies, the universe. And out of the universe are born the gods, the earth and men. This is a work that ponders the mystery of origins – of creation, the universe, gods, religion and beliefs. This short hymn from the Rig Veda dwells on these imponderables: Who really knows, and who can swear, How creation came, when or where! Even gods came after creation’s day, Who really knows, who can truly say When and how did creation start? Did He do it? Or did He not? Only He, up there, knows, maybe; Or perhaps, not even He. Rig Veda 10:129

This biennale brings together a varied set of artworks and perspectives. My interpretive commentary on the works by the Indian artists is not definitive, but provide points of entry, or departure for the viewer to reflect on the larger theme of the biennale – religiosity, spirituality and belief. I have attempted to

define and illustrate the term ‘religiosity’ with a few examples, but have stayed away from doing the same with the idea of ‘spirituality’ and ‘belief ’ simply because these words cover such a wide range of activities. I see ‘spirituality’ as being situated in the realm of artistic practice, cultural life, the everyday and ‘belief ’ in the context of fundamentalism, communalism, religion, ideology, objects, the cosmos, literature and the arts, the powers of the imagination and oneself. This biennale of the works of 40 artists, 15 from India and 25 from Indonesia are diverse and varied and together reflect the contemporary concerns of artists living and working in an increasingly radicalized world.

Footnotes 1 V.S.Naipaul, Among the Believers 2 ‘Although Hinduism is an ancient religion, Hindutva is quite a recent political movement which sees Hinduism as a quintessential guide to ‘Indianess’ 3 Amartya Sen, The Argumentative Indian, Writings on Indian History, Culture & Identity 4 V.S.Naipaul, Among the Believers 5 ‘Partition’ refers to the division of the Indian sub-continent along sectarian lines in 1947, when India and Pakistan gained nationhood from the British 6 Amartya Sen, The Argumentative India, Writings on Indian History, Culture & Identity 7 The 2002 Gujarat violence refers to the Godhra train burning and resulting communal riots between Hindus and Muslims in many parts of Gujarat. 8 Sadanand Menon in The Hindu, Friday June 10, 2011

218

219

Akiq AW

88 ARTI ST STATE M E NTS & B IOG RAPH IE S

As the oldest institution created by man, religion is still considered important in the social agenda of Indonesia. Religion - according to believers - is different compared with other ideologies or principles. It is neither a thought nor a way of thinking. Religion is a certainty without the need of examination. It is not about the search of truth, but about fortifying/reinforcing that which is already considered to be true. The social pressure is very strong when dealing with religious issues, from matters of religious identity to the symbolic attributes. This is ironic because a person’s choice of religion is a personal matter, not a matter within the public domain. Incidents of people changing their religion are considered within the structure of social relationships that change before and after converting to other religions. In this project ‘A person who we once called The Other’, the artist makes use of the tension between photographic stillness and video motion to show how changes happen at a personal level; how a person’s journey of life must go on; and, what meaning changing

Albert Yonathan identities and changing attributes has in a person’s life. Akiq AW was born in Kediri, East Java in 1974. He lives and works in Yogyakarta. He has been involved in many projects, exhibitions and workshops, especially by Ruang MES 56, an artists’ initiative in Yogyakarta. He is one of the board members of Ruang MES 56. Last year (2010) he carried out his solo exhibition entitled ‘The Order of Things’. System, technology and innovations created by humans in order to face the challenge of everyday life are common themes in Akiq’s artwork.

90

Albert Yonathan personally considers the process of building and casting three-dimensional forms from amorphous, natural clay as an act that represents impalpable transformations. Mud is processed into clay, moulded or casted with bare hands into shape and fired to become a sculptural object, which encode meanings through human craftsmanship and perception. The transformations always involve the totality of nature’s power, which is often unexpected and surprising. From this understanding, Yonathan has developed visual idioms, which relate to the concept of liminality, a state of transition close to boundaries. He creates ceramic objects to represent imaginary characters or creatures that are a combination of two or more living beings, simultaneously humans, animals or plants. The works often take the form of arrangements of hundreds of ceramic cast modules in geometric outlines like triangles, circles, hexagons or squares. Choosing this method of ceramic casting will never result in the industrial repetition of mass productions. Through this choice, Yonathan proposes the concept of singularity in the universal life

220

221

Amar Kanwar cycle. The repetitive appearance in his work shows the power of collectivity in the cosmos, and stresses spiritual contemplation regarding values that can transcend the visible reality. Yonathan is interested in producing a shape of a temple with a clean façade. Presenting the ceramic objects in white and monochromatic color, guides the audience to the idea of purification. The temple is portrayed as a place where human beings purify with ritual and religious ceremony. (A partial excerpt from Agung Hujatnikajenong’s curatorial note, ‘Temple of Threshold’) Albert Yonathan was born in Bandung, in 1983. In 2007 he completed his study at ITB majoring in ceramic art, and in 2010 he began his masters studies at the same university. Usually working with ceramics, he participated at “Neo-Biennale Jogja IX Nation” (2007), Yogyakarta, “Apocalypse Now!” (2008), ARK Galerie, Jakarta, “Jakarta Art Now” (2009) , National Gallery, Jakarta, “Jakarta Contemporary Ceramic Biennale # 1” (2009), North Art

Space - Ancol, Jakarta, “Survey # 2” (2009), Edwin’s Gallery, Jakarta, “Tribute to S. Sudjojono - The Picture Experts and Comrades “(2010), PLATFORM 3, Bandung,” Critical Point “(2010), Edwin’s Gallery, Jakarta,” 1001 Doors “(2011), Gallery Marketing Ciputra, Jakarta.

92

A Season Outside 1997 Analogue and Digital color video with sound, 30 min There is perhaps no border outpost in the world quite like Wagah, the border between india and Pakistan — an outpost where every evening people are drawn to a thin white line and probably anyone in the eye of a conflict could find him or herself here. To Remember 2003 Digital color video, silent, 8 min An assassination, a gallery, the smell of death, and a silent curse. A Night of Prophecy 2002 Digital color video with sound, 77 min Is it possible to understand the passage of time through poetry? And if that were so, even for one special moment, would it then be possible to see the future? Born in 1964 in New Delhi where he lives and works, Kanwar’s films and multi-media works explore the politics of power, violence, sexuality, and justice. His multi-layered installations

Andy Dewantoro originate in narratives often drawn from zones of conflict and are characterized by a distinctly poetic approach to the social and political. In retracing history through images, ritual objects, literature, poetry and song, Kanwar creates lyrical, meditative film essays that do not aim to represent trauma or political situations as much as to find ways through them. Kanwar’s work looks deeply into the causes and effects and how they are translated into everyday life and cultural forms. Recent solo exhibitions have been at the Marian Goodman Gallery, New York, Haus der Kunst, Munich and the Stedelijk Museum, Amsterdam. He has participated in Documenta 11 and Documenta 12 in Kassel, Germany and is also the recipient of the 1st Edvard Munch Award for Contemporary Art , Norway and an Honorary Doctorate in Fine Arts, Maine College of Art, USA. His films are also shown at film festivals where he has received awards like the Golden Gate Award, San Francisco International Film Festival, the Golden Conch, Mumbai International Film Festival and the Jury’s Award, Film South Asia, Nepal.

94

Andy Dewantoro was born in Lampung, 1973. He studied Interior Design in the Bandung Institute of Technology. Besides painting, Andy also uses photography and three-dimensional object as his artistic media. Andy Dewantoro’s artworks use landscape images that capture the atmosphere of ‘being left behind’. Besides attending many joint exhibitions in Indonesia and other countries. Andy’s series of landscape artwork are ventures into the emptiness of recent develop- His solo exhibitions includes; “Silent World” (2008) at the Ark Gallery, Jakarta and “empty ments in modern art, which tend to ignore - space - landscapes” (2010) at the Semarang the influence of religion in works of art. Although he doesn’t put human forms into his Gallery, Semarang. landscapes, Andy’s landscapes demonstrate an urban dilemma of human space in this modern era. Andy’s landscapes move beyond nature’s beauty that celebrates the glory of God. Andy Dewantoro has been interested in landscape painting as a form of artistic expression ever since he returned to Indonesia from Europe in 2006. This interest came from exploring museums and experiencing the great architectural works of Europe.

In his artwork entitled Abandoned, he illustrates a diorama of an abandoned building. This artwork presents a realistic image, which is made to a precise calculated scale. The landscape that appear in his imagination materializes as an observable object that projects emergent thoughts about an abandoned town.

222

223

Anita Dube

96

Arahmaiani

Kal, Lakeeren Art Gallery, Mumbai,2010. Selected group exhibitions in 2011& 2010 include - Paris-Delhi-Bombay, Centre Pompidou, Paris;Prague Biennale 5, India Pavillion, Anita Dube is an art historian and critic Prague;The Other and the Mother, Lakeeren turned artist. She works with a conceptual Art Gallery, Mumbai(2011); Indian Highway, language that valorizes the sculptural fragment Herning Museum, Denmark;Punctum 1, as a bearer of personal and social memory, Lakeeren Art Gallery, Mumbai; Spiral Jetty, history, mythology, and phenomenological Nature Morte, New Delhi (2010). experience. Employing a variety of material Three drawing fragments, are superimposed drawn from the realms of the industrial (foam, one on top of the other: first- a ‘kollam’ floor plastic, wire), craft (thread, beads, velvet), the pattern; second- a grid map of Alaknanda, body (dentures, bone), and the readymade the area in Delhi where I reside; and third- a (ceramic eyes); Dube investigates a very random doodle on a blank piece of paper. human concern with both personal and societal loss and regeneration. Marked by her early Conceptually, this tussle between different structuring principles: past (tradition), present engagement with the Indian Radical Painters and Sculptors Association, a self-styled politi(location), and the future (dynamic and cal grouping of artists in the late 80’s; she has random), creates the conditions for transforming that which is oppressive towards new since attempted to work with both an ‘erotics’ and a ‘politics’ that investigates the resistance possibilities. of individuals and women, against the overarching idea of ‘power’. Kissa-E-Noor Mohammed (Garam Hawa) This filmed performance portrays the nine Anita has participated in several solo and ‘rasas’ (‘essences’ or ‘sentiments’ in Indian group shows both in India and abroad. aesthetics, the characteristic qualities of Recent selected solo exhibitions include literature, drama and music) through a Babel, Galerie Dominique Fiat, Paris,2011; character called Noor Mohammed, who Neti Neti (not this, not this either) is a celebration of chaos, of the ‘multitude’, as a dreamtime drawing for future Revolutions! Constructed with the votive (enameled) eyes of Gods (what are called Ishwar ke Netra), it wants to take ‘divinity’ from the Gods and return it to the people: to where it rightfully belongs.

transforms from an amiable and affable man into an aggressive fundamentalist.

