Profesionalisme Hamba Tuhan (PDF Download Available)

May 23, 2016 | Author: Anonymous | Category: Documents
Share Embed


Short Description

11 Dec 2017 - mula-mula masih memakai kitab Perjanjian Lama dan ajaran Musa sebagai. alkitab dalam ibadah mereka, selain...

Description

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 Bunga Rampai

Penyunting: Ev. I Putu Ayub Darmawan, M.Pd

Sekolah Tinggi Teologi

SIMPSON 2017

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21: Bunga Rampai Penyunting: Ev. I Putu Ayub Darmawan, M.Pd

Copy Editing: Kiki Priskila Cover: Maria Benedetta Mustika

136 hlm., Times New Roman 11pt. 15 x 23 cm

ISBN: 978-602-60350-5-9

Terbitan I: Agustus 2017.

Penerbit: Sekolah Tinggi Teologi Simpson Jl. Agung No. 66, Krajan, Kel. Susukan, Kec. Ungaran Timur, Kab. Semarang, Jawa Tengah (50526) Telp. (024) 6924853 Email: [email protected] Katalog Dalam Terbitan (KDT) Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21: Bunga Rampai/ penyunting: I Putu Ayub Darmawan -- Ungaran: Sekolah Tinggi Teologi Simpson, 2017. vi, 136 hlm.; 23 cm ISBN: 978-602-60350-5-9 1. Teologi I. Darmawan, I Putu Ayub

2. Pendidikan Kristen II. Judul.

ii – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21

KATA PENGANTAR Lahirnya Sekolah Tinggi Teologi Simpson (STT Simpson) pada 19 Agustus 1983, dengan nama Sekolah Theologia Menengah Atas (SThMA), merupakan sebuah pergumulan panjang untuk menjawab kebutuhan hamba Tuhan, khususnya untuk Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Jawa Sumatera dan bertujuan untuk melaksanakan amanat agung Yesus Kristus. Sekolah tersebut kemudian terus berkembang hingga menjadi perguruan tinggi dengan nama STT Simpson dan menempati lahan di Krajan, Susukan, Ungaran, Kabupaten Semarang. Perjalanan panjang sejak 1983 dipenuhi dengan berbagai tantangan dan Tuhan menolong STT Simpson untuk menghadapi tantangan tersebut. Hingga tahun 2017 ini, STT Simpson berusaha untuk tetap setia pada amanat agung Yesus Kristus sehingga Injil kerajaan Allah terus diberitakan. Oleh karena itu, untuk memperingati 34 tahun (1983-2017) berdirinya STT Simpson, maka disusunlah sebuah buku bunga rampai yang memuat hasil karya beberapa dosen STT Simpson dan mitra. Judul yang diambil untuk buku bunga rampai ini adalah Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21. Judul tersebut dipilih karena adanya kerinduan untuk kembali pada semangat lahirnya STT Simpson. Para penulis dari luar STT Simpson yang menyumbangkan karyanya hingga menjadi sebuah buku yang saat ini berada ditangan pembaca adalah Dr. Sahat M. Sinaga, M.Th dari STT Harvest Internasional Semarang, Ev. Sundoro Tanuwidjaja, M.Th dari Pelayanan Garam Bali, Pdt. Dr. Priyantoro Widodo, M.Th dari STT Baptis Indonesia, Semarang. Sementara dosen STT Simpson yang menyumbangkan naskahnya dalam buku ini adalah Ev. I Putu Ayub Darmawan, M.Pd, Edi Sujoko, M.Pd, Pdt. Jamin Tanhidy, M.Th, Pdt. Dr. Krido Siswanto, M.A, M.Th, dan Pdt. Dr. Enggar Objantoro.

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – iii

Satu artikel dalam buku ini ditulis oleh Pdt. Samuel Sumule, M.Div dan artikel tersebut serasa sebuah warisan bagi STT Simpson. Sebagai salah satu pioner dan pemimpin di STT Simpson1, Pdt. Samuel Sumule meninggalkan satu tumpuk tulisannya pada anak pertamanya, Ester Elmi. Tulisan tersebut kemudian diserahkan ke STT Simpson dan diketik ulang. Rencananya seluruh tulisan tersebut akan diterbitkan pada tahun 2018, tetapi oleh pertimbangan Bidang Penerbitan dan Publikasi STT Simpson, satu bagian dari buku tersebut dimasukkan dalam bunga rampai ini. Sebelum berpulang ke rumah Bapa di Surga (Beliau meninggal 17 Maret 2006 di Toraja), Pdt. Samuel Sumule masih menyempatkan diri berbicara dihadapan seluruh civitas akademika STT Simpson dan memberi penguatan serta dorongan agar terus setia mewartakan Injil Kerajaan Surga. Puji Tuhan, dalam kesempatan ini, penyunting memperoleh kesempatan mendengarkan khotbah yang penuh semangat. Warisan berupa teladan hidup, kesetiaan pada Tuhan, dan tulisan yang akan terbit merupakan berkat yang Tuhan beri bagi STT Simpson. Kesempatan ulang tahun STT Simpson ke-34, patut rasanya menjadi moment berharga untuk mengingat kembali apa yang Tuhan sudah kerjakan melalui Pdt. Samuel Sumule, oleh sebab itu memasukkan salah satu tulisan yang menggambarkan semangat beliau dalam buku ini merupakan usaha mengingat kembali apa yang Tuhan sudah kerjakan melalui Pdt. Samuel Sumule. Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang menyumbangkan pemikirannya dalam bentuk artikel. Kiranya buku ini dapat meneguhkan panggilan pelayanan amanat agung Yesus Kristus bagi setiap murid-Nya (Mat. 28:19-20). Ungaran, 19 Agustus 2017 Ev. I Putu Ayub Darmawan, M.Pd Penyunting

1

Pdt. Samuel menjabat sebagai pejabat sementara dari tahun 1984 hingga 1986 dalam masa peralihan dari SThMA yang bertempat di Tandang, Kota Semarang menjadi Seminari Theologi Simpson (STS) yang kemudian menjadi STT Simpson dan menempati lahan di Krajan, Susukan, Ungaran, Kabupaten Semarang.

iv – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21

Daftar Isi Kata Pengantar ............................................................................... iii Daftar Isi ........................................................................................ vi 1.

Negeri Pancasila: Panggilan Inklusif Gereja di Indonesia Oleh Dr. Sahat M. Sinaga, M.Th...........................................

2.

Mengapa Mengabarkan Injil? Oleh Pdt. Samuel Sumule, M.Div .........................................

3.

65

Profesionalisme Hamba Tuhan Oleh Pdt. Jamin Tanhidy, M.Th ............................................

7.

47

Janji Manis Teknologi Oleh Ev. Sundoro Tanuwidjaja, M.Th ..................................

6.

33

Model Pengembangan Pelayanan Anak Oleh Edi Sujoko, M.Pd.........................................................

5.

23

Murid Yang Memuridkan Oleh Ev. I Putu Ayub Darmawan, M.Pd ...............................

4.

1

75

Pemimpin yang Sukses dari Perspektif Kepemimpinan Kristen Oleh Pdt. Dr. Krido Siswanto, MA .......................................

91

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – v

8.

Makna Gembala Dalam Alkitab Hingga Fungsi Jabatannya Dalam Gerejawi Oleh Pdt. Dr. Priyantoro Widodo, M.Th ............................... 103

9.

The Contextual Church Leadership Oleh Pdt. Dr. Enggar Objantoro............................................ 123

Profil Penulis ............................................................................... 135

vi – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21

6 Profesionalisme Hamba Tuhan Pdt. Jamin Tanhidy, M.Th

A. PENDAHULUAN Tuntutan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan memadai dalam sebuah bidang pekerjaan semakin menjadi perhatian dan diperhitungkan, baik di dalam sebuah organisasi swasta maupun pemerintah. Kualitas SDM dikedepankan demi peningkatan kualitas pelayanan dan produktifitas sebuah perusahaan atau organisasi itu sendiri. Tendensi ini juga sudah merambah dunia pelayanan, baik di dalam organisasi gereja maupun lembaga-lembaga Kristen di luar gereja. Meskipun demikian, masih banyak orang Kristen bahkan di kalangan hamba Tuhan tak terkecuali, tidak sependapat dalam hal profesionalisasi1 tugas dan pekerjaan seorang hamba Tuhan atau Rohaniawan dipandang sebagai sebuah profesi. Kondisi ini terjadi, dalam pandangan penulis disebabkan oleh kurangnya pemahaman banyak orang percaya tentang apa yang disebut dengan “Profesi” itu sebenarnya. Oleh karena itu, perlu sekali dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “profesi” itu sesungguhnya.

1

Menurut Moeliono sebagaimana dikutip oleh Nurdin menjelaskan profesionalisasi sebagai proses membuat suatu badan organisasi menjadi profesional, dan hal ini juga berlaku bagi seorang individu yang menjabat profesi tertentu, misalnya guru, lihat Syafruddin Nurdin, Guru Profesional & Implementasi Kurikulum (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), 13.

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – 75

Pengertian profesi mengacu kepada jabatan atau pekerjaan seseorang yang menuntut adanya pendidikan, latihan dan keahlian para pemangkunya sehingga tidak dapat dipegang oleh sembarang orang. 2 Pada hakekatnya, dapat disimpulkan bahwa profesi merupakan sebuah pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan latihan serta pendidikan khusus, dan tidak dapat dilakukan oleh orang biasa yang tidak memiliki kemampuan atau keahlihan dan keterampilan khusus dalam bidang profesi yang dipangkunya. Misalnya, profesi dokter dan pengacara. Dalam hal ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang belum punya latar belakang pendidikan dan skill atau kompetensi sebagai seorang dokter atau pengacara. Selain itu, ada pemahaman keliru yang berkembang di kalangan orang percaya (awam maupun rohaniawan) yang memandang sebutan profesi cenderung berbau sekuler dan mementingkan profit daripada pelayanan dan pengabdian. Hal inilah yang perlu diluruskan sebab yang benar adalah bahwa sesungguhnya hakekat profesi juga tidak terlepas dari pengertian sebagai sebuah pekerjaan yang mengutamakan pengabdian pada masyarakat dan bukan untuk mencari keuntungan secara materi/finansial bagi diri sendiri,3 sebagaimana stigma negatif yang selama ini telah terlanjur melekat dalam dunia kerja profesional atau sekuler seperti yang telah disinggung di atas. Setelah kita memahami apa itu hakekat profesi sesungguhnya, maka jelas ada perbedaan mendasar antara pengertian “pekerjaan” yang biasa dipahami oleh kebanyakan orang pada umumnya dengan apa yang dimaksud dengan “profesi”. Sebuah profesi sudah pasti merupakan sebuah bidang pekerjaan, namun sebuah pekerjaan belum tentu menjadi sebuah profesi. Sebagai contoh, semua orang bisa melakukan pekerjaan menyiram bunga, mencuci piring, menyapu dan mengepel lantai. Ini adalah jenis pekerjaan biasa yang tidak bisa dipahami sebagai profesi. Tetapi untuk menjadi seorang dokter atau arsitek ma-

2

Profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlihan tertentu. Artinya suatu pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, tetepi memerlukan persiapan melalui pendidikan dan pelatihan secara khusus, lihat Kunandar, Guru Profesional (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), 45. 3 Nurdin, Guru Profesional, 15.

76 – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21

ka seseorang harus menempuh pendidikan dan memiliki keterampilan di bidang tersebut. Inilah yang disebut profesi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka tugas atau pekerjaan seorang hamba Tuhan lebih tepat dipahami sebagai sebuah profesi karena menuntut adanya panggilan khusus dari Tuhan4 dan pendidikan khusus (teologi), dibandingkan pekerjaan yang biasa pada umumnya (seperti pekerjaan menyapu dan mengepel lantai yang bisa dilakukan siapa saja tanpa harus latihan dan menempuh pendidikan terlebih dahulu). Hal ini pula sudah menjadi ketentuan di berbagai organisasi gereja bahwa tidak boleh seseorang sembarangan diangkat dan ditahbiskan untuk memangku jabatan pendeta. Namun demikian, sangat disayangkan bahwa realita yang terjadi di lapangan adalah ada orang-orang percaya (baik awam maupun pengurus jemaat bahkan hamba Tuhan/rohaniawan) yang menolak arti jabatan dan pekerjaan seorang hamba Tuhan sebagai sebuah profesi. Lucunya, mereka ini yang menolak pekerjaan seorang hamba Tuhan sebagai sebuah profesi, justru memegang keyakinan bahwa jabatan hamba Tuhan atau pendeta itu tidak boleh dijabat sembarang orang (dimana pemikiran ini sebenarnya baik disadari atau tidak, sudah tersirat pengertian tentang pekerjaan sebagai sebuah profesi sebagaimana yang dimaksud dalam tulisan ini). Bahkan, kelompok yang tidak setuju ini menuntut syarat bahwa seorang hamba Tuhan sebaiknya adalah seorang yang sudah lulus dari sekolah Alkitab atau paling tidak pernah menempuh pendidikan teologi agar pengajaran, keterampilan dan karakter yang dimilikinya benar, berkualitas dan baik adanya. Hal inilah yang penulis maksudkan bahwa pemahaman tentang pekerjaan seorang hamba Tuhan dari kelompok di atas dengan sendirinya sudah menyiratkan pengertian jabatan dan pekerjaan seorang hamba Tuhan/Rohaniawan sebagi sebuah profesi (meski tanpa disadari karena sempitnya pemahaman tentang apa itu profesi sesungguhnya dan stigma negatif yang melekat di dalamnya). Melanjutkan pembahasan di atas, maka jika kita konsisiten memahami jabatan dan pekerjaan seorang rohaniawan/hamba Tuhan me4

Jansen Sinamo, Delapan Etos Kerja Profesional (Bandung: Bina Media Informasi, 2012), 129.

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – 77

merlukan karakter yang ilahi, panggilan, pendidikan dan keterampilan khusus dalam rangka melaksanakan tugas mulia yang dipercayakan Allah kepadanya. Contohnya seperti menggembalakan, berkhotbah, konseling, mengajar, memimpin dan menginjil, dll., maka sesungguhnya pemahaman ini sudah mencakup apa yang disebut dengan profesi. Oleh karena itu, tidaklah keliru dan berlebihan bila memahami jabatan atau pekerjaan seorang hamba Tuhan/Rohaniawan yang melayani Tuhan sepenuh waktu sebagai sebuah profesi. Sebagai dampaknya, maka tidak perlu heran apabila kondisi di lapangan pelayanan pada masa kini, semakin mengedepankan dan menuntut apa yang dikenal saat ini dengan profesionalisme5 seorang hamba Tuhan/Rohaniawan. Seiring dengan kondisi ini pula maka tidaklah berlebihan bila seorang hamba Tuhan dapat disebut sebagai seorang pekerja yang profesional6 di bidangnya. Setelah panjang lebar menjelaskan hakekat tugas dan pekerjaan seorang hamba Tuhan sebagai sebuah profesi serta tuntutan profesionalismenya yang semakin berkembang di dunia pelayanan, maka dalam bagian selanjutnya akan dibahas referensi dari Alkitab yang menjadi dasar atau landasan untuk membicarakan lebih luas dan mendalam tentang tugas seorang hamba Tuhan/Rohaniawan sebagai seorang profesional itu sesungguhnya, profesionalisme dan hak terkait di dalamnya, seperti yang diungkapkan oleh Rasul Paulus dalam Suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus Pasal 9. B. PROFESIONALISME DALAM PERSPEKTIF ALKITAB Apakah Alkitab ada membicarakan soal profesionalisme seorang hamba Tuhan? Jawabannya jelas ada. Contoh konkrit yang diambil dalam tulisan ini ialah kehidupan dan pelayanan rasul Paulus. Dalam surat pertama yang ditulis Sang Rasul kepada jemaat di Korintus, khususnya pasal 9 yang dirujuk dalam tulisan ini, dilatarbela5

Profesionalisme adalah kondisi arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlihan dan kewenangan yang berkaitan dengan mata pencaharian seseorang, lihat Kunandar, Guru Profesional, 46. 6 Pengertian profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlihan, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi, Lihat Kunandar, Guru Profesional.

78 – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21

kangi oleh persoalan yang muncul di dalam jemaat Korintus pada waktu itu yaitu ada jemaat meragukan jabatan Paulus sebagai Rasul Kristus. Kondisi ini diakibatkan dari perpecahan yang terjadi di dalam jemaat Korintus dimana ada kelompok jemaat yang menamakan diri mereka sebagai pengikut Apolos, Petrus/Kefas, Kristus, bahkan Paulus sendiri pun diidolakan juga, (bandingkan I Korintus 3:4). Besar kemungkinan, kelompok jemaat yang tidak mengidolakan Paulus, (terutama kelompok yang mengidolakan Petrus karena ia adalah seorang Rasul Kristus), mengkritik legalitas kerasulan Paulus. Guna menjawab kritikan di atas, Paulus memberikan jawabannya sebagai berikut: Bukankah aku rasul? Bukankah aku orang bebas? Bukankah aku telah melihat Yesus, Tuhan kita? Bukankah kamu adalah buah pekerjaanku dalam Tuhan? Sekalipun bagi orang lain aku bukanlah rasul, tetapi bagi kamu aku adalah rasul. Sebab hidupmu dalam Tuhan adalah meterai dari kerasulanku. Inilah pembelaanku terhadap mereka yang mengeritik aku (1 Kor. 9:1-3). Jawaban Paulus di atas sebenarnya menonjolkan profesionalismenya sebagai seorang hamba Tuhan dengan jabatan sebagai rasul Kristus yaitu panggilan dan buah pelayanannya. Soal panggilan jelasbahwa Paulus bertemu dan melihat Yesus di dalam perjalanannya ke Damsyik (Damaskus) dimana ia memahami dirinya sendiri sebagai rasul terakhir yang telah menyaksikan dengan matanya sendiri Kristus yang bangkit dan dipermuliakan (1 Kor. 15:8) serta ia mengklaim jabatan rasulinya berdasarkan anugerah Allah. 7 Pengalaman ini telah menjadi titik balik perubahan dan pertobatan hidupnya. Melalui peristiwa ini Tuhan memanggilnya secara khusus sebagai rasul untuk melayaniNya sepenuh waktu. Pengalaman itu menjadi tanda bahwa ia telah memenuhi salah satu syarat bagi seorang yang layak disebut Rasul Kristus yaitu mempunyai pengalaman pribadi melihat Kristus yang telah bangkit itu (Kis. 1:21-22)8.

7

Willem A. VanGemeren, Progres Penebusan (Surabaya: Penerbit Momentum, 2016), 435. 8 Warren W. Wiersbe, Hikmat di Dalam Kristus (Bandung: Kalam Hidup, 1983), 121.

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – 79

Jadi Paulus ingin membuktikan bahwa panggilannya sebagai Rasul dapat dipertanggungjawabkan dan bukan atas kehendaknya sendiri. Selain itu, Paulus juga menunjukkan bahwa dirinyalah yang merintis jemaat di Korintus dan mereka adalah buah dari pelayanannya (lihat 1 Kor. 18:1-21). Inilah aspek profesionalisme Paulus yang perlu dicermati. Kedua hal di atas, yaitu pengalaman panggilan khusus sebagai Rasul Kristus serta hasil atau buah pelayanannya di Korintus, menjadi meterai kerasulannya sekaligus menunjukkan profesionalisme Paulus sebagai seorang hamba Tuhan. Di samping itu, jangan dilupakan bahwa Paulus sudah mengenyam pendidikan yang tinggi di bawah asuhan Gamaliel, seorang Rabi (Guru Besar) Yahudi. Hal inilah membuat Paulus memiliki pendidikan formal yang lebih baik dan pengetahuan akan Taurat yang lebih mendalam dibandingkan rasul-rasul lainnya.9 Hal-hal di atas menunjukkan bahwa Paulus memenuhi syarat disebut sebagai hamba Tuhan dan Rasul yang profesional, yaitu dimana Paulus sudah menerima panggilan langsung dari Kristus sebagai Rasul, hasil atau buah pelayanannya dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Semua hal-hal di atas menjadi alat kelengkapan yang dipakai Tuhan dan melekat dalam diri Paulus yang melegitimasi profesinya sebagai rasul Kristus. Bahkan penulis meyakini bahwa Tuhan sudah menyiapkan Paulus untuk menuliskan dan membukukan rahasia-rahasia firman-Nya. Tidak kurang dari 13 surat telah ditulis oleh sang rasul dan mengisi susunan kitab Perjanjian Baru yang dipakai jemaat Kristen pada awal abad masehi dan masih dipakai oleh jemaat Kristen sampai pada masa kini.

9

Andrew Brake berkomentar bahwa yang menjadikan Saulus (nama Paulus sebelum mengenal Kristus) begitu hebat adalah latar belakang dan intelektualitasnya, dimana ia dididik di salah satu universitas terbaik pada masa itu, yaitu di Tarsus dan belajar di bawah didikan Gamaliel, salah satu pengajar terhebat di kalangan Yahudi pada masa itu. Ia juga bergabung dengan sebuah kelompok yang secara ketat mengikuti taurat yaitu kaum Farisi serta fasih berbicara dalam bahasa Yunani, Ibrani dan Aram, lihat Andrew Brake, Menjalankan Misi Bersama Yesus: Pesan-pesan bagi Gereja dari Kisah Para Rasul (Bandung: Kalam Hidup, 2016), 196.

80 – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21

Berkaca pada panggilan, buah pelayanan dan latar belakang pendidikan rasul Paulus di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada masa kini setiap orang yang sudah meyakini dan mengalami panggilan khusus dari Allah untuk melayani sepenuh waktu, dibuktikan dengan hasil atau buah pelayanannya dan latar belakang pendidikan teologi yang dimilikinya, layak disebut sebagai seorang yang berprofesi sebagai pelayan atau hamba Tuhan dan dituntut menunjukkan profesionalismenya. C. PROFESIONALISME DAN HAK HAMBA TUHAN Dalam dunia kerja masa kini, pemakaian istilah “profesional” di dalamnya melekat pula tuntutan hak atau upah sesuai dengan kualitas dan produktifitas yang dimiliki seseorang dalam menjabat profesi tertentu. Seorang Juru masak (chef) yang bekerja di sebuah hotel bintang lima misalnya, sudah pasti ia diberi honor atau upah yang tinggi dan sebagai konsekuensinya ia dituntut untuk dapat kreatif dan inovatif mengolah menu masakan sehingga mampu menjadi andalan guna memberikan kontribusi positif di tempat dimana ia bekerja. Sudah pasti juga upah atau honor yang ia terima disesuaikan dengan produktifitas kerjanya, apalagi jika ia adalah seorang master chef atau juru masak terkenal. Yang menjadi masalah ialah apakah tepat jika pemahaman dan kondisi dunia kerja di atas diterapkan kepada profesi seorang pendeta atau Rohaniawan/hamba Tuhan yang melayani Tuhan sepenuh waktu? Kemudian, layakkah seorang hamba Tuhan menuntut haknya secara memadai dari tempat dimana ia melayani? Jawabannya masih menjadi polemik atau pro dan kontra tentunya. Hal ini disebabkan, pertama oleh karena bidang pelayanan Kristen merupakan bidang pekerjaan yang Non-Profitabel alias tidak berfokus mencari untung semata (sebagaimana yang sering dijumpai dalam organisasi atau perusahaan sekuler pada umumnya). Kedua, adanya realita atau kenyataan bahwasanya tidak semua gereja atau organisasi Kristen mampu memberi upah atau penghargaan yang tinggi kepada para hamba Tuhan/ Rohaniawan. Jika demikian bagaimana seharusnya kita memaknai profesi hamba Tuhan dan upah atau hak yang semestinya ia terima? Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari simak pandangan Paulus berkaitan dengan hal ini. Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – 81

1. Seorang Pekerja Atau Pelayan Tuhan Patut Mendapat Upah Yang Sewajarnya Menurut Paulus, seorang pekerja atau pelayan Tuhan patut mendapat upah yang sewajarnya. Honor atau upah ini dipakai untuk kehidupan sehari-hari dan menghidupi rumah tangganya, sebagaimana dicatat dalam surat 1 Korintus 9:4-6 yang berbunyi demikian: “Tidakkah kami mempunyai hak untuk makan dan minum? Tidakkah kami mempunyai hak untuk membawa seorang isteri Kristen, dalam perjalanan kami, seperti yang dilakukan rasul-rasul lain dan saudara-saudara Tuhan dan Kefas?” Nats di atas menjelaskan prinsip pelayanan Rasul Paulus dimana ia memegang keyakinan bahwa seorang pekerja atau pelayan Tuhan, mempunyai hak mendapat tunjangan dari jemaat untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari, termasuk tunjangan keluarga mereka (khususnya bagi hamba Tuhan yang berumah tangga/mempunyai istri seperti Kefas/Petrus dan rasul-rasul lainnya yang membawa serta istrinya dalam perjalanan pelayanan misi mereka). Meskipun Paulus sendiri dalam hal ini tidak menikah, tetapi seandainya ia mempunyai isteri, maka isterinya pun berhak ditunjang oleh jemaat,10 demikian penjelasan Wiersbe terhadap nats tersebut di atas. Kemudian, Paulus melanjutkan pendapatnya tentang upah atau hak seorang pelayan atau hamba Tuhan dari konteks nats di atas demikian: “Siapakah yang pernah turut dalam peperangan atas biayanya sendiri? Siapakah yang menanami kebun anggur dan tidak memakan buahnya? Atau siapakah yang menggembalakan kawanan domba dan yang tidak minum susu domba itu?” (1 Kor. 9:7). Dalam ayat tersebut di atas, Paulus sebenarnya ingin memberikan pengertian dan menegaskan kepada jemaat di Korintus bahwa pekerjaannya sebagai hamba Tuhan di dalam jemaat Korintus ibarat seorang prajurit yang berdiri di garis depan dalam medan perang (karena ia yang memulai atau merintis berdirinya jemaat Korintus) dan untuk itu ia layak dibiayai. Paulus juga membandingkan jemaat Korintus sebagai ladang (kebun anggur) yang sudah diolah dan ditanami olehnya (1 Kor. 3:69)11 dimana ia berhak menikmati buah hasil tanaman yang masih dipe10 11

Ibid. Ibid, 122.

82 – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21

liharanya sampai saat itu. Demikian pula Paulus ingin menunjukkan bahwa ia berprofesi layaknya seorang gembala domba yang berhak atas susu domba-dombanya (suatu gambaran yang lazim pada masa kini untuk sebutan seorang Gembala Sidang atau Pendeta yang diberi tugas menggembalakan jemaat atau kawanan domba Allah dalam sebuah gereja lokal). Ketiga analogi di atas, pada hakekatnya sama yaitu menjelaskan bahwa seorang pelayan atau hamba Tuhan patut dan berhak mendapat tunjangan dan hak dari hasil pekerjaannya, hal ini ditegaskan Wiersbe yang berkomentar dalam konteks nats ini (1 Kor. 3:6-9) demikian: “Jika ini [maksudnya upah] berlaku dalam bidang “sekuler”, maka ini juga berlaku dalam bidang rohani.”12 Prinsip ini tampak dalam pembelaan Paulus terhadap kritikan jemaat Korintus yang menuding dirinya mencari untung dengan mengutip dan menerima persembahan dari mereka. Dalam hal ini, Paulus mengutarakan suatu pelajaran rohani dari Hukum Taurat tentang upah yang berhak diberikan kepada seorang pekerja melalui sebuah ungkapan “Janganlah engkau memberangus mulut lembu yang sedang mengirik!” (Ul. 25:4; I Kor. 9:8-10).13 Dalam kaitan dengan bagian nats ini, Wiersbe kembali memberi komentar demikian: “Paulus telah membajak tanah di Korintus dan ia bekerja siang dan malam.

12

Ibid. Mungkin ada masalah atau pertanyaan yang muncul di sini, yaitu asumsi bahwa ajaran Taurat itu tidak relevan lagi diterapkan pada zaman sekarang ini. Namun demikian, patut dipertimbangkan hal-hal berikut yaitu: Pertama, Paulus mengutip ajaran dari taurat sebabnya ialah bahwa jemaat mula-mula masih memakai kitab Perjanjian Lama dan ajaran Musa sebagai alkitab dalam ibadah mereka, selain ajaran dari para Rasul (bandingkan Kis. 2:42; 15:21), hal ini disebabkan karena Alkitab Perjanjian Baru masih dalam proses penulisan dan baru dihimpun kemudian. Kedua, ada keterkaitan, kesinambungan, dan kesatuan antara kedua perjanjian (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), sebagiamana diungkapkan oleh seorang Bapak gereja dan teolog terkenal bernama Agustinus yang berpendapat demikian: “Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama; Perjanjian Lama dinyatakan dalam perjanjian Baru, lihat Tony Lane, Runtut Pijar, cetakan ke-9 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 10 &122. 13

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – 83

Ia telah melihat tuaian dari benih yang ditanamnya. Memang benar bahwa ia menikmati sebagian buah-buah dari tuaian itu.”14 Penjelasan Wiersbe di atas, membantu kita memahami bahwa Paulus berkata jujur bahwa memang ia sudah dan berhak menikmati hasil jerih lelahnya, dan hal ini tidak menyalahi aturan yang diajarkan Taurat dan adalah kewajiban jemaat untuk menyediakannya, sesuai kerelaan dan kemampuan yang ada. Juga tidaklah berlebihan bila Paulus mengharapkan hasil dari semua jerih lelah pelayanan yang telah ia lakukan dalam jemaat Korintus yang sangat dikasihinya tersebut, dimana ia sebagai seorang pemberita Injil harus hidup dari pemberitaan Injil itu (ayat 14). 2. Kewajiban Jemaat dan Sikap Hamba Tuhan Prinsip yang perlu dipahami berkenaan dengan upah atau honor seorang hamba Tuhan ialah bahwa memang sidang jemaat Tuhan berkewajiban memberikan upah yang layak atau hak yang sepatutnya diterima oleh seorang hamba Tuhan yang melayani, namun tidak wajib bagi seorang hamba Tuhan untuk menuntut atau menerimanya. Prinsip rohani ini ditegaskan oleh Matthew Henry yang memberi penjelasan terkait maksud atau arti nats di atas (ayat 8-10) demikian: “Merupakan kewajiban umat untuk memelihara kehidupan pelayan mereka, oleh karena ketetapan Kristus, walaupun tidak wajib bagi setiap pelayan Tuhan, untuk menuntut atau menerimanya. Ia dapat melepaskan haknya, sama seperti yang dilakukan oleh Rasul Paulus.”15 Penjelasan Matthew Henry di atas menekankan bahwa jemaat Kristen yang tidak mau menyediakan upah yang sepatutnya diterima oleh seorang pekerja atau pelayan Tuhan yang melayani di dalam sebuah gereja lokal, melanggar ketetapan Kristus. Namun patut dicermati dan dipahami betul bahwa meskipun seorang hamba Tuhan berhak atas upah yang ditetapkan Kristus, namun mereka tidak wajib menuntut atau mempergunakan haknya sebagaimana dilakukan oleh Paulus dari keterangan nats di atas (ayat 12-15). Tujuannya hanya satu, agar jangan sampai Paulus dan rekan-rekan sepelayanannya “... menga14

Wiersbe, Hikmat Dalam Kristus, 123. Matthew Henry, Tafsiran Surat Roma, 1 & 2 Korintus (Surabaya: Penerbit Momentum, 2015), 644. 15

84 – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21

dakan rintangan bagi pemberitaan Injil Kristus” (ayat 12) hanya oleh karena hal upah. Kata “rintangan” yang dimaksud dalam ayat 12 tersebut, merupakan sebuah metafora yang berarti “merusak jembatan atau jalan bagi sebuah pasukan tentara di medan perang”16 demikian komentar Robertson dan Plummer. Artinya Paulus tidak mau merusak jalan atau jembatan yang telah dibangun atau dibuatnya sendiri sebagai tentara Kristus yang diutus untuk merintis dan menyebarkan Injil ke seluruh dunia yang beradab ini, hanya gara-gara soal penghidupan sehari-hari. Jembatan yang dibangunnya bertujuan menjadi jalan bagi hamba Tuhan lainnya seperti dirinya untuk leluasa melayani dan bekerja di Korintus (bnd. 2 Tim. 2:4) di masa mendatang. Prinsip ini masih relevan dan patut dipertimbangkan pada masa kini mengingat kondisi dan kompleksitas masalah atau problem di medan pelayanan, khususnya di pedesaan atau jemaat-jemaat yang belum mampu membiayai secara layak kehidupan hamba Tuhan yang melayani mereka. Prinsip ini penting dihidupi agar tugas pemberitaan Injil dapat dilakukan dengan sebaik mungkin dan mengurangi rintanganrintangan yang menghambat pelayanan seorang hamba Tuhan, dalam hal ini secara khusus soal ekonomi atau penghidupan seorang hamba Tuhan. Prinsip rohani ini sejalan dengan pengertian profesi sebagai pekerjaan yang bertujuan memberikan pengabdian pada masyarakat dan bukan semata-mata untuk mencari keuntungan secara materi/finansial bagi diri sendiri. Masalah yang terjadi sekarang ini yaitu mengapa sampai banyak hamba Tuhan atau Rohaniawan yang menuntut gaji atau upah yang tinggi kepada jemaatnya, mungkin saja disebabkan oleh pemahaman mereka yang sempit akan profesi dan panggilan sebagai seorang hamba Tuhan itu sesungguhnya atau bisa jadi karena sikap individualistis yang muncul karena pengaruh derasnya sekularisme, materialisme17 dan hedonisme yang melanda budaya manusia saat ini, sehingga tanpa disadari banyak hamba-hamba Tuhan jatuh pada sikap mencari keuntungan dari pelayanannya bahkan marak terjadi sampai 16

William M. Greathouse, et al., Beacon Bible Commentary, Volume VIII (Kansas City, Missouri: Beacon Hill Press of Kansas City, 1968), 398. 17 Rick Warren berkomentar bahwa lebih banyak orang tidak melayani karena materialisme ketimbang karena hal lainnya, lihat Rick Warren, The Purpose Driven Life, cetakan ke-10 (Malang: Gandum Mas, 2005), 293.

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – 85

menyalahgunakan keuangan dalam jemaat atau organisasi yang dilayaninya. Sesungguhnya sifat demikian sangat jauh dari sifat dan kehidupan yang diteladankan oleh Paulus dan rekan-rekannya sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan ini. Meskipun ia berhak atas itu, namun ia tidak mempergunakannya (Ayat 14). Seorang hamba Tuhan patut menyikapi secara bijaksana soal upah yang patut diterimanya, dan tetap perlu memberi ruang untuk tidak “ngotot” menuntut dan mempergunakan haknya bahkan bila perlu melepaskan haknya tersebut dengan melakukan pekerjaan tangan seperti yang dilakukan Paulus dan Barnabas, jika kondisi jemaat yang dilayani belum sanggup memberi upah yang layak baginya (ayat 6, 15). Pertanyaan lain yang perlu diutarakan dalam pembahasan ini dan perlu diklarifikasi adalah soal mengapa seorang hamba Tuhan/Rohaniawan tidak boleh menuntut haknya? Bukankah mereka layak untuk menerima dan menikmati hasil jerih payah mereka? Menarik kita menyimak jawaban Paulus atas persoalan di atas demikian: Kalau andaikata aku melakukannya menurut kehendakku sendiri, memang aku berhak menerima upah. Tetapi karena aku melakukannya bukan menurut kehendakku sendiri, pemberitaan itu adalah tugas penyelenggaraan yang ditanggungkan kepadaku. Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil (Ayat 17-18). Penjelasan Paulus di atas memberikan alasan mengapa seorang hamba Tuhan yang bertugas memberitakan Injil seperti dirinya tidak mau menuntut haknya (upahnya) yaitu disebabkan bahwa tugas pemberitaan Injil itu merupakan tugas kepercayaan yang ditanggungkan oleh Allah kepada Paulus dan bukan atas kehendaknya sendiri. Bruce menjelaskan dalam ayat 15-18 bahwa Paulus menempatkan posisinya sebagai budak yang tidak membanggakan diri dalam menjalankan tugasnya sebagai pemberita Injil. Ia harus taat kepada kehendak Tuan-Nya yang memberikan tugas itu kepadanya. Ia tidak punya pilihan dan sebaliknya akan tidak baik baginya jika ia tidak taat.18 Oleh karena alasan ini, 18

F.F. Bruce, The New Century Bible Commentary I & II Corinthians (Grand Rapids, Micihingan: Wm. B. Eerdmans Pubuishing Company, 1987), 85.

86 – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21

maka seorang hamba Tuhan harus memahami bahwa Allah adalah Tuan yang paling bertanggungjawab memenuhi dan menjamin kebutuhan hidup hamba-hambaNya. Seorang hamba Tuhan dalam hal ini, patut menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan dari orang-orang yang dilayaninya (ayat 19-23), dan tahu bahwa tujuan akhir pelayanannya ialah mendapatkan kehidupan kekal di sorga bersama Yesus, Juruselamat (Ayat 24-27) sebagaimana yang diteladankan oleh Paulus. D. PENUTUP Sebagai rangkuman, dapat disimpulkan kembali dalam tulisan ini bahwasanya pekerjaan seorang hamba Tuhan atau Rohaniawan, khususnya pendeta dan pemimpin Kristen pada umumnya, layak disebut sebagai sebuah profesi yang harus dilandasi oleh panggilan khusus dari Allah, pendidikan dan kompetensi yang memadai, juga buah pelayanan yang dapat dinikmati orang banyak serta kesediaan untuk tidak menuntut upah atau hak yang tinggi dari pelayanannya yang sesungguhnya merupakan kepercayaan dari Allah dan pengabdian kepada sesama. Hal ini dipertegas oleh Stephen Tong yang berkomentar demikian: Orang yang menuntut hak dan menuntut segala sesuatu yang dapat diperoleh dari hak itu adalah orang yang belum terlepas dari egoisme. Tetapi orang yang mengetahui apa artinya menyangkal diri, memikul salib, dan mengikuti Kristus, serta meneladani semua langkah dan cara hidup Kristus, orang demikian tidak menuntut hak, melainkan menuntut diri bagaimana boleh menjadi berkat di tangan Tuhan yang dapat dibagikan kepada banyak orang. 19 Seorang hamba Tuhan semestinya menyadari bahwa baik talenta dan haknya adalah milik Tuhan dan sebagaimana waktu hidup pun adalah milik Tuhan dan adalah hak-Nya untuk mempergunakannya.20 Di sini19

Prakata Stephen Tong untuk bukunya Mabel Williamson, Tidakkah Kami Mempunyai Hak?, cet. ke-2 (Surabaya: Penerbit Momentum, 2013), viii-ix. 20 Mabel Williamson, Tidakkah Kami Mempunyai Hak?, cet. ke-2 (Surabaya: Penerbit Momentum, 2013), 53.

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – 87

lah pengertian pekerjaan dipahami sebagai aktivitas penebusan, suatu usaha pengudusan – aspek dalam kehidupan yang akan berlangsung terus sampai di sorga untuk selama-lamanya.21 Tulisan ini juga hendak memberi saran kepada para pelayan atau hamba Allah yang telah dipanggil oleh-Nya dan dipercaya olehNya, untuk menyimak perkataan Tuhan Yesus dalam Injil Matius 6:24 yang berbunyi demikian: “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” Terkait soal pelayanan dan upah, maka dalam bagian akhir pembahasan artikel ini penulis ingin mengutarakan komentar Rick Warren yang diharapkan berguna bagi para hamba atau pelayan Tuhan tentang bagaimana seharusnya bersikap terhadap uang demikian: “Bila Yesus menjadi Tuan Anda, maka uang melayani Anda, tetapi bila uang menjadi tuan Anda, maka Anda menjadi budaknya ... Pelayan-pelayan Allah selalu lebih peduli pada pelayanan ketimbang uang.”22 Pada akhirnya, tulisan ini akan diakhiri dengan mengedepankan sebuah prinsip rohani yang penting disadari dan dimiliki dengan baik dan tepat menyangkut soal sikap dan motivasi yang benar dalam menggeluti profesi sebagai hamba Allah yaitu melayani Tuhan dengan cara menolak tekanan dunia, menjadi teladan dalam ketaatan dan dedikasi, yang memilih jalan salib daripada jalan yang dipilih orang banyak, menjadikan pelayanan rohani sebagai sebuah sikap ibadah dan bukan aktivitas yang hampa belaka.23 DAFTAR PUSTAKA Brake, Andrew. Menjalankan Misi Bersama Yesus: Pesan-Pesan Bagi Gereja dari Kisah Para Rasul. Bandung: Kalam Hidup, 2016.

21

David W. Hall & Matthew D. Burton, Calvin dan Perdagangan (Surabaya: Penerbit Momentum, 2015), 192-193. 22 Warren, The Purpose Driven Life, 293. 23 Hall & Burton, Calvin dan Perdagangan.

88 – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21

Bruce, F.F., The New Century Bible Commentary I & II Corinthians. Grand Rapids, Michingan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1987. Crowder, Bill., Sorotan Iman. Jakarta: Duta Harapan Indah, 2008. Greathouse, William M. et al., Beacon Bible Commentary, Volume VIII.Kansas City, Missouri: Beacon Hill Press of Kansas City, 1968. Hall, David W. & Burton, Matthew D. Calvin dan Perdagangan. Surabaya: Penerbit Momentum, 2015. Henry, Matthew. Tafsiran Surat Roma, 1 & 2 Korintus. Surabaya: Penerbit Momentum, 2015. Kunandar, Guru Profesional. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007. Lane, Tony. Runtut Pijar, cetakan ke-9. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012. Nurdin, Syafruddin. Guru Profesional & Implementasi Kurikulum. Jakarta: Quantum Teaching, 2005. Sinamo, Jansen. Delapan Etos Kerja Profesional. Bandung: Bina Media Informasi, 2012. VanGemeren, Willem A. Progres Penebusan. Surabaya: Penerbit Momentum, 2016. Warren, Rick. The Purpose Driven Life, cetakan ke-10. Malang: Gandum Mas, 2005. Wiersbe, Warren W. Hikmat di Dalam Kristus. Bandung: Kalam Hidup, 1983. Williamson, Mabel. Tidakkah Kami Mempunyai Hak?, cet. ke-2. Surabaya: Penerbit Momentum, 2013

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – 89

90 – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21

View more...

Comments

Copyright © 2017 DATENPDF Inc.