Sejarah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat ...

February 19, 2016 | Author: Anonymous | Category: Documents
Share Embed


Short Description

On Jan 1, 2005, M Faishal Aminuddin published the chapter: Sejarah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisaria...

Description

Sejarah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Airlangga 1963-2002 Oleh: M. Faishal Aminuddin1 Gerakan Mahasiswa bukanlah sesuatu yang utuh. Apalagi dia sebenarnya hanyalah sebuah organisasi berwatak tradisional. Banyak fragmen yang lepas diantara masa yang datang silih berganti. Sejenak, lupakan tentang narasi besar dari kontrolnya di pusat. Mari berkelana didalam riuh rendahnya aktivisme di tingkat paling bawah. Itulah dinamika sebenarnya, yang bisa menuntut kita lebih memahami apa itu gerakan mahasiswa. Jojoran, medio Mei 2005

Pencarian Identitas (1963-1987) Boyd R Compton menarasikan kondisi politik Surabaya tahun 1956 sebagai kota terbesar kedua di Indonesia yang telah menjadi benteng komunisme. Dalam jaringan rapi jalan-jalan modern Surabaya dan kampung-kampung kumuhnya, 750.000 penduduknya terkepung, tertekan dan terpimpin oleh sistem sel, serikat buruh dan front-front organisasi partai komunis. Para pejabat pemerintah dan organisasi anti komunis sedang berjuang sia-sia dalam jaring ini2. Setelah pemilu tahun 1955, Surabaya berada diantara tarikan politik antara 3 partai besar yakni Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi. Demikian halnya dengan polarisasi gerakan mahasiswanya yang mengikuti kecenderungan partisan. Masing-masing partai politik mempunyai kepentingan yang hampir sama untuk menginjeksi orientasi dan pengaruh politiknya pada mahasiswa. Di sebagian besar kampus umum (sekuler), sebelum tahun 1960 1 2

Tulisan pendek ini merupakan versi ringkasan dari hasil penelitian tentang sejarah PMII Airlangga 1960-2000. Boyd R Compton, Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd R Compton, LP3ES, Jakarta, 1993, hlm, 374

1

mahasiswa yang beragama Islam lebih banyak bergabung sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berafiliasi dengan Partai Politik Islam Masyumi dan sebagai simbolisasi kelompok Islam modernis. Menilik dari tingkat kehidupan dan latarbelakang ekonomi dan sosial mahasiswa yang masuk kampus umum kebanyakan berasal dari perkotaan dan golongan menengah atas. Pewaris kelas borjuasi dan cenderung modernis sementara hanya sedikit yang berasal dari daerah, apalagi pesantren dan anak-anak pemuka agama lokal. Situasi politik nasional pada tahun 1960 berimbas langsung di Surabaya. Manuver PKI yang kerap melakukan aksi-aksi mendukung penangkapan terhadap semua elemen kontra revolusi, memasukkan Marxisme sebagai pelajaran wajib, mengindoktrinasi perwira angkatan bersenjata dengan paham komunisme sampai mengubah arah kebijakan politik luar negeri menjadi lebih condong ke kiri banyak dicermati oleh organisasi mahasiswa diluar CGMI. Pada tanggal 17 April 1960, di Surabaya, beberapa aktivis mahasiswa NU atas restu tokoh-tokoh muda NU mendeklarasikan berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang mengusung Aswaja sebagai manhajj al fikr (landasan pikir). Pada periode awal ini, mahasiswa angkatan 1960-an memegang peranan penting sebagai tulang punggung aktivitas PMII komisariat Fakultas Kedokteran (FK) Unair

yang

didirikan pada tahun 1963/1964 oleh Muhammad Tohir, mahasiswa FK angkatan 1961 disusul angkatan 62-65. Disamping FK, komisariat lainnya di Unair termasuk juga Fakultas Hukum (FH) dengan Muchsin sebagai tokohnya dan Fakultas Ekonomi (FE), salah satu aktivisnya adalah Chusnul Khotimah. Muhammad Tohir merupakan ketua komisariat FK yang pertama. Anggota lainnya adalah Aboe Amar, Mashar Usman, Sudibyo dan Hasan Mahfudz. Generasi pertama PMII FK banyak yang merangkap keanggotaan dengan HMI karena PMII baru hadir belakangan. Keinginan untuk membangun basis NU di tingkat organisasi mahasiswa di Unair berawal dari aktivitas Muhammad Tohir di Pengurus Cabang (PC) PMII Surabaya. Muhammad Tohir mengisahkan:

2

“Semuanya berawal dari saat kita kumpulkan beberapa orang yang berminat dan buat PMII. Sebelumnya kebanyakan dari kita sudah ikut HMI lebih dulu sehingga banyak yang merangkap antara di HMI dan PMII termasuk saya. Memang waktu itu suasana lebih cair. Kegiatan apapun juga melibatkan HMI seperti bakti sosial di Madura, Bawean sampai Lamongan. Sebagai ketua PMII FK saya juga membawa ketua HMI tapi atas bendera PMII dan sebaliknya. Tidak ada perbedaan signifikan pada saat itu, semua akrab karena sama-sama berlatarbelakang NU termasuk Samsul Hadi dan Kabat. Dikotomi PMII-HMI atau NU-Muhammadiyah hanya terjadi di IAIN sedang di Unair tidak. Anak HMI juga banyak anak-anak NU kultural Ketika terjadi Gestapu tahun 1965-1966, kita dirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) FK dan saya jadi ketuanya. Posisi tawarnya PMII semakin kuat karena HMI goyah sementara sasaran gerakan adalah PKI dan organnya, CGMI."3

Pada era 1960-an awal sebelum meledaknya Gestapu, di FK terjadi tarikmenarik mahasiswa baru untuk direkrut kedalam berbagai organisasi mahasiswa. Strategi yang dipakai untuk menarik mahasiswa baru melalui berbagai ajakan dan pemberian konsesi tertentu yang bisa menjamin keberlangsungan studi atau membantu kepentingan lainnya. Papan nama fakultas selalu penuh dengan selebaran HMI, GMNI, CGMI yang menonjolkan program tentiran (bimbingan) masuk Unair karena waktu itu belum ada lembaga bimbingan di luar. Setelah PMII berdiri, pengurusnya membuat tentiran bagi calon mahasiswa baru di kompleks Yayasan Khadijah. Ditambah mengadakan ceramah tentang organisasi. Sasaran mahasiswa berasal dari kelompok muslim pedesaan yang berlatarbelakang NU. Bagi mereka diberikan aktivitas dengan berbagai kegiatan sosial yang berdasarkan profesi. Diantaranya membuka klinik di Khadijah, bakti sosial kesehatan di berbagai daerah. Vaksinasi di pesantren seperti di

Lirboyo pada zaman K.H

Machrus Ali. Jaringan ke pesantren dibangun oleh mahasiswa yang keturunan Kiai seperti Muhammad Tohir dan Cholil Munif yang membangun jaringan pesantren sampai ke Genggong, Sidogiri di pesantrennya K.H Wachid Zaini"4 Menurut Aboe Amar, PMII Komisariat FK Unair telah aktif pada tahun 1965 atau awal tahun 1966 dengan ketua pertama Muhammad Tohir sampai tahun 1967 setelah Tohir lulus dan menjadi dokter di Pasuruan. Sebelumnya, sudah ada 3 4

wawancara dengan Muhammad Tohir wawancara dengan Mashar Usman.

3

beberapa individu yang bergabung di tingkatan PC PMII Surabaya. Demikian juga beberapa individu dari Unair masih terintegrasi dengan PC. Aboe Amar menuturkan: “Gak ada woro-woro masuk PMII. Saya juga ketua IPNU di daerah saya di Bojonegoro. Waktu masuk kedokteran tahun 1964 saya cari sendiri siapa pengurusnya di kedokteran. Ketuanya PC Surabaya Akhyat Sutedjo dan saya daftar sebagai anggota PMII kepada beliau5. Pengaruh perubahan politik di Jakarta berlangsung dengan cepat di Surabaya. Awal tahun 1960-an Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) sebagai organisasi payung kemahasiswaan di dominasi oleh CGMI dan GMNI-kiri yang bergerak untuk menghabisi HMI. Mereka menuntut Soekarno membubarkan HMI sebagaimana dilakukan terhadap induk semangnya, Masyumi6. Dalam kondisi ini HMI mendapatkan bantuan solidaritas dari Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) lewat ketuanya, Harry Tjan Silalahi dan perlindungan dari Partai NU yang di pelopori oleh Subhchan Z.E. Pada bulan Juli-Agustus 1965, CGMI bersama Pemuda Rakyat mengadakan latihan militer rahasia di Lubang Buaya, Jakarta. Peristiwa tersebut segera direspon oleh Subchan dan Harry Tjan yang mengkoordinasikan dukungan dari HMI, PMII, Ansor, Muhammadiyah dan beberapa elemen lainnya ditambah blok Partai Katolik dan PMKRI untuk membentuk Komando Aksi Pengganyangan (KAP) Gestapu pada 5 Oktober 1965. Di masa kepengurusan Muhammad Tohir sebagai ketua komisariat FK Unair pertama dan Aboe Amar sebagai penerusnya, para kader di FK tidak terlalu dibawa-bawa pada urusan politik yang saat itu sedang memanas. Bahkan ketika itu sempat terjadi bentrok dengan CGMI dan GMNI pro PNI-Asu di FK Unair setelah peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965. Peristiwa tersebut merupakan imbas dari memanasnya suhu politik di kompleks rektorat Unair. Ditambah lagi rektornya waktu itu, Khasan Duryat berasal dari Fakultas Hukum (FH) dan cenderung ke PKI. 5

wawancara dengan Aboe Amar

6

Arief Mudatsir, Subchan Z.E: Buku Menarik yang Belum Selesai, Prisma 10 oktober 1983, LP3ES, Jakarta, hlm 65-66

4

Titik konsentrasi ketegangan berada di FH, PMII banyak dikoordinasi oleh Asli Jaya dari Banjarmasin. Dibandingkan GMNI atau HMI, PMII mempunyai kuantitas relatif kecil namun posisinya masih kuat dan diperhitungkan karena dukungan NU. Pada kondisi tertentu HMI masih membutuhkan bantuan pada PMII, apalagi masa-masa tersebut HMI terjepit oleh Soekarno. Faktor yang membuat PMII diperhitungkan pada bukan-bulan menjelang Gestapu juga berasal dari Jakarta dengan simbolnya yang begitu disegani di kalangan aktivis, Subhan Z.E. Dialah yang menempatkan Zamroni ketua PB PMII sebagai ketua KAMI7 pusat. Untuk tingkatan Surabaya, motor PMII berasal dari dari IKIP dengan tokohnya yang bernama Muhammad Kodim, pernah menjadi Ketua PC dan PKC. Kelak ketika Subchan ditolak dalam pencalonan Ketua PBNU, PMII di Jatim bersama Ansor melakukan reaksi untuk memberikan dukungan pada Subchan. Bergelut dalam orientasi berbasis profesionalitas, PMII FK mempunyai saingan yakni ITS dengan tokohnya Ajibah Hamid yang begitu disegani karena mampu membuat berbagai aktivitas PMII tidak hanya mengarah pada politik. Aboe Amar sendiri setelah tahun 1968-69 diangkat jadi sekretaris PC Surabaya yang masih berkantor di daerah Kaliasin. Kantor tersebut pada mulanya milik Lekra yang merebut dari perusahaan film Amerika 21 Century Fox. Pada tahun 1966, kantor itu kemudian direbut oleh Lesbumi dan dipakai sebagai tempat bersama Badan otonom NU lainnya. Selepas Aboe Amar, kepengurusan dilanjutkan oleh Mashar Usman sampai PMII mengalami masa surut karena kalah bersaing dengan HMI. Aboe Amar kemudian naik menjadi pengurus Korcab Jatim menggantikan Wachid Zaini yang mengundurkan diri karena memangku pesantren Nurul Jadid, Paiton di Probolinggo. Kiprah PMII FK banyak membantu kegiatan Pengurus Cabang (PC) PMII dalam pelayanan sosial kemasyarakatan dalam bidang medis. Kegiatan khitanan masal dan pengobatan gratis mampu menarik perhatian masyarakat secara luas.

KAMI dibentuk atas restu menteri PTIP Syarif Thayib pada 25 oktober 1965 yang menjadi federasi organisasi nmahasiswa ekstra universiter dan menggantikan PPMI yang dibubarkan karena didominasi oleh CGMI dan GMNI-kiri. 7

5

Selebihnya dalam urusan kegiatan politik, PMII FK Unair masih bergabung dengan cabang dan dikoordinir dalam satu barisan. Untuk kegiatan penguatan internal, perekrutan dan basic training (sekarang mapaba) masih ikut dalam bagian cabang. Intensitas kegiatan yang tinggi membuat PMII FK berkembang mencapai 20 anggota aktif. Materi basic training berisikan Aswaja, manajemen dan ke-NU-an. Komisariat ini pernah mengadakan kursus, bimbingan untuk masuk ke Unair untuk pelajar SMA. Setelah ikut dan lulus, mereka masuk PMII. Kebanyakan anggotanya beraktivitas di Kompleks Yayasan Khadijah dan membuka poliklinik untuk pelayanan masyarakat sekitar, sementara administrasinya masih ikut di kepengurusan Cabang Surabaya di Kaliasin. Sebagai kampus umum, Unair masih mempunyai kader-kader yang pandai dalam bidang agama. Wacana keagamaan yang dibawa sepenuhnya berwarna NU. Latarbelakang pesantren atau lingkungan pedesaan lebih menentukan dalam proses pembentukan afiliasi kulturalnya. Di masa-masa awal ini, goncangan yang dirasakan kader akibat benturan dengan budaya perkotaan seperti lazimnya pemuda beranjak dewasa yang baru datang dari desa mulai. PMII menyiasatinya dengan menawarkan bentuk-bentuk akomodatif dalam berbagai bidang dan aktivitas sosial sehingga kader-kader dari pedesaan tidak merasa kehilangan pegangan dan orientasi hidup setelah masuk ke PMII. Bahkan beberapa diantara mereka merupakan putra para kiai yang mempunyai pesantren berpengaruh. diantaranya seperti Cholil Munif, bahkan dia menjadi tempat berguru dan berdiskusi bagi kader PMII dari IAIN. Membesarkan organisasi yang bersifat tradisionalis membutuhkan kehatihatian dalam mengarahkan kader di kampus umum. Ini disebabkan tidak semua kebutuhan psikis dan spiritual bisa teraktualisasikan secara maksimal. Masih ada pembatas yang membuat setiap individu harus menentukan sikapnya. Bagi kader PMII FK yang mengurusi PMII Unair dituntut untuk menyesuaikan kebutuhan anggotanya.