98

Arahmaiani is as interested in the role of symbols as she is in shifting meanings according to context. Material - or trinkets as some have called her use of cultural iconic symbols - figure largely in Arahmaiani’s presentation, ‘Stitching the Wound’ (first presented, Bangkok, 2006). Not designed as gender work, nor indeed as anything approaching an apology for Islam, the installation uses icons that are readily identified with the Muslim world. Read on another level, they also - by association - evoke the Significantly, she does not present a hierarchy veil, emblematic of women’s chastity for those within the faith, whether the headscarf or of what she perceives to be socio-cultural dangers, putting consumerism, gender issues, black chador, these forms of women’s dress have - for many outside - become symbols of conservatism within Islam, environmental problems, industrialization, rural dislocation constraint and repression. and Western imperialism on an equal footing. Simultaneously challenging the conventions Arahmaiani’s second installation, the huge cushion-form letters from the Arabic alphabet, attached to Javanese hierarchical structures and those imposed by Islamic codes of order. is used in the same way to underscore religion’s Both tending in their contemporary manifes- underlying humanism. Soft, colorful, inviting and generously scaled so that they appear to tations, to repress women. overflow from the space, beyond the classical She is also a feminist; her feminism however, world of Islamic scriptures these cushion rather then an end in itself, is another of the letters here evoke a wider intellectual frame many tools Arahmaiani deploys to take issue work of universal learning, knowledge and understanding that belies the dark imagery of with received ideas and behavior patterns. Arahmaiani has been operating as both observer and actor, involving herself physically as her art’s principal medium of commentary, for over two decades. A subversive thorn in the side of Indonesia’s now defunct Suharto regime, particularly in its last decade, the main thrust of the artist’s oeuvre remains to this day centered on the questioning of all that is ‘status quo’ at every level of social and political organization.

violence conjured by the Arabic alphabet as depicted in the Western press. (excerpt from Iola Lenzi’s writing in Stitching the Wound catalogue) Arahmaiani was born in Bandung, Indonesia, in 1961. She went to the Bandung Institute of Technology in 1983 and Paddington Art School, Sydney, Australia from 1985 to 1986 before studying in Akademie voor Beeldende Kunst en Vormgeving, Enschede, Netherlands, from 1991 to 1992. She is well known internationally for her performance works even though she also works with painting, drawing, installation, dancing and music. Some of the important events that Arahmaiani has participated in are; Asia-Pacific Triennial of Contemporary Art, Queensland Art Gallery, Brisbane, Australia in 1996; Bienal de La Habana, Havana, Cuba in 1997; the Biennale d’Art Contemporain de Lyon, France, and Werkleitz Biennale, Germany in 2000; Sao Paulo Bienal, Brazil, Kwangju Biennale, South Korea in 2002; and Venice Biennale in 2003. Arahmaiani currently works in Jakarta and Bandung.

224

225

Archana Hande

100

This series of photographs come from an on-going archival project that attempts to explore the notion of ‘fetishism’ (attributing supernatural powers to a material object mistaken for the divine). The pictures and idols of Gods documented here have been abandoned on pavements and dump yards as they have been rejectedrejected because they are iconographically incorrect, or because the idols are damaged. Flawed representations are considered to be inauspicious and cannot be worshipped; nor can they be discarded because of their sacred value. Hence, they are laid to rest on the road and they continue to remain there either to be resurrected by wandering passers-by, or eventually to be thrown with the rubble of torn-down buildings. Interestingly, nobody dares to touch them. The archive also documents walls and buildings that have strategically placed images of the divine either pasted, painted or plastered on them. These images sacralize the walls and prevent people from desecrating them. Besides exploring ideas of belief and super-

Ariadhitya Pramuhendra stition, this archival project also references popular culture and ‘bazaar art’. Archana Hande ( 1970 -) graduated in Printmaking at Visva-Bharati, Santiniketan in 1991 and completed her M.F.A at M.S. University, Baroda in 1993. Hande’s artwork and creative practice has always extended into diverse modes, venues, concerns and forms. Her creative practice also encompasses her role as artist- curator and as organisor. Her notable project www.arrangeurownmarriage.com (2002 - 2008) is a web and installation project that investigates the institution of arranged marriages and its deeply embedded connections with the religious, traditional structure. Selected other projects are: Archanadevi Chamber, All is Fair in Magic White, Relics of Grey, Tales of Patachitrakar. She has had solo shows of her works at Z2O/Sara Zanin gallery in Rome; Gallery Chemould in Mumbai; Nature Morte & JNU in Delhi, Lakeeren in Mumbai .Her works have also been included in important group shows such as (Incheon Women Artists’ Bien-

nale, Korea; Guangzhou Triennial, China; NIFCA, Helsinki show, etc). She received the Charles Wallace India Trust Arts Award, 2000, the Majlis Fellowship for Visual Arts, Mumbai for the years 2007-2008 and most recently a research grant from Pro Helvetia Switzerland, 2010. She has also participated in many national and international workshops. Archana lives and works in Bombay and Bangalore, India.

102

Since early in his artistic career, Pramuhendra has been interested in the ongoing negotiation between himself and society. Focusing on his own never-ending quest towards ‘being’ (himself ), his works are mainly portraits, either alone or with his family. He uses the church and the symbols of Catholicism in particular to represent human beliefs and limitations. He tries to address questions about our “existence” and the Self, which ultimately brings him back to the Creator and values and rules that guide human social relationships. He also traces his Catholic identity, while he understands his relationship to his family as another representation of the church. Pramuhendra revisits the relationship between individuals and religion and is critical of the position given to a person in interaction with social institutions. At the same time he emphasizes the importance of upholding the gray areas while he plays with the distance between the two. Through his charcoal drawings, Pramuhendra explores installations, new

Arya Pandjalu Sara Nuytemans

mediums and black and white elements. His installation often uses symbols of burned artifacts that extend to the form of ashes (which of course can be made into charcoal). He likes to recreate and to imitate specific space, such as family dining rooms or a living room with a television, which he creates along the lines of a church. Ariadhitya Pramuhendra was born on August 13, 1984 in Semarang, Indonesia. In 2007 he graduated from Bandung Institute of Technology with a major in graphic art. He was awarded Honorable Mention in the International Biennale Print and Drawing Exhibition to 12 in 2006 from the National Taiwan Museum of Fine Arts. Solo exhibitions: “On Last Supper” ( Jakarta, 2008), Spacing Identities “(Singapore, 2009),” Ashes to Ashes “(Hong Kong, 2010). Pramuhendra has exhibited at the Espace Culturel Louis Vuitton (2011) and the Biennale Jogja 2011.

104

Birdprayers (2007- present) is a response to the contentious issue of religious conflict. The artists believe that art in public space is one of the most effective means of deconstructing stereotypes, and creating an awareness of diversity and difference. An individual’s perspective is closely related to personal values and judgments, but also to the feeling of safety and comfort in one’s own environment. Birdprayers attempts to address the relativity of these feelings and people’s sometimes rigid adherence to them. It is an interdisciplinary, intercultural and ongoing art project that — to strengthen its power to achieve its goals — will be constructed around the world in sitespecific versions. Each edition of Birdprayers is accompanied by the performance “All in the Mind”, and includes a combination of installations, sculptures, drawings, paintings, prints, readings, discussions and other forms of communication. “We seek to change the way of looking at people and show that behind the stereotyped images lies a cultural vitality that fully participates in the universal human endeavor. As such, the project confronts the physical

226

227

Atul Dodiya and psychological walls built by conservative notions surrounding the external ritualization of mass religion and culture, rather then more personal spiritual responses to these faiths. Diversity is an essential element for dialogue. We want to contribute to the positive affirmation of identities and cultural diversity, by questioning the established order. Stereotypes often downplay both the complexity and variety of human experiences.” www.birdprayers.net Arya Pandjalu and Sara Nuytemans are an artist couple, who work individually and in collaboration with each other. Arya was born in Bandung in 1976 and studied at ISI Yogyakarta (Graphic Design). Since 1996 he has participated in many art exhibitions in Yogyakarta, Bandung and Jakarta. Sara Nuytemans was born in Belgium in 1970. She lives and works in both Hague and Yogyakarta. Her works are a combination of audiovisual strategy, installation and performance. Both Arya and Sara have done a residency at Cemeti Art House titled Landing Soon # 1 in 2006.

106

In a large, thirty-part work that was fused from two independently conceived projects, the artist sets up a binary of oppositions: language vs. pictures; the figurative vs. the narrative; conceptual art vs. traditional painting. “Piero Pierced” defiles small reproductions of della Francesca’s paintings with a drill, often seeming like a bullet shot through the heart of the Madonna. “Breakfast Project” is made from terse clippings culled from the daily newspaper which succinctly allude to disasters and traumas, both unresolved and on-going. ( “GAZA, Continued on Page 6” states one). Morality and conflict, social strife and compromise, experience and artifice, the past and the future: words and pictures framed and brought together to approximate the relentless march of history and the innocent complicity of all humans in this sage. Polar opposites are presented as such, their close juxtapositions almost violent, our abilities to digest them together at the same time dramatically challenged. Yet these poles are reconciled in a singular work “The Names of the Statues”: the milled steel gallows that acts as a sort of frame for

Christine Ay Tjoe both a mirror and a watercolour. Here, life ( poetry and reflection) is one with death ( the hangman’s noose). Here, one reads the painting while contemplating the viewer ( him or herself ), with the threat of a forced execution hanging between. The text, tenderly delineated by the artist, is by a 12th century mystic saint from Southern India, Allama Prabhu. Originally composed in Kannada, the language of the state of Karnataka, it was translated into English in the 20th century by the poet A.K.Ramanujan : Outside city limits a temple In the temple, look, a hermit woman. In the woman’s hand a needle, At needle’s end the fourteen worlds. O Lord of Caves, I saw an ant devour whole the woman, the needle, the fourteen worlds.

By using this text, Dodiya suggests that transformation is not only the norm, but essential for survival. In his practice, in its multiple avatars, he allows images from various sources to be changed by their recontextualization and juxtaposition. While these may be standard techniques employed by “appropriation art”, Dodiya’s personal situation wrenches open a more tightly packed version of Pandora’s Box. His quotational maw is so widely opened that it almost presupposes the misunderstanding of his devices and manoeuvres, as the images of European or American pedigrees will most likely not be decipherable to the Indian audience, and vice versa. This hindrance seems to cause the artist no anxiety and perhaps he accepts it as an accelerated outcome of globalisation, particularly that of the contemporary art world. Excerpts from the catalogue essay by Peter Nagy: “The Names of the Statues”, for the show “If it Rains Fire”.

Atul Dodiya (b. 1959 ) studied at the Sir J J School of Art, Mumbai and the Ecole des Beaux-Arts, Paris. Dodiya’s allegorical paintings on canvas, paper and metal shutters draw on diverse traditions in painting and text. He works with unusual materials and techniques and brings to the viewer a palimpsest of images and a collage of experiences. Dodiya’s art is marked by kaleidoscopic quotation and his pictorial narratives are taken from iconic images from global visual culture- cinema stills, cartoon strips, popular oleographs, the homegrown version of MAD comics-all intertwined with autobiography. His intricate and multi-layered pictures work like a jigsaw of ideas that have been put together with humour and irony.

110

“… Today I Kill the First Layer and I Find Other Layer Living as Landcape, Landscape, Landscape..” appears to be a small silver typewriter, with eighteen type levers without key pads. This work signifies search and recklessness. Long and thin iron threads remind us of wild lines also found in Christine’s paintings. They are perhaps looking for something to hang on to. There are only three letters on the keys of the typewriter, G, O and D. Through the sharp pain one feels at the tip of one’s finger while pressing the unpadded keys, one realizes the existence of these three characters- GOD- that remain. Christine uses audio recordings to produce dynamic sounds and musical compositions. The sound is produced by the type bars tapping on a smooth surface made of aluminum that is connected to a hidden music player. Is Christine deliberately showing us a semantic demonstration between the revealed sounds and the hidden sounds? (Excerpt from Hendro Wiyanto curatorial note, Lama Sabakhtani Club)

Atul Dodiya has had 25 solo shows in India and abroad, and this includes a mid-career retrospective at Japan Foundation Asia Centre, Tokyo in 2001 and a solo show in Reina Sofia Museum, Madrid in 2002. Dodiya participated in the 1st Yokohoma Triennale, 51st Venice Biennale, Documenta 12, 7th Gwangju Biennale & the 3rd Moscow Biennale. Dodiya Christine Ay Tjoe was born in Bandung, 27th lives and works in Bombay, India. of December 1973. In 1992-1997, she studied

228

229

Erika Ernawan in Bandung Institute of Technology majoring in Graphic Art. She has participated in both solo and joint exhibitions since 1999. Some of her selected solo exhibitions include “Reach Me” (2003), Cemeti Art House, Yogyakarta, “Execution Ego” (2006), Edwin Gallery, Jakarta, “Silent Supper”, Ark Gallery, Jakarta, “Interiority of Hope”, Emmitan Gallery, Surabaya, “Panorama without Distance” (2009), Art Hong Kong 09, Hong Kong, “Lama Sabakhtani Club” at Lawang Wangi Art Space, Bandung. Christine has received several international awards such as the Top Five Phillip Morris Indonesian Art Award, Indonesia (2001), and received a scholarship to Stiftung Kuenstlerdorf Scheppingen, German (2004), SCMP Art Future Prize, Hongkong Art Fair (2009). She is a finalist of the Signature Art Prize, Singapore Art Museum, Singapore, 2011.

112

Erika is part of younger generation of artists who regard their personal identity as the departure for their creative process. While she underlines her identity as a female artist, Erika’s works center around issues of the body and taboos. Her latest works appear intended for men (and the male gaze). Though she does not see herself as a feminist, it is hard to deny that her art works have positioned themselves squarely in the path of feminism, one of post-modernism’s main branches. Like other feminist artists, Erika displays herself in her art works. The things we witness in her pieces contradict her tender and mostly feminine daily disposition. The Erika of her art works is not the Erika we know, sweet-natured and well-mannered. The Erika of her work is a ‘different’ Erika, who airs protests and provokes the audience. In “Mirror Sees Me”, the artist’s figure is easily recognizable in her art pieces. In each of her works, her life-sized body image faces the viewers head on, daring them. Paintbrush strokes around her body lend a dynamic effect, while at the same time appearing like a mysterious fog. The paintbrush is obviously

Irwan Ahmett strong and expressive, at the same time fragile and vulnerable. The fact that we can easily recognize Erika in each of the figures makes her work even more surprising. This has inadvertently affected how viewers - who are familiar with Erika through daily interactions with her - perceive and read her works. In addition, the presentation of the artist’s own self has pushed Erika’s works closer to the genre of ‘self-portrait’. However, her work must also be seen as self-portraiture with an orientation against gender bias, quite different from commonly understood self-portrait pieces. It is the process of questioning her relation to her own body that matters, not the final result of the project. Erika questions herself on how her body becomes her weapon and defender, even though most of the time the (female) body is perceived with the ideas of beauty and pain. In this context, ideas of reflection that are often presented in her works become a game of paired gaze and subject: male and female, creator and audience, performer and viewer, us and them. (Some part of the excerpt is from Asmudjo J. Irianto curatorial writing, “Der Spiegel”)

Erika Ernawan is a visual artist born in January 1986 in Bandung, Indonesia. She received her BFA and MFA from Bandung Institute of Technology, Faculty of Fine Art. Since 2007 she has been creating new media art, performances, installation, and photography. She is interested in the connection between identity, reflection and visual perception. Erika received an award from Bandung Contemporary Art Award (BaCAA) earlier this year. Currently she lives and works in Berlin, Germany.

114

From the Mystical… The mystical always held an important role in Javanese culture both before and after the arrival of Islam. Through mystical practice, people worship objects and places, magnify charisma, search for truth, and exercise complicated rituals, like fasting, to achieve specific goals. The advanced memorize mantras to defend themselves against negative energies. Mysticism is functional as it has a direct impact on the soul and gives self-confidence to the one who believes. To the Material… A tide of capitalist ideas and consumerism has led to a change in lifestyle of the modern Javanese people. Mystical values have faded, replaced by more real and instant concepts. The worshipping of global brands, the idolizing of celebrities, the commercialization of ritual ceremonies in tourism, and the commercials shown repeatedly so that the slogans are memorized, have become the order of the day. The middle-class workers gladly save their salary every month in order to buy new “designed in California, made in China” gadgets, which may increase the user’s self confidence. Materialism promotes a

consumptive ambition that is never satisfied. Irwan Ahmett is currently on an overseas project for a year, but for this particular project, he is collaborating with an artist community in Yogyakarta. He will use Automatic Teller Machines or ATMs, not to supply money, but in this instance to raise awareness of the elements of this Biennale religiosity, spirituality and beliefs. Irwan is a designer and an artist interested in ways of altering social behavior. He studies the value and the meaning of happiness to people in the cities by creating specific ‘game concepts’. His childhood has greatly influenced his creative process. He founded the Ahmett Salina Studio where he is also the Creative Director. He initiates and conducts independent campaigns using various disciplines and mediums. He enjoys working interactively, and he tries to reach the public by involving them as a part of his artwork. He has been involved in several exhibitions, including ‘Change Yourself ’ at Cemeti Art House (2004-2006), ‘Masa Lalu Masa Lupa

230

231

Iswanto Hartono - The Past The Forgotten Time’ group exhibition in The Hague, Amsterdam, Yogyakarta, Jakarta, Shanghai and Singapore (2007-2008), and ‘Manifesto of the New Aesthetic’ at the Institute of Contemporary Arts, LaSalle, Singapore (2010.)

116

Recently, Iswanto Hartono has been involved in many site specific and installation projects. Because of his architecture background, Hartono’s artworks engage with dimensions of space and strive to question one’s perception of relations between space and history. Through his focus on spatiality, Hartono approaches this phenomenon within macroscopic structures and wider contexts. This particular project is about creating heaven. Iswanto sees that the greatest motivation for man to believe in religious doctrine, is the promise of heaven. The ‘promised land’ is the payment for the good deeds that a person performed in his lifetime, thus humans receive the illusion about life after death.

Jompet Kuswidananto a garden expert, creating a replica garden in the showroom. The viewers may feel that there is something wrong with the garden. Iswanto challenges; if the heaven visualized here can answer the human curiosity about the promises that they believe, the viewers may enter inside the installation and imagine themselves to be in heaven. Iswanto challenges them to create their own heaven. This artwork refers to the contradiction between myth and fact, illusion and reality, and also experiences with displaced locations, so the audience is driven away from everyday reality obtain a new angle of viewing themselves.

Iswanto Hartono was born in Purworejo, 1972. He is now living and working in Jakarta. From 1991-1996 he studied at the Faculty For many people, the simplest visual image of Architecture, Tarumanegara University, about heaven is that of a beautiful garden Jakarta, and 1998-2000 studied at the Faculty where human beings can enjoy anything that does not exist or cannot be achieved on earth. of Fine Arts, Jakarta Institute of Arts. In 2000-2002 Hartono studied Architecture, Almost all religions give a similar definition and image about heaven; unimaginable beauty majoring in Urban Development in New Delhi, India. In 2003-2004 he received a that no human can create. In this project, Freeman Asian Art Award from the Freeman Iswanto shows a collaborative project with

Foundation, United States. In 2010 Hartono made a solo exhibition in Canna Gallery entitled ‘Museum Of Innocence’. Hartono uses paintings and installations as his media to explore the history and aesthetics of contemporary civil development in Indonesia.

118

(2007); Yokohama Triennale (2008); Jakarta Biennale XIII (2009); 10e Biennale de Lyon (2009), KuanduBiennial (2010) and “The Tradition of the New” at Sakshi Gallery, Mumbai (2010), also in Museum of Contemporary Arts, Shanghai (2010), “Transfiguration: Indonesian Mythologies” in Louis Vuitton Indonesia is the third realm, organized Culturel Espace, Paris, France (2011) and from a mixture of values that are unstable, “Indonesian Eye” at Saatchy Gallery London unfinished and confusing. Indonesia is a vast space for competition and collaboration in the (2011). He has had solo shows at Osage Gallery (2009, 2010) and Cemeti Art House, definition of one form of identity. Yogyakarta (2008), Selasar Sunaryo (2011) The ‘Site of Gods’ is an art project inspired by and Gervastuti Foundation in conjunction with Venice Biennale 2011. an epic of people who live and grow in ‘in-the-between’ space, and who depict themself and the world around them as constantly changing. Indonesia is the culture that places itself between the traditional and the modern, colonial and post-colonial, East and West, agricultural and industrial, rural and urban, native and foreign.

Jompet Kuswidananto was born in Yogyakarta, Indonesia, in 1976. He is a train musician, but, but he practices in the field of contemporary art. He has a strong interest in theater. He has exhibited in “Modernization & Urbanization” at Marronnier Art Center, Seoul (2003); 3rd Fukuoka Art Triennale (2005), Equatorial Rhythms at Stenersenmuseet, Oslo

232

233

K.P. Reji

120

The mythological stories from Hindu texts like Bhagavad-Gita, Ramayana or Mahabharata are knowingly or unknowingly part of daily life in India. Most of the Hindu population holds the names from these epics. Many of the heroic characters of these mythologies are present in India carrying the names of gods and goddesses, although persons who carry these names may be good, bad or ugly. I have never read any of these epics thoroughly. I came to know most of these stories orally or through school text books, popular magazines, films or TV shows. More than the spiritual aspect, I have been interested in the story line and the thread of events which lead one to another.

Krisna Murti happened in these epics. For example, it is often claimed that contemporary weapons of mass destruction are already described in the epics thousands of years back. Thus, a nuclear weapon experiment can be called ‘Buddha’s smile’! A cricket match between India and Sri Lanka can be read as war between Rama and Ravana. Burning one’s neighbour’s home can be called as ‘Lanka Dahan’. Love, war displacement or migration, anything can be traced back to these epics. Keeping this broader thematic of contemporariness of the mythological stories and references, for the present project I plan to use some of the images from the mythologies that can naturally become part of the plot of painting. However, my interest would be to deploy images from daily life which may connect to stories or characters from any of these epics.

The stories from these mythologies promulgate moral behaviour and actions. At times the stories from the epics are used as examples of what you should have done or what you could have done. Even if your actions Born in 1972, K.P.Reji received his M.F.A are right or wrong, they are always justified and B.F. A in painting from the M.S. Uniusing the religious texts. versity, Vadodara. He is the receipient of the According to a certain kind of belief, whatever Sanskriti Award for the Young Artist-2007, Sanskriti Foundation, New Delhi. K.P.Reji is happening at present might have already

has participated in several major exhibitions including Tough Love, curated by Shaheen Merali, Plataforma Revólver, Lisbon, Portugal; Snow curated by Ranjit Hoskote; Horn Please: Narratives in Contemporary Indian Art, Kunstmuseum Bern, Switzerland curated by Bernhard Fibicher and Suman Gopinath; Tolstoy Farm: Archive of Utopia, curated by Gayatri Sinha, New Delhi; Roots in the Air, Branches Below: Modern & Contemporary Art from India, San Jose Museum of Art, San Jose; CIGE 2009, China and SHContemporary 08’, Shanghai represented by The Guild, Mumbai; Art Asia Miami, 08, represented by The Guild Art USA Inc. His most recent solo exhibitions are “With a Pinch of Salt” at Nature Morte, New Delhi in collaboration with The Guild and ‘Just Above My Head’, The Guild, Mumbai.

122

Video Poem / e-ART-h-quake #4 are works that do not directly communicate about what is screened. The two videos invite the audience to go through subjective ‘poetical experiences’. The works explore what video symbolism has in common with literary poetry. The symbols exist in images, bodily gestures, motions and other semiotic languages. Sequences and loops can be considered as rhyme and stanza. For Krisna, poetry is the moment of encounter between the world inside and the world outside. Thus, video is a trigger for the poetry inside us. Krisna accepts that there is a non-universal temporal dimension, which is determined by an individual, and time is always relative.

modern world. The continuous streaming of the waterfall is seen as something meditative, a repetition that is ‘beyond experience’ akin to uttering mantras that make one less conscious of oneself. These two videos offer an experience of being in another space. Forcing the audience to take some distance with their own selves. The visuals create a memory about the essence of the self and its relations between individual and the basic environmental elements like water and soil.

Krisna Murti lives and works in Jakarta. He graduated from the Faculty of Fine Art and Like a painter creating a sketch, Krisna uses the Design, Bandung Institute of Technology. He found footage of a streaming waterfall, a raw has been working on new media art (video) idea that he uses as an element in his artwork since 1990, and he has presented his work later. Using the found footage of the waterfall, in solo exhibitions in Indonesia and abroad. Krisna is inspired to make audiovisual poetry. International events include the Havana BienHe juxtaposes the visual streaming of the nale (2000), Fukuoka Asian Art Triennale waterfall with various yoga movements (1999), Gwangju Biennale (2000) and Venice performed by a real Yogi. In “Video Poem” Biennale (2005). His video has been collected the body in various yoga positions is used by Fukuoka Asian Art Museum, Japan and to represent mental states, instead of the National Gallery, Jakarta. Recently he was a disciplined and commodified body in the curator for an exhibition by 15 second genera-

tion of Indonesian video artists titled “Hijacking TV” at Salihara Gallery ( Jakarta, 2011). Since 2003, he has lectured at The Graduate School of the Indonesian Art Institute and he has published several books namely “Video Publik” (Kanisius, 1997) and “Essays on Video Art and New Media: Indonesia and Beyond” (IVAA, 2009). Krisna received the Tokoh Seni Tempo Award in 2011.

234

235

Melati Suryodarmo

126

“The world that inspires me to change my thoughts is the world inside me. The body becomes a home that functions as container of memories, a complex living organism. The system inside the psychological body that changes constantly enriched my idea to develop new structures for attitudes and thoughts. I try to perceive my surroundings in the real presence of now, but also considering the path of history. I try to understand languages that are not spoken and open the doors of perception. I respect the freedom in our minds to perceive things coming through our own individual sensory systems. Crossing the boundaries of cultural and political encounters has been a challenge that stimulates me to discover new identifications. An effort to find identity involves the dangerous act of surrendering the ground of origin. For me, my process of making artwork is a life-long research I never stop putting myself inside the metamorphic constellation. I intend to touch the fluid border between the body and its environment, through my art works. I aim to create a concentrated

N.S. Harsha level of intensity without the use of narrative structures. Talking about politics, society or psychology makes no sense to me if one’s nerves are not able to digest the information. I love it when a performance reaches a level of factual absurdity.” Suryodarmo’s ‘A Conversation with the Black’ installation and performance work absorbs the body of artist into a site-specific experience that tests the limit of human endurance. Here she visually develops a heightened environment. This is to engage with the philosophy of geometry, passive/ active notions of the gaze and audience interaction. Alternating between notions of escape, entrapment, oppression and liberation Surydarmo transforms and empowers the physical body as an investigation point for art, performance and the possibilities of the human mind. Melati Suryodarmo is an Indonesian born visual artist, who since 1994 lives and works in Germany. She graduated at the Universitas Padjadjaran Bandung in socio- and politics sciences, and Hochschule für Bildende Künste

Braunschweig, Germany, focused in performance art and Raum Konzept. Suryodarmo has presented her works in various international festivals and exhibitions since 1996, including the 50th Venice Biennale 2003, Marking the Territory, IMMA Dublin. In 2005, Melati Suryodarmo performed at the Van Gogh Museum Amsterdam, during the exhibition of the Life of Egon Schiele, in 2005; Videobrasil Sao Paolo (2005), Haus der Kulturen der Welt Berlin, 52nd Venice Biennale dance Festival (2007), KIASMA Helsinki (2007), Manifesta7, in Bolzano, Italy (2008),and In Transit festival, HKW Berlin (2009). Since the last four years, Suryodarmo has been presenting her works in Indonesia and other South East Asian countries. For the Padepokan Lemah Putih Solo Indonesia, she is the organizer of an annual Performance Art Laboratory Project, the ‘undisclosed territory’ performance art event in Solo, Indonesia.

128

N.S. Harsha’s site-specific installation at the Jogja Museum will explore the ambiguous nature of people’s relationship with the sky/cosmos. Sky, night sky, sky, night sky, your sky, my sky, my sky, your sky, yesterday’s sky, today’s sky, tomorrow’s sky, sky, my sky, your sky, sky..........sky? N.S. Harsha studied painting at CAVA, Mysore and M S University,Baroda. He was the winner of the prestigious Artes Mundi award in 2008. Selected exhibitions he has participated in recently include the Indian Highway, Maxxi Museum Rome, Italy (2011); Asian Art triennial, Manchester, John Reynolds Library, UK (2011); Liverpool Biennial, Liverpool, UK (September, 2010); Sao Paulo Biennial, Sau Paulo, Brazil (September, 2010) ;Future, Foundation De 11 Lijnen / IBIS school / Ostend Fine Art Museum (October, 2010); Sharjah Bienalle, UAE (2009), All that is Solid Melts into Air, MuHka, Antwerp,Belgium (2009); Comedies, Kuandu Museum of Fine Arts, Taipei, Taiwan (2009). His solo exhibitions in 2009 include Cul-

Nurdian Ichsan tural Debris, Sakshi Gallery, Mumbai ,India; Nations, Institute of International Visual Art, London, UK ; Picking Through the Rubble, Victoria Miro, London, UK. He was Visiting Artist, Ecole Des Beaux, (2010), VAFA, Colombo Srilanka (2003) and Shantou University, China (2007)

130

Nurdian Ichsan works with ceramics and clay in his attempts to indulge in something pure and natural. Most of his artworks reflect the basic questions concerning the existence of human beings, particularly relating to the “self ” and the spiritual, and natural environments. Ichsan’s artworks try to capture moments of human existence. How human beings relate to spirituality very much depends on how our senses intentionally perceive certain experiences. These artworks intend to tantalize our instincts and reasoning, using abstract experiences that are difficult to express with words. For Ichsan these experiences connect to human existence; time, death, boundaries, distance, inner self, fear, untouchability, and the understanding of inexplicable experiences. This is based on Ichsan’s belief that artistic intellectualism is not about expressing something using logical explanations, rather it is something that allows us to experiment and continue expanding our perceptual understandings. The human figure crafted by Ichsan shows how humans brace themselves in the purest form.

236

237

Octora He puts teardrops onto the figure to represent the outer-self experience that can change the pure form into something no longer able to control itself alone. Every teardrop encourages the human to change, although the changes cannot be seen right away but slowly bring new ideas on self and life. Nurdian Ichsan was born in Bandung, West Java, 1971. He received his degree in Arts and Masters in Arts from the Faculty of Fine Arts in Bandung Institute of Technology, where he is now teaching. His artworks have been exhibited in Japan, Australia, Malaysia, Singapore and across Indonesia. He participated in the CP Biennale in 2005 and Jakarta Contemporary Ceramic Biennale #1 - 2009. His artwork has been chosen as a finalist in the Indonesia Art Award 2010 and the International Competition of Contemporary Ceramic Art 2011 in Faenza, Italy. In 2002 and 2008, he was invited to a residence program in Japan. Ichsan had a solo exhibition entitled “Distance” in Sigiarts, 2009. Now he is studying ceramics for his doctoral degree in Tokyo, Japan.

132

Octora is of a younger generation of artists that often use ‘the body’ to explore gender issues and women’s identity. Her notions about the body, women and femininity are mainly derived from her observations of how the body becomes a commodity in everyday life, and how this shapes a myth of feminine beauty. Alongside commodification, acts of violence occur that position the body both as object and victim. In this artwork, Octora revisits the idea of the sacred body. She interrogates the peaceful language that is created by the body’s natural cycles. The body also holds paradoxes that are interesting to explore. In cases of violence, for example, the blood that escapes the body can be viewed as a symbol of death. Thus, the bleeding body is the symbol of life. She is also interested in the body within religion, where blood is always connected with “God’s name”: life by God, death by defending the name of God. The ideas of her artwork were born in 2009 when she was invited to respond to an artwork by Tomoko Mukaiyama. Octora began to reflect on the process of menstruation as a sequence in a women’s cycle, the broader

Paul Kadarisman notions of blood itself, and the reasons for bloodshed in the world around us. Her search has placed us in position to give meaning to the empirical body, authentic within the position of the body in religion and social reality. The body is represented by the most basic, verbal elements, but can also be used to underline what has been forgotten. The body as a physical reality emerges when the soul comprehends and senses reality. Octora was born in Bandung, October 6th 1982. In 2001-2005 she studied at the faculty of Law, University of Parahyangan. In 20022007 she also carried out study at the Bandung Institute of Technology majoring in sculpture. In 2007 she held a solo exhibition titled “The Nonva’s Project” in CCF Bandung. Her group exhibitions include, “Bandung New Emergence Vol.2” (2008), Selasar Sunaryo Art Space, “Contemporary Archaeology” (2009), Sigiarts Gallery, Jakarta, “Recent Art from Indonesia-Contemporary Art Turn” (2010), SooBinArtPlus, Singapore. Octora has also been a resident at the Cemeti Art House Landing Soon Program in 2009 and at the Bamboo Culture Studio, Taiwan, in 2010.

134

‘Mohammad and Me’ is a series of photographs where Paul Kadarisman poses himself in a series of relaxed portraits with photographer friends who are all, not coincidentally, named Mohammad. ‘Mohammad and Me’ literally puts Paul in the picture with Mohammad. His response to the question “What does it look like to live in the world’s largest Muslim country?” is to say, “If you live in a Muslim society, naturally you have friends named Mohammad, just as you will have friends named Christian in Europe or the United States.” (This assumption is interesting, as the name ‘Christian’ does not operate in the same way ‘Mohammad’ does.) We see, for example, Paul Kadarisman and the photographer Mohammad Iqbal. Iqbal seem to be wondering what this project is all about. We also see Paul Kadarisman and Mohammad Revaldi proudly showing off the newest photography equipment in Revaldi’s studio, and and we see Paul Kadarisman and Mohammad Firman Ichsan, whose Siberian husky has just given birth to some puppies. These relaxed urban portraits are full of pop culture references. We can see that Indonesian photographers like trendy computers, for instance, or that, despite the Muslim taboo on

owning dogs and the tropical weather, one of the photographers owns several big Siberian huskies and puppies.

Paul Kadarisman was born in Jakarta, June 1974. He graduated from Department of Photography, Jakarta Art Institute in 2000 and is currently a freelance photographer. His We can consider the paradox that within works have been featured at several exhibitions Islam, visual iconography is forbidden, and in Indonesia since 1998 and he had his first yet everyday life in this Muslim society makes solo exhibition in 2003 titled ‘BayidanResti’ room for these photographic practices. (Baby and Resti) at Japan Foundation gallery Being the only consistent presence in these in Jakarta. In 2005, his photo series ‘Pain’ staged shots, Kadarisman, who is a nonwas published by Art&Thought, a fine art observant Christian, deliberately acts cold and journal based in Munich, Germany. His last unfriendly, whereas the three Mohammads are project ‘Muhammad and Me’ was featured in smiling, friendly and appear harmless. the other Noorderlicht at Asia Photo Festival, Leeuwarden, the Nederlands and collected In this project the name ‘Mohammad’ is a by Leeuwarden city museum. In November personification of Islam and Muslim society, 2007, he received an award from Jakarta while ‘Me’ refers to the photographers’ International Photo Summit. In 2010, he held self-conscious visual exploration of their life a solo exhibition titled ‘Happy Boring Days’ at experiences in a Muslim context. The ‘me’ then Bentara Budaya, Yogyakarta. Paul Kadarisman turns into an ‘I’ of the audience’s participacurrently is based in Jakarta, Indonesia. tion in this process of social identification. By exploring Mohammad AND me, rather than training the camera’s eye onto any one or all Mohammads, a fuller picture emerges of the relationships between subjects in Indonesian Muslim society.

238

239

Prabhavathi Meppayil

136

Process and material are important aspects of my work. Coming from a family of goldsmiths, who are traditional craftsmen, I have understood the importance of process; the magic of making.

Pushpamala N as materials because of their beautiful colour, form, and transient nature.

138

“The Motherland” photographs are part of a long term ongoing exploration of the Nation through the history The grid with lines seems almost perfect, but of the representations of Mother India. The on a closer look at the work one realizes that image of Mother India came into being at the it is not so because of its hand-made quality. beginning of the Freedom Struggle in the late The organic nature of the gesso panel and My engagement with gesso panels is about 19c, when perhaps in response to the idea embedded metal wires in a way contradicts the of Britannia, an idea of a woman / goddess exploring a new relationship with traditional notion of precision. materials. Gesso panel painting is one of the as a symbol of the country took shape. The oldest techniques of painting and involves the earliest image of Mother India according Layering gesso on the wooden panel and use of very simple and pure materials and a to Christopher Pinney is that of an old hag disciplined process. The prepared panel is not polishing it, making indent marks with tools handing over the infant India to Britannia. on the panel, stretching and inlay of wires on only a surface for painting but also an object The images develop soon into versions of the panel ; physical involvement is vital to my goddesses like Kali and holy symbols like the in itself. There is an interesting ambiguity between surface and object. The entire process work, so is the ‘time’ that the work contains Mother Cow from Hindu iconography, taking for me is not just about drawing, it is as much in it. on modern attributes like the map and flag, about making; making things. The preparation with freedom fighters and nationalists and of the panel and then making marks on it is narratives around the figure. The images have Prabhavathi, Meppayil born in 1965, received spread profusely all over the country through a process of doing, and in a way reversing the her diploma from the Ken School of Art in process as well. calendar prints. Though many countries have Bangalore. Selected group shows include Ori- a woman as a symbol, it would seem that India I am looking at the possibility of mark-making entations: Trajectories in Indian Art, Belgium, is the only country which has this profusion 2010; Chalo! India-A New Era in Indian on the panel using artisanal processes, by of images of a national goddess. The most stretching and embedding delicate copper wire Art, Vienna & Korea, 2008-09. Selected solo popular image however is of Mother India as exhibitions include those at the Vadhera Art on the panel, as elements of line and colour. the warrior goddess Durga, with weapons and I see metal like gold in its basic form, melted, Gallery, New Delhi, 2010; Sakshi Gallery, a lion vehicle, richly dressed and ornamented Mumbai, 2007. flattened and stretched, before it turns into a like a queen. This image is now used in the The artist lives and works in Bangalore. piece of fine jewellery; metals are fascinating public meetings of the Hindu Right wing

R.E. Hartanto Bharatiya Janata Party, and most recently during the hunger strike against corruption by the social worker Anna Hazare. In these pictures I am dressed as the Mother India figure, posing in a bazaar photo studio set, surrounded by her attributes and worshipped by her martyrs. Pushpamala N Bangalore 2011 Beginning her career as a sculptor with an interest in narrative figuration, Pushpamala N has transitioned, over the past fifteen years, into casting her own body as various characters and personae in the medium of photo-performance, by working with a variety of photographers. Enriching autobiography with elements of surreal aesthetics and dramatics, the artist’s work superimposes polyvalent layers of humor, femininity, guise, and historicity onto the twodimensional surface of photographic prints. In her ‘photo-romances’ and studio photographs, the artist seduces the viewers through spectacular and elusive narratives. Collectively, Pushpamala’s work engages with theories of postcolonial identity and a feminist his-

torical gaze. Recently Pushpamala has been expanding her photographic practice into the medium of short video films and live performance, bringing in movement, text and sound to her structured compositions. Born in Bangalore, Pushpamala studied sculpture at the Faculty of Fine Arts, MS University, Baroda and currently lives in Bangalore and New Delhi.

140

Derau (Echo) In early 2007 in Bandung, a spiritual group was founded on a philosophy of echo, noise and sound. The group believes that every entity, both dead and alive, in this universe has a constant, unique vibration that generates an echo, although diminutive. Components of this universe, especially the living ones such as human beings and animals, naturally generate echoes. The interactions between components in this universe generate noise. Ever since the time of creation, echoes, noises and sounds have been present and have a very complex dynamic. For this group, the echo is a manifestation of God and the essence of life itself. The main activity of this group is meditating together, and the members are asked to exercise discipline through regular, individual meditations at home. Their meditation centers around echo, noise and sound . By focusing their attention on echoes, noises and sounds, the members are expected to achieve a stage of awareness that connects them with all objects in the universe. Ultimately, everyday life is an effort to achieve harmony with the echo of the universe.

240

241

Riyas Komu This artwork consists of an 18 minute documentary video of their spiritual activities.

142

The Undertakers is another of my personal pursuits in questioning the underlying links between religious ideologies, memories, iconography R.E. Hartanto (Tanto) was born in Bandung and cultural inheritances. I have used carved in 1973. He graduated with a Fine Arts Major wood, one side of which is the ‘slit-heart’, of the Faculty of Art & Design, Bandung where those who have departed in the past are Institute of Technology in 1998 and imbeing paid homage to by those who have made mediately started creating art and exhibiting the exit from this world recently. I visualised his work. He worked as an Assistant Profesan image that could capture the excesses in sor at the Fine Arts Major, FSRD - ITB in violence that the South East Asian region has 1998-200, and was at Rijksakademie van been witnessing in the recent past. I wanted to Beeldende Kunsten, Amsterdam, Netherlands explore the residues of all the bloody battles in 2001-2002. Since 2007, he has worked in contemporary culture and how as living independently. Between 1999-2011 Hartanto bodies we are incapable of making amends for has participated in exhibitions, workshops, art the collateral damage caused by them both projects and artist in residence programs, inphysically and in the minds of millions. cluding ARCUS in Japan. He lives and works in Bandung. Magic Landscape This is a work that forms a conjoining link to my explorations into the beauty of belief or the lack of it. Among the many questions that I have dared to asks is the most pertinent one that is very apparent in this work: the absence of faith, the primary construct of religion, any religion in its praxis. This work precedes the ones in which I have engaged myself to probe the dynamics of faith in the modern construct

ruangrupa and the politics thereof is like a song that builds momentum for an ensuing crescendo. I have tried to extract a reaction from the viewer, albeit a silent one from this disturbing promise, which holds the portent of being deafening. The traditional lamp, a symbol of light and a promise of enlightenment, could also be one that may kindle hope in the wooden construct or put the house on fire. Here I have dared to make a subtle suggestion that a minor mistake in the doctrine or the scriptures could precipitate huge blunders in human happiness. A definition gone wrong might stop all the dances. An interprentation gone awry could upset the rhythm of choreography … faltering steps that trip only upon inherent contradictions. The lamp could signify the beauty of orthodoxy but the same act of tradition if produced at the wrong place at the wrong time in a confused state of mind could reduce that beauty into a pulchritude of stubbornness. A society, I fear, which is forever in search of a levee that lends a sense of security among fellow believers doubts the validity of the vision even among displaced persons. For those in exile seeking light under the roof over

their heads also wait for the eternal promise: Modern India, organized by Institut Valen“May you live in anticipation of that day when cià d’Art Modern (IVAM) and Casa Asia, in God makes all things whole again.” collaboration with the Ministry of Culture at Valencia, Spain. His recent solo shows include Oil’s Well, Let’s Play!, Fondazione Arnaldo Riyas Komu graduated with Painting as his Pomodoro, Milan; Subrato to Cesar, Gallery specialization and has since than extended Maskara, Mumbai in association with The himself to sculpture, photography and video Guild Art Gallery, Mumbai and Safe to Light, installations. Riyas Komu was a participant Azad Art Gallery, Tehran. in the 52nd Venice Biennale 2007 curated by Robert Storr; Paris-Delhi-Bombay, Centre Pompidou, Paris; Crossroads India Escalate at Prague Biennale 5. Other prominent museum shows include Concurrent India, Helsinki Art Museum Tennis Palace, Finland; Indian Highway, Museum of contemporary Art, Lyon; Herning Kunstmuseum, Herning, Denmark; India Awakens: Under the Banyan Tree, Essl Museum, Austria; Finding India, Art for the New Century, Museum of Contemporary Art; Milan Museum show, curated by Daniella Polizolli and India Contemporary, GEM, Museum of Contemporary Art, Hague; India Now: Contemporary Indian Art Between Continuity and Transformation, Provincia di Milano, Milan, Italy, India Xianzai: Contemporary Indian Art, Museum of Contemporary Art (MOCA), Shanghai;

144

Indonesians have their own specific ways of experiencing cinema. People’s memories of movies often involve the Layar Tancap or movie screenings in open places (usually football fields). Technically, in Layar Tancap the movies are projected to huge screens that are set up on an open field. Layar Tancap is run by professionals usually hired for wedding parties, circumcisions, or Independence Day celebrations. Before the Layar Tancap starts, it is usually promoted or announced in the area where it is going to take place. The Layar Tancap relates not only to experiences of cinema, but also to social interaction and economic transaction (because a night market is always established whenever a Layar Tancap is held.) Today, the Layar Tancap has vanished with the appearance of indoor cinemas, and the latest technologies of private TV and home cinema. Gerobak Bioskop (The Movie Wagon) is an independent media distribution project inspired by the spirit of the Layar Tancap. We hope that Gerobak Bioskop can bring back the

242

243

Sakshi Gupta spirit of cinema as a social activity that can be organized independently anywhere. Ruangrupa, is an artists’ initiative and nonprofit organization established in the beginning of year 2000 by a group of artists from Jakarta. Ruangrupa focuses on the promotion of art through research, study and documentation. Ruangrupa works extensively with artists through exhibitions, artist in residence programs, art projects and workshops. It cooperates with many artists in a horizontal structure to support and mediate fresh ideas of visual art as a cultural activity relating with social and cultural discourse, with particular relevance to Indonesian contemporary culture.

146

“Reality Bites” was made at an artist residency at Kashi Art Gallery in Kochi, Kerala in 2006. Dealing, on the one hand, with the confrontations and negotiations with the world at large, the work explores an individual grappling with day-to-day situations and with the people one is closest in contact with. The work tries to place the self in the midst of these elements, that one takes so much for granted as sources of comfort, for often they are the most testing – at times making one overcome by an overwhelming sense of bewilderment and grief, at other times leading the self to a dreamlike vacuum and sometimes showing us the rare glimpses of who we really are. Streets in Kochi replete with red chillies, the ubiquitous Chinese fishing nets in the sea and faced with the ire of the mosquitoes helped me arrive at this site-specific representation of this complex, at once universal and individual, matrix of emotions. Sakshi Gupta (born 1979) is a sculptor based in New Delhi. Re-engendering discarded scrap to make works where the material transcends

Setu Legi it’s mundane, often industrial origins, her work looks at the contradictions inherent in day-to-day living. The environment and space in which they are created become forces that have a deliberate impact on the work as it develops through improvisation. In bringing together real with potential, lasting with ephemeral, solitude with chaos, her work searches for ways to find an intellectual and emotional equilibrium. In 2011 Sakshi was awarded the Civetella Ranieri Foundation Fellowship and in 2007 she received the Inlaks International Scholarship

148

An idol can be identified as a thing that resembles a living creature or a dead object. It is worshipped and believed to exercise influence upon life close to itself. This is how idols have been understood in Abrahamic religions, specifically Islam. For more than 14 centuries, idols have been seen as evil entities to be warded off and destroyed. In recent times, their existence has become irrelevant.

Sheba Chhachhi idols connote concepts and ways of thinking that embody ethics and social status within the frame of capital and opportunities for domination.

Aside from idolatry, this work also presents contradictions taking place as the establishment of prayer houses is becoming excessive, consuming land and the environment. Setu Legi criticizes the excessive establishment of prayer houses beyond necessity, and how establishing them has been an existentialist Only the historical remains of good and evil still resonate as time goes by. Within a modern effort for people. What was previously abstract has been materialized. context, idols connote concepts and ways of thinking that worship ethics and social status within the framework of capitalism and exploitation. Setu Legi’s work explores the social Setu Legi was born in Yogyakarta and was raised in a family of teachers and traditional problems created in this modern framework merchants. He finished his study in the faculty linked to morality and trust. of Fine Art and Design, Indonesian Art Institute (ISI) Yogyakarta in 2000. During Setu Legi’s work is an installation featuring five objects referred to as new idols of religious the 1998 political turmoil in Indonesia he founded Taring Padi, an art and cultural compractice; something outside the essence of munity, with his friends. This community has religion itself. He installs objects that are been an estuary for creative interaction and usually found in a house of worship, specifically a mosque, for example loudspeakers and critical engagement with sociopolitical development in Indonesian cultural spaces. symbols found on the roofs of mosques, bricks and trees. Within today’s context,

150

Ganga’s Daughters, Photo-video installation, 2005 Not one not two not three or four, but through 84 00000 vaginas have I come, guzzled on pleasure and on pain. AkkaMahadevi ,From“Speaking of Siva”, translated by AK Ramanujan. 12thC Eleven women confront the viewer and acknowledge their collaboration in the construction of their representations. The gaze is direct; postures deliberate, reminiscent of genres of self-presentation in bazaar studio photography. These are transgressive women, not wives, mothers or daughters but women who have dared to re- invent themselves in relation to the metaphysical.Though contained within seemingly traditional subcultures, their actions and bodily transformations chafe against easily codified definitions of such usually ethnographic subjects.Here, each woman offers an avant-garde performance of self, subverting conventional assumptions about gender, sexuality, domesticity and female piety.

244

245

Sheela Gowda Described as dangerous to the family by the Grih Sutras, an ancient Hindu manual of good conduct for housewives, these wandering mendicants are a contemporary, living link into a rich history of female rebels and mystics in India.Karaikalammaiyar, 4th C A.D. who transforms into a dancing skeleton and signs her cremation ground verse as ‘pey’ (ghoul); Lal Ded the 12th C Sufi who wandered naked; Mirabai dancing with her lover god in a 16thC patriarchal feudal kingdom, spurning the prince who was her husband; Akka Mahadevi reciting startlingly erotic couplets clad only in her long hair……

The installation articulates the possibilities of self transformation, of fluid identities which move beyond normative binaries of masculine/ feminine, erotic/ spiritual, contemporary/ traditional and religious/secular.

Sheba Chhachhi works with lens based images, both still and moving, investigating questions of gender, ecology, violence and visual culture. Her works address the question of transformation, personal and collective memory, retrieving the marginal, and the play between the mythic and social. A long time chronicler of the women’s movement in India, as both photographer and This set of portraits gather around a short activist, she began developing collaborative, animation video, using found images from the staged photographic portraits with her subjects early 1900’s,as well as a series of photographs in the early 90’s, moving on to photo based made over a 10 year long conversation with installations. Chhachhi places the photographic an emerging political leader in the ascetic image in space with video, sound, light, objects, community. text. She has developed a new artistic language , The yogini(spiritual adept)posits a self aware, that of the moving image light box, which uses a almost hieratic performance of spiritual power series of still and moving layers of photographic which disrupts and questions the self-conscious images to almost cinematic effect. Public art innature of the more contemporary portraits. The terventions are an important part of Chhachhi’s mahant(religious leader) appropriates the acpractice. She has exhibited widely, in India and couterments of hierarchical power, both playful internationally. and invested in the political game..

154

The Chronic Chronicle, Best Cutting Formally consisting of pages from a newspaper titled “The Chronic Chronicle, Best Cutting” is composed of newspaper clippings gathered for over a decade by Gowda and her partner Christoph Storz. Through this collection of clippings of humourous, tragic or erroneous news stories, “Best Cutting” renders explicit the political references that are always present in Gowda’s work - for example, the State of Uttar Pradesh in the northern region of India; the polemics around the Bharatiya Janata Party; the ironies of Best Bakery Case and the person of Zahira Sheikh (a witness of communal carnage later sentenced to a jail term); the expulsion of Taslima Nasreen from Bangladesh; the political successes of the Bandit Queen Phoolan Devi; or the reflective issues inherent to the land policy toward the rural poor in India. These news stories serve as the backdrop for shapes that suggest how social constructions and ways of doing are created and maintained - with real patterns sourced from a tailoring book that gave its title to the piece. (Excerpts from note on “Postulates of Contiguity”, curated by Marta Kuzma, Office for Contemporary Art Norway, June 2010)

Ground Shift This is about a shift. The shift happens from the inside of a defined space, from the deep interiors of the private as demarcated by the outer compound of a house, to the outside. But the outside here is not the defined space of the public, as the street normally is. The outside can be characterised here only as a ‘non-inside.’ The grinding stone, an important tool in the kitchen with ritualistic connotations was sunk into the floor of the house, when houses were built half a century back or more. It was placed there as if forever, immovable, 200kg heavy. The women of the house had been churning and grinding the spices of the daily menu, sitting on the ground, turning the pestle in its hole, day after day, year after year. Today with the escalated value of real estate, the property changes hands and the old house is demolished. Perhaps the old owner himself builds a new one, higher and fuller. Most housewives do not work sitting on the ground anymore. And then people use an electric mixer these days.

The grinding stone has to go, like the rubble of the old walls. But unlike the rubble that is transported away as debris to leave the street clean, no one dares to take this final step with the grinding stone. No one dares to wilfully destroy it either, because destruction may be read as being irreverent; the grinding stone is too charged an object, too full of memory of its use and meaning. It is therefore ‘let loose’, as if into nature, as the male calves and the cows, that no longer give milk, are let loose on the streets. Almost a symbol of inertia the stone does not go very far, sometimes only a little further, to the base of an electric pole or into the quiet of a service lane, to join other grinding stones already resting there. The shift is then somehow justified as a custom and the togetherness of the grinding stones turns the location into a kind of cemetery in its own right.

is, it is essential that the stone crosses a border. The displacement has happened before the artist’s intervention. Having become visible again by this intervention, the grinding stones can now tell their stories. (Excerpts from the catalogue essay by Christoph Storz)

Born 1957 in India, Sheela Gowda, a trained painter, works with a variety of media and material, which are often presented as installations. Not only at the level of imagery but also while testing her own conceptions and pre-conceptions, work by work, Sheela is enquiring into cultural, societal materials and what they could be saying beyond their everyday presence and function. Selected international exhibitions include Africus, Johannesburg, 1995; Documenta 12, 2007; Sharjah Biennale 2008, 53rd Venice There they lie and no one sees them anymore. Biennale 2009; and Singapore Biennial 2011. If they do not hamper the traffic the municiShe has had solo exhibitions at InIVA London; pality does not see them either.They become NAS Gallery, Sydney; OCA, Oslo; Bose Pacia invisible. Gallery, New York, and at GallerySKE, Bangalore. However small this move of the grinding stone Sheela Gowda lives and works in Bangalore.

246

247

Sreshta Rit Premnath

Shilpa Gupta freedom, now limits it. In its inscribed nationality, ideology, caste, creed, race, a flag becomes a limiting thing; it embodies the ‘border’. The artist, who is famous for her multimedia installations, sets the tone with this work. And you are reminded that there is a border. The unintended irony comes to the fore when you stand in front of her interactive video projections. To view these works, one has to stand behind a “border line” (Please stay on this side of the line) so the technical devices can capture your images and make you participate in her works. ( Johny ML)

158

No Border I tried very hard to cut the sky in half. One for my lover and one for me. But the sky kept moving and clouds from his territory came into mine. I tried pushing it away with both my hands. Harder and harder. But the sky kept moving and the clouds from my territory went into his.........(Shilpa Gupta) These lines, for me, sound like a letter from the war front. A lovelorn soldier sits in one of the trenches and writes down these lines. He is fighting a war for someone. The lines get blurred as the tears from his eyes trickle on the letters. Had there been no colour movies, we could have imagined this scene in black and white. The intensity of a world where the evil Shilpa Gupta was born in Mumbai, India in was depicted in black and the good was etched 1976. Gupta creates artwork using interacin white. It could be a cliché. tive websites, video, gallery environments and Now these lines are pasted in the form of a public performances to probe and examine flag. This yellow flag is nobody’s flag. Come subversively such themes as consumer culture, closer and know me, it invites. The closer desire, notions of security, militarism and you get, the better you read the ants like human rights abuse. formations on the yellow stripes. Like the In 2008-2009 she has had solo exhibition at ‘Om’ written on a Hindu sage’s clothes, Gallerie Yvon Lambert in Paris and Galleria you see the inscriptions: THERE IS NO Continua, San Gimignano and at the public BORDER HERE. It goes on like a chanting. gallery ‘Lalit Kala Akademi’ in New Delhi This work of Shilpa Gupta’s is simple and hosted by Vadehra Gallery;‘Gwangju Biennale direct. Flags that should have been heralding

08’, directed by Okwui Enwezor; ‘Yokohama Triennale 08’ curated by Hans Ulrich Obrist; ‘3rd Seville Biennial’ curated by Peter Weibel and Wonil Rhee. Her work has been shown in leading international institutions and museums such as the Tate Modern and Serpentine Gallery in London, Daimler Chrysler Contemporary in Berlin, Mori Museum in Tokyo, Solomon R. Guggenheim Museum, New Museum and Queens Museum in New York, Chicago Cultural Center, Louisiana Museum of Modern Art in Humlebæk and Devi Art Foundation in Gurgaon amongst others. Gupta currently lives and works in Mumbai.

160

Infinite Threat, Infinite Regress 2008, 2 channel video, sound In Sreshta Premnath’s sharp and humorous send up of the global war on terror (“Infinite Threat, Infinite Regress”) Bruce Lee comes face to face with the nature of modern warfare. The artist’s concern here is with the neuroses of the individual in the face of the state of perpetual war in which the enemy is said to be an omnipresent unseen menace, always potentially ready to strike. Invoking a famous cultural icon in one of his most famous scenes from “Enter the Dragon”, where the enemy hides in a room of mirrors, this video loop expunges the villain so that Lee becomes an interpellated subject, constantly in a state of tension, unsure where to look to end the nightmare of fear and unable to do so. The only source of information is the ordinal scale of the U.S. terror alert, a flag of ascending colors, near comical in its inability to convey any information of use for action. Like Borges’s famous list of animals, the arbitrariness of the colors and the false order it compels calls to mind the desperate need to classify, control

and manipulate; to divide and name in order to control.

Untitled 2005, Single channel video loop

Yet, here the categorization is not innocent; the subject is driven to intense fear and paranoia as the colors ratchet up, unsure of how to react. The colors become then a source of a dual regress for the subject. One is the childlike regression and obeisance to a greater authority, a Panopticon whose motives we trust or hope to be benevolent. Another is a more nihilistic regression towards a lack of belief in anything real, driven by the cynicism with the state of things.

This video depicts the artist attempting to swim across a river while tied by a rope around his ankle to a large rock on the shore. Premnath discusses how while pursuing one’s object of desire, the urgency of one’s desire is inscribed with a kind of futility. However, this futility does not lead to naught - rather, the tautological re-engagement of the object of desire, despite ones inability to gain it, leads to a kind of exuberance.

Sreshta Rit Premnath (1979 in Bangalore, The challenge posed is then one of action. India) lives and works in New York. He The Bruce Lee of “Enter the Dragon” received his MFA from Bard College, NY and breaks out of the trap by smashing the was a 2008 studio fellow at The Whitney Indemirrors, separating the true enemy from this pendent Study Program. In 2009 he particishimmering reflections and eliminating him. pated in the residency program of Skowhegan But the consolations of a different easier time School of Painting and Sculpture, Skowhegan, are no longer available in a time of universal ME.(Premnath has been exhibiting internadeceit and fear and one in which the very tionally since 2004. In 2011 he presented a notion of ‘true enemy is’ contingent. How solo show at Galerie Nordenhake, Berlin and now does one find a way out of the hall of in 2010 he presented the solo project Zero mirrors…?  Knot at Art Statements, Art Basel. His work (text by Arjun Jayadev) has been shown at GallerySKE in Bangalore;

248

249

Theresia Agustina Sitompul Balice Hertling in Paris; as well as at Thomas Erben Gallery, Friedman Benda, Rotunda Gallery, Art in General, and Bose Pacia (all New York); and at 1A Space in Hong Kong. Later this year he will participate in exhibitions at Yerba Buena Center for the Arts, San Francisco and at Wave Hill, New York. In 2011 he was awarded the Art Matters Foundation Grant. Premnath is the founder and editor of the magazine “Shifter”.

162

Theresia Agustina is interested in the idea of rewriting stories she reads from the Old and New Testaments. Agustina visually depicts these narratives, exaggerating the fantasy she finds within them. In Agustina’s view, all the stories in both Old and New Testaments have interesting visual components, specifically because they are based on the notion of miracles and wonders, which challenge people to think beyond reality. Rewriting these narratives has given Agustina a chance to see them in their current context or to relate them to the history of specific locations. The new interpretation of these religious texts are partial decontructions to convey the essence of the narratives to today’s context, so that the religious texts continue to have relevance today and are not interpreted based only on the truth of the time when they were written. She also sees this as an opportunity to visually deconstruct and transform iconic visual symbols and give them new meaning. One of the installations she has created is titled ‘Noah Ark’, through which she produced

Titarubi a new version of the Noah’s ark narrative, a widely known story. Agustina transforms the idea of Noah’s ark within the context of colonial history in Indonesia by filling the boat with grains and spices, referring to one of the colonial desires for natural sources, in conquering tropical countries. Theresia Agustina Sitompul (Tere) was born in Pasuruan in 1980. She graduated from the Graphic Art Department at the Indonesian Art Institute (1999-2007) and has been active in exhibitions since 2000. She has held three solo exhibitions: “Yearning” at ViaVia Café, Yogyakarta (2004), “Confession” at Richard Koh Fine Art, Kuala Lumpur and Vivi Yip Art Room, Jakarta both in 2009. In 2002-2005 she was part of the collective Persen ’99 and since 2002 she has managed Minggiran Graphic Studio. In 2005 she was the first winner of the ITC Mural Competition “Belanja Grosir Sambil Plesir” in Surabaya. Her latest project, which is also part of her graduate study at ISI, is the thesis exhibition “Spirit of Noah” at Bentara Budaya Yogyakarta (2011).

164

“Read” is, believed by Muslims to be the first word of commandment by the Prophet Muhammad (Al-quran surat Al-Alaq). Thus, reading has become an activity that holds tremendous importance. Reading is a negotiation of the meetings, movements, constructions and deconstructions of both material and non-material structures. Thousands of empty pages in a book, represented in this work, refer to the understanding that reading is not just the act of seeing letters and pictures, but also a process of negotiation. The main concept behind this lesson is that the highest knowledge is the core of nothing. Titarubi was born in Bandung, 1968. She lives and works in Yogyakarta. She started her journey of art in 1988. Her works have been collected by galleries, museums and exhibited in various art scenes in Asia and Europe. Exhibitions she has participated in include the Singapore Biennale, Bali Biennale, Yogyakarta Biennale, CP Biennale, Jakarta, ZKM The Center of Art and New Media (Karlsruhe,

Tromarama Germany), The Museum and Art Gallery of the Northern Territory (Darwin, Australia), Singapore Art Museum, National Museum of Singapore, Busan Biennale, and Museo d’Arte Contemporanea in Rome. In 2008 she formed the Indonesian Contemporary Art Network (iCAN).

166

This artwork was born from talks and discussions about the meaning of religion. More specifically, what is the meaning of religion for us today? We know that the religion we embrace is a legacy from our parents. Religion was given to us by birth. In this work we explore how our given religion dictates our relationship and interaction with God. Our perspective (as created beings) on how we perceive God (the creator) is also formed by religion. This brings us to the deeper fundamental question; who and what is God really? Through the journey of life, we can see how our relationship with God shifts into a more personal and intimate territory, stepping out of the public domain of religion. The only two that matter are us (humans) and God (the creator). At this point, we try to question again our relationship, as humans, with God. How do we view God as the creator? By reflecting on our past memories, everyday details and activities, we try to seek answers, looking for the meaning of God within various personal experiences. These are our efforts

250

251

Valsan Koorma Kolleri

168

as human beings who want to rediscover our Valsan Koorma Kolleri’s work relationship between the creator and His combines qualities of pure form creation. This is a space to discover meaning.” with the complexity and richness that has more to do with our indigenous culture. In an age when sculpture could as easily be an idea as Tromarama is a group that was established in its physical manifestation, or exist as a hybrid 2004 by Febie Babyrose, Ruddy Hatumena between the two, he demonstrates a rare tactile and Herbert Hans from Bandung. The three facility which covers and unifies the diverse of them studied at the Bandung Institute of media that he works with. His handling Technology. They work with videos and instal- somehow brings it all together, dismissing any lations as their mediums, but mostly stopfeeling of incongruity in materials like bronze, motion animations using a variety of objects stone, laterite and natural materials. connected with concepts of life-style, urban culture and idealism. They have participated Valsan’s work harkens to the deep unities in several exhibitions, including Mori Art in nature. For him, material in its natural Museum, Tokyo, Japan, 2nd Singapore Bienenvironment has in its sheer purity the power nial 2008 and Philagraphica 2010, Philadelto communicate far beyond what manmade phia. They have also made a solo exhibition objects can reach out to. It belongs to a uniin Tembi Contemporary Gallery, Bantul, versal order that surpasses all cultural, social Yogyakarta, titled ‘Kidult’. or political boundaries. His engagement with material and nature is inseparable from the way he seeks to experience and know life. The choice of subjects is rooted in his faith and identification with a certain way of life. His sculptures invite us to converse. His interactive power has to do with his understanding of tradition as a living flow with roots and connections that run deep in many directions of the land we inhabit.

Wedhar Riyadi Valsan extends sculpture beyond its conventional boundaries. He seeks to make sculpture into a site of reflection for architecture, working with forests, water, waste and the environment. His Sakthan Palace work and work in Kerala forests are precisely of that kind. And this power arises from his deep spontaneous connectedness with folk crafts, rituals and performative traditions. His mode of work-beginning a drawing on stone, pouring water in to the earth for instance – seems to relive ritual and performative art. Valsan’s sculptures and his way of presenting them seek to speak beyond the entrenched boundaries of communication to those who cannot see, speak or hear. To know his sculpture is akin to a walk in a natural surrounding that bears witness to destruction let loose upon it. The idea of renewal and recycle comes to a point of intense statement in some of his latest works. It arises from an innate apprehension as to what the coming age could do to the very possibility of seeing, smelling, touching and generally feeling things of the earth. (Written by students)

Valsan Koorma Kolleri ( 1953 -) trained at the Madras School of Art & Crafts, Madras; M S University, Baroda and Ecole Nationale Superior Des Beaux Arts, Paris. His more recent environmen-tally oriented installations interact with trees, new or historic architectural structures and urban spaces. He is best known for making sculptural work from found objects, of turning familiar discards to unexpected use, promoting in the found object a new existence.

170

Wedhar has collected images from magazine advertisements that represent modernization. Alongside violent images he shows forces which – in violent ways – fight global modernization. This is a struggle carried out by those who stand against change and difference.

The ‘truth’, which emerges from such a stance, according to Wedhar, will not resonate within the dualistic view of ‘right’ or ‘wrong’. He questions how these symptoms need to be Kolleri has participated in several group addressed rather than dismissed. Wedhar’s shows and has had, amongst others, solo world view enables him to find a position, or exhibitions at the Lalit Kala Academy, Sakshi ‘the right place’, in today’s secularized global Gallery & British Council in Madras. Other society. This has also shaped his aesthetic selected exhibitions include Retrospective ‘norm’ as an artist, while witnessing the as Artwork, Project Art Centre, Dublin, unfolding cacophony in his surroundings and Ireland; Newclear Age, Ananta Gallery, New how it increasingly connects to worldwide Delhi and Talwar Gallery in New York. events. Kolleri now lives and works in Kerala where he is developing a project called Artshram, Shilpapaddiam : an Arts Residency Program which focuses on Design, Fine Arts, Architecture and Landscape Architecture.

When we study Wedhar’s series of work on aluminum plates that combine techniques of sketching and painting as well as images pasted upon pages of popular magazines, we will see that the images and imaginations of violence penetrate all his choices and strategies of artistic expression. He presents images that

enhance the connection to archaic violent situations, during which reason is absent. Wedhar seemingly reproduces stories of violence in his own society. (excerpt from Hendro Wiyanto curatorial note, Daging dan Pedang: Kegaduhan di Negeri yang Subur – Meat and Sword: Riot in a Prosperous Country) Wedhar Riyadi was born in Yogyakarta, Indonesia, in 1980. He studied at the Department of Fine Arts, Indonesian Art Institute, Yogyakarta. His works often blend dark and funny elements that are inspired by science fiction, horror, cartoon, music, and fashion. He works with different mediums such as drawings, murals, comics, illustrations, stickers, posters, and three-dimensional objects. Wedhar is now considered as a new rising star in contemporary visual art world in Indonesia. He has participated in a project and residency at Okinawa, Japan (2008). He has also joined group exhibitions in international galleries in Singapore, Hongkong, New York, and Switzerland.

252

253

Wimo Ambala Bayang

172

In his work, Ka’bah, Wimo has captured four miniature versions of the Ka’bah, Mecca’s Islamic holy place, that are usually used to instruct pilgrims before they leave for hajj. Wimo has chosen these four miniature versions for their different visual characteristics to show how visual representation of Ka’bah as a holy place can be interpreted in different ways depending on specific cultural backgrounds. The diversity in interpretations regarding what is sacred and holy in each version of the Ka’bah shows that the nature of religious teaching is interpretive, which means that difference becomes a certainty. Wimo’s work also explores the problems around sacred icons in religious texts, which are actually representations of God or God’s presence made by humans. By situating the Ka’bah in a frame that confronts it with natural landscape, Wimo explores contradictions within what is natural and what is invented with respect to the idea of God. During his journey photographing the four miniature Ka’bahs, Wimo imagined himself to be on a spiritual pilgrimage, going to

Wiyoga Muhardanto sacred places, like the hajj. In this ‘performative pilgrimage’, Wimo questions the meanings of rituals in religion. Are rituals understood as something personal, or are they constructs of religious institutions that make them political rather than spiritual? Wimo Ambala Bayang was born in Magelang in 1976. He studied interior design at the Modern School of Design and photography at the Department of Photography at the Indonesian Art Institute, Yogyakarta. He works with photography and video as a medium and was one of the founders of Ruang Mes 56. His works reflect a unique perspective on culture, which he sees less as a critique than a reminder for us to go back to traditions we used to have. In 2008 he held a solo exhibition as part of a residency at Cemeti Art House with the title ‘Belanda Sudah Dekat’ (The Dutch Are Close). In 2010 he held a solo exhibition titled ‘Not So High (Heels)’ at D Gallerie, Jakarta.

Wimo participated in many residency programs among others: Lijiang Studio, China (2005), Heden Kunst Van Nu, Den Haag (2008), and South Project/ Monash, Melbourne (2009).

174

Wiyoga’s artwork is a new version of a work previously exhibited at the National Gallery of Indonesia, Jakarta. This artwork explores the connection between the perception of a person in a place and the visual symbols that offer the code of interpretation. Wiyoga has removed the visual symbols that are usually found in a specific place (in this case, the mosque) and moved them to the exhibition site. By changing the landscape of the space, the visual symbols become a surprise, something out of the ordinary. The audience is challenged to interpret the space and look at the symbols in a different way. Sandals that are placed in a specific way outside the exhibition area immediately reminds the audience of a phenomenon that we normally see at the mosque. By moving it to Taman Budaya Yogyakarta, the audience connects and associates memories from the mosque and the behavior of the people in the mosque through a different perspective. Wiyoga exploits the concept of displacement in this installation; to deconstruct the meanings we are confronted with every day. He offers the audience a chance to

reconstruct their own new meanings by connecting objects and symbols with the new environment and space. Wiyoga Muhardanto was born in Jakarta, 1984. He graduated from the Faculty of Arts and Design, Sculpture Major, Bandung Institute of Technology in 2007. He held a solo exhibition entitled ‘Window Display’ at Selasar Sunaryo Artspace in 2008. He participated in numerous joint exhibitions such as ‘Bandung Art Now’, National Gallery of Indonesia, Jakarta
‘, The Jakarta Biennale 2009 (Fluid Zones), Grand Indonesia Shopping Center, Jakarta, ‘Beyond the Dutch’, Central Museum of Utrecht, The Netherlands, ‘Jakarta Contemporary Ceramic Biennale’, NAS Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Muhardanto is a board member for the alternative art gallery in Bandung; Platform 3.

254

255

Acknowledgments Organized by: Yayasan Biennale Yogyakarta Advisor: Sri Sultan Hamengku Buwono X Board of Yayasan Biennale Yogyakarta: Oei Hong Djien Butet Kertaredjasa Mella Jaarsma Nindityo Adipurnomo Christine Cocca Eko Prawoto Suwarno Wisetrotomo Director: Yustina Neni Secretary: Dewi Yuliastuti Meily Lisdiyanti (intern) Finance Staff: Verry Handayani Friends of Biennale Jogja Coordinator: Tom Tandio Assistant Curator & Program Manager: Brigitta Isabella Exhibition Manager: Ahmad Khairudin “Adin” Marketing Team: Anastasia Rina Damayanti Julia Tetuko (volunteer)

Thanks to Exhibition Team: Hamada Adzani Mike Linthon Stepahanie Claussie D. Namira Larasati Disa Anindiati Rafika Sulistiya (intern) Pauline (intern)

Lawa Kusa Team: Mulyakarya Yogyakarta Yuda Mahesa Sidarta M. A. Eddy Ertanto Wildan Effendi

Marketing Coordinator & Public Relations: Elga Ayudi Erfina Oktaviani (intern) Deni S. Jusmani (intern)

Field Staff: Agus Sugito Arman Effendi Ali Rohmat

Outdoor Publication: Hendy Setiawan Budi Santosa

Database Coordinator & In house design: Johanes Budi

Artistic Director of Equator Festival: Joned Suryatmoko Production Manager of Equator Festival: Vindra Diratara Equator Festival Team: Ratna Mufida Antonius Fajar Riyanto Andy Sri Wahyudi Programme Coordinator of Parallel Events: Aisyah Hilal Coordinator of Lawa Kusa: H. Cahya Sixen Hawayanto Script Development: Gunawan Maryanto

Area Coordinator: Ignatius Kendal

Display & Space: Anto Hercules Documentation: Dwi Oblo Arif Sukardono Banjar Tri Andaru Herkristi Kusumaningtyas (magang/ intern) Indra Arista Ramadhan (magang/ intern) Volunteer Coordinator: Tri “inud” Nugroho Hendy Setiawan Opening-Closing Ceremony Team: Kusen Alipahadi Gading Narendra Paksi

Volunteers: Aditya Mahendra Putra, Adventia Novi Astuti, Adya Satya Puspita, Agung Yuliyanto, Agustin Arsa Nurwiranti, Ahmad Muflihin, Ainun Fahmi Yanuarti, Alyas Abibawa Widita, Amirna Tita Listiana, Andhika Pangestu, Andy Setyanta, Angela Bayu Pertama Sari, Anindita Fitri Bestari, Arie Heraldin Hutama, Aries Danu Jundan Susilo, Bonfilio Elyan, Brian Erifiana, Budi Anre, Chelvianita, Kusnadra, Chintami Satyagraha, Clara Soca Atisomya, David Susilo Nugroho, Della Desiva Noor, Dewi Puspita Ratnaningrum, Dita Septianda, Diyan Fatimatuz Zahro, Dolorosa Lintang Suminar, Dono Asmoro, Dwi Yuniastuti, Dwy Fafuaningsih, Dyah Styowati Anggrahita, Elisabeth Yudisteria, Febronia Meda Sulistyaningtyas, Fitria Ariningsih, Fitriana Nur Aini, Fuad Ardi Nugraha, Fuji Riang Prastowo, Granita Zulaycha, Hafizar Gustin, Hana Yunianti, Hari Roshinta Devi, Humamah Azizah, Ian Riyanti, Irine Octavianti Kusuma Wardhanie, Jallu Pratama, Kurnia Wijaya Handayani, Louissa Meigytha Manihuruk, Marsha Legita Kejora, Meda Agustinna, Mega Ayu Permatasari, Muhammad Fakhruzzaman, Musrifatun Nangimah, Nadia Akmalia, Nidya Tiya Vitri, Nima Hikmawati, Novianti Simanjuntak, Noviastuti Putri Indrasari, Nur Fajrina R, Nurina Rizky Savitri, Nyuwita Mega Marhendhini, Octavia Sipahutar, Okki Anggoro, Pablo Pasemah, Partiwi Ratih Dewanti, Paulina Popy Kirana, Prima Yuliastuti, Pristi Andika, Putri Oktavianti, Reiza Ratnafuri, Restu Rahayu, Reza Aria Pratama, Rieka Anggraini, Rifka Rahmani, Rizkinessa Grahitaningtyas Poeticalitani, Roberta Alfanny Anandyah Fidelya Theedens, Robertus Rony Setiawan, Sanjaya Ancas Mahardika, Savytri Eka Dewi, Sayyid Nurnikmad Al-Zahir, Septi Setyawati, Shinta Kusuma Wardani, Sydney Samba, Thalita Evani Hindarto, Theresia Karninda, Veronica Ninna May Anggraeni, Vremita Desectia Amretasari, Wisnu Damarsasi Ragil Putra, Yanuar Sinto Anggoro, Yohanes Riyanto, Yolandri Lidya Frederika Simanjuntak, Yosephin Dian Sarimastuti Lenders: Bpk. Sunarto Tinor Bpk. Tirto Yuwono Ibu Natasha Sidharta Friends of Biennale Jogja: Patron: Mr. Michael Tay Ark Galeri KRA Group & VWFA Duta: Bpk. Tom H. Tandio Bpk. Patrick Walujo Bpk. Irwan Widjaja Bpk. Axton Salim Kencana: Bpk. Irawan Hadikusumo, Ibu. Paula Dewiyanti, Bpk. Bernard Thien, Ibu. Susan Santoso, Ms. Karen Lo, Emmitan Contemporary Art Gallery, Bruno Wauters, Bpk. Benny Surjadharma, Ms. Susanna Perini, Lombard-Freid Projects

256

Bintang: Bpk. JR Radjimin, Bpk. Franky Wongkar, Bpk. Sunarto Tinor, Ibu. Natasha Sidharta, Ibu. Aniela Rahardja, Bpk. Robbyanto Budiman, Bpk. Nicholas Tan, Bpk. Jeyson Pribadi, Bpk. Ronnie S Haryanto, Rachel Ibrahim Gallery, Bpk. Indra Leonardi, Bpk. Chris Dharmawan, Dr. Melani Setiawan, D Gallerie, Ibu. Reina Kumala, Bpk. Handoyo Sutanto, Bpk. Michael Goenawan, Bpk. Haryono Budiono, Vanessa Artlink, Galeri Canna, umahseni, Bpk. Simon Tan, Bpk. Andrew Labbaika, ArtSociates, Tembi Rumah Budaya, Bpk. Paulus Sutrisno, Bpk. Aries P. Iskandar, Marsio Fine Art Gallery Kawan Sukarelawan: Achmad Noor Arief, Agan Harahap, Agung Kurniawan, Aji Wartono, Alexander Sriewijono, Amna Kusumo, Antariksa, Anton Ismael, Anton Suryana, Arie Dyanto & Nadiah Bamadhaj, Arief Tuosiga, Bambang Ertanto, Budi Suryanto, Bunga Jeruk, Christina Schott, Dambung Lamuarajaya, Djoko Pekik, Eddi Prabandono, Eggy Yunaedi, Entang Wiharso, Fajar Handika, Farah Wardani & Hasnul Rahmat, Farhan Siki, FX Harsono, Galam Zulkifli, Gamaliel W. Budiharga, Garin Nugroho, Hartono Karnadi, Hendra “Hehe” Harsono, Hendro Wiyanto, Ichwan Noor, Ifa Isfansyah, Jeannie Park, Jenny Lindsay, Jim Allen Abel, John McGlynn, Kuntz Agus, Lenny Ratnasari, Melisa Angela, Mia Maria, Mikke Susanto, Nasirun, Ninus Anusapati, Niya, Gagat, dan Tara, OFCA, Pitra Hutomo, Restu Kinanti, Rifky Effendi, Santi Ariestyowanti & Miko Bawono, Sintha Melli, Tanty Edowaty, TEMBI Rumah Budaya, Yan Christy Mahanani, Yetty Aprilia, Yoshi Fajar Kresnomurti, Yusra Martunus Also thanks to: Dyan Anggraeni Hutomo, Kuss Indarto, Anggi Minarni, Ong Hari Wahyu, Agung Hujatnika Jenong, Mie Cornoedus, Ingvild Solvang, Joan Suyenaga, Ben Fox, Chaitanya Sambrani, Christine Clark, Margot Cohen, Agasthaya Tappa, Annapurna Garimella, Sarat Maharaj, Grant Watson, Ratan Gopinath, Gowri Gopinath, Vrinda Parigi, Amar Kanwar , N S Harsha, Sunitha Kumar Emmart, Aashti Mudnani and Aarthi from Galleryske, Arshiya Lokhandwala, Lakeeren Gallery, Shalini Sawhney, Guild Gallery, Sheela Gowda, Geetha Mehra, Sakshi Gallery, Jangkrik Mebel by Bayu, Jurusan Teknik Geologi, Universitas, Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, Komunitas “Bol Brutu”, Green Map Yogyakarta, Tour Agama ViaVia Jogja, Jakarta Broadway Team, Subkhi Ridho, Pusvyta Sari, Pondok Pesantren Nurul Ummah, Masjid Kota Gede, Klenteng Gondomanan, Gereja Kotabaru, Pura Jagadnata, Sanggar Persada SaptoDharmo, Gereja Kristen Indonesia, Vihara Karangjati Jetis, Toko Buku Togamas Yogyakarta, SMAN 2 Yogyakarta, MA Pandanaran, Kolesse De Britto Yogyakarta, SMA Santa Maria Yogyakarta, SD Muhammadiyah Sapen, SD Kanisius Demangan, Sanggar Seni Bodronoyo, PKBI DIY, Universitas Islam Indonesia, Taman Pintar, Kadus Pendoworejo, Desa Pendoworejo, Kec Girimulyo, Kulon Progo, Kadus Kadisoro, Desa Gilangharjo, Kec Pandak, Bantul, Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Kadisoro 1, Lurah Pasar Mangiran, Kec Sapu Angin, Bantul, Karang Taruna Bukit Putra, Mandiri, Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul, SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 3 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, SMA Muhammadiyah 5 Yogyakarta, SMA Stella Duce 2 Yogyakarta, SMA Kristen Budya Wacana, SMA Piri 1 Yogyakarta, MAN Yogyakarta 1, SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan Taman Siswa Yogyakarta, Hedi Haryanto, Lugas Syllabus, Terra Bajraghosa, M. Irfan, Stevan Chondro, Adlan Bagus Pradana, Novian Widhiadharma (Perhimpunan Pelajar Indonesia India), Yopina Galih Pertiwi, Afra Suci, Indrawan dan Wiwik Prahabaryaka, Yayasan Medayu Agung Surabaya, Jawaharlal Nehru Foundation, Indrawan Prahabaryaka, Hersri Setiawan, Mohamad “Ucup” Yusuf/Taring Padi, Amalinda Savirani, PM. Laksono, Halim HD, G. Budi Subanar, Hendro Wiyanto, Enin Supriyanto, Grace Samboh, Adi Wicaksono, Jurusan Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Theodorus Christanto, Nuraini Juliastuti, Rony Lantip, Edhi Sunarso & Keluarga, S. Teddy D., Asmudjo Jono Iriyanto, Acapella Mataram Pardiman Djoyo Negoro, Frau, Jogja Hip Hop Foundation, Yayasan Disko Lombok Horor, Drs. Djoko Dwiyanto, M. Hum, Dr. Timbul Raharjo, M. Hum, Maria Hartiningsih, Bambang Purwanto, Ari Sudjito, C. Prasetyadi, Widhi Arya, Putri Adju, Irham, Wira, Irvin Domi, Dyah Soemarno, Gandhung, Githa Hariharan & Mohan Rao, Naman Ahuja

257

jogja national museum

258

PENDUKUNG UTAMA

PENDUKUNG UTAMA VENUE

PENDUKUNG

PARTNER MEDIA

PENGEMBANG WEBSITE

259

260

View more...

Comments

Copyright © 2017 DATENPDF Inc.