Ketika

mahasiswa

kedokteran

6

diajak

demonstrasi,

mereka

mempunyai resistensi yang tinggi dan menganggap urusan politik tidak berhubungan dengan profesinya. Pada bulan Oktober 1965 sampai Maret 1966, KAMI yang didukung oleh tentara menggelar demonstrasi di Jakarta yang diikuti oleh cabang-cabang di berbagai wilayah Indonesia termasuk Surabaya dengan membawa tuntutan pembubaran PKI, pembubaran kabinet dwikora dan penurunan harga. Tuntutan tersebut terkenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura). B.J Boland menulis bahwa gerakan pemuda dan mahasiswa yang disokong oleh tentara membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi peladjar dan Pemuda Indonesia (KAPPI) yang kerap disebut "generasi 1966". Di dalam KAMI didominasi oleh HMI sebagai organisasi mahasiswa islam terbesar. Termasuk juga beberapa organisasi Islam lainnya seperti PMII dan sayap mahasiswa Katolik8. Di Jawa Timur, NU dan organ-organnya membuka front untuk melibas PKI dan organnya. Salah satu diantara sayap mahasiswa NU yang paling giat membantu Ansor dan Banom NU lainnya adalah PMII. Menjelang tahun 1966 dan selepasnya, aktivisme mahasiswa mengalami pergolakan yang hebat. PMII yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiwa Indonesia (KAMI) juga melancarkan aksi-akasi gabungan yang terkomando dari Jakarta. PMII FK turut menghalau gerakan CGMI dan GMNI yang berafiliasi ke PNI-Asu. Setelah meletusnya Gestapu, semua organisasi dileburkan dan yang paling kuat tinggal HMI. Hal ini membuat kaderisasi di FK berhenti total dan PMII hanya tersisa di IAIN. Selebihnya, para aktivis PMII FK beberapa diantaranya naik ke kepengurusan PC dan PKC seperti Aboe Amar dan Muchsin dari FH. KAMI yang berkantor di Balai Pemuda tidak banyak melakukan kegiatan seperti yang terjadi di Jakarta hanya beberapa demonstrasi sporadis. Tahun 1967, FK ditutup 6 bulan dengan penjagaan Kostrad, sampai pergantian rektor dari yang condong ke PKI menjadi ABRI yang cenderung afiliatif ke Islam. Semua perangkatnya juga di-drop dan bukan lagi pilihan demokratis. Pergantian itu diikuti oleh screening pejabat 8

B.J Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, The Hague, Martinus Nijhoff, 1982, hal, 142

7

yang pernah masuk CGMI dan semuanya dipecat. Termasuk mahasiswa yang ikutikutan masuk ke CGMI. Meskipun proses rekrutmen mahasiswa di semua OMEK berawal dari tentiran yang loyalitas pada organisasi masih meragukan. Tetapi penguasa beranggapan tidak mungkin bagi mahasiswa memilih OMEK tanpa landasan ideologis yang terbawa dan tanpa dipikir terlebih dahulu. Pada tahun 1973, setelah pembentukan PPP dimana NU berfusi di dalamnya, landasan dan asas partai tidak lagi menggunakan Islam melainkan Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut kemudian diikuti oleh sistem massa mengambang yang melarang partai-partai untuk melakukan kegiatan politik apapun di desa-desa. Partai-partai diberi hak untuk mempunyai satu komisaris dan beberapa pembantunya di desa, namun setiap pertemuan harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Golkar menjadi partai yang paling diuntungkan dari keadaan ini karena birokrasinya lebih mengakar sampai tingkatan bawah dan setiap pejabat pemerintah berarti anggota partai pemerintah. Persoalan ini menyulitkan NU karena dihinggapi kekhawatiran tidak mampu mengamankan jama'ahnya di bawah. Pesantren hanya sebatas mempunyai kekuatan pengikat emosional jangka pendek yang mudah dipengaruhi. Andree Feillard menyebut satu-satunya kompensasi bagi NU menghadapi kesenjangan ini, pesantren-pesantren dan para juru dakwah tetap menjaga kesinambungan politik di desa-desa. Fenomena ini direspon oleh PMII yang mengglar pertemuan di Murnadjati, Malang yang menghasilkan Deklarasi Munardjati di awal tahun 1970 dan menegaskan independensi PMII dari tarikan-tarikan politik. Menjelang deklarasi Murnajati, konsentrasi PMII sepenuhnya berada di PC Surabaya9. Aboe Amar yang turut menghadiri acara tersebut menuturkan: “Saya hadir di deklarasi Murnajati, tapi sekarang kadangkala saya lihat banyak negatifnya dari positifnya. Independensi membuat PMII seolah-olah kehilangan rasa tawadlu’ nya pada NU. Malah kadang menghantam NU. Itu yang tidak sesuai 9

Andree Feillard, NU vis a vis Negara...hlm, 175

8

dengan maksud kita dulu. Independensi bertujuan untuk mengantisipasi fenomena floating mass karena peraturan waktu itu mengatur bahwa di tingkat kabupaten ke bawah tidak boleh ada pengurus partai, termasuk semua ormas tidak boleh ada pengurusnya. Jangan sampai NU kehilangan massa, PMII ini mau dijadikan ujung tombak di daerah-daerah. Sekarang kok diartikan lepas cara berpikir sampai bertindak sendiri. Idenya waktu itu bukan seperti HMI yang tidak punya induk semang dan tidak jelas asal usulnya. Apakah PMII maunya jadi independen seperti itu? Kadang saya tercengang-cengang".

Dalam konstelasi gerakan politik mahasiswa di Surabaya, PMII mempunyai satu warna yang dominan. Hampir semua tokoh-tokoh gerakan mahasiswa dekade 60-70-an dari PMII digerakkan oleh IAIN. Militansi dan kedekatan dengan NU membuat mereka berani melakukan berbagai macam usaha perlawanan kepada penguasa dengan tingkat kritik yang luar biasa tajam. Sampai menjelang tahun 1980-an muncul pemikiran untuk mendirikan PMII yang terpusat di kampus umum yang terbesar waktu itu, Unair. Dipandang strategis karena kampus lain semisal ITS dan IKIP Surabaya tidaklah terlalu berorientasi kepada kepentingan sosial politik yang lebih besar. Secara personal baik di Unair, ITS atau IKIP serta kampus umum lainnya terdapat beberapa sosok yang sudah berkiprah di tingkatan Pengurus Cabang. Seperti halnya di Unair sebelumnya telah berdiri komisariat FK. Tetapi di tingkat PC, figur dari kampus umum relatif tenggelam. Persoalannya terletak pada jenjang karir politik yang tidak sepenuhnya terjamin sehingga mereka banyak yang memilih jalur profesional. Ini juga yang membuat regenerasi PMII di kampus umum lebih sulit disamping faktor hegemoni kelompok mahasiswa nasionalis dan Islam modernis yang terwakili dalam GMNI dan HMI yang sudah sedemikian mengakar dan solid. Mereka juga mampu mengembangkan jaringan sampai level birokrat dan staf pengajar yang tidak kalah dan luntur semangat ideologisnya.

9

Kevakuman dan Peran Individual Kiranya perlu dilihat keterkaitan gerakan mahasiswa di akhir 1970-an dengan gejolak yang terjadi di DPR. Syaifuddin Zuhri menggambarkan pada akhir tahun 1979, DPR terkoyak oleh interpelasi yang dilakukan oleh Syafi'e Sulaiman dan kawan-kawan. Interpelasi yang mempertanyakan kebijakan pemerintah tentang Normalisasi Kebijakan Kampus (NKK) yang dijalankan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef. Interpelasi tersebut lahir dari desakan keberatan dari para mahasiswa atas pengekangan aktivitas politik mereka. Kampus yang paling serius menolaknya dalam pandangan Daoed hanya UI dan ITB sedangkan kampus lainnya tidak melakukan hal yang sama. Memang dengan demikian bukan berarti menerima atau tidak bergejolak dengan pemberlakuan NKK. Interpelasi Syafi'e berpengaruh besar pada opini politik mahasiswa yang menunggu peninjauan kembali atas NKK. Isu sentral gerakan mahasiswa awal tahun 1980-an dibuka dengan penegasan NKK/BKK. Kepentingan besar dari kelangsungan fungsi mahasiswa sebagai bagian kekuatan politik penekan ekstraparlementer mulai diuji. Sekalipun interpelasi Syafi'e menemui kegagalan telak di DPR karena perimbangan kekuasaan. Golkar dan ABRI menolak dan tetap membenarkan program NKK. Pengaruh dari NKK / BKK berimbas dari peleburan aktivisme mahasiswa di Unair dimana sejak akhir tahun 1960 sudah berada dalam keadaan kekosongan kader. Keberlangsungan gerakan PMII terhenti sampai akhir tahun 1970-an. Praktis PMII hanya hidup di IAIN yang memang menjadi basis mahasiswa NU. Hilangnya PMII dari aktivisme gerakan mahasiswa di Unair menguntungkan HMI yang mampu menjadi penampung mahasiswa baru yang berkultur NU. Sekalipun beberapa diantaranya menyadari dan merasa tidak cocok dengan HMI, akan lari bergabung dengan PMII yang ada di IAIN dan aktif di tingkatan PC Surabaya. Rekrutmen dan pemberitahuan digelarnya penerimaan anggota baru tidak disebar dengan maksimal di Unair. Alasan yang mengemuka dikarenakan tidak adanya

10

kader yang bisa merepresentasikan PMII di Unair. Sekalipun ada, bisa disebut tenggelam karena merasa sendirian dan takut dengan berbagai konsekuensi yang akan didapat dari HMI dan GMNI. Tahun 1981, beberapa mahasiswa dari Unair turut ambil bagian dalam panitia Masa Penerimaan Anggota Baru (Mapaba) PMII Cabang Surabaya. Keterlibatan itu menerbitkan inisiatif mengembangkan PMII di kampus-kampus umum yang non-IAIN. Selepas Mapaba, pemrakarsa diskusi rutin di Unair menggandeng mahasiswa dari ITS dan IKIP. Diantara mereka adalah Dedi Supriadi, Mohamad Akbar, Mahfudz, Maulana Robi’i dan Abdullah Mubarok mewakili berbagai fakultas yang ada di Unair10. Diskusi dianggap sebagai cara yang lebih aman dan cara mengumpulkan massa yang lebih efektif. Mereka beralasan, terlalu dini untuk mendeklarasikan PMII di Unair mengingat situasi yang kurang menguntungkan bagi organ atau sayap NU. Selama itu pula, mahasiswa NU banyak tertampung di HMI dan pihak HMI merasa PMII tidak perlu berdiri di Unair. Penegasan permohonan itu disampaikan

oleh Khusaeni mewakili HMI.

Kekhawatiran menyusutnya massa HMI dari mahasiswa NU menjadi sangat krusial ketika isu pendeklarasian PMII menguat. Sebagai permulaan penggalangan massa, dibentuklah kelompok diskusi “Fokus Islam” dengan anggota yang tidak terbatas di kalangan mahasiswa Unair tetapi mencakup berbagai kampus umum non-IAIN di Surabaya. Kelompok ini melakukan aktivitas diluar kampus dengan mengadakan diskusi berkala dan bergiliran di tempat para anggotanya. Pokok bahasan diskusi-diskusi Fokus Islam sebatas pada persoalan keagamaan dan kebangsaan. Dalam perkembangannya, kelompok ini mampu menarik massa dalam jumlah yang memadai sehingga pada awal tahun 1983, isu pendeklarasian PMII komisariat Airlangga dimunculkan ke permukaan. Dari dalam kelompok Fokus Islam sendiri terjadi ketakutan seperti halnya yang dirasakan HMI pada tahun 1981 di awal berdirinya kelompok diskusi ini. 10

Wawancara dengan Abdullah Mubarok

11

Tampaknya pihak HMI ataupun GMNI sudah pasang badan apabila PMII resmi berdiri dan bersiap untuk menggempur posisi organisasi kaum tradisionalis ini. Hal itu membuat banyak anggota Fokus Islam keluar karena menyadari resiko yang diambil apabila nantinya PMII dideklarasikan. Mereka akan kehilangan teman dan resiko pertentangan ideologi yang semakin menajam dan itu dianggap tidak menguntungkan proses studi mereka, baik di Unair, ITS, IKIP atau kampus umum lainnya seperti Universitas Merdeka Surabaya. Alasan yang diambil untuk mengulur waktu pendeklarasian PMII sangat beralasan. Meskipun memperoleh dukungan dari PC Surabaya, Mubarok masih mempertimbangkan tekanan dari luar yang berakibat goyahnya militansi Fokus Islam sendiri. Dari pihak PC PMII Jawa Timur, Masduki Baidlowi menyarankan agar secepatnya di Unair didirikan PMII komisariat Unair untuk menampung mahasiswa NU supaya mempunyai wadah sendiri. Kekuatan Fokus Islam beringsut menurun karena banyak anggotanya sudah masuk dalam daftar pengintaian di ITS karena banyak asisten dosen dan dosen yang termasuk alumni HMI sementara di Unair keberadaan dosen sampai pihak rektorat yang termasuk alumni GMNI juga berpengaruh secara psikologis. Melihat Mubarok yang terlalu banyak perhitungan dan lamban dalam merealisasikan berdirinya PMII Unair, Masduki menuduh lewat Choirul Anam bahwa Mubarok terkesan menunda dan menghambat berdirinya PMII Unair. Muhammad Thohir, mantan ketua komisariat FK pertama bahkan menyatakan kepada Mubarok kalau mampu mendirikan kembali PMII di Unair, akan mendapatkan bintang lima, bukan cuma satu. Ini menjadi tarik ulur yang berat bagi mahasiswa Unair di Fakultas Hukum yang menjadi motor Fokus Islam seperti Mubarok, Islah dan Amir Hamzah. Fokus Aswaja dan Deklarasi Komisariat Unair Keberadaan kelompok kajian Fokus Islam diteruskan dengan pembentukan “Fokus Aswaja”. Perubahan bentuk ini mempunyai tujuan untuk memberikan

12

apresiasi yang lebih jelas dan tegas pada identitas anggotanya. Salah satu anggotanya, Khofifah mencalonkan diri dalam pemilihan Ketua Umum PC Surabaya dan berhasil menduduki jabatan Ketua Umum PC PMII Surabaya periode ke-17. Perhatian pada Unair mulai diberikan dengan dukungan untuk melembagakan kajian Fokus Aswaja menjadi PMII Komisariat Unair. Dalam sebuah rapat di kantor PC PMII Surabaya pada tahun 1987, setelah mengalami kevakuman selama 15-an tahun, Komisariat PMII Unair resmi berdiri dengan ketua Komisariat pertama Hasyim Achmad Sidik. Pada awal kepengurusan semua energi tercurah untuk membangun konsolidasi internal dengan merekrut anak-anak muda NU yang belajar di Unair yang tersebar di beberapa Rayon di Unair. Keberhasilan konsolidasi tersebut tampak dalam beberapa agenda yang diadakan oleh PC Surabaya yang dipegang oleh Khofifah. Terkait dengan keberhasilannya menduduki kepengurusan PC yang semula di dominasi IAIN karena kuantitasnya, Khofifah menyatakan: “Saya baru semester 5 dari Komisariat yang tidak terlalu eksis dalam bentuk institusi. Saingan saya dari IKIP. Pertama kali saya berhadapan dengan mereka yang secara kuantitatif lebih besar tapi tidak dapat ketua umum. Sekumnya Ramadhan Sukardi kemudian barisan Ketua ketigatiganya dari IAIN dan disponsori alumni. Kemudian semua alumni IAIN yang kontra cabang saya undang, semuanya dosen dan saya hadapi sendirian”11 Kenyataan bahwa keberadaan kampus umum yang termarjinal secara kuantitas membuat kepengurusan Khofifah berkembang di atas desain yang berorientasi pada “Penguatan PMII di luar IAIN”. Saat itu Khofifah hanya mewarisi 3 komisariat dengan kantor yang berada satu kompleks dengan Yayasan Khadijah. Dia melakukan tiga macam terapi untuk mengembangkan sikap tenggang rasa dan saling melengkapi sekaligus menghapus dikotomi kampus umum dan IAIN. Pertama, memakai terapi kualitatif karena yang cenderung menjadi persoalan adalah sebab kuantitatif dengan menggelar acara harlah PMII di tenda selama 3 hari dan lomba cerdas cermat PMII. Semua persoalan teknis dari pembuatan soal 11

wawancara dengan Khofifah Indar Parawansa

13

sampai penjurian diserahkan kepada IAIN dan alumninya tetapi kisi-kisi materi secara garis besar mencakup P4, Nilai Dasar Pergerakan PMII, dan Aswaja telah disepakati. Dari lomba cerdas cermat yang digelar pada tahun 1987 tersebut keluar sebagai pemenang juara satu Unair, IKIP dan Rayon Fakultas Tarbiyah IAIN. Efek dari penyelenggaraan acara ini dimaksudkan untuk memberikan pertanda dan refleksi bagi siapapun untuk mempertimbangkan kapabilitas dan kualitas tanpa menyanjung terlalu tinggi besaran kuantitas. Ketua komisariat Unair waktu itu

dipegang

oleh

Samsul

Anam

yang

dibebani

tanggungjawab

untuk

memenangkan perlombaan tersebut. Sejak kemenangan Unair dan mantapnya posisi Khofifah, hubungan saling terbuka mulai terbentuk antara kampus umum dan IAIN.

Tetapi masih ada

beberapa persoalan yang tidak bisa diterima sepenuhnya oleh IAIN yang tampak dari pemboikotan beberapa agenda kegiatan setelah harlah PMII oleh IAIN seperti acara Latihan Kepemimpinan Mahasiswa yang diikuti oleh semua Ketua Rayon dan Komisariat. Khofifah sengaja mendatangkan semua fasilitatornya dari para alumni IAIN dengan harapan dapat mentransfer pengetahuan dan pengalaman mereka. Tidak dapat dielakkan, PMII membutuhkan kedekatan dengan penguasa dalam bentuk-bentuknya yang paling memungkinkan. Pada acara yang digelar PC PMII Surabaya di Wisma Bahagia, Purnomo Kasidi yang menjabat

Walikota Surabaya menyempatkan hadir pada acara

tersebut. Tidak diketahui dengan persis maksud dan agenda kedatangannya yang banyak

mengelu-elukan

Khofifah

sebagai

ketua

umum.

Kedekatan

ini

menimbulkan banyak penafsiran, khususnya independensi PMII dari tarikan politis dalam bentuk apapun. Sepanjang sejarahnya PMII Surabaya belum pernah bersentuhan secara terbuka dengan penguasa kota. Bisa dilihat juga bahwa PMII membutuhkan jaringan yang luas dan tidak hanya terpaku pada lingkaran NU saja untuk mengembangkan diri. Terapi kedua adalah terapi manajerial dengan mendatangkan semua fasilitator diskusi berkala dari Unair diantaranya Ramlan Surbakti, Soetandyo

14

Wignjosoebroto, dan I Basis Susilo. Dalam rangkaian terapi manajerial disertakan juga agenda training Jurnalistik selama 4 bulan berturut dengan pemateri Choirul Anam, Sholihin Hidayat, keduanya dari IAIN dan seorang dari dari GMNI. Khofifah tidak berhenti dalam usahanya mengembangkan PMII diluar IAIN. Untuk menumbuhkan kemandirian dan eksistensi bendera PMII di luar IAIN digelarlah acara wisudawan PMII yang dihelat bertepatan dengan masa awal kerjanya Bisri Efendi sebagai rektor IAIN. Acara yang bertempat di "President Theatre" tersebut dihadiri 180 alumni dan menghadirkan Naya Sujana dari KNPI sebagai salah satu narasumber. Hari itu juga bertepatan dengan momentum Hari Pemuda sehingga sebelum seremoni wisuda sempat diisi dengan diskusi dan seminar. Sesudah seremoni, acara diakhiri dengan menonton bioskop bersama. Acara tersebut juga digunakan sebagai ajang penggalangan dana dengan menarik iuran untuk kegiatan sebesar Rp 50.000 setiap orang. Banyak beberapa diantaranya yang membayar lebih dari itu untuk mendapatkan vandel PMII dan mengikuti rangkaian acara sampai selesai. Dari sisi politis, acara tersebut mampu mengangkat eksistensi PMII non IAIN dalam kancah pergerakan internal PMII. Antusiasme alumni yang hadir tidak hanya dari Unair tetapi hampir keseluruhan dari PC Surabaya. Keinginan Khofifah untuk mencairkan diametral PMII IAIN dan kampus umum sedikitnya terlaksana, meskipun dimasa selanjutnya perbedaan tersebut nyata adanya dan bukan sekadar disebabkan oleh situasi dan distingsi kepentingan politis jangka pendek untuk memberikan penegasan siapa yang paling NU. Pada saat Konggres PMII digelar di Surabaya, PC PMII Surabaya praktis menjadi terlibat sebagai panitia. Bursa calon diramaikan oleh Iqbal, Surya Dharma Ali dan Endin Soefihara. Secara pribadi Khofifah memang terlebih dulu dekat dengan Endin sementara Surya yang menjadi pengurus PB PMII memberikan perpanjangan waktu kepengurusan Khofifah di PC PMII Surabaya selama setahun. Dalam kongress PMII yang pernah tercatat paling meriah ini, Khofifah mengenal Iqbal di arena kongress. Sebagai tuan rumah tentu Khofifah merasakan tarikan dari

15

berbagai kelompok yang mencalonkan diri. Penyelenggaraan relatif sukses dan Khofifah dipanggil oleh Slamet Effendi Yusuf dan Ahmad Bagja. Konggres tersebut mengantarkannya menjadi ketua umum PB KOPRI. Kongress itu pada akhirnya berbuntut panjang karena memunculkan kembali dikotomi IAIN dan non-IAIN. Sekali lagi Khofifah mendatangkan Danrem Kolonel Haris Sudarno datang ke acaranya PMII di Wisma Bahagia IAIN. Ketua PC Surabaya dipegang oleh Muslim dan sedianya acara itu diperuntukkan untuk membuka dialog kembali dan saling mengkritik untuk membangun PMII. Pada tahun 1993 halangan utama yang

menyulut gerakan mahasiwa

berbasis Islam adalah pemberlakuan Porkas dan kemudian menjadi SDSB yang dianggap judi oleh para ulama'. Gerakan aksi mahasiswa mampu bertemu dan berkolaborasi dengan elemen ke-Islam-an. Di tingkatan kampus, pengorganisasian yang dilakukan oleh Lembaga Dakwah Kampus (LDK) melakukan koordinasi dengan kekuatan intra kampus yang terwadahi dalam Himpunan Mahasiswa Jurusan dan Senat Mahasiswa. Disamping itu dukungan tersebut meluas dan membentuk jaringan aksi bersama ke jalan bersama OMEK. PMII Unair pada tahun 1990 tidak begitu bergairah tetapi tampilnya sosok Romli yang menjabat sebagai ketua Senat Mahasiswa Unair sekaligus Ketua PC Surabaya mampu menggerakkan aksi mahasiswa turun ke jalan menuntut dihapuskannya SDSB. Menurut Kacung Marijan, pemerintah memandang aksi ini dengan lebih kompromistis karena persoalan SDSB hanyalah soal kebijakan dan tidak menyentuh substansi politik yang menganggu eksistensi Orde Baru. Pada akhirnya SDSB dihapuskan pada tahun 1993. Selanjutnya pemerintah menerapkan politik akomodatif untuk membuat wadah payung Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Salah satu kader PMII, dokter Muhammad Tohir menjadi salah satu tokoh ICMI di Jawa Timur yang berasal dari NU. Meskipun secara khusus tidak begitu berpengaruh pada afiliasi politik PMII Unair dan PC, tetapi cukup untuk meredam aktivisme dan gerakan-gerakan kritisisme atas kondisi politik nasional dan segala bentuk kebijakan yang dihasilkannya. Sampai tahun 1993, ICMI tumbuh menjadi

16

kekuatan dominan baru di kalangan gerakan mahasiswa berbasis Islam seperti HMI yang banyak disebut sebagai ujung tombak ICMI di lingkungan gerakan mahasiswa12. Pihak birokrasi kampus mengendalikan gerakan mahasiswa melalui organ UKKI merupakan satu unit kegiatan yang perdefinisi diatur oleh aturan NKK/BKK dan secara struktural setiap UK menjadi bagian dari BKK. Kelebihan UKKI dibadning UK yang lain adalah tersedianya mesjid kampus yang megah dan seumber pendanaan serta ide aktivitas yang cukup melimpah. Abdul Gaffar Karim, seorang mahasiswa dari Madura menuturkan “saya ingat betul, kalau mau RIC (ramadhan in Campuss) kita tinggal buka lagi list donatur etap dan dana segera mudah didapat, baik untuk keperluan acara-acara mengisi ramadhan maup untuk konsumsi takjilan dan semacamnya”. Sampai tahun 1988, UKKI didominasi oleh mahasiswa dari FK. Pada saat itu diketuai oleh Nasich Wahab dari FE. Fungsi UKKI mengkoordinir setiap SKI disetiap fakultas. Metode khalaqah banyak dipakai sehingga tidak terasa ada nuansa politik yang berarti. Pada tahun itu tema-tema politik yang muncul dalam diskusi banyak terkait dengan isu perjuangan rakyat afghanistan melawan USSR dan pemerintahan bonekanya. Politik dalam negari pada dasarnya tidak begitu disentuh13. UKKI berada dibawah binaan birokrasi kampus dan tidak ada pembatasan yang berarti dari birokrasi kampus. Setiap kegiatan didesain secara mandiri dengan beberap konsultasi dengan pembina UKKI. Tidak adanya intervensi lebih dikarenakan kegiatan UKKI lebih bersifat kerohanian ketimbang politis. Para pembina dimanfaatkan sebagai narasumber seperi Musa dari FK, Fasichul Lisan dari Farmasi FF dan beberapa dosen muda seperti Kacung Marijan dan menjadi ikon UKKI. Pada akhir tahun-tahun 1980 menurut pengamatan Gaffar, NKK/BKK sedang on its peak. Tendensi politik baru terasa dua atau tiga tahun kemudian. Tahun 88, masjid kampus menjadi bagian eskapisme sosial. Ketika aktivitas politik

12 13

wawancara dengan Kacung Maridjan wawancara email dengan A. Gaffar Karim

17

kampius tidak bisa dilakukan dalam kerangka NKK/BKK, masjid kampus sebenarnya menemukan relevansinya. Pada saat itu juga sekularisme politik Indonesia sedang berada dalam puncaknya. Sisa metode pengganyangan Islam sejak Moerdani masih kuat. Baru tahun 1991 suharto merasa perlu untuk mengelola Islam dalam nuansa yag berbeda dan ICMI adalah salah satu manifestasinya. Jadi tahun 88 itu masjid kamus menjadi katup bagi dua persoalan: buntunya peran poltik mahasiswa dan sekularisme sosial politik yang sangat kuat. Gelombang gerakan Salman di Unair banyak digerakkan oleh mahasiswamahasiswa NU. Tidak ada elemen kiri, liberalisme islam dan semacamnya secara cukup kuat di masjid Unair. Ekstase keberagamaan lebih ditonjolkan waktu itu ketimbang pengembaraan intelektual untuk merumuskan peran sosial Islam yang lebih signifikan. Kebangkitan Komisariat (1990-1998) Gerakan mahasiswa pada tahun 1990 mengalami pergeseran dari dekade 80-an. Pengaruh yang paling tampak adalah dengan dibentuknya SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi) berdasarkan SK Mendikbud Fuad Hassan No. 0457/U/1990. Keputusan tersebut memang mengakhiri politik penguasa yang tertuang di dalam NKK/BKK. SMPT dalam perjalanan awalnya banyak ditentukan oleh mentalitas mahasiswa yang terkungkung di dalam ketakutan untuk bersuara. Di beberapa daerah pada akhir tahun 1994 setelah Kongres IV mahasiswa UGM muncul Dewan Mahasiswa (DeMa) yang dianggap sebagai alternatif SMPT. Kemunculan DeMa menunjukkan kembalinya semangat dan secara formal mampu menunjukkan keberanian mahasiswa untuk melakukan terobosan yang berbeda. Keberadadaan DeMa mirip atau bisa dikatakan sebagai reinkarnasi DM pada tahun 1970-an dan dibubarkan pada tahun 1978 menyusul diberlakukannya NKK/BKK. Sebagaimana dinyatakan Fadli Zon bahwa DeMa menerapkan klaim atas basis massa dan melekatkan legalitas dari sebagian besar mahasiswa yang tidak mungkin

18

berafiliasi atau mendukung SMPT.

DeMa juga mempunyai kekuatan otonomi

karena dibentuk berdasarkan konsolidasi internal dan bukan berada di pihak elit pro-birokrat pemerintah (universitas). Adanya independensi dan jaminan penolakan atas semua intervensi pemerintah dan struktur hirarkis yang berbeda dengan SMPT membuat sosialisasi pembentukan DeMA di berbagai kampus mendapatkan sambutan yang meriah. Setelah mengalami kevakuman selama beberapa tahun sampai 1990 setelah era Khofifah, Hasyim dan Samsul Hadi,

PMII Unair dihidupkan kembali oleh

beberapa mahasiswa NU. Tercatat pemrakarsa agenda menghidupkan kembali PMII Unair adalah Maulidin dari FISIP yang kemudian mengajak Romli yang menjabat ketua SMPT Unair. Penyebab utama keterputusan kaderisasi PMII pasca Khofifah adalah konsentrasi energi di tingkat PC Surabaya disamping tidak adanya markas yang relatif tetap sebagai pusat kegiatan PMII di Unair. Bersama Maulidin juga Mahrus Ali, Khodafi dan Adnan Anwar, PMII Unair mulai menjadikan NU sebagai merek dagang pertama kali untuk merekrut beberapa orang lagi. Maulidin sebelumnya sudah mempunyai kegiatan di LPM Retorika. Inisiatif untuk membangkitkan PMII Unair disponsori oleh Kharisuddin Akib yang memangku Ketua PC Surabaya yang bersambut dengan antuasiasme Maulidin, Budi dan Rif’an. Pada awalnya mereka mendasarkan keinginannya untuk mengembangkan NU di kalangan mahasiswa. Identitas PMII sendiri masih samar karena belum mempunyai agenda dan bendera yang jelas dan mandiri di Unair. Berbagai diskusi juga digelar di kampus FISIP dan Retorika. Mapaba pertama yang diadakan dengan menyewa kantor PWNU di Jalan Darmo. Pada saat Mapaba pertama dalam tahun 1993 telah dibentuk formalitas kepengurusan komisariat dengan menunjuk Budi, mahasiswa ilmu Politik ‘91 sebagai ketua. Mengingat anggota yang masih sedikit dan belum mempunyai tempat komisariat yang tetap, segala perangkat keorganisasian belum diadakan. Sementara waktu untuk menggelar diskusi dan pertemuan masih memakai

19

kantornya LPM Retorika Fisip Unair14. Awalnya, NU sebagai identitas kultural dan penopang karakter politik PMII diusulkan oleh Rif’an. Demikian juga model perekrutan akan terbebani dengan polarisasi diterima atau tidaknya calon kader dari luar NU. Keinginan ini tidak datang secara alamiah karena Rif’an dan Maulidin memang sejak awal datang dari kalangan santri dimana kultur NU melekat begitu kuat. Pada saat mengumpulkan beberapa personal untuk membentuk PMII, mereka masih memakai paradigma PMII sama dengan NU. Pada kelanjutannya, faktor penarik yang paling kuat justru disebabkan oleh mindset intelektual dan ketokohan mereka di kampus. Pada awal kebangkitan tahun 1990, PMII mempunyai anggota 15 orang dengan ketuanya Rif’an. Semasa aksi SDSB, Romli direkrut juga oleh Maulidin sebagai kader PMII. Romli kelak menjadi ketua PC menggantikan Kharisuddin. Perekrutan Romli membawa signifikansi karena latarbelakang Romli sebagai ketua SMPT. Langkah ini dengan sendirinya cepat membawa nama PMII melejit lepermukaan. Kepiawaian Romli memainkan peran dalam dua katup gerakan intrakampus melalui kendaraan SMPT dan Organisasi ekstra mahasiswa lewat PMII menjadikannya tokoh sentral dalam gerakan mahasiswa penentang SDSB. Pangdam V/Brawijaya yang dijabat Mayjen R Hartono memfasilitasi Romli untuk berdialog di Jakarta. Ketika SDSB mulai menanjak sebagai isu nasional yang diikuti oleh gelaran aksi-aksi mahasiswa di daerah-daearh, Maulidin mendirikan FORMASA (forum mahasiswa surabaya) pada akhir tahun 1992 yang beranggotakan sebagian besar anak-anak PMII. Gerakan dari forum ini berupa pendampingan masyarakat seperti kasus tanah dan mengeluarkan statement dalam selebaran. Sesekali menggelar aksi besar di awal tahun 1993. Beberapa waktu setelah FORMASA berdiri disusul oleh FKMS. Kehadiran FKMS tidak mengurangi kekuatan FORMASA karena masih tetap diamggap lebih otoritatif ketimbang FKMS karena mewakili 4 kampus sedang FKMS hanya 2 kampus yaitu Unair dan ITS. Pada awal dan pertengahan tahun 1993 perhatian 14

wawancara dengan Maulidin

20

mahasiswa Unair tersedot pada isu SDSB. Terdapat 2 alasan utama mengapa mahasiswa tersedot pada isu tersebut. Pertama isu SDSB merupakan isu yang sensitif karena berkait erat dengan persoalan ekonomi, moralitas dan pendidikan bagi warganegara yang buruk. Tetapi yang paling mendominasi adalah sentimen paradigmatik yang mengarahkan SDSB dalam batasan halal-haram. Kedua SDSB merupakan isu yang tidak terlalu beresiko karena tidak bersinggungan dengan politik ideologi negara. Elemen-elemen mahasiswa Islam lain tidak terlalu terpancing untuk menggelar demonstrasi berskala besar sebelumnya menjadi tertantang untuk menyikapi SDSB dalam kerangka pandang formalistik. Elemen mahasiswa Islam yang tergabung dalam Lembaga Dakwah Kampus (LDK) belum sepenuhnya mengambil posisi penting dan baru menjadi kekuatan yang relatif diperhitungkan sejak di dukung oleh ICMI pada tahun 1993-1994. praktis, isu SDSB bukan hanya milik kelompok mahasiswa Islam saja tetapi menarik bagi mahasiswa Kristen dan Katolik. PMII menggalang koalisi dengan GMNI beserta kelompok mahasiswa lintas agama. PMII mampu memanfaatkan UKKI yang dipimpin oleh Budi (PMII) sebagai kekuatan pendukung koalisi. Menandingi HMI yang menjadi kekuatan dominan karena dukungan penuh ICMI membuat PMII mengubah strategi menarik massa berlatarbelakang NU yang terdapat di dalam HMI. Pada tahun 1993, PMII mensponsori berdirinya GEMA (gerakan mahasiswa) NU untuk menyaingi kekuatan HMI yang mengakibatkan anak-anak HMI dari NU mengalami perpecahan internal. Maulidin meninggalkan gelanggang PMII unair sejak mendapatkan mandat dari Muhaimin Iskandar untuk mengurus agenda resolusi jihad di PC se-Jawa Timur. Wacana PMII banyak mengambil isu-isu kontemporer dari LKIS Jogja. Konsepsi Islam Pembebasan menjadi trend dalam berbagai diskusi sistematis yang digelar dalam kurun tahun 1993-1994 yang bertempat di

komisariat jalan

Karangmenjangan. Peminat diskusi ini semakin hari membludak hingga mencapai 30 orang peserta aktif. Terjadinya konflik di PMII tahun 1995 menyebabkan Anom Surya Putra dan Maulidin yang telah kembali dari tugasnya mencoba

21

mengembangkan GEMA NU yang banyak merekrut kader HMI-NU. Dari diskusi informal GEMA NU kemudian muncul ide pendirian Forum Studi Gerbang pada tahun 1995 dan berada dibawah PMII sebagai salah satu sayap intelektualnya. Setelah gerbang berpisah dari PMII pada tahun 1996 berubah menjadi eLSAD. Kader PMII yang aktif di eLSAD termasuk Arfan, Anom, Adnan, Erma Susanti dan Nurjanah. Wacana-wacana yang diangkat menyangkut tema-tema kiri Islam yang dianggap pro rakyat kecil dan dialog antar agama. Pertama kali eLSAD berkantor di kontrakan Yanto anak HMI yang bertetangga dengan komisariat PMII. Kepengurusan tahun 1993 semuanya diisi oleh mahasiswa FISIP sampai Budi meletakkan posisinya karena kesibukan skripsi. Sebagai penggantinya tampil Khadafi yang diangkat tanpa rapat melainkan ditunjuk oleh Budi setelah ada pertemuan biasa. Agenda pertama Khadafi meneruskan Mapaba dengan menggelar PKD. Kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya untuk mencari tambahan kader dengan merambah ke FH. Acara yang semula didesain dalam bentuk Pelatihan Kader Dasar (PKD) akhirnya bercampur dengan Mapaba karena masuknya beberapa kader baru dari FH yang dibawa oleh Hadi Subhan. Termasuk Syamsul, Mahrus Ali, Hartanto dan Anom. Dengan mengusung wacana Kiri Islam yang menanjak populer, PMII membawa pemateri langsung dari Lkis Jogjakarta untuk membedah pemikiran Islam Hassan Hanafi. Pilihan ideologis Pasca momentum SDSB, gerakan mahasiswa kembali mengalami penurunan intensitas. Sampai tahun 1993 akhir, berbagai elemen organisasi mahasiswa terpaku pada sektarianisme. Anom S.P menggambarkan “Seingat saya, sepertinya saya masuk Unair tahun 93, saat demo SDSB menjadi andalan penyatuan dan pembangkitan gerakan mahasiswa. Saat itu, konservatisme dalam berpolitik mencapai titik terbawah dan mustahil untuk naik daun, sehingga demo SDSB menjadi penting sebagai faktor pendorong gerakan. Bayangkan saja, bicara tentang

22

Pak Presiden saja tidak berani apalagi diskusi dengan muatan kritik ideologi yang lebih berbobot? Sebagai contoh riil waktu itu adalah adanya penataran P-4 yang memuakkan, karena ratusan calon mahasiswa menjadi robot berbaju putih-putih dan berjas biru (yang warnanya variatif antara biru muda dan biru tua). Ini menggambarkan kecenderungan ideologis tingkat nasional yang serba-kontrol-diri (NKK/BKK) dan akhirnya membawa pikiran mahasiswa lebih ke dunia kerja secepat mungkin. Toh, siapa yang sangka bila 4 tahun kemudian, pikiran semacam itu runtuh saat Indonesia mengalami depresiasi rupiah, krisis moneter dan krisis pekerjaan?”15 PMII dalam pembuka tahun 1994 menekankan aliansi dengan kelompok demokratik-kiri. Di FH, gerakan aliansi FAMI (Front Aksi Mahasiswa Indonesia) mengangkat isu-isu besar yang bertumpu pada kritik atas penegakan HAM yang bebuntut ditangkapnya Anthony Ratag, mahasiswa FH dsn beberapa orang lainnya. Pemunculan isu HAM menemukan ruang implementasinya dalam setiap agenda penting yang terjadi pada masa-masa ini. FAMI merupakan organ mahasiswa yang harus berhadapan dengan provokasi dari kelompok Islam modernis yang sektarian. Pelekatan stigma kelompok “merah dan non-muslim) menjadikan setiap aksi FAMI tidak mendapatkan dukungan dari elemen muslim lainnya. Kedekatan PMII dengan eksponen FAMI tidak terbentuk begitu saja. Faksi “kiri Islam” di PMII yang banyak terinspirasi pemikiran Hadji Misbach harus bertarung dengan faksi “islam moderat” yang menginginkan PMII eksis di jalur kultural NU konservatif. Faksi terakhir ini lebih suka PMII mempunyai citra sebagai Organ Islam yang mampu berdiri ditengah-tengah nuansa sektarianisme yang dibawa kelompok modernis dan internasionalis. Bayang-bayang trauma sejarah perseteruan dengan PKI di masa lalu mejadi argumentasi paling penting sehiungga keberadaan faksi kiri Islam sedikit demi sedikit tergerus. Pengaruh ICMI dengan ICMI-sasi di lingkungan kampus membawa konotasi penting dalam melestarikan dikotomi “merah” dan “hijau”. 15

Korespondensi dengan Anom S.P

23

Upaya mereduksi

realitas politik ideologis menjadi “muslim” dan non-muslim”. Pada tahun 1994 ini juga mulai berkembang gerakan usroh dan uslah yang berorientasi pada islam internasionalis sebagai solusi dari kebekuan dan stagnasi realitas politik di dalam gerakan mahasiswa Islam sendiri. Gerakan ini tetap berpendirian anti-sekularisasi. Di dalam kondisi demikian, mahasiswa tidak mempunyai pilihan lain untuk mengembangkan ide-ide cerdas dan membangun dalam melepaskan diri dari kejumudan pemikiran dan perumusan gerakan wacana-aksi yang lebih kritis. Pada pertengahan tahun 1994, Anom bersama beberapa orang PMII faksi Kiri Islam mencoba mencairkan situasi dengan membangun kelompok studi CLAIM di FH. Kelompok studi ini menawarkan pembahasan persoalan hukum secara elementer. Maulidin juga membangun kelompok studi Gerbang di FISIP yang bersamaan dengan berdirinya kelompok studi mentari yang digawangi Herman dan Desta F Kusumah. Tidak dapat dielakkan bahwa PMII mulai tertarik dengan ide-ide yang dibawa oleh Gus Dur tentang pluralisme yang dianggap mampu menjadi faktor penengah dan pilihan rasional dan paling memungkinkan dalam problem politik aliran, sektarianisme dan ikhwanisme. Bisa disebut koalisi abadi di dalam kurun waktu sampai tahun 1996 adalah HMI dan GMNI. PMII sudah berpikiran untuk menghajukan moderatisme sebagai jalan alternatif untuk menghancurkan dikotomi “merah dan Hijau”. Hadi Subhan bersama Anom dan beberapa orang mendeklarasikan berdirinya PMII rayon FH pada tahun 1993. ternyata GMNI juga merasa ikut untuk melesatarikan hegemoni dan aliansinya dengan HMI dengan menghidupkan kembali GMNI FH Unair di awal tahun 1994. keberadaan tiga kelompok besar di FH yakni PMII, HMI dan GMNI membuat iklim diskusi mahasiswa mulai semarak. PMII mulai mantap berdiri dibelakang ide besar Gus Dur tentang pluralisme tanpa meninggalkan identitas kulturalnya. Pluralisme menjadi andalan untuk mentransformasikan Islam-Moderat. Demi merealisasikan agenda tersebut mulai dibuka dialog-dialog antar agama yang dihadiri oleh Kaum Muda Katolik (KMK) Unair, GMKI, Unit Kegiatan Kerohanian Kristen, GMKI dan adakalanya representasi

24

PMKRI. PMII sendiri mulai mendalami gagasaan dan tawaran Hassan Hanafi dalam kiri Islam yang ditransformasikan untuk mempermudah masuk kedalam berbagai kalangan dari sosialis dan nasionalis. Meskipun kurang bisa diterima oleh IslamModernis dan Islam-Internasionalis. Dari pihak katolik, dukungan positif muncul dari Romo Kurdo dari St. Aloysius Gonzaga yang menjadi idola bagi KMK Unair dan SMID. Markas PMII yang di berada jalan Gubeng, dekat sungai yang sangat amis, menjadi tempat bermain dan saling kunjung organ gerakan non-muslim. Sementara

kalau

tidak

bisa

dikatakan

habis,

kecenderungan

ideologis

Sektarianisme yang dominan itu hanya muncul dalam skala kecil-kecil saja. Semisal, di sebuah musholla kampus terdapat agitasi bahwa SMID (masuk neraka), HMI/LDK (masuk surga) dan PMII (hampir masuk neraka). Keterlibatan aktif PMII di jalur dialog antar agama dan agenda pluralisme lainnnya masih dibayangi oleh kurangnya tokoh Islam yang mampu menjadi penopang wacana pluralisme di Surabaya. Hal itulah yang membuat PMII tergerak untuk melihat LKIS Yogyakarta yang menerbitkan buku-buku bermutu karya Hassan Hanafi, Abdel wahab el-affendi, Abdullahi Ahmed an-Na’im, Fatima Mernissi dan Asghar Ali Engineer. Dalam era ini, PMII Unair pernah berdiskusi dengan Zastrow, Fikri, Baihaqi (LKIS) dan Fajrul Falakh, untuk kaderisasi dan keberimbangan dalam berdiskusi dengan elemen demokrat lain. Ujung dari akumulasi pengetahuan ini adalah terlibatnya PMII Unair, sebagai salah satu elemen Islam, untuk aktif protes dalam isu yang sensitif: mulai dari isu SPP, IKOMA, organ DEWAN MAHASISWA, ICMI-sasi Unair, sampai dengan protes penembakan terhadap mahasiswa. Yang paling sensitif di tingkat aksi, adalah modus demo setelah sholat Jum’at, di depan masjid Unair. Demonstrasi ini menimbulkan ekses melebarnya agenda politik yang dibawa antara PMII dan HMI/LDK sehingga dari pihak PMII faksi kanan yang diwakili oleh ketuanya, Machrus Ali senantiasa menjadi sasaran dan sekaligus penengah dengan kalangan masjid atau kalangan Islam lainnya.

25

Dalam rangka menembus stagnasi kampus, PMII turut membidani terbentuknya KPOAM (Komite Persiapan Organisasi Alternatif Mahasiswa). KPOAM yang bertugas menghujat Senat Mahasiswa dan mempersiapkan organisasi yang dipilih langsung. KAPOAM lahir dari peleburan KMUA yang digawangi Heru yang membawa isu politik keindonesiaan, GMNI dan PMII. Konsekeuensinya, banyak kader PMII yang diharuskan untuk tidak tergiur menjadi anggota poengurus senat. Konsistensi ini bertepatan dengan Gus Dur mufaraqah (berpisah) dengan Pemerintah/Negara. PMII melihat Senat adalah bagian dari korporatisme Pemerintah/Negara, dan tidak bisa kritis, maka PMII haru ikut mufaraqah dengan Senat. Ada sebagian pihak yang mencela tindakan PMII ini sebagai kekecewaan adanya kader PMII yang kalah pada pemilihan Senat, tetapi fakta yang bisa diajukan untuk menolak anggapan tersebut adalah penguasaan PMII pada jalur ekstra parlemen kampus dan mamou menujukkan independensi serta menolak intervensi senat dalam setiap kebijakannya. Alternatif yang mampu dibangun PMII sudah membuahkan hasil dengan penguasaan media-media kampus dan jaringan gerakan dengan berbagai elemen yang mengusung wacana yang sama. Wujud nyata dari tuntutan internal PMII adalah usaha Anom dan Mahrus dengan membentuk KAPOAM (Komite Aksi Penyelamat Organisasi Mahasiswa) yang berusaha merebut organisasi intra kampus yang dianggap mandul dan tidak kritis. Maulidin sebagai penyangga sayap intelektual merasa kecewa dengan manuver Mahrus dan Anom yang melanjutkan kegiatan KAPOAM dengan terlibat dalam pencalonan ketua Senat sampai ketingkat Universitas yang berbentuk presidium dan dipimpin seorang Sekjen. Pada puncaknya, kegagalan manuver Mahrus dan Anom agak melegakan argumentasi Maulidin yang mencoba terus eksis di tingkatan wacana tanpa harus terjun kepada gerakan politik

26

Mendobrak Sektarianisme Pada tahun 1995 PMII dihadapkan pada persoalan di dunia kampus yang diidentifikasi pada gairah keilmuan yang stagnan, nilai kontrol sosial mulai terdistorsi dan budaya pragmatisme material serta pola-pola gaya hidup hedonis yang kadang berlebihan. Fenomena mahasiswa Unair tersebut membuat keprihatinan sekaligus tantangan bagi aktivis PMII untuk merubah dengan menandaskan arti pentingnya pengkaderan. Bergerak dalam bidang yang lebih khusus lagi, rekrutmen atau yang paling tenar dengan nama Mapaba dianggap sebagai proses pengkaderan formal yang diharapkan mampu melahirkan calon pemimpin bangsa yang berdimensi kerakyatan yang sesuai dengan kepemimpinan

profesional

ditingkatan

bawah,

menengah

kapasitas

ataupun

atas.

Penyelenggaraan setiap Mapaba mengusung tema sentralnya sendiri-sendiri, pada tahun 1995 mengangkat "Penguatan Civil Society: Islam dan Negara" dalam bentuk sarasehan.16. Ketua PMII yang masih dijabat oleh Mahrus Ali mengundang Gus Mus. PMII masih mempercayai usaha menempatkan NU sebagai daya tarik bagi kader-kader baru ditambah ketokohan pentolan-pentolan PMII yang sudah menyebar kedalam berbagai institusi di kampus dengan harapan untuk menarik kader yang mampu mengapresiasi tantangan bagi nilai-nilai tradisional yang semakin tergerus oleh kosmopolitanisme. Tentu saja jika NU menjadi merek dagang yang diharapkan efektif akan menjaring kader dari kelompok tradisional dari daerah yang masih mempunyai militansi ideologis yang tinggi. Salah satu hasil sasaran kaderisasi tahun 1995 adalah Miftahul Huda yang menggambarkan sekilas keadaan pada akhir tahun 1995 di Fakultas Hukum: ”Waktu itu ada forum yang diikuti orang tua seperti Samsul, Hartanto, Mahrus dan Ridwan. Kesanku mereka dari orang pinter dan berasal dari lingkungan pesantren. 16dokumentasi

panitia sarasehan dan mapaba PMII komisariat airlabngga 1995. Pada saat itu PMII masih bermarkas di Jl Gubeng Kertajaya VF/22C, Surabaya

27

PMII dikatakan oleh mereka berhubungan dengan NU. Karena merasa NU aku mau aja diajak Mapaba sama mereka. waktu itu bahas Kiri Islam. Aku bareng Edi sama anaknya pak Ali Haidar. Pada waktu itu Hadi Subhan sudah gak ada, Mahrus pun cuma tahu nama. Yang nyeleneh ya Samsul yang membuatku tertarik dan mikir bahwa PMII itu NU”17

Pada tahun 1995-1996, program-program sudah mulai tertata. Kajiankajian rutin diadakan secara berkesinambungan. Pelatihan analisis sosial sampai program penerbitan dijalankan dengan maksimal. Kelompok studi Gerbang yang dibentuk untuk mewadahi potensi intelektual sudah berkembang jauh menjadi lembaga swadaya masyarakat (LSM) bernama lembaga Studi Agama dan Demokrasi (eLSAD). Sementara aktivisme jurnalistik telah tersalur melalui Retorika dan Suara Airlangga. Sayap diskusi dan pers yang terwakili dalam beberapa individu dari PMII ini menggelar kegiatannya di dalam kampus tanpa sepengetahuan rektorat dengan menghadirkan Sri Bintang Pamungkas dan sempat didekati oleh PDIP Mega-Tjipto yang ingin menyatukan kekuatan pro-demokrasi dari kalangan mahasiswa. Di lingkungan kampus, kebijakan pemerintah untuk mencampuri urusan dalam negeri universitas masih sangat terasa. Berkaitan dengan ini, kualitas kampus bisa menurun karena tidak didasarkan pada kerja-kerja akademis dan pengembangan profesionalitas yang berdedikasi tinggi bagi mahasiswanya. Begitu juga dengan Unair yang menjadi sasaran kritik PMII. Kritik yang dilontarkan oleh beberapa personal praktis menjadi simbol pandangan PMII. Dibuka oleh Mahrus selaku Ketua komisariat PMII Unair yang menyatakan bahwa menurunnya nama besar Unair yang dijuluki sebagai mutiara dari timur sebenarnya diakibatkan oleh tidak seimbangnya perkembangan kebutuhan masyarakat dengan perkembangan bidang pendidikan. Dia menilai semakin tingginya pendidikan masyarakat semakin selektif pula menilai kualitas sistem pendidikan, disamping itu kevakuman kegiatan ilmiah di kalangan mahasiswa juga ikut mempengaruhi penilaian

17

wawancara dengan Miftahul Huda

28

masyarakat. Kesenjangan dunia kampus dengan masyarakat menjadikan dunia perguruan tinggi menjadi menara gading yang tidak terjangkau oleh masyarakat18. Sementara Adnan yang menjabat PU (Pimpinan Umum) SuGa (Suara Airlangga) menyatakan terlepas bagaimana penilaian berbagai pihak terhadap keberadaan Unair saat ini yang jelas kita merasakan adanya kemerosotan kualitas produk kelulusan Unair: “Ini dapat dilihat dari kualitas skripsi mereka yang semakin tidak berbobot. Kalau kita melihat masa kepemimpinannya pak Tandyo, kualitas mahasiswa FISIP Unair sangat bagus karena beliau punya komitmen”19. Komentar yang disertai ulasan dari Khadafi tampak lebih lugas karena menohok pada institusi dan pelibatan individu yang tidak terarah dalam bagian tanggungjawab sosial dan intelektualnya sehingga diikuti oleh melemahnya aktivitas gerakan mahasiswa Unair yang disebabkan oleh kurang baiknya sistem pengkaderan aktivis. Menurutnya: Kita melihat adanya gejala individualisme yang berkembang dikalangan aktivis. Hal itu mengakibatkan tidak berjalannya sistem pengkaderan sekaligus memunculkan gejala figur tunggal yang memiliki kemampuan mengkoordinir massa dan menjadi sentral gerakan. Kita sering melihat mahasiswa yang mengikuti gerakan terkadang sekadar ikut rame-rame tetapi tidak memaknai tujuan dari gerakan tersebut sehingga ketika figur tunggal ini sudah terjebak dalam peng-upayaan kepentingan pribadinya gerakan mahasiswa mengalami kemunduran.20” Serangan kepada kadar dan kualitas intelektual yang dilontarkan Khadafi lebih mengenai sasaran. Alternatif baru yang lebih menjelaskan persoalan juga diketengahkan dengan proporsional. Pada intinya kemunduran yang disebabkan oleh merananya proses pematangan dalam lingkungan kampus lebih parah dari semua upaya penekanan dari birokrasi. Khadafi menambahkan:

(Retorika No 17/XII/1995)”. ibid 20 ibid 18 19

29

“Kalangan aktivis Unair tidak lagi memiliki kesadaran intelektual sehingga mereka tidak mampu mamahami lingkungan gerakannya dan menjadikan gerakannya tidak terarah. Kesadaran intelektual itu perlu untuk menjaga agar kita tidak terjebak dalam kepuasan yang sengaja disiapkan oleh penguasa tanpa pernah kita sadari sebelumnya. Ini juga terjadi karena sistem kognisi kita telah mengalami rekayasa kultural yang membuat kita tidak pernah bersungguh-sungguh bersikap kritis terhadap citra baku yang ada di sekitar kita. Jalan keluarnya adalah melakukan rekonstruksi sistem kognisi dan mengkritisi diri sendiri dan tidak mempercayai model penalaran yang selama ini kita yakini kebenarannya. Kalau perlu harus disusun lagi model penalaran baru yang lebih efektif untuk mencapai perubahan yang diinginkan”21.

Sejak tahun 1995, markas PMII yang terletak di jalan Kertajaya mulai menggelar diskusi meski tidak seberapa sering digelar sampai kepindahannya di Karangmenjangan. Pilihan tema diskusi sengaja dipilih yang aktual dan digelar lebih kondisional karena dinamika politik yang serba cepat. Ajang diskusi di desain juga sebagai forum yang merespon dan bersikap reaksioner terhadap fenomena politik. semua aksi yang diambil setelah diskusi secara umum bisa dinyatakan sebagai terjemahan dari semangat Kiri Islam. Sejak kepengurusan Imaduddin yang terkesan mandek, semua peran untuk mengorganisir dan melaksanakan agenda PMII dilakukan oleh angkatan 94 diantaranya Patna Sunu, Salim dan Agus Murti. Setelah kepindahan dari Kertajaya ke Karangmejangan, Agus ditunjuk sebagai pelaksana harian ketua sampai resmi menjadi ketua komisariat setelah dilangsungkan pemilihan. Para sesepuh seperti Adnan cuma aktif di Suga tetapi fungsinya tetap sebagai konseptor bagi PMII sampai kepengurusan dipegang oleh Nanang dari FKM pada tahun 1997-1999. pada rentang waktu ini, Khadafi mengajak Adnan dan Samsul lebih banyak membantu di Rabithah Ma'had Islamiyah (RMI) untuk mengembangkan majalah Santri.

21

ibid

30

Konflik dan Diaspora Kader Pasca PKD, terbesit keinginan untuk menyewa tempat sendiri yang direalisasikan tahun 1994 dengan iuran dari para anggota.

Tahun ini juga

diadakan pemilihan ketua Komisariat dan pemenangnya adalah Mahrus Ali, mahasiswa FH ‘93 dengan sekretaris Hadi Subhan. Terpilihnya Mahrus membuka peluang bagi leburnya Keberadaan tempat ini menandai perubahan besar bagi PMII. Disini terjadi konflik yang menyebabkan perpecahan antara kelompoknya Maulidin yang intens dan terkonsentrasi pada wacana dan jurnalisme dengan kelompoknya Khadafi yang tidak mau mengakui Maulidin sebagai patron karena segala sesuatunya harus dikendalikan dibawah Maulidin. Program rekrutmen anggota menjadi prioritas pertama mengisi kekosongan pengurus dan menjamin keberlangsungan agenda-agenda kegiatan PMII. Ajang Malam Keakraban yang biasa dijadikan tradisi oleh setiap jurusan di masing-masing Fakultas menjadi media identifikasi calon anggota dan rekrutmen. Di acara ini berlangsung sosialisasi penjaringan kader PMII yang diperkuat dengan menjual sosok Maulidin dan Adnan yang sudah terlebih dulu populer di kalangan mahasiswa dan aktivis gerakan. Dari proses tersebut ratusan mahasiswa baru yang mempunyai latarbelakang NU masuk menjadi anggota baru PMII Unair. Di dalam PMII pada akhir tahun 1994 muncul ketegangan antara kubunya Khadafi dengan Maulidin. Sejak kepengurusan Mahrus, secara organisasional PMII lebih hidup, memenuhi syarat-syarat berdirinya organisasi yang tertib dan bertujuan jelas. Dalam penafsirkan aktualitas gerakan PMII, persinggungan antara kedua faksi mengerucut dari persoalan efektivitas gerakan di mana Maulidin lebih berkeyakinan PMII bisa maju dengan kekuatan intelektual sementara lainnya membutuhkan orientasi yang lebih kongkret melalui gerakan meskipun tetap mengakui bahwa hal tersebut harus didukung oleh intelektualitas yang tinggi.

31

Maulidin dengan Forum Studi Gerbang (Gerakan Kebangkitan) tidak serta merta mau diposisikan dibawah kepengurusan Mahrus. Sedangkan Mahrus dan Khadafi tetap berasumsi bahwa Gerbang adalah sayap intelektual PMII yang berfungsi sebatas litbang atau dimungkinkan berlaku sebagai badan otonom dibawah Komisariat PMII Unair. Dengan demikian kinerja organisasional diharapkan oleh Mahrus dapat berjalan sebagaimana mestinya dan kejelasan status posisi Gerbang bisa selaras dengan agenda PMII lainnya. Ternyata Maulidin menolak dengan alasan Gerbang lebih dulu eksis dan membidani lahirnya PMII bagaimanapun Maulidin menyertakan argumentasi yang bertitik berat pada tuntutan adanya pengakuan jasa Maulidin dalam mendirikan PMII dan apapun yang dia inginkan harus diikuti oleh anggota lainnya yang telanjur dicap sebagai kadernya. Citra kader Islam di PMII bisa jadi merosot karena penampilan PMII yang demonstratif lebih dominan. Anom sendiri menuturkan performance-nya sebagai Sekretaris Umum Rayon atau Komisariat, tidak lagi berfungsi sebagai juru ketik atau tukang nomor surat tetapi menjadi bagian dari motor demonstrasi kecilkecilan atau pamflet diskusi antar-agama. Ketika aksi jalanan melampaui tugas dan proses admnistratif, beberapa personal yang khawatir akan citra PMII mencoba menhentikannya. Salah satu akibatnya adalah mundurnya Anom dari sekretaris dan digantikan oleh sosok yang kental nuansa masjid-an. Keberhasilan faksi Adnan, Machrus dan Samsul mengeliminasi pergerakan PMII yang terlalu ke kiri seperti yang dinyatakan oleh Anom mempunyai tujuan untuk mengamankan posisi PMII. Di kemudian hari, setelah Juli 1996, PMII bergerak taktis ke kanan untuk kepentingan menambah jumlah kader dan penyelamatan citra agar tidak diburu pihak keamanan. Pada tahun 1996, Maulidin sudah jadi sesepuh PMII dan aktivitasnya sudah tersita di eLSAD bersama Anom Surya Putra. Ujung tombak intelektual PMII tersisa Anom dan Khadafi sementara figur intelektual lainnya, Zaki Mubarok lebih intensif di PC Surabaya bersama Nafsiyah sehingga mereka relatif mewakili PC Surabaya. Hubungan antara Komisariat Unair dengan PC Surabaya tidak begitu harmonis

32

karena persoalan kekuasaan dan eksistensi. Komunikasi antara Zaki dengan Komisariat unair juga ikut terganggu, Mubarok Muhtarom menjembataninya. Zaki dalam visi wacana akhirnya bisa bertemu dengan Anom. Konflik paling hebat pada tahun 1999 adalah peristiwa naiknya Mubarok Muhtarom sebagai Ketua Umum PC Surabaya. Saat itu Ketua Komisariat Unair dipegang oleh Nanang Zubaidi yang relatif tidak mambawa iklim yang kondusif. Unair mendukung pencalonan Mubarok dengan menempatkan Farid Fauzi, Ririn dan Rusi Aryanti sebagai tim sukses. Mubarok berhasil terpilih sebagai Ketua Umum PC yang membuatnya banyak merekrut kepengurusan dari Unair. Di komisariat sendiri terjadi ketegangan dalam pemilihan Ketua, Rusi yang menjadi tim sukses Mubarok dikalahkan oleh

Isnanto dengan selisih satu suara.

Kemenangan Isnanto merupakan bencana bagi Mubarok. Kemungkinan besar Isnanto memusuhi Mubarok dan mencoba menggoyang legalitasnya sebagai ketua PC Surabaya dan puncaknya Isnanto atas nama komisariat Unair memboikot Laporan Pertanggung Jawaban-nya Mubarok. Semasa menjabat, Mubarok mempunyai agenda pelatihan advokasi se-Jatim dan diklat jurnalistik. Acara ini berlangsung dibawah tekanan beberapa pihak. Acara lainnya adalah debat kandidat ketua PB PMII, pembuatan buku PMII Surabaya dan pengiriman delegasi ke Kongress PMII di Medan sebanyak 10 orang. Badai yang menimpa kepengurusan Mubarok tidak berhenti sampai disitu karena dia harus berhadapan dengan sesepuh PMII Unair seperti Adnan, Mahrus, Khadafi dan Anom. Keyakinan atas independensi dan otonomisasai personal kadang harus mempertaruhkan diri untuk siap dialienasi. Bahkan ketika Mubarok masih di PMII Komisariat Unair hanya Samsul yang mampu membangun komunikasi meskipun sifatnya pribadi. Menghadapi semua konflik dan tekanan dari segala penjuru membuat Mubarok shock secara fisik karena mengalami depresi berat.

33

Kiprah dalam Reformasi Peranan kelompok perempuan dalam kepengurusan Nanang banyak digawangi oleh Nikmal Baroya dan beberapa dari angkatan 96-98. Ketika Nanang juga tidak maksimal menjalankan fungsi kepengurusannya, maka untuk memberikan kelangsungan aktivitas komisariat, dibentuklah pelaksana harian yang dibawahi oleh Sunu. Dia menggelar

diskusi yang dijalankan bersama

Mubarok dan Wawan. Disamping Barok juga punya organ di kampus Fisip. Performance barok sempat dipertanyakan ketika pencalonannya menjadi ketua PC PMII Surabaya dari Unair. Secara institusional, PMII unair tidak memberikan dukungan karena alasan kurangnya performance dan tidak adanya keyakinan atas figur Barok. Pada pemilihan, barok keluar sebagai pemenang dan menjabat ketua PC PMII Surabaya tahun 1999-2000. Dalam hubungannya dengan elemen mahasiswa lainnya, PMII mampu menghimpun diri sebagai kekuatan perumus yang melahirkan KSM (Koalisi Solidaritas Mahasiswa) yang dibentuk bersama aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Bentuk lembaga yang terlalu cair tanpa struktur yang jelas membuat KSM tidak bertahan lama dan beberapa aktivisnya melebur kedalam Partai Rakyat Demokratik (PRD). Pada saat yang sama PMII juga membutuhkan identitas. Sayap inteletual dan gerakan serta Persma di

PMII

mendesak agar identitas PMII sebagai kekuatan yang condong kekiri harus ditetapkan sehingga mampu bergerak dengan lebih jelas. Sebagai organisasi ekstra yang berlebel Islam, bagaimanapun PMII membutuhkan garis demarkasi dengan HMI yang lebih bergerak di bidang eksekutif dan legislatif kampus. Hal ini cuma berlangsung sementara karena pada tahun 1998. Dadan Suparjo maju mengikuti pencalonan ketua Senat Mahasiswa Universitas dan terpilih untuk periode 1998-1999. Dadan memasukkan pengurus yang didominasi HMI tanpa memberikan ruang bagi PMII. Dadan beralasan bahwa ini adalah strategi untuk menjaga netralitas dia dalam mengambil kebjiakan sekaligus

34

menjaga citra PMII dalam kapasitasnya sebagai organisasi pengontrol kinerja Senat. Di lingkungan PMII, Mahrus mampu duduk sebagai ketua PC PMII bersama Ridwan sebagai Sekretaris Umum. Gebrakan Mahrus dalam menyikapi kondisi perpolitikan Indonesia dituangkan dalam acara diskusi pada tanggal 15 september 1997 sebagai tindaklanjut kesepakatan Probolinggo Informal Meeting berlangsung sebelumnya. Diskusi yang membahas

yang

tema sentral “Menggagas

format ideal gerakan mahasiswa ‘98” menampilkan intelektual terkemuka Unair waktu itu. diantaranya Daniel Sparingga, Hariadi, Haryono dan Pieter Mahmud. Penegasan “Kiri” sebagai simbol politik pada saat ini diusung sehingga pernyataan identitas tersebut mampu membuktikan keberhasilan konsolidasi internal diantara kader PMII kurun waktu 1993-1996 sebelum melangkah ke ruang yang lebih tinggi. Semboyan “tangan kiri terkepal dan maju kemuka” membuat aktivisme dianggap telah mempunyai kesadaran dan relevansi operasionalnya dan mempunyai makna yang tidak sekadar menyiratkan kepentingan politik tetapi merumuskan satu tindakan yang bisa selaras dengan beban ideologis. Kata “Kiri” dianggap simbolisasi dari pembelaan terhadap kaum mustad’afien (tertindas) dan bersenyawa dengan tren Kiri Islam yang sedang gencar untuk diamalkan. Pada dasarnya PMII telah mengembangkan kultur otonomisasi dan penghargaan atas kreativitas individu tanpa batas. Fenomena Gus Dur juga mulai integral sebagai inspirasi untuk membangkitkan romantisisme dan idealisme kelompok tradisional dan minoritas. Sikap yang ditunjukkan Gus Dur ketika beberapa pengurus PMII datang ke LKis untuk mendengarkan Gus Dur bebicara soal demokrasi mempunyai pengaruh yang kuat. dari situ mereka bisa belajar tentang demokrasi, sikap otonom, keberanian yang membentuk kultur intelektual yang bersifat otonom. Pada tahun awal tahun 1998 dibentuklah Sekolah Analisis Sosial sebagai wujud resistensi PMII terhadap kondisi politik. Poin penting yang diuraikan dalam sekolah Ansos ini berpijak dari kesenjangan sosial, krisis nasional yang disebabkan wacana developmentalism dan pencabutan SIUPP. Pemberian materi kuliah

35

pertama pada hari Sabtu 4 April 199822 dimulai dengan materi sejarah dan teori kapitalisme dan perubahan dunia. Pada masa kepengurusan Agus Susilo Murti Hariono pada tahun 1998, Mapaba tidak hanya berfungsi sebagai media rekrutmen kader secara massal. Agus mencoba menghidupkan situasi yang lebih familiar dengan penegasan eksistensi bagi kader PMII. Setelah Mapaba 1998, berbagai agenda digelar untuk memfasilitasi kader-kader baru tersebut. Refleksi Mapaba ‘98 dan fasilitasi saran dari kader baru untuk PMII kedepan. Citra orang pesantren juga tidak luput dari pengadaan kegiatan pengajian kitab “Al-Ajrumiyah” Situasi menjelang reformasi tahun 1998 tidak dilewatkan oleh PMII yang telah menjelma sebagai kekuatan riil ekstra kampus. Wacana yang diusung diseputar isu demokratisasi mendapatkan momentumnya. Penguasaan birokrasi mahasiswa sudah sedemikian mapan. Di FISIP, hampir 90% jurusan dipimpin oleh kader PMII. Modalitas ini memungkinkan PMII tampil kepermukaan sebagai provokator dan injektor bibit wacana reformasi. Permainan isu-isu nasional di sekitar kampus terbukti mampu mengumpulkan banyak simpati kalangan dosen. Pada bulan Maret 1997 mahasiswa UI dan ITB turun kejalan meneriakkan reformasi dan di blow up media massa nasional. Kelompok Cipayung di Surabaya justru telah terlebih dulu telah memulai aksinya yang diikuti oleh seribuan massa dengan mengusung isu aksi keprihatinan dollar pada bulan Februari 1997. PMII yang masih dikendalikan oleh faksinya Adnan menilai Dadan terlalu lamban bersikap bahkan sempat disebut sebagai kaki tangan intel Kodam karena dekat dengan Pangdam Djaja Suparman kesemua orang. Pada saat itu, kelompok Cipayung Indonesia diwakili oleh Anas Urbaningrum, mahasiswa di wakili oleh PMII UGM, ITS, UNAIR, UI dan Unhas. Sepulang dari Jakarta, Dadan malah dihabisi oleh FKMS dan cipayung karena dianggap tidak mewakili mahasiswa di surabayajatim. Ketika cipayung dan FKMS membentuk ASPR, APR dan membentuk aktivis yang tidak punya lembaga, lalu ABRI bentukan PRD-LMND. ASPR dan Cipayung juga ada konflik. BEM sendiri didukung oleh ASPR. PMII unair dan surabaya 22

Sekolah Analisis Sosial PMII unair 1998. Pada masa itu PMII bermarkas di Karangmenjangan I B/10, surabaya

36

gabung cipayung karena cabang dipimpin oleh Mahrus Ali. Secara de fakto, komandan PMII surabaya adalah Adnan Dari sisi kebiasaan, kedekatan PMII dengan elemen mahasiswa kiri tampak dari berbagai kegiatan yang digarap bersama-sama. Kecocokan model dan gaya bohemian antara PMII dan elemen kiri membawa dampak yang signifikan dalam usaha mengkonsolidasikan kekuatan. PMII yang membuat Adnan lebih mudah membangun komunikasi dalam perumusan aksi. Hubungan baik ini terciptanya atas dasar persamaan tujuan dan komunikasi aktif meskipun masih berbeda dalam pegangan hidup dan beberapa nilai-nilai tradisi lainnya. Kedekatan PMII tidak tampak dengan elemen mahasiswa Islam lainnya. HMI dikatakan lebih mementingkan struktur daripada gerakan aksi yang konkret. Mereka lebih disiplin dalam ketundukan pada alumni dan sangat tidak otonom dalam memainkan peran-peran strategis dalam menyuburkan demokrasi di kampus. Sikap ini bukanlah terbentuk dari apriori sejarah tetapi berangkat dari kenyataan faktual yang memposisikan HMI dan kelompok SKI secara luas dalam satu kerangka kerja yang hampir sama. Menjauhi aktualitas dan akselerasi individu atas nama kepentingan kelompok yang eksklusif. Beberapa persoalan lagi adalah mereka terlalu melihat agama dari kacamata formal bukan substansial. Dalam kapasitasnya sebagai ketua Senat, Dadan mampu memposisikan diri sebagai mediator untuk menarik SKI dan Unit Kegiatan Kerohanian Islam (UKKI) untuk terlibat bergabung dalam aksi yang sama dengan Cipayung-PRD. Ketua Senat memang secara organisatoris membawahi UKKI sebagai badan yang masuk kedalam struktur Senat dan Forum Komunikasi SKI sebagai badan otonom yang tersebar diberbagai fakultas. Keberhasilan menyatukan unsur kiri-kanan kedalam satu barisan membuat pihak akademisi kampus dari dosen sampai birokratnya mengizinkan mahasiswa untuk jeda kuliah bahkan beberapa diantara mereka langsung turun bergabung atas nama mahasiswa. Kalangan internal PMII tidak bisa dipungkiri menunjukkan perasaan kecewa. Bukan pada persoalan tidak diakomodirnya kekuatan PMII dalam

37

komposisi kepengurusan Dadan. PMII mempunyai agenda yang diharapkan bisa terlaksana dengan baik di tangan Dadan utamanya memanfaatkan kepeloporan PMII dalam berbagai aktivitas kampus untuk membesarkan PMII. Jalan yang sudah dirintis sejak 1993-an dengan naiknya Dadan ketampuk pimpinan Senat Mahasiswa Universitas akan semakin memantapkan posisi PMII sebagai leader bagi gerakan mahasiswa. Aksi menuju reformasi adalah sebuah momentum puncak dari reorganisasi berbagai kelompok mahasiswa. Lebih lagi, hampir semua tokoh akademisi di Unair ikut turun ke jalan menyerukan tuntutan yangsama dengan mahasiswa. Ketika Prof. Marsetio Donoseputro, guru besar Fakultas Kedokteran ikut turun kejalan, hampir semua mahasiswa kedokteran juga ikut berada dibelakangnya. Peserta demonstrasi juga semakin besar setelah kasus penembakan mahasiswa Trisakti. Pada saat reformasi mencapai puncaknya menjelang lengsernya Presiden Soeharto di bulan Mei 1998. PMII memutuskan meleburkan aksinya kedalam kelompok Cipayung. Pada saat itu HMI tidak melakukan hal yang sama karena rasa percaya diri yang berlebih. Mereka percaya telah mempunyai kekuatan riil juga dikalangan kampus dengan massa dan alur gerakan yang telah mereka rumuskan sendiri. Kepiawaian PMII menggalang koalisi dalam kelompok Cipayung membuahkan hasil yang luar biasa. Pada akhirnya HMI juga turut terlibat penuh dalam setiap aksi kelompok Cipayung yang selalu sukses mengumpulkan massa dalam jumlah banyak dengan alur isu utama yang mampu diterima oleh mahasiswa non aktivis23. Jika dibandingkan aksi pada awal bulan Januari yang diikuti maksimal 30-an orang, aksi dalam bulan Mei membuat batasan mahasiswa aktivis dan non-aktivis menjadi lebur.

Peranan tokoh mahasiswa juga kurang menjadi perhitungan

pengerahan massa untuk berdemonstrasi Mengawal reformasi dengan konsisten membuat strategi PMII berubah dengan membuat aliansi dengan elemen mahasiswa lainnya dalam satu bendera. Tampak dari pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh Ade Arfan Maulana seorang 23

Wawancara dengan Dadan

38

kader PMII yang mewakili delegasi Unair dalam jaringan mahasiswa. Pernyataan sikap yang mengatasnamakan mahasiswa Unair terdiri dari: 1. Konsistensi pelaksanaaan Pemilihan Umum 1999 2. Penolakan RUU politik, pembentukan UU politik yang demokratis 3. Sistem pemilihan presiden secara langsung 4. Penegakan supremasi hukum atas merebaknya berbagai kasus Pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah. Misalnya, usut tuntas kasus penculikan, kerusuhan dan kekerasan yang meresahkan masyarakat seperti KKN. 5. Pencabutan Dwifungsi ABRI 6. Pencabutan UU unjuk rasa 7. Desakralisasi UUD 1945 8. Adili soeharto dan kroni-kroninya Pernyataan tersebut ditandatangani oleh Ade Arfan sebagai Ketua delegasi bersama Sekretaris Moch Windiarto pada tanggal 2 November 1998 di Jakarta 24. Kesamaan tuntutan yang dikeluarkan boleh PMII baik sebagai lembaga ataupun individu yang membawa gerbong politiknya masing-masing mempunyai ciri yang hampir seragam.

Mengawal Masa Transisi (1999-2002) Dalam mengawal masa transisi, muncul gagasan yang setengah parodis mengenai keberadaan parpol pada saat itu. Beberapa eksponen PMII Unair ikut mendeklarasi PSIB pada tanggal 19 september 1999 dihadiri wakil-wakil mahasiswa dari Unair, IKIP Surabaya, UK Petra, UPN, Unsuri, ITATS, STIESIA dan 24

dokumen asli pernyataan sikap

39

ASMI. Acara deklarasi berlangsung di Gubeng kertajaya tepatnya di tepat Kos salah seorang pengurusnya. PSIB menyusun agenda politik berdarakan pengalamn empirik yang terjadi pada mayarkata kecil, petani, nelayan dan buruh. Isu demokratisasi, pluralisme, penguatan cvil soceity yang dirangkum kedalam tuntutan pemberian otonomi seluas-luasnya, pembatasan masa jabatan presiden maksimal 2 periode danpemberantasan KKN25. PSIB menempatkan mahasiswa sebagai pelopor yang disimbolkan dalam buku, ikan dan sapi sesuai dengan lambangnya. Mubarok yang membentuk Partai Sapi, Ikan dan Buku (PSIB) bersama Ade Arfan dan menjabat Ketua 1 menawarkan untuk mempercepat pemilu.26 PSIB lahir dari konsep gerakan kembali ke kampung. Gaung PSIB sempat membuatnya diundang dalam pertemuan antar partai politik yang digelar Kompas Jakarta. Perpindahan kekuasaan dari Habibie kepada Gus Dur cukup memberikan eforia yang begitu bergelora bagi NU. Mubarok yang memegang kendali PC Surabaya menghadapi konflik perebutan citra untuk mempertahankan Gus Dur. Usaha untuk menggalang koalisi dengan berbagai elemen pendukung Gus Dur harus bertabrakan peran dengan jalur yang di tempuh oleh PKC Jatim. Dalam pertemuan di Jakarta untuk menyampaikan dukungan, Mubarok pada akhirnya tidak membawa nama PMII karena keterlibatan PKC yang diwakili oleh Zainul. Bersama 41 tokoh dari Jatim di Istana Negara, Mubarok membawa nama Forum Studi Lorong. Meskipun agenda yang dibawa tetap sama masih menganggap Gus Dur sebagai Presiden yang sah dan penjatuhannya adalah skenario Orba. Gus Dur dianggap telah berjasa mengembalikan posisi militer, desakralisasi istana, pengembangan civil society, menghormati minoritas dan membuka kembali rekonsiliasi korban orde baru dengan wacana penghapusan TAP MPRS yang melarang komunisme. Dalam perihal terakhir, PC Surabaya dibawah Mubarok menggelar aksi mendukung pencabutan TAP MPRS XV/1966.

25 26

Jawa pos, 20 september 1999 (Retorika edisi buletin No 6/20-27 Nov 1998)

40

Dalam rangka memberikan tujuan umum bagi nilai-nilai yang sudah melekat pada PMII. Implementasi dalam gerakan alumni di masyarakat luas coba diakomodir oleh alumni PMII angkatan 94-95 dengan mendirikan Lembaga Peduli Hak Azasi Manusia (eLPHAM) yang pertama kali dimaksudkan sebagai ruang aktualisasi bagi alumni PMII sebelum terjun ke masyarakat. Lembag ini dibentuk sebagai kerja jaringan dari alumni pelatihan HAM yang diadakan oleh LP3ES. Keberadaan lembaga ini penting dalam pengertian ruang aktualisasi tersebut mampu membuat alumni PMII bisa bersentuhan langsung dengan berbagai jaringan sekaligus modalitas untuk menentukan pilihan hidup dan kiprahnya di masyarakat. Alumni PMII merasa perlu untuk mengadakan pertemuan berkala guna membincangkan isu-isu yang berkembang dan sedikit bernostalgia sembari memberikan masukan bagi generasi di bawahnya. Istilah penting yang perlu dicatat disini, eLPHAM disamping sebagai lembaga yang dikelola profesional juga mampu dimanfaatkan sebagai tempat pertemuan (jujugan) bagi alumni PMII yang sudah tersebar di berbagai tempat dan pekerjaan di masyarakat. Kontinuitas sama pentingnya dengan kebutuhan untuk bertemu dan memperkuat jaringan. Dengan pertemuan rutin mereka berhadap bisa turut serta melestarikan jaringan alumni dan memberikan sumbangan bagi generasi penerusnya dalam bentuk informasi dan berbagai pelajaran lainnya. Tahun 1999, Unair masih terbawa oleh pertarungan sikap politik. Ketika menginjakkan kaki sebagai mahasiswa Unair di tahun yang sama bulan september, berbagai bendera aksi jalanan mahasiswa masih marak untuk

menurunkan

Habibie. Perebutan hegemoni gerakan mahasiswa mengerucut menjadi kekuatan kelompok demokratik kiri dan islam modernis. Bagian kecil islam internasionalis mulai sedikit- demi sedikit muncul kepermukaan. Bagaimana dengan PMII? Pembacaan atas PMII sudah terparadigma. Aribowo menyatakan afiliasi politik mahasiswa sebagian besar ditentukan sejarah sosio-kulturalnya, misalnya anakanak NU di pedesaan kalau kuliah di Unair cenderung bergabung dengan PMII 27

(Retorika edisi Buletin No 13/15-30 September 1999)

41

27.

Meskipun sejak Khadafi, paradigma PMII adalah anak-anak NU di Unair sudah sedikit dipertanyakan karena lebih bisa disebut bahwa PMII Unair bisa berwarna apapun dalam satu bingkai besar yang mempunyai "kecenderungan" NU. Dalam masa-masa tahun 1999 masih menyisakan konflik lama yang terjadi pada tahun 1998 dan belum sepenuhnya terpecahkan seperti dualisme hegemoni dalam kasus advokasi rawa Sekaran di Lamongan. Antara eLPHAM yang digawangi oleh Patna Sunu dengan masa kepengurusan PMII di bawah Isnanto. Pada dasarnya generasi di masa ini menerapkan strategi gerakan pada wilayah advokasi yang keluar dari kampus. Kelak pada tahun 2001 ketika Haris Mustofa menjadi ketua, PMII dibawa sebagai bagian konsorsium Jaringan Rakyat Tertindas (Jerit) dan menangani kasus sengketa pertanahan di daerah Tubanan dan stren kali Surabaya. Konsep gerakan di lingkungan kampus telah mengerucut, dari gerakan pemikiran berorientasi kerja-kerja intelektual menjadi aksi dan advokasi yang digerakkan dalam kapasitas individu. Sunu masih memainkan peran penting bagi terselengaranya konsep advokasi di lingkungan kampus. Isu besar tahunan dalam kurun waktu 1999 adalah ritual tahunan OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) yang diyakini banyak makan korban psikis dan fisik. Di Unair mulai muncul lembaga pemantau pelaksanaan OSPEK. Baik yang disediakan oleh BLM ataupun yang dibentuk oleh Omek. PMII secara tidak langsung berada dibalik pembentukan Komite Pemantau OSPEK (Kompos) yang aktif melakukan kegiatan propaganda kepada mahsiswa baru untuk menolak mengikuti OSPEK dengan menyebarkan selebaran ke seluruh kampus dan mengirimkan press release ke media massa. Pada periode 1999, terjadi masa transisi di kalangan mahasiswa. Dari pekerjaan reformasi yang melelahkan ditambah keadaan politik yang tidak begitu stabil. Meskipun gerakan mahasiswa masih ramai dan sangat laku untuk dipromosikan,

masih

tertolong

momentum

pemerintahan

Habibie

yang

kontroversial. Ini juga yang memacu PMII yang sejak awal memposisikan diri sebagai pihak yang semi-kritis terhadap kinerja pemerintah. Tetapi tanda-tanda

42

telah terjadi pengelompokan yang lebih luas di kalangan mahasiswa karena sebagian besar telah masuk kedalam pusaran hedonis dengan banyaknya pengaruh keterbukaan yang masuk sejak reformasi. Kebebasan akses politik sampai hiburan membuat kuantitas mahasiswa yang memilih jalur hura-hura semakin meningkat sementara jumlah aktivis masih tercakup dalam lingkaranlingkaran kecil. Unair juga merasakan hal yang sama sehingga menggugah sisa aktivis reformasi yang masih tinggal di kampus mencoba bangkit menyemaikan wacana demokratisasi dalam berbagai kelompok studi dan aksi-aksi sporadis yang berjalan sampai kejatuhan Habibie dan Pemilu yang mengangkat legislatif baru. Momentum lainnya yang paling terasa membutuhkan respon dari PMII Unair adalah naiknya Gus Dur yang berarti kemenangan politis gerakan kaum tradisional secara umum. PMII menyadari bahwa diperlukan dukungan kuantitas dan kualitas untuk menopang agenda-agenda politik Gus Dur. Dalam pamflet agenda Mapaba bulan Nopember 199928 yang digelar pada tanggal 19-21 November 1999 di Ponpes AtTaufiq, Malang, kriteria perekrutan kader diperluas29 Sasaran rekrutmen tidak jauh berbeda tetapi sedikit mengakomodir semua kelompok masyarakat. Untuk kategori muslim terjadi pembedaan yang tajam setidaknya pamflet ajakan tersebut mempunyai sasaran yang lebih mengena dalam pengertian muslim secara umum yang mempunyai akar tradisi kuat. Baik lulusan pesantren atau abangan tidak ada persoalan selama keinginan untuk bebas menjadi prioritas penting. Kesukaan cangkruk (menghabiskan waktu buat berbincang-bincang) dikolaborasikan dengan gaya guyon (tidak serius) memberikan pengertian bahwa semuanya menjadi dasar pijakan yang relatif kuat untuk mengantarkan kriteria individual dalam satu kerangka diskusi serius tanpa melupakan aspek egalitarian. Kondisi internal PMII berdasarkan pengamatan Haris Musthafa setelah Mapaba 1999 menuturkan: pamflet Mapaba 1999. Pada saat itu markas PMII berada di Jojoran III/26 kriteria tersebut adalah: Muslim, Lulusan pondok pesantren dan atau yang masih mondok, Seorang muslim sejati dan tulen, Muslim yang kurang taat alias abangan, Hobi diskusi, Suka cangkruk dan bergurau alias guyon, Ingin kebebasan 28 29

43

"Pertama kali masuk PMII tahun 1999 enjoy aja tetapi saya merasakan masih ada usaha untuk melestarikan pemakaian "tekanan psikis" karena teman-teman senior mengadopsinya dari Maulidin. Pertarungan hegemoni cukup terasa seperti faksinya Adnan dan eLSAD. Kalau saya lihat itu perterungan hegemoni juga perebutan ruang. Maulidin minta PMII harus mampu mencetak intelektual sedang Adnan minta keduanya harus dilakukan di dalam gerakan. ELPAHM sudah eksis tetapi sebenarnya digunakan untuk aktualisasi bagi senior selepas dari PMII. Mulanya di Spektra, KPPD, Spektrum dan membentuk LBH Jagat. Teman tua waktu itu kehilangan ruang tetapi itu tidak dirasakan oleh mereka. Hampir semua ingin mencetak kader dengan karakter yang serupa melalui diskusi formal yang tidak begitu rutin, tetapi diskusi informal lebih sering"30.

Setelah

melaksanakan

Mapaba

dan

diikuti

oleh

pembentukan

kepengurusan baru,

Rapat Kerja periode 1999/2000 di kota Malang yang

berlangsung

Mei

15-16

1999

menghasilkan

keputusan

yang

lebih

memprioritaskan gerakan pemikiran daripada aksi. Hal itu ditindaklanjuti dengan agenda jangka pendek menjadikan buletin Solusi sebagai corong utama suara PMII dan pendirian posko informasi untuk memberikan informasi tentang PMII baik untuk konsumsi internal maupun penjaringan kader. Perkembangan PMII di setiap fakultas dengan berdirinya rayon-rayon baru mulai menggairahkan. Turunnya surat keputusan PC PMII Surabaya tahun 2000 mengesahkan keberadaan rayon fakultas Kedokteran Umum, ekstensi Ekonomi dan Hukum membuat integrasi gerakan di tingkatan Unair lebih signifikan dan menyeluruh. Dalam kondisi sosial politik yang masih belum stabil, PMII condong bergerak untuk menegaskan diri sebagai gerakan anti-kemapanan. Gerakan yang ditandai aksi pamflet untuk menolak kemapanan Universitas terungkap dari statemen aksi yang dikeluarkan oleh kader PMII yang mengatasnamakan Forum Komunikasi Mahasiswa Airlangga. Aksi ini diambil untuk memberikan kritik atas pagelaran Kidung Suroboyo di kampus Unair pada tanggal 11 November 2000. PMII melihat ada sesuatu gejala tidak sehat di dalam maksud dan tujuan penyelenggaraan acara pagelaran tersebut. Aksi ini menyeru bahwa ucapan 30

wawancara dengan Haris Musthafa

44

selamat atas terselenggaranya acara tersebut harus ditolak bahkan tidak perlu diapresiasi sama sekali. Acara pagelaran itu sendiri menampilkan drama sekelompok pengemis, anak-anak jalanan dan pemulung dihadapan penonton yang terdiri dari birokrat, intelektual, mahasiswa dan beberapa pejabat serta khalayak umum. Semua hadirin tertawa begitu melihat pementasan seolah-olah tontonan tersebut menarik dan perlu untuk ditertawai. Menurut penilaian mereka, drama itu sangat ironis dan bertolakbelakang dari kenyataan sebenarnya yang mungkin lebih buruk dari narasi drama tersebut. Mereka mempertanyakan kualitas hati nurani intelektual kampus Unair dan menyamakan apa yang mereka lakukan dalam drama tersebut tidak lebih baik dari Soeharto yang selalu tersenyum melihat berbagai ketimpangan sosial di negeri ini. Dalam kata-kata penutup, mereka bertanya “inikah yang disebut dengan Unair peduli pada masyarakat? Dan masih layakkah intelektual kampus Unair dikatakan ber-moral?”. Sungguh pernyataan yang amat provokatif. Dari aksi ini terlihat usaha untuk membongkar kolusi moralitas intelektual dan birokrat begitu menyala-nyala. Generasi tahun 1999 masih dipenuhi gejolak akan perubahan yang terbawa oleh reformasi. Tidak tertutup juga pada bagian pengorganisiran. Peranan alumni yang telah menjajaki dunia NGO hampir pasti menjadi bagian konsekuensi miringnya arah gerakan PMII secara umum. Keberadaan NGO seperti Spektra mendorong induksi besar-besaran alumni PMII yang relatif aktif dalam mempengaruhi kebijakan strategis pengurus yang baru. Dalam beberapa hal independensi dirasakan berjalan sangat lamban. Keberkaitan ini bisa dimaklumi oleh beberapa pengurus. Bagaimanapun kebutuhan sokongan donatur mutlak diperlukan disamping iuran antar anggota dan pelaksanaan fundraising. Adanya jaminan dari alumni ini tertuang dalam kesepakatan-kesepakatan tertentu yang dibuat oleh para pengurus inti dengan alumni yang masih mempunyai kepentingan politik jangka panjang dengan PMII. Meskipun demikian tidak pernah terbukti jika pada gilirannya para alumni meminta balasan yang bersifat langsung atas dasar

45

investasi donasi dengan misalnya mengerahkan massa besar-besaran sesuai pesanan. Dari keterangan Nashirul Umam diketahui keadaan PMII pada tahun 2001"Saya masuk PMII tahun 2001: “saya cari sendiri dengan referensi paman yang ada di Bandung untuk menghubungi PMII atau eLSAD. Saat itu kenal dengan Alim pada acara musik. Setelah ikut, Materi Mapaba waktu itu ke-PMII-an, gerakan mahasiswa dan Islam dan terorisme yang disampaikan oleh Maulidin. Wacana PMII waktu itu tergolonng sulit, saya tidak mampu mencernanya. Selepas Mapaba saya masuk ke komisariat dimana keadaan organisatoris di komisariat amburadul sementara interaksi antar pengurus jelek karena cuma 4 kader yang aktif dari 25 kader. PMII yang terekam oleh saya waktu itu adalah PMII sebagai gerakan intelektual dan membanggakan bahwa kita tidak perlu kader banyak tapi berkualitas. Itu yang sering digembargemborkan dulu".

Perlahan tapi pasti, hampir semua gertakan mahasiswa merasakan kehilangan momentum dan masa transisi menjelang naiknya Megawati Seokarnoputri sebagai presiden menggantikan Gu Dur. PMII unair mulai terjebak did alam intrik politik internal yang banyak menguras tenaga daripada mengedapenkan prioritas pembangunan visi. Pada saat ini menurut keterangan Alim, pengeluaran komisariat membengkak terlebih lagi tagihan rekening telpon. Setelah diselidiki ternyata banyak digunakan oleh Isnanto untuk menelpon Laely. Pada saat yang sama kubu perempuan yang sedang tekun membenahi gerakan gender menuntut adanya porsi setara. Kubu ini telah membuat kelompok studi Jasmine yang berada dibwah komisariat sebagai BSO. Mereka ingin ada akomodasi kegiatan dan kepentingan yang bisa diharmonisasikan bersama agenda lainnya. Bahkan kalau perlu harus mempunyai kekuatan yang lebih dari sekedar BSO. Berawal dari rapat Mapaba tahun 2001 yang melibatkan alumni dan pengurusan PMII, seorang anggota mempresentasikan problem yang dihadapi oleh masyarakatnya di daerah kecamatan Sekaran kabupaten Lamongan. Persoalan rebutan klaim atas rawa antara masyarakat desa dengan pemerintah kabupaten meruncing menjadi konflik terbuka. Dari hasil rapat tersebut dibentuklah tim kecil

46

beranggotakan Isnanto, Haris, Huda dengan fasilitator Patna Sunu. Atas nama PMII mereka turun ke lapangan31. Kasus rawa Sekaran menyimpan nuansa politik yang kental. Sengketa antara masyarakat dengan pemerintah kabupaten membuat banyak elemen gerakan turut berpartisipasi. PRD dengan organ STN juga turun ke basis massa. Tercatat juga FPPI yang sempat membuat kontrak kerjasama dengan Lurah setempat. Tetapi sentimen ideologis dan pendekatan kultural dari PMII memenangkan perebutan wilayah garapan. PMII mencitrakan diri dengan NU dan membangun relasi yang melibatkan kedekatan personal sebagai bagian strategi penguasaan basis. Pada saat posisi Gus Dur terancam di legislatif oleh Poros tengah, PMII membuat pernyataan berkait dengan skenario kejatuhan Gus Dur yang disebarkan ke kampung-kampung sekitar Unair. Aparat keamanan juga tengah menebar jaring untuk menangkap aktivis yang akan mengelar aksi penolakan memorandum. Hampir semua pengurus PMII lari ke Sidosermo meminta gemblengan dan diberi jimat. Pada akhir kepengurusan Isnanto, dominasi Sunu dan Ade masih kuat di kalangan junior. Ditambah pertentangan antar Fakultas antara FISIP dan FH. Ada kepentingan cewek-cewek (fisip) dan orang tua (hukum). Pada pemilihan pengganti Isnanto tinggal Silvia Kurnia Dewi, Farid dan Haris yang maju ke pemilihan. Pada saat itu Isnanto kesulitan mencari kader sebagai penerusnya dan sentimen anti cewek menjadi isu dalam pemilihan karena mundurnya Alim dari bursa. Dari ketiga calon terakhir yakni Haris, Silvia dan Farid, Haris keluar sebagai pemenang. Bibit-bibit sentimen anti perempuan sudah ditanam lama semasa Isnanto yang membuat kubu perempuan hengkang dari komisariat dan membuat kegiatan sendiri yang berpusat di Kedungtarukan Baru sekaligus mencoba mengembangkan kelompok studi Jasmine yang sebelumnya tidak diakomodir keberadaannya. Seusai pemilihan, kubu perempuan semakin terpisah dari kepengurusan Haris, ditambah gaya kepemimpinan Haris yang kurang begitu berani menyentuh kubu perempuan untuk kembali ke komisariat. 31

wawancara dengan Rosyid

47

Setelah Haris terpilih menjadi ketua komisariat periode 2002-2003, kepengurusannya dari sisi wacana berjalan dan diskusi reboan dijadikan alat efektif untuk menjaring kader baru. Pada saat Mubarok jadi ketua PC PMII Surabaya, ketegangan PMII Unair dan IAIN sedang memuncak dengan keluarnya IAIN dari PC PMII Surabaya. Faktornya adalah Pemilihan Ketua Umum PC PMII atas nama rayon atau komisariat. PMII Unair menyetujui atas nama Rayon karena sesuai dengan AD/ART, Unair mempunyai 11 Rayon sedang IAIN cuma punya 5 tetapi kuantitas anggota masih banyak IAIN. Ketika Legge dari ITS terpilih sebagai Ketua Umum PC PMII Surabaya, Unair tidak mengakui kepengurusannya dengan Walk Out dari Konfercab. Suasana mulai agak mencair ketika A'an naik menggantikan Legge, PMII Unair dirangkul dengan jatah pengurus harian. Mewarisi kekacauan dan perpecahan, Haris melakukan konsolidasi ke rayonrayon. Rosyid yang turut dalam agenda rawa Sekaran mengatakan "Kita sudah merasa capek untuk aktifkan PMII sehingga banyak kader angkatan 1999 lainnya yang mencari aktivitas lain, bukan antipati kepada Haris tetap memang sudah capek.". Haris mampu membudayakan tradisi NU dalam PMII dan pemotongan hegemoni para sesepuh setelah belajar dari kepengurusan Isnanto yang tidak mengakomodir wacana ke NU an32 dan pertikaian eLPHAM-Isnanto yang menyisakan tekanan senior kepada junior. Dalam mapaba tahun 2001 yang berlangsung tanggal 19-21 oktober 2001 masih membahas pelengseran Gus Dur yang inkonstitusional. Garis pandangan yang melihat kudeta terhadap Gus Dur dilakkan oleh politisi advonturir dan militer berdampak besar bagi gerakan pro demokrasi. Mereka juga menuding Megawati bekerjasama dengan beberapa kalangan orde baru yang oportunis, reformis gadungan dan spiritualis kanan (fasisme religius). Contoh yang dikemukakan adalah penagkapan dan penculikan aktivis dan pencekalan aparat atas beberapa tokoh NU seperti Ali maschan moesa sebagai pembicara dalam seminar disebuah hotel di Mojokerto. Peran media yang hanya beberapa gelintir yang pro demokrasi 32

wawancara dengan Didik

48

menjadi sorotan utama. Mereka juga menawarkan gerakan massa dengan pengertian gerakan tersebut sedapat mungkin tidak semata-mata pada gerakan yang hanya bersifart mobilsasi tanpa organisasi yang sistematis. Ada basis yang jelas baik wacana intelektual atau visi misi nilai dasar perjuangan. Tema sentralnya: mengawal proses demokratisasi dan penguatan civil society yang bertujuan.

Regenerasi

anggota

untuk

kesinambungan

dan

kelangsungan

organisasi, menciptakan kader-kader militan dan tangguh, meningkatkan mutu kader secara kuantitas dan kualitas, menciptakan kesinambungan organisasi sebagai media pembebasan ketertindasan dalam memperjuangkan demokratisasi, pemberdayaan kader pergerakan agar mempunyai visi dan misi humanisme, pluralisme dan inklusivitas. Terdapat perkembangan menarik pada tahun 2002 karena tersemainya bibit pembangunan PMII di kampus C Unair yang terkonsetrasi pada keilmuan eksak. Pada kepengurusan Nashirul Umam ini memasang stakeholder Aam, Aida dan Muhlas di kampus C dan mampu menarik 40 kader pada mapaba 2003. Untuk memfasilitasi kader kampus C diadakan kegiatan di masjid al-ikhlas yang dikoordinatori oleh Ulum di daerah Mulyorejo. Disini juga digelar pengajian rutin pada masa-masa ini nyaris tidak ada tarikan politis karena komposisi kepengurusan lebih steril dan akomodatif. Nashirul melihat bahwa otonomisasi kepengurusannya harus dihormati oleh para senior. Tanpa meninggalkan senior yang dimanfaatkan untuk kepentingan jaringan dan konsultasi pada persoalanpersoalan yang muncul dalam kaitannya dnegan hubungan antar organisasi. Pemikiran untuk membntuk kader profesional mulai sedikit difasilitasi terlebih yang berhubungan dnegan disiplin pengetahuan eksakta.. Kegiatan pertama kali dilakukan di FKH dengan tema hukum islam (fikih) bagi profesi dokter hewan. Pada saat yang sama, momentum tolak militerisme menbuat kader dari kampus B terkeonsentrasi dalam aksi-aksi jalanan. Di FISIP, aksi-aksi digelar dengan membentuk aliansi dengan HMI, LMND, GMNI. Meskipun tidak mendapatkan tanggapan luas di kalangan mahasiswa lainnya. Saat itu situasi

49

kampus tidak kondusif untuk gerakan. Mahsiswa terpolarisasi yang lebih condong pada orientasi hedonis dan berbudaya pop. PMII sendiri mulai membangun strategi untuk masuk ke komunitas film, musik dan olahraga. Ditingkatan Unair PMII banyak menjalin komunikasi taktis dengan GMNI yang mengantarkan Nashirul Umam duduk di posisi sekjen BEM. Aliansi dengan LMND, Pusham unair, KBS, HMI menghasilkan Forum Mahasiswa Peduli Pendidikan (FMPP) yang menolak tegas komersialisasi pendidikan di Indonesia yang menggelar aksi di depan rektorat dengann 60 peserta. Juga tergabung dengan organ taktis Kelompok Mahasiwa unair Peduli Pedagang Kaki-5 (KMUPK5). Sementara Di kampus C, diskusi-diskusi macet, Muhlas membangun kembali aktivitas PMII bersama Rosadi (fisika), Mamik (kimia), Etik (bio) dan Nurjanah. Dari sini mulai dibejtuk kepengurusan rayon. Pada saat itu, posisi Muhlas begitu landing dalam kepengurusan struktural wakil BSO (2001), sekjen BEM (2002), akhirnya jadi presiden BEM FKH (2003). Kesulitan utama adalah pandangan mahasiswa umum bahwa aktivisme masih dianggap tempat kumpul, silaturrahmi, curhat dan kebanyakan dari mereka tidak mau diajak berpikir yang berat-berat. Muhlas kemudian memasukkan beberapa simpatisan kedalam struktur BEM, BSO. Separoh kontrakan dibuat sekretariat PMII kampus C dan diadakan diskusi-diskusi yang diarahkan untuk membawa PMII rayon yang kemudian mencetuskan terbentuknya Ilalang.

50

Catatan Penutup Setiap sejarah mempunyai sejarahnya sendiri. Ide pembuatan buku ini lahir dari sebuah diskusi kecil di Komisariat PMII Unair akhir tahun 2004. Saya yang baru saja menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Sejarah Unair mencoba menawarkan ide penyusunan buku sejarah PMII Unair yang akan merekam gerakan mahasiswa NU di kampus umum dan meluas pada kontribusinya dalam mewarnai gerakan mahasiswa di Surabaya. Sebuah sejarah kontemporer! History from Bellow yang disambut dengan antusias oleh sahabat Haris Musthafa mantan Ketua Komisariat 2000-2001 dan Ahmad Syauqi yang masih menjabat Ketua Komisariat 2004-2005. Ketertarikan saya untuk menuliskan PMII tidak dari perspektif elit didasari sepenuhnya oleh ketidakseimbangan dalam melihat PMII secara utuh. Kajian sejarah ini coba dimulai dari skala yang mungkin sangat kecil dari tubuh PMII sendiri. Tetapi ada semacam keharusan untuk melakukan pembacaan atas PMII yang juga hadir tidak hanya di IAIN. Kiprahnya di kampus umum seperti Unair juga pernah ada dimana pluralisme yang menjadi nilai bagi PMII pada dasawarsa terakhir menemukan jatidirinya di kampus umum. Pada awalnya, sebagai realisasi hasil diskusi tersebut, saya membuat sebuah tim kecil dari kader PMII di Jurusan Ilmu Sejarah, tetapi kerja yang tidak kunjung maksimal membuat pekerjaan ini saya ambil alih. Proses penelusuran sumber sampai penulisan menyita waktu hampir 4 bulan (Januari-April 2005). Dalam semua proses, penulis perlu berterimakasih kepada semua narasumber sahabat/i alumni PMII Airlangga yang sangat koperatif meluangkan waktu sejenak ditengah kesibukan yang sangat padat disertai antusiasme dan dukungan yang luar biasa. Diskusi yang berharga dengan Irsyad Zamjani, bisa mengantarkan beberapa persoalan diulas dengan lebih tajam. Alim Nurfaizin yang sangat membantu mobilitas dengan segala keikhlasannya. Mubarok Muhtarom atas persediaan kliping koran untuk masa-masa menjelang reformasi. Dalam raw

51

finishing penulisan, saya banyak dibantu oleh tim Jojoran Circle, Eko Huda S, M.Imam Subkhi, Joyo Adi Kusumo, Wiwik Budi dan Ali Siswanto dalam editing huruf dan pemenuhan kebutuhan hidup yang serba ingin tersediakan tapi tetap dalam keprihatinan. Organisasi mahasiswa sarat dengan kepentingan, untuk menyebut siapa yang paling berjasa, yang paling besar dan paling menentukan, baik pada masamasa jaya atau masa-masa terpuruk. Organisasi juga rentan dengan kesadaran akan pentingnya dokumentasi original sehingga pelacakan sejarah akan begitu sulit. Cara yang bisa ditempuh kemudian adalah mencari serakan dokumen yang tersisa, melacaknya melalui tradisi lisan dan menemukan keterkaitannya dengan peristiwa-peristiwa besar diluar dirinya di media massa. Agar lebih mendalam, lebih penting juga untuk menyertakan tulisan atau catatan harian pada kader. Tetapi agaknya hal tersebut juga sulit dilakukan.

Tulisan ini dibuat sebagai

langkah paling awal untuk menuliskan sejarah PMII unair. Tentu saja ini adalah teks yang sangat terbuka untuk kritik dalam rangka perbaikan. Sebagaimana tulisan ini disusun dengan fakta-fakta sejarah. Seharusnya pula, setiap kritik dalam bentuk apapun pasti harus diterima. Pertanggungjawaban atas kritik yang kelak akan muncul harus dialamatkan pada perbaikan dari narasi yang dibangun dalam tulisan ini. Penulis masuk dalam lingkaran dan menjadi kader PMII Unair sejak tahun 2002 tetapi sudah mengikuti dari cerita-cerita bersambung beberapa orang yang dikenal sebagai kader PMII atau juga dari sumber-sumber lainnya yang terkait. Maka tidak elok kemudian, tulisan ini harus diukir seperti halnya pemahat memantulkan gambaran dirinya melalui arca pahatannya. Tugas besar menanti kader-kader yang akan datang, untuk menuliskan dengan lebih baik apa yang terjadi pada masa-masa selanjutnya.

Akhirnya pekerjaan ini dipersembahkan

pada semua kader PMII Unair yang menjadi saksi atas kebersamaan kita melewati segenap suka-duka dalam sepenggal perjalanan menuju kedewasaan. Terutama harus saya sebutkan disini sahabat Uung Kurniadi yang saat itu meragukan

52

kesanggupan saya untuk menyelesaikan tulisan ini. Ternyata keraguan itu menjadi kebenaran

paling

nyata

yang

menghidupi

semangat

untuk

segera

menyelesaikannya.

Lampiran Hasil Penelusuran nama-nama Ketua Komisariat no

Nama Ketua

Tahun Kepengurusan

1

Budi

1991-1992

2

Rif’an

1992-1993

3

Khadafi (FISIP)

1993-1994

4

Mahrus (FH)

1994-1995

5

Imaduddin

1995-1996

6

Agus

1996-1997

7

Nanang

1997-1999

8

Isnanto (FH)

1999-2000

9

Haris Musthofa (FH)

2001-2002

10

Nashirul Umam (FISIP)

2002-2003

11

Achmad Syauqi (FH)

2004-2005

12

Adi (FH)

2005-2006

13

Rodjil Nugroho (FIB)

2006-2007

14

Amjad (FISIP)

2007-2008

53

Dokumen: Kumpulan Pamflet PMII Unair Kumpulan Agenda Kegiatan Rutin PMII Unair Kumpulan ringkasan kegiatan MAPABA dan PKD PMII Unair Bulletin Solusi Kumpulan Proposal Kegiatan PMII Unair Kumpulan Surat keputusan ketua Komisariat PMII Unair Kumpulan hasil diskusi mingguan komisariat PMII Unair Susunan Pengurus PMII Unair Rapat Tahunan Komisariat PMII Unair Kumpulan rekomendasi dan hasil rapat insidentil PMII Unair Kumpulan tata Tertib Komisariat Kumpulan Surat Keputusan dari PB dan PC PMII Kumpulan naskah Laporan Pertanggungjawaban pengurus komisariat PMII Unair Kumpulan draft rapat kerja pengurus Wawancara Prof.Dr.dr.Aboe Amar, (PMII FK 65) Dr. Muhammad Tohir, (PMII FK 63) Dr.Mashar Usman, (PMII FK 68) Maulidin, (PMII FISIP 90) Dadan Suharmawijaya (PMII FISIP 94) Haris Mustofa, (PMII FH 99) M. Khadafi (PMII FISIP 93) Kacung Maridjan, Dosen FISIP Unair A. Gaffar Karim, Dosen FISIPOL UGM

54

Abdullah Mubarok (PMII FH 83) Khofifah Indar P (PMII FISIP 85) Adnan Anwar, (PMII FISIP 93) Anom SP, (PMII FH 93) Patna Sunu, (PMII FH 94) Miftahul Huda, (PMII FH 95) Erma Susanti, (PMII FISIP 93) Eka Rahmawati (PMII FISIP 94) Rosyid (PMII FISIP 00) Alim (PMII FISIP 99) Didik (PMII FISIP 00) Mubarok Muhtarom (PMII FISIP 96)

55

View more...

Comments

Copyright © 2017 DATENPDF Inc